Minggu, 22 November 2015

Perjalanan ke Pura Luhur Lempuyang (cerpen)



            Denpasar, pukul 17.45 Wita.
Seperti biasa, Mang Ayu datang terlambat. Aku, Menung, Ulum, dan adiknya-Herlin-mulai gelisah menunggu. Sudah 45 menit lewat dari waktu yang disepakati. Gerimis mulai meramaikan Denpasar di sore hari. Sudah dua bulan kami merencanakan perjalanan ini, aku sudah saking semangatnya hingga tak betah lagi menunggu.
Sesaat kemudian muncul sebuah kendaraan di depan kami. Seiring suara klakson, kulihat samar-samar tiga orang di dalamnya. Mereka adalah Mang Ayu, Gus De, dan Mia. Setelah melontarkan sedikit umpatan, kami berebut masuk ke mobil. Dan, seperti biasa lagi, Mang Ayu hanya terkekeh tanpa rasa bersalah.
Tujuan kami jelas: Pura Lempuyang. Mobil mulai merambat menyusuri kota Denpasar yang mulai gelap. Di mobil ini akan ada delapan orang. Di depan ada Mang Ayu, teman sekerjaku, dan Gus De, pacar Mang Ayu sekaligus sopir pada perjalanan ini. Di bagian tengah ada Mia, Ulum, dan Herlin. Sama seperti Mang Ayu, Ulum adalah teman sekerjaku. Herlin adalah adik Ulum dan baru saja menamatkan sekolah menengahnya. Sedangkan Mia adalah tetangga Mang Ayu.
Aku sendiri duduk di bagian belakang bersama Menung. Dulu dia teman sekerjaku, namun sekarang mencoba mencari penghasilan di tempat lain. Belakangan aku tahu ternyata Menung dan Mia satu tempat kerja. Pun Mang Ayu, Ulum, Mia, dan Menung dulunya satu sekolah. Itulah yang membuat kami langsung akrab meski baru sekali berkumpul bersama.
Di utara Pura Jagatnatha, kami berhenti untuk menjemput orang ke delapan. Dia adalah atasanku, yang tentu juga atasannya Ulum, dan Mang ayu. Kami memanggilnya Pak Gede. Seorang bujang yang betah melajang hingga umurnya 34 tahun. Badannya kekar dan perutnya besar. Hobinya adalah makan dan jalan-jalan. Tanyakan padanya tentang kuliner dan obyek wisata, tiga hari tiga malam dia akan meladenimu. Setelah genap semuanya, kembali mobil dipacu menuju Pura Lempuyang.
Kaki Gunung Lempuyang, pukul 20.45 Wita.
Setelah hampir tiga jam perjalanan kami pun sampai di kaki Gunung Lempuyang. Hujan gerimis ternyata mengikuti sampai di sini. Rasa dingin serta merta menjilati tubuhku yang kurus. Seorang bapak berusia 30 tahunan berlari ke arah kami. Alih-alih pecalang ternyata bapak itu adalah tukang suun yang menawarkan jasa membawakan barang atau banten  sampai ke puncak. Berhubung bawaan kami sedikit, kami pun menolaknya. Bapak itu beringsut pergi begitu saja. Langkahnya canggung dan raut mukanya ganjil. Aku merasa agak takut.
Mobil hanya boleh sampai di sini, maka untuk selanjutnya kami harus meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Pura pertama adalah Pura Penataran. Gerimis masih setia menemani membuat Pak Gede mengeluarkan payungnya saat kami menapaki satu persatu anak tangga menuju pura di kaki Gunung Lempuyang ini. Seusai berdoa, gerimis berubah menjadi hujan deras. Sesuatu yang tidak kami bayangkan. Konflik mulai terjadi di antara kami. Mang Ayu yang merasa tidak nyaman pada perutnya ingin agar perjalanan dilanjutkan keesokan harinya. Malam ini makemit  di wantilan saja. Sedangkan aku dan Pak Gede ingin perjalanan ini dilanjutkan. Karena jika dilakukan besok maka rahinan sudah lewat. Selain itu tidak ada yang bisa menjamin bahwa esok tidak akan hujan.
Akhirnya Mang Ayu mengalah. Diambil jalan tengah. Untuk menuju pura berikutnya, Pura Telaga Mas, yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari Pura Penataran, dia dan Gusde akan menumpang ojek.
Aku dan lima orang lainnya berjalan lambat-lambat membelah jalan menanjak beraspal yang gelap. Gerimis turun silih berganti membasahi tubuh. Angin dingin menampar-nampar wajahku hingga ke tulang-tulangku. Tanganku gemetar menahan senter yang kuarahkan menerobos kabut yang pelan-pelan menguasai jalan, menghalau pandangan.
Mia berkali-kali kehilangan sandal licinnya. Dia tidak menyangka akan menempuh perjalanan seperti ini sebab ini adalah kali pertamanya dia ke Lempuyang.
Di tengah suara angin yang bersiut-siut aku mendengar ringisan. Ringisan dari seorang gadis yang ternyata adalah Herlin. Gadis itu membekap tangannya di dada dan langkahnya berat. Berkali-kali aku melihatnya hampir roboh. Kepada kakaknya dia mengeluh tidak mau lanjut. Dia ingin pulang.
Ulum serta merta emosi. Dia sudah mewanti-wanti adiknya untuk tidak ikut karena perjalanan ini tidak akan mudah. Namun Herlin tetap memaksa ikut. Karena itulah Ulum tidak mau menaruh kasihan pada adiknya. Untuk mencairkan suasana, aku, Menung, dan Pak Gede kompak menyemangati Herlin agar bertahan.
Empat puluh menit kemudian kami tiba di Pura Telaga Mas. Terdengar gemericik air karena di sebelahnya adalah beji. Di sebuah warung yang kosong ditinggal pemiliknya kulihat Mang Ayu dan Gus De sudah menunggu. Seusai sembahyang di Pura Telaga Mas kami tidak langsung meneruskan perjalanan. Di sebuah balai tak jauh dari situ kami membongkar perbekalan. Makanan yang kami bawa sebenarnya biasa saja: ketupat, ayam goreng, telur, sate, tempe goreng manis, dan serundeng. Tapi semua terasa nikmat saat dimakan bersama. Perut kenyang, perjalanan kami lanjutkan. Obor dinyalakan karena jalan akan lebih gelap dan dua senter tidak akan cukup.
Gerimis sudah tak terasa lagi namun kabut semakin pekat. Suara angin dan suara binatang malam menemani langkah kami. Sekali-kali aku melihat titik-titik cahaya di antara pepohonan, redup-terang mengintai. Rupanya itu kunang-kunang.
Sebenarnya kami boleh saja memilih jalur aman dan cepat untuk sampai ke puncak. Tapi jika itu dipilih maka kami akan melewatkan tiga pura. Kami tidak ingin kehilangan satu bagian pun, karena itu kami memilih jalur ke kanan di sebuah persimpangan. Jalur ini akan membawa kami ke Pura Telaga Sawangan, Pura Lempuyang Madya, dan Pura Pucak Bisbis. Jalannya sangat tidak bersahabat. Tidak ada anak tangga untuk dipijak. Yang ada adalah jalan setapak yang becek, licin, dan gelap penuh lumpur. Di kiri-kanannya, pohon-pohon berkerosok liar dan mendirikan bulu sekujur tubuh, membayangkan seakan-akan sesuatu akan melompat keluar dan mencabikmu tanpa mampu melawan. Mahkluk itu ada di sekitar kami, mendesis-desis memamerkan taring tajamnya karena terganggu istirahatnya. Mereka adalah primata penghuni Gunung Lempuyang: kera abu-abu.
Lepas dari kepungan kera abu-abu, jangan senang dulu Kawan! Di antara guguran daun yang mulai membusuk terdapat kehidupan. Makhluk kecil, sebiji beras, kenyal, dan menjijikkan, siap menghisap darah di sela-sela jari kakimu, di betismu, bahkan di lehermu! Jangan berdiri terlalu lama di satu tempat atau memegang pohon sembarangan, karena ratusan pacet akan dengan senang hati menempelkan diri, meraba-raba mencari pembuluh darah untuk kemudian disedot hingga tubuhnya kembung sebiji rambutan. Dan sialnya itu menimpa diriku. Dua kali pacet-pacet kenyal itu hinggap di punggung kakiku, memaksaku mendonorkan darah. Aaiiiihhhh!!! Ini bukan soal kehilangan darah. Sejak dulu, entah kenapa, aku sangat takut atau lebih tepatnya jijik dengan hewan-hewan melata yang kecil, merayap, kenyal, dan gelap. Hal serupa dialami Mia dan Gus De. Seekor pacet masing-masing menempel di tangan mereka. Kontan Mia berteriak sembari mengibas-ngibaskan tangannya membabi buta dengan harapan pacet itu terlempar dari tangannya. Namun sia-sia. Laksana Spiderman, pacet itu erat melekat tak bergeming. Mia baru berhenti berteriak setelah Gus De dengan tenang melepas pacet tersebut dengan kayu.
Di tengah kegelisahan kami akan pacet dan kera abu-abu, terjadi hal menggelikan. Ulum yang sejak tadi tampak serius tiba-tiba terpeleset jatuh mencium tanah. Meledaklah tawa di antara kami. Begitu pula Mang Ayu. Ia terjungkal ketika kakinya tidak menemukan pijakan yang pas. Tangannya penuh lumpur. Kainnya tercabik. Kotak yang berisi bekal makanan yang ditenteng Mang Ayu, terlempar. Tumpah ruahlah seluruh isinya. Sendok-sendok berhamburan, dan sepotong besar daging ayam menggelinding entah kemana. Alih-alih menolongnya kami kembali tertawa terbahak-bahak. Mang Ayu hanya bisa tersenyum kecut sembari memunguti benda-benda yang berhamburan.
Akhirnya kami sampai di jalan yang landai yang bermuara di tangga utama. Ini berarti puncak sudah semakin dekat. Mengetahui hal itu, aku makin semangat. Benar saja, beberapa menit berjalan kami sampai di Pura Pasar Agung, pura terakhir sebelum Pura Luhur Lempuyang. Pura dengan nama yang sama juga aku temui di Pura Andakasa dekat Padang Bai sana.
Pura ini dikelilingi warung-warung kosong. Kuat dugaanku warung-warung ini hanya buka saat odalan. Tempat sembahyangnya tidak begitu luas, hanya sepetak tanah yang paling menampung 10-15 orang, mungkin 25 orang kalau dipepet-pepetkan.
Setelah selesai di Pura Pasar Agung, perjalanan dilanjutkan ke pemberhentian terakhir: Pura Luhur Lempuyang. Tak terasa sudah pukul dua pagi. Mataku mulai lelah. Punggungku nyeri dibebani tas yang lumayan berat. Kepalaku pening karena disiram gerimis dari tadi. Langkahku gontai. Aku terhuyung-huyung. Berkali-kali aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Uap tebal menyembur dari mulut dan hidungku layaknya orang merokok.
Mendekati puncak suasana menjadi gaduh. Suara angin bersiut-siut keras menerabas pohon-pohon besar yang tidak aku ketahui namanya. Ranting-rantingnya bergoyang cepat, bergesekan menimbulkan suara gemerosok. Kabut-kabut muncul-tenggelam dihempas angin. Aku menengadah menatap langit. Tidak tampak bintang-bintang. Bulan yang seharusnya bersinar penuh pun enggan muncul. Aku bergidik menahan dingin. Lalu dari balik lebatnya pepohonan aku melihat sinar mencurigakan. Seberkas sinar kuning dari lampu di ketinggian. Aku tak ingin salah lihat. Aku harap ini nyata. Maka aku percepat langkahku menyalip Gus De, Mang Ayu, Ulum, Herlin, Mia, dan Pak Gede yang ada di depanku. Senyumku mengembang menjadi tawa. Aku angkat kedua tanganku tinggi-tinggi laksana peserta balap lari mencapai garis finish. “ Kita sampai!!!!!!!”
Tuntas sudah perjalanan ini. Herlin tampak terharu mendapati dirinya mampu mencapai puncak. Kami puas dan lega meski badan kami remuk redam akibat kelelahan.
Di puncak ini ternyata kami tidak sendiri. Puluhan orang yang tiba lebih dahulu dari kami terlihat menyesaki sebuah bangunan teduh di jaba pura. Beberapa di antaranya tampak masih ngobrol, beberapa yang lain tampak sudah tidur. Untuk menangkal dingin, mereka yang tidur membungkus tubuh mereka dengan kain dari ujung kaki hingga ujung rambut. Persis mayat selesai dimandikan.
Gerimis mulai turun lagi, aku bergegas menyusul yang lain mendaki tangga menuju jeroan Pura Luhur Lempuyang. Beberapa orang yang juga tiba lebih dulu terlihat bersila menghadapi pelinggih suci maha agung ini. Pak Gede, Mia, dan Mang Ayu langsung mempersiapkan banten untuk dipersembahkan ke hadapan Sang Hyang Widhi Sang Pencipta Alam nan mulia.
Akhirnya kami berdelapan mengambil tempat menekuri canang dan dupa masing-masing. Kami memusatkan pikiran meresapi keagungan Tuhan. Kepala kami tertunduk menyadari betapa kecilnya kami di hadapan Beliau.
Lelah, gerimis, hawa dingin, pacet, semua terlepas dari pikiran kami. Yang tersisa hanyalah keinginan melepas semua hal keduniawian dan menyatu dengan Brahman. Nyaring suara genta dan semerbak wangi dupa mengiringi mantra-mantra Puja Tri Sandhya dan Panca Sembah yang seakan menggema hingga ke langit ke tujuh menuju nirwana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar