Minggu, 01 November 2015

Lubang Matahari (cerpen)

Seperti malam minggu-malam minggu sebelumnya, malam minggu kali ini pun aku lewati dengan nongkrong di gang sekitar tempat tinggalku, di lingkungan kumuh atau lingkungan menengah ke bawah lebih sopannya, di wilayah kota Denpasar. Semua remaja pengangguran yang memang kurang kerjaan kumpul di gang dengan cahaya remang-remang ini, ada yang sekedar ngobrol di atas sepeda motor, ada yang menggandeng pacar, ada yang duduk berkumpul mengitari sebotol alkohol sambil menghisap berbatang-batang rokok menunggu gelas giliran. Karena kebanyakan menganggur dan tak berpenghasilan, alkoholnya pun golongan murahan, tuak atau arak. Jika ada yang berduit lebih, bisa ditemani coca cola dan kacang kulit.
Aku sendiri duduk di antara mereka yang menenggak arak. Sloki demi sloki arak singgah juga di tenggorokanku. Gitar tua tak bermerek di pangkuanku. Kupetik dan kumainkan lagu-lagu yang sedang hits. Orang-orang yang berkumpul pun mendadak menjadi anggota paduan suara. Riuh rendah mengikuti chord-chord gitar yang berpindah-pindah. Sungguh malam minggu adalah malam yang panjang. Jika sudah seperti ini, aku enggan untuk pulang.
Namun begitu, semakin larut personil kami semakin berkurang. Ada yang mencari tempat lain agar bisa berduaan dengan pacar, ada yang pulang lantaran  sudah teler kelebihan alkohol, ada juga yang lanjut ke tempat hiburan malam dengan suguhan lagu-lagu dan minuman yang lebih halus, yang tentu saja mahal. Pilihan yang aku sebut terakhir terjadi jika ada bos yang menggandeng kami, karena seperti kataku tadi, kami adalah remaja pengangguran tak bermodal.
Malam ini kebetulan temanku mengajakku dan beberapa yang lain menemui seseorang yang baru dikenalnya, katanya adalah bos. Lewat pesan singkat, si bos ingin bertemu di alun-alun. Kami berangkat. Bintang dan angin malam menemani kami melenggak-lenggok melaju di atas sepeda motor tanpa helm. Tak ada peraturan yang tak kami langgar. Jiwa muda pemberontak dan alkohol membuat rasa takut kami menguap. Jika biasanya kami dipandang sebelah mata karena status sosial dan pendidikan kami yang rendah, maka malam ini kami adalah raja. Kota Denpasar serasa milik sendiri.
Lokasi alun-alun tak jauh dari tempat tinggal kami. Beberapa menit saja kami sudah sampai. Suasana sudah agak sepi karena memang sudah larut. Si bos belum sampai. Sambil menunggu, kami mencari-cari sesuatu untuk dikunyah dan ditelan agar asam lambung kami ada kerjaan. Tukang jagung lewat kami gasak, tukang kacang muncul kami gertak. Tak tanggung-tanggung rokok pun kami palak. Himpitan ekonomi membuat kami sedikit nekat.
Setengah jam kemudian sebuah mobil putih mungil berhenti di dekat kami. Dari dalamnya keluar seorang laki-laki yang langsung menuju ke arah kami. Laki-laki itu tampaknya masih lajang, wajahnya cukup tampan, badannya lumayan berisi, memakai celana pendek dan tindik di satu telinga.
“Hai Dik!” laki-laki itu menyapa Dodik, temanku yang mengenalnya. Dodik tersenyum dan mengerjitkan alis dengan santai. Ternyata laki-laki itu adalah bos yang dimaksud.
“Bagi rokok dong!” pinta Dodik tanpa basa-basi. Sebungkus rokok berasa mint disodorkan kepada Dodik, lalu oleh Dodik dibagi-bagikan ke kami. “Mau kemana sekarang?”
“Nggak kemana-mana, ke tempatku aja sebentar.”
“Boleh ajak teman?” tanya Dodik lagi. Si bos menyebar pandangannya ke kami seakan menilai.
“Nggak usah, kamu aja.” kata si bos.
Dodik meminta kami untuk menunggu di alun-alun. Ia sendiri ikut bersama si bos masuk ke mobil dan kemudian pergi membelah jalanan yang sepi. Entah kenapa aku merasa aneh melihat si bos tadi. Aku curiga dan berpikir. Wajahnya memang tampan, bodinya memang bagus, tapi aku merasa ia kurang laki!
Sejam kemudian Dodik datang diantar si bos tadi. Si bos tidak turun dan langsung ngacir. Sambil nyengir, Dodik menggaruk pantat dan berjalan ke arah kami. Muka dan badannya basah oleh keringat seperti habis olahraga berat.
“ACnya mati, jadinya panas tadi di mobil.” Dodik menjawab pertanyaan yang belum sempat kami lontarkan. Gaya bicaranya seakan dia mengerti tentang mobil.
“Memangnya tadi kalian kemana?” tanyaku.
“Nggak kemana-mana. Cuma nyari minuman dingin sambil ngobrol. Bos yang satu ini nggak punya teman karena terlalu asik kerja. Ia lupa bersosialisasi. Ia butuh teman ngobrol. Ya lumayanlah, cuma jadi pendengar yang baik bisa dapat ini.” Dodik mengeluarkan dua lembar seratus ribuan dari kantongnya. “Ayo ke pasar! Aku traktir kalian soto plus telur ayam kampung.” sambungnya.
“Mantap!” seru kami serentak. Setelah perut kenyang, kami pulang.
Acara pembukaan malam minggu berikutnya sama dengan sebelumnya. Tapi kali ini, setelah agak larut malam, aku dan beberapa yang lainnya tidak ke alun-alun. Dalam keadaan seperempat mabuk kami ke sebuah bar di Kuta, melihat pertunjukkan musik indie, mumpung gratis karena kami kenal dengan seorang sekuritinya.
“Kalian pergi saja aku nggak ikut, aku mau ketemu bos.” Dodik beringsut memisahkan diri. Kali ini dia pergi mengajak Eka. Kami pun berangkat tanpa Dodik dan Eka. Namun belum jauh melaju, aku dengar mereka bercakap-cakap.
“Benar nggak apa-apa?” Eka bertanya penuh keraguan. Dari mimik wajahnya terlihat dia tidak yakin dengan apa yang akan dilakukannya.
“Santai saja. Nggak apa-apa kok. Yang penting jangan sampai dia menembak lubang mataharimu. Lama-lama kamu pasti lebih lihai dari aku.” jawab Dodik meyakinkan Eka.
Aku penasaran dengan percakapan mereka. Lubang matahari? Apa sih yang mereka bicarakan? Tapi apa peduliku. Aku yakin mereka akan menyesal melewatkan kesempatan nonton musik gratis ini. Band-band indie adalah idola kami. Bisa menyaksikan penampilan mereka rasanya sama seperti striker mencetak gol penentu kemenangan di pertandingan final, atau pegawai yang menerima gaji tanggal satu, atau menang togel tembus 4 angka, ada kesenangan yang meluap-luap.
Malam minggu-malam minggu berikutnya Dodik malah tidak pernah berkumpul bersama kami. Ia jarang kelihatan. Ia tidak ada di rumah. Ia tidak ada di lapangan saat kami berkelahi lantaran salah seorang pemain musuh menendang kaki pemain kami saat bermain sepak bola. Ia juga tidak ada saat kami mencarinya di arena sabung ayam di gang sebelah. Biasanya ia ada di sana, diupah untuk mencabuti bulu-bulu ayam aduan yang kalah, yang mati di ujung taji. Dari jerih payahnya itu ia mendapat sepotong paha ayam, dan sedikit uang untuk membeli rokok dan pulsa.
Apa dia sekarang terlalu sibuk dengan bosnya? Atau dia sedang mengerjakan proyek rahasia? Atau dia diciduk polisi lantaran tertangkap basah bermain judi kartu? Kami mulai menduga-duga karena tidak ada berita yang pasti. Di tengah rasa penasaran yang mengusik, aku teringat Eka. Mengapa kami tidak bertanya padanya?
Eka sedang tidur di kamarnya yang kecil dan pengap saat kami datang pada suatu malam. “Tahu Dodik dimana, Ka?” tanyaku. Matanya belum terbuka benar. Ia hanya mengangkat kepala, menggelengkannya, lalu menjatuhkannya lagi di bantalnya yang kusam.
“Masa nggak tahu? Belakangan ini kalian kan sering bersama? Kamu pasti bohong.” Semua mencecarnya dengan pertanyaan. Merasa terganggu akhirnya dia bangun dan menegakkan tubuhnya.
“Oke-oke. Aku tahu Dodik dimana. Aku sebenarnya dilarang bilang ke siapa-siapa. Dia malu.” Eka menguap, kami mendekat. “Dia di rumah sakit, entahlah apa nama penyakitnya. Yang jelas dia sampai nggak bisa jalan.”
Berdasarkan informasi dari Eka, keesokan harinya kami menuju rumah sakit pemerintah tempat Dodik menginap. Tidak sulit menemukan kamarnya, sebuah ruangan sempit berbau karbol dan formalin yang diisi delapan pasien. Dodik tampak terkejut melihat kami datang. Ia membaikkan posisi tidurnya sebelum bertanya, “Eh, darimana kalian tahu aku di sini?”
“Ya tahulah. Teman sendiri sakit masa nggak tahu. Lalu kamu kok nggak cerita kalau sakit? Sakit apa sih sebenarnya sampai dirahasiakan segala?” aku melakukan investigasi.
“Aku nggak apa-apa kok. Cuma sakit sepele. Makanya aku malas bilang ke kalian. Ntar lagi juga sembuh.” Dari gelagatnya aku tahu Dodik berbohong. Dia masih menyembunyikan sesuatu.
“Sudahlah nggak usah ditutup-tutupi, kita ini teman. Walaupun kamu nggak mau bilang, aku bisa bertanya ke perawat.” aku mendesak.
Dodik terdiam. Mungkin dia berpikir, menimbang-nimbang, apakah akan bercerita atau tidak.
“Baiklah akan kuceritakan kepada kalian. Tapi jangan bilang-bilang.” Dengan suara pelan Dodik memulai ceritanya. “Duburku infeksi.” Kami diam menyimak. “Selama ini aku bergaul dengan gay. Ivan, bosku, adalah seorang homoseksual.” Sekarang kami yang kaget! “Aku pertama mengenalnya di minimarket. Setelah itu dia sering menghubungiku, terang-terangan dia bilang dirinya gay dan tertarik padaku. Tentu saja aku jijik karena aku laki-laki normal. Tapi nggak bisa kupungkiri aku tertarik dengan isi kantongnya yang tebal. Apa yang aku minta pasti diberi. Aku berencana menguras dompetnya lebih dalam. Tapi dia juga ingin aku melakukan sesuatu untuknya. Dia ingin melakukan hubungan seksual denganku!” Kami menahan nafas. “Awalnya dengan licik aku bisa menghindar. Aku ulur-ulur waktu, aku ajak dia ngobrol ngalor ngidul, aku biarkan dia puas hanya dengan meraba-raba tubuhku, setelah uangnya kukantongi, aku minta pulang, kabur. Begitu seterusnya hingga akhirnya dia sadar. Lalu dengan iming-iming uang yang lebih banyak dia memaksaku. Aku tergoda dan berpikir tak apalah jika aku berikan sekali. Maka kubiarkan dia menembak lubang matahariku!”
Kami menghembuskan nafas. Kami tercengang dengan cerita Dodik. Lalu dia melanjutkan, “Ternyata tak hanya sekali. Hari-hari berikutnya dia ketagihan melakukannya, lagi dan lagi. Aku tak kuasa menolaknya, mataku berbinar-binar melihat uang yang dijejalkan di sakuku. Dengan rela aku melayani nafsu liarnya yang besar dan menyala-nyala kencang. Dengan pasrah aku dijadikan alat pelampiasan kenikmatan sesaat.”
Akhirnya aku mengerti setelah Dodik menceritakan semuanya. Kini dia hanya bisa berbaring. Duburnya luka dan bengkak, terasa amat perih dan panas setiap dia mencoba berjalan. Terlebih buang air besar, sungguh sakit dan menyiksa. Butuh beberapa antibiotik lagi agar dia bisa sembuh.

Sejak mengalami infeksi, Ivan tak pernah menghubungi Dodik lagi. Dodik ibarat sepah yang dibuang setelah habis manisnya. Namun Dodik juga tak sudi melakukan hal itu lagi. Dia menyesal dan ingin hidup normal. Dia bertekad keluar dari pergaulan yang buruk selama ini. Kami pun memutuskan untuk mencari pekerjaan yang layak dan halal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar