Minggu, 03 Juli 2016

Lepas Malam (cerpen)

SORE membeku. Aku duduk sendiri, kuyu menghadapi secangkir kopi instan. Asap rokok meliak-liuk pelan, berpendar ke segala arah diterpa angin lesu. Jarum jam di dinding ikut-ikutan berdetak lunglai, hilang semangat. Sudah pukul 4. Itu berarti tujuh jam sudah aku berhibernasi—pembalasan setelah melakoni kerja malam yang menggelisahkan, yang membuat mata hanya sanggup berpijar setengah watt. Namun begitu, rasanya belum setimpal. Serpihan-serpihan kantuk masih terasa memerihkan mata.
Di sebelah sana, tetangga kosku sibuk menyampir-nyampirkan dagangan pada keranjang yang telah diikatkan pada sepeda motor. Rokok tak lepas dari mulutnya. Dia berdagang nasi bungkus dan berupa-rupa temannya. Sebentar lagi dia akan berangkat. Terlalu bersemangat dia sampai tak memedulikan anaknya yang sejak tadi bermain tanah kini sudah penuh berlumuran debu, mirip kue moci. Aku duduk malas saja. Berusaha mengumpul-ngumpulkan nyawa yang tercerai-berai entah kemana.
Sebenarnya apa yang tengah aku lakukan adalah berpikir. Aku berusaha menilai situasiku saat ini. Aku merasa, beberapa minggu belakangan, pekerjaan tak lagi menyenangkan, tak ubahnya beban. Padahal sebelumnya aku menikmatinya. Namun, kini, aku tidak bisa lagi mengembannya sepenuh hati. Apalagi jika mendapat giliran shift malam. Kaki seumpama terikat pada barbel seberat 200 kilogram, susah nian dilangkahkan. Sikap-sikap pekerja yang disukai para atasan: loyal, militan, berinisiatif, penuh ide-ide kreatif, tak lagi bersemayam dalam diriku. Aku menggeledah setiap sudut otak, mencari-cari apa gerangan yang tengah merasukinya. Usut punya usut, aku berhasil menemukannya, rupanya seekor hantu kecil. Ia bernama bosan.
Di dunia ini, Tuhan menciptakan semua hal berpasangan. Tua-muda, menulis-membaca, fiksi-ilmiah, jadian-putus, lulus UN-tak lulus UN—tapi demi citra lembaga dan sedikit kongkalikong, tenang saja, pasti lulus—koruptor-KPK, bersemangat-bosan. Dulu semangatku menyala-nyala bak obor olimpiade. Jangankan yang disuruh, yang tak disuruh pun aku kerjakan. Jangan heran bila waktu itu aku dinobatkan sebagai karyawan teladan—bonusnya sebilah handphone dan tabungan. Aku dielu-elukan banyak orang. Kini, semua berbalik 180 derajat. Tingkahku tak lagi terpuji. Jangankan yang tak diperintah, yang diperintahkan pun aku masih pikir-pikir melaksanakan. Hampir setiap hari absenku merah. Jika owner merengkingkan prestasi kami, karyawannya yang berjumlah tak kurang dari 500 jiwa, barangkali akulah yang bertahta di urutan paling ekor.
Wajar rasanya aku dihinggapi bosan. Jika dihitung-hitung, sudah berganti 12 kalender aku bekerja di perusahaan. Dari tamat SMA sampai sekarang usia kepala tiga. Dari dulunya bujang hingga sekarang punya anak seorang, empat tahun umurnya. Kalau aku presiden, aku sudah menjabat dua periode dan dilarang keras mencalonkan diri lagi. Dengan durasi kerja selama itu, aku cukup percaya diri mengatakan tidak ada lagi tantangan dalam pekerjaan.
Meski sudah mengabdi selama itu pangkatku di perusahaan tetap, seperti matahari yang senantiasa terbit dari timur dan terbenam di ufuk barat, tidak berubah. Tidak ada promosi, tidak pula degradasi. Jenjang karir tidak diciptakan untukku. Lebih merana lagi, statusku masih karyawan kontrak. Perkara gaji, tidak perlulah kubahas di sini, terlalu miris. Sama mirisnya dengan ketika menyaksikan berita kekerasan seksual yang lagi tren di republik ini. Berkutat dengan hal yang sama, berulang-ulang, saban hari, selama 12 tahun, diperparah dengan bayaran yang tak kunjung membaik, adakah di semesta ini yang masih meragukan kebosananku?
Rokok yang menyala sejak tadi menggodaku. Kuberikan hisapan terakhir sebelum tandas. Semakin dalam aku menghisap, semakin jauh aku berkontemplasi.
Sesungguhnya, hal yang membangkitkan kebosananku dalam bekerja tidak melulu soal karir yang stagnan ataupun gaji yang segitu-gitu saja. Perkara yang paling pokok adalah sistem yang selalu bermasalah dan tak kunjung mendapat solusi sehingga tak jarang menempatkanku dalam posisi dilematis. Kemudian, seiring dengan pendidikan terakhirku yang meningkat satu setrip, kini aku memiliki mentalitas baru dalam menjalani kehidupan, dan pekerjaan tentunya. Mentalitas itu membuatku punya cara pandang baru dalam menghargai diri sendiri, juga membuatku berani memelihara idealisme. Sayangnya, idealisme yang aku pupuk tidak sehaluan dengan pekerjaan.
Tak hanya sampai di situ. Kebosanan, hantu kecil itu, ternyata memiliki kemampuan beranak-pinak layaknya makhluk hidup. Anak-anaknya adalah sifat-sifat antagonis: pesimis, sinis, tak jarang anarkis. Semua sifat itulah yang kini menjajahku. Semua orang kuanggap tak becus bekerja. Senioritas yang congkak membuatku tak sudi menerima perintah—dari atasan sekalipun—dan merasa paling pintar padahal tak tahu apa-apa. Bila melakukan kesalahan, tak mau disalahkan. Bila mengobrol, topik utamaku adalah menjelek-jelekkan perusahaan dan menyindir atasan yang nyinyir. Begitu laten bahaya yang ditimbulkan oleh kebosanan.
Dalam struktur organisasi tempatku bekerja ada tiga tingkatan jabatan. Pertama, kepala, diemban oleh seorang lulusan fakultas farmasi, minimal strata 1. Tak peduli tabiatnya seperti anak ingusan, pengalaman baru seujung kelingking, belum bisa membedakan indikasi paracetamol dengan salbutamol, ketika menyapanya, tetap harus dengan Pak atau Bu melekat di depan namanya. Keceplosan, siap-siap diganjar penataran P4. Hal itu, katanya, tak lain merupakan etika untuk menghormati profesi mulia yang disandangnya. Kedua, asisten kepala. Namanya asisten, pekerjaannya tentu membantu sang kepala. Ketiga, kasta terendah, non-asisten julukannya. Mereka yang pendidikannya tidak bersangkut-paut dengan obat-obatan termasuk dalam kasta ini. Aku termasuk di sana. Maka pekerjaanku adalah mendorong-dorong troli, mengangkat berkardus-kardus infus, wara-wiri alias mondar-mandir, dan segala pekerjaan yang tidak membutuhkan pengetahuan tentang obat. Posisi non-asisten menjadi tambah tragis sebab seorang asisten, yang meskipun baru bekerja kemarin sore, memiliki kewenangan lebih ketimbang non-asisten yang sudah bekerja setengah abad sekalipun. Maka, di sini, jelas sekali pengalaman tidak memiliki kredit. Non-asisten, termasuk aku tentunya, tidak mendapat pengakuan.
Namun, bagaimana pun, aku tidak berhak kecewa. Pendidikanku memang tidak memadai untukku berurusan dengan resep dokter. Aku seharusnya berkecimpung di lembaga pendidikan bukan di rumah sakit. Aku ibarat pemain sepakbola yang masuk ke lapangan voli. Meskipun sepakanku sedahsyat halilintar, tetap aku dipandang sebelah mata, sebab permainan voli tidak menggunakan kaki untuk mengolah bola.
Kuingat-ingat, dari awal aku bekerja hingga sekarang, banyak yang keluar-masuk perusahaan, tak terhitung jumlahnya. Mereka yang sudah keluar, tak sedikit mendapat pekerjaan yang lebih bagus. Lebih bagus di sini merujuk pekerjaan yang memberimu gaji lebih besar. Lalu mengapa aku mau-maunya dikerjai dan bertahan di perusahaan hingga karatan? Tanpa kusadari, barangkali aku mengidap kombinasi penyakit orang gagal: bodoh, wawasan sempit, takut mengambil risiko.
Kusulut sebatang rokok lagi. Kuteguk kopi yang mulai hangat. Aku tersenyum senang. Bukan lantaran nikmatnya rokok berteman kopi, melainkan karena jawaban untuk pertanyaan tadi, alasan aku masih betah.
Satu-satunya penghiburan yang membuat aku tetap tabah bekerja adalah kawan-kawan yang budiman, berjiwa muda, unik, inspiratif, kocak, seru, gampang berkompromi, punya passion, dan yang paling mendebarkan, mereka para wanita, berparas cantik nan rupawan, lumayan untuk sekedar cuci mata. Berada dalam lingkaran pertemanan ini membuatku merasa pekerjaan sedikit berwarna. Dan lagi, tak ada di antara kami yang punya tabiat buruk bermuka dua, berperangai licik suka menjatuhkan, ataupun gemar mengadu domba seperti kompeni. Mungkin karena kami semua paham, perusahaan tak akan memberi lebih meski kami berperilaku demikian. Merendahkan martabat diri demi satu-dua pujian tak masuk dalam kamus kami. Lalu, seandainya aku resign, katakanlah aku diterima di perusahaan yang lebih bagus tadi, adakah jaminan aku akan mendapat tim yang sama baiknya dengan saat ini? Bagaimana jika nanti di sana aku malah tidak bahagia karena tertekan batinku setiap hari diperolok dan diperdaya? Lambat laun aku setuju dengan sebuah quote yang berbunyi: jika ingin seumur hidupmu bahagia, cintailah pekerjaanmu. Sentosalah mereka yang pekerjaannya sejalan dengan hobinya.
Aku selalu bercita-cita punya usaha sendiri. Aku sadar, tak mungkin selamanya menghambabudakkan diri pada orang lain. Kurasa bisnis kuliner serasi buatku. Rancangan sebuah tempat mengisi perut, dengan menu yang ringan-ringan saja, sekaligus menjadi tempat nongkrong anak muda dengan konsep berbau musik—agar sejalan dengan hobiku—itulah yang ada dalam angan-anganku selalu.
Ingin sekali aku seperti tetangga kosku, yang dagang nasi bungkus itu. Meski SD pun dia tak tamat, kutaksir pendapatannya jauh melebihi aku yang kerja selalu rapi memasukkan baju dan bersepatu pantofel berkilap. Tetanggaku berangkat jualan jam 6 sore dan baru pulang paling lambat jam 4 subuh. Baik nasibnya, tiap hari nasinya ludes. Dari sana ia bisa membayar kos, menghidupi anak-istri, memanjakan diri dengan memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Nah aku, memenuhi kebutuhan primer seorang diri saja masih kocar-kacir. Bila mau jujur, pekerjaanku hanya menang rapi.
Belum kelar aku menghayati bosannya menjadi karyawan, sore yang beku tiba-tiba pecah dan meriah. Ternyata terjadi keributan suami-istri, tetangga yang baru saja kuceritakan. Awalnya hanya cekcok mulut kemudian diikuti suara perabot dapur dibanting. Gawat, perang dunia III akan meletus! Lalu ada suara, mungkin tamparan. Ibu-beranak itu menangis. Sekonyong-konyong, seperti biasa, datang tetangga lain melerai. Si suami masih meledak-ledak memuntahkan caci-maki. Si istri ngotot tak mau kalah membela diri sambil sesenggukan.
Dari perang mulut kucerna, pertengkaran yang di dalamnya terjadi KDRT itu bermula dari suami yang menyuruh istrinya memandikan si anak yang tengah berdebu-ria. Mungkin nadanya kasar, istri tersinggung dan mengelak dengan berkata bahwa ia pun penat. Wajar saja, ia menyiapkan ratusan bungkus nasi, mulai dari memasak nasi dan lauk, sampai membungkus. Semua dilakukan seorang diri sebab si lelaki sejak datang dari berjualan ngorok hingga tengah hari. Perkara mengurus anak, jadilah mereka saling oper.
Aku tak tahu persis karena bukan orang ekonomi, tapi dari kericuhan itu aku menarik teori sederhana yaitu penghasilan yang besar berhubungan linear dengan kebutuhan tenaga dan waktu yang banyak. Bukan cuma aku, barangkali mereka pun sejak lama telah diterkam bosan. Sepanjang hari mengurusi dagangan tak ada waktu untuk yang lain. Ditambah kelelahan fisik saban hari, pikiran jadi tak keruan. Pantas saja ekspresi mereka selalu saja muram. Terkadang macam orang hendak menangis, terkadang macam ingin mengunyah manusia. Mereka tampak lebih tua dari usianya.
Kejadian itu tak pelak membuatku berpikir lagi. Setelah kutinjau ulang, dengan mengerahkan segala energi positif dalam diri, walaupun penghasilanku lebih sedikit, tiba-tiba aku merasa pekerjaanku lebih baik. Setidaknya aku bekerja hanya tujuh jam sehari, di ruangan ber-AC pula. Aku punya banyak waktu untuk keluarga karena tak ada pekerjaan yang kubawa pulang. Akhirnya untuk sementara, dengan perasaan lega—banyak yang mengatakan tampangku terlihat lebih muda dari umurku—kutunda niatku menjadi seperti tetanggaku. Aku meloncat mandi. Besok akan kuurus cuti, menghamburkannya dengan refreshing, menghalau si hantu bosan itu, mumpung ia masih kecil saja.***