Minggu, 15 November 2015

Malam Pertanda (cerpen)

Malam menjelang tahun baru selalu terasa lebih dingin dibandingkan dengan malam-malam yang lain. Seperti malam ini, dua hari menjelang pergantian tahun, sengatan dingin bagaikan jarum runcing yang menghujam tubuh hingga ke tulang. Angin menghembuskan aroma basah dan lembab. Langit gulita sebab bulan bersekutu dengan gemintang, menyembunyikan diri di balik awan mendung yang setia merintikkan gerimis sejak pagi. Sesekali terdengar gemuruh, menggema seperti dengkur raksasa dalam goa. Selebihnya sunyi, katak pun tak berbunyi. Dunia seakan-akan bungkam, merahasiakan suatu bencana yang kelam.
    Malam itu Rasmin sendirian di rumahnya yang hanya diterangi cahaya lilin. Dua hari sebelumnya petir menghancurkan pembangkit tenaga listrik. Rumah Rasmin terkena pemadaman bergilir. Rasmin menarik selimut sampai ke leher, berusaha menghalau dingin yang meradang. Matanya terpejam dalam kamarnya yang temaram, akan tetapi entah kenapa pikirannya gelisah. Berkali-kali ibu tua itu menggosokkan minyak penghangat pada kakinya yang keriput, mengendus-endus aromanya, yang ia anggap mampu menenteramkan hati. Namun gagal. Gelisah tak kunjung hilang, lelap tak juga datang. Ada apa gerangan, batinnya.
    “Tok, tok, tok.” tiba-tiba terdengar suara ketukan di sela-sela suara rintik hujan, pelan dan ragu. Rasmin terkesiap dan membuka mata. Masih berbaring, ia menajamkan pendengaran, meyakinkan diri bahwa benar ada yang mengetuk pintu rumahnya. Kepalanya diam, hanya bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan.
    “Tok, tok, tok.” suara itu muncul lagi, terdengar sama, pelan dan ragu. Rasmin langsung terduduk, kali ini ia yakin seseorang mengetuk pintu rumahnya. Tapi siapa yang datang pada malam gerimis, gelap, dingin, dan sepi seperti ini? Tak mungkin Mang De. Ia kerja shift malam dan baru akan pulang besok pagi. Setelah mengikat rambutnya yang penuh uban, ia keluar kamar.
    “Siapa?”
    Hening, tak ada yang menyahut.
    “Siapa di luar?” Rasmin mengulang bertanya. Seakan bertanya pada malam,  tak ada balasan. Kemudian ia mengintip dari celah pintu. Keningnya berkerut. Jantungnya berdebar. Ketakutan menjalar di pikirannya. Dalam keremangan ia melihat bayangan sesosok wanita dengan kepala tertunduk berdiri di sana. Rasmin merasa mengenalnya. Pintu dibuka.
    “Ketut?” Rasmin memandang tak percaya pada wanita yang sekarang ada di depannya. Wanita yang tak lain adalah anaknya. “Ketut, kamukah itu? Mengapa datang malam-malam seperti ini? Kau sendirian? Ayo masuk, Nak.” Rasmin menarik lengan wanita itu dan mengundangnya masuk. Keadaannya sangat berantakan. Wanita itu berjalan tertatih-tatih. Rasmin menuntunnya hingga ke ruang makan. Begitu ringan seolah-olah menuntun angin. Mereka berdua kemudian duduk di kursi kayu dibatasi sebuah meja yang juga terbuat dari kayu dengan penerangan lilin di atasnya.
    “Tut, ibu terkejut kamu datang. Kamu dari mana? Kenapa datang tanpa berkabar sebelumnya? Badanmu basah kuyup, kau kehujanan? Kau celaka?” Ketut tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan ibunya. Ia hanya menunduk. Rambutnya penuh pasir, acak-acakkan, dan lepek karena basah. Pakaian kerjanya juga basah. Wajahnya memancarkan suatu keanehan ketika diterpa cahaya lilin. Raut wajah yang menyiratkan sakit, takut, dan sedih. Begitu pucat. Seolah-olah ingin menangis. Badannya menyemburkan aroma asin dan amis. Keadaannya terlihat seakan-akan ia baru saja tercebur ke laut. Tangannya mendekap dada tanda teramat dingin yang dirasakan. Rasmin memperhatikan anaknya dengan bingung. Rasmin mengira Ketut pasti mengalami kecelakaan, akan tetapi tidak ada segores pun luka di tubuhnya. Sungguh misterius.
    “Nak, ada apa denganmu? Tidak seperti biasanya kamu datang tanpa memberi kabar. Dimana suamimu? Apakah kamu ada masalah di tempat kerja? Katakanlah.” Rasmin merasa bingung, heran, sekaligus khawatir melihat keadaan Ketut yang berantakan.
    “Dingin… Dingin, Bu. Dingin sekali....” Ketut akhirnya bicara. Setengah berbisik. Ia menunduk, tangannya bergetar mendekap dada. Suaranya begitu pelan, lemah, dan menggigil.
    “Oh ya Nak, pakaianmu basah, gantilah dulu di kamar. Ibu akan membuatkanmu teh hangat.” Ketut tidak menghiraukan perkataan ibunya. Ia diam membisu. Menunduk dengan tatapan lemah seakan tanpa nafas.
    Rasmin bergegas ke dapur, menjerang air, kemudian menyeduh segelas besar teh hangat. Dalam hatinya berkecamuk banyak pertanyaan. Rasa penasaran menyundul-nyundul hatinya. Ketut tidak mungkin mengambil cuti dan pulang ke Bali menjelang tahun baru karena jadwal kerjanya pasti padat. Kalau pun memang libur, tidak mungkin ia datang pada malam seperti ini, sendirian pula.
    “Minumlah teh ini selagi hangat.” Rasmin menyodorkan teh yang baru ia buat untuk Ketut. Ia melihat Ketut tidak mengganti pakaian. Dengan bimbang ia pergi ke kamar untuk mengambil selimut. Kemudian ia menyelimuti tubuh anaknya. “Tut, kau tidak apa-apa kan? Mengapa kau diam saja, katakanlah sesuatu.” Rasmin menatap wajah Ketut penuh selidik. Ketut tidak menjawab. Rasmin menghela nafas. Ia berdoa semoga anaknya baik-baik saja. “Kalau begitu minum tehmu.” Setelah itu sepi dan diam. Hanya api lilin yang bergoyang-goyang digoda angin yang menyelinap ke dalam rumah. Menari-nari dalam sunyi. Rasmin tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi sementara Ketut diam seribu bahasa. Ia pun diam dan menunggu.
    Ketut adalah anak keempat Rasmin dan ia anak perempuan satu-satunya. Jiwa merantau mengalir dalam darahnya. Setelah tamat SMA, ia pergi ke Jogja untuk melanjutkan kuliah. Setelah lulus kuliah, ia bekerja di Surabaya. Profesi yang ia geluti membuatnya selalu berurusan dengan pilot. Hingga akhirnya ia pun bersuamikan seorang pilot. Meski tinggal di Surabaya, Ketut sering pulang ke Bali, ke tanah leluhurnya, bersama suami dan kedua anaknya. Namun kali ini sangat berbeda. Ketut datang tiba-tiba, seorang diri, pada malam dingin dan bergerimis, dalam keadaan berantakan.
    Waktu terus berjalan, rasa kantuk mulai menghinggapi Rasmin. Menggantung di kelopak mata sehingga terasa berat. Rasmin menyerah, ia mengajak Ketut beristirahat. “Ketut, mungkin kau lelah. Tak mengapa jika kau tidak mau bicara. Ibu juga sudah mengantuk. Sekarang tidurlah dulu. Besok kau harus menceritakan pada ibumu ini apa yang sesungguhnya terjadi. Ayo nak, tidurlah bersama ibu.” Ketut tetap membisu, tidak berkata-kata, mematung tidak bergerak. Wajahnya begitu sendu. Ada tangis yang tertahan, ada cerita yang terpendam, dan misteri yang tersembunyi.
    Rasmin yang tua, Rasmin yang keriput, Rasmin yang khawatir, Rasmin yang penasaran, Rasmin yang malang, ia tertidur di kursi kayu menunggui anaknya. Malam semakin larut dan gelap pekat, lilin meleleh semakin pendek, gerimis belum juga berhenti. Awan-awan mendung bertabrakan mengeluarkan suara gemerudug yang menggema di langit, memainkan tabuh kematian.
    “Krriiiiingg…. Krrriiiinng….!” telepon rumah Rasmin berdering. Lama tak henti-henti. Rasmin terkesiap membuka mata. Jam dinding menunjukkan pukul 7 pagi.
    “Ketut? Ketut mana?” Rasmin bertanya dalam hati. Ia menebarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ketut tidak ada. Hanya ada selimut basah di tempat Ketut duduk semalam dan lilin yang sudah padam tak berbentuk serta segelas besar teh yang sudah dingin di atas meja. Masih penuh, tak berkurang sedikit pun.
    “Krriiiingg… Krriiingg…!” bunyi telepon melengking memanggil-manggil. Rasmin segera mengangkatnya.
    “Halo?” sapa Rasmin dengan suara serak.
    “Bu! Ketut, Bu!” seorang lelaki berteriak dan menangis histeris di telepon seberang.
    “Ini Mang De? Ada apa dengan Ketut, Mang? Kenapa kamu menangis?” Rasmin bertanya dengan gusar. Perasaannya langsung tidak enak. Jantungnya berdegup kencang. Matanya kesana-kemari mencari Ketut. Ia ada di sini tadi malam.
    “Pesawatnya Ketut jatuh ke laut, Bu. Ketut mati, semuanya mati” Mang De menangis meraung-raung.
    Rasmin tidak percaya akan tetapi air mata mulai mengalir dari kedua matanya. “Tidak mungkin, Mang. Tidak mungkin Ketut mati. Dia di sini tadi malam bersama ibu.”
    “Ketut mati, Bu.” Suara tangis Mang De sangat memilukan. Suara tangis kehilangan. Rasmin tidak bertanya lagi. Badannya bergetar. Nafasnya pendek-pendek, dadanya kembang kempis. Tangisnya pun meledak dan air matanya tumpah. Ia jatuh terduduk. Terkulai lemas. Gagang telepon terlepas dari genggamannya.
    “Ketuuut... Tidak mungkin… Tidak mungkin…” Rasmin menangis tersedu sedan meratapi kepergian anaknya yang tiba-tiba, antara sedih dan tak percaya. Lalu siapa yang datang tadi malam? Benar-benar kenyataan yang mengenaskan.
    Seandainya listrik tidak mati tadi malam, Rasmin bisa tahu lebih awal berita buruk itu dari televisi. Sebuah pesawat jatuh di perairan Karimata tadi malam. Cuaca yang buruk diduga sebagai penyebabnya. Semua penumpang dan awak pesawat dinyatakan hilang. Kemungkinan tidak ada yang selamat. Ketut adalah seorang pramugari dan ia ada di dalam pesawat naas itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar