Denpasar, pukul 17.45 Wita.
Seperti
biasa, Mang Ayu datang terlambat. Aku, Menung, Ulum, dan adiknya-Herlin-mulai
gelisah menunggu. Sudah 45 menit lewat dari waktu yang disepakati. Gerimis
mulai meramaikan Denpasar di sore hari. Sudah dua bulan kami merencanakan
perjalanan ini, aku sudah saking semangatnya hingga tak betah lagi menunggu.
Sesaat
kemudian muncul sebuah kendaraan di depan kami. Seiring suara klakson, kulihat
samar-samar tiga orang di dalamnya. Mereka adalah Mang Ayu, Gus De, dan Mia.
Setelah melontarkan sedikit umpatan, kami berebut masuk ke mobil. Dan, seperti
biasa lagi, Mang Ayu hanya terkekeh tanpa rasa bersalah.
Tujuan
kami jelas: Pura Lempuyang. Mobil mulai merambat menyusuri kota Denpasar yang
mulai gelap. Di mobil ini akan ada delapan orang. Di depan ada Mang Ayu, teman
sekerjaku, dan Gus De, pacar Mang Ayu sekaligus sopir pada perjalanan ini. Di
bagian tengah ada Mia, Ulum, dan Herlin. Sama seperti Mang Ayu, Ulum adalah
teman sekerjaku. Herlin adalah adik Ulum dan baru saja menamatkan sekolah
menengahnya. Sedangkan Mia adalah tetangga Mang Ayu.
Aku
sendiri duduk di bagian belakang bersama Menung. Dulu dia teman sekerjaku,
namun sekarang mencoba mencari penghasilan di tempat lain. Belakangan aku tahu
ternyata Menung dan Mia satu tempat kerja. Pun Mang Ayu, Ulum, Mia, dan Menung
dulunya satu sekolah. Itulah yang membuat kami langsung akrab meski baru sekali
berkumpul bersama.
Di
utara Pura Jagatnatha, kami berhenti untuk menjemput orang ke delapan. Dia
adalah atasanku, yang tentu juga atasannya Ulum, dan Mang ayu. Kami
memanggilnya Pak Gede. Seorang bujang yang betah melajang hingga umurnya 34
tahun. Badannya kekar dan perutnya besar. Hobinya adalah makan dan jalan-jalan.
Tanyakan padanya tentang kuliner dan obyek wisata, tiga hari tiga malam dia
akan meladenimu. Setelah genap semuanya, kembali mobil dipacu menuju Pura
Lempuyang.
Kaki
Gunung Lempuyang, pukul 20.45 Wita.
Setelah
hampir tiga jam perjalanan kami pun sampai di kaki Gunung Lempuyang. Hujan
gerimis ternyata mengikuti sampai di sini. Rasa dingin serta merta menjilati
tubuhku yang kurus. Seorang bapak berusia 30 tahunan berlari ke arah kami.
Alih-alih pecalang ternyata bapak itu
adalah tukang suun yang menawarkan
jasa membawakan barang atau banten sampai ke puncak. Berhubung bawaan kami
sedikit, kami pun menolaknya. Bapak itu beringsut pergi begitu saja. Langkahnya
canggung dan raut mukanya ganjil. Aku merasa agak takut.
Mobil
hanya boleh sampai di sini, maka untuk selanjutnya kami harus meneruskan
perjalanan dengan berjalan kaki. Pura pertama adalah Pura Penataran. Gerimis
masih setia menemani membuat Pak Gede mengeluarkan payungnya saat kami menapaki
satu persatu anak tangga menuju pura di kaki Gunung Lempuyang ini. Seusai
berdoa, gerimis berubah menjadi hujan deras. Sesuatu yang tidak kami bayangkan.
Konflik mulai terjadi di antara kami. Mang Ayu yang merasa tidak nyaman pada
perutnya ingin agar perjalanan dilanjutkan keesokan harinya. Malam ini makemit di wantilan
saja. Sedangkan aku dan Pak Gede ingin perjalanan ini dilanjutkan. Karena
jika dilakukan besok maka rahinan sudah
lewat. Selain itu tidak ada yang bisa menjamin bahwa esok tidak akan hujan.
Akhirnya
Mang Ayu mengalah. Diambil jalan tengah. Untuk menuju pura berikutnya, Pura
Telaga Mas, yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari Pura Penataran, dia
dan Gusde akan menumpang ojek.
Aku
dan lima orang lainnya berjalan lambat-lambat membelah jalan menanjak beraspal
yang gelap. Gerimis turun silih berganti membasahi tubuh. Angin dingin
menampar-nampar wajahku hingga ke tulang-tulangku. Tanganku gemetar menahan
senter yang kuarahkan menerobos kabut yang pelan-pelan menguasai jalan,
menghalau pandangan.
Mia
berkali-kali kehilangan sandal licinnya. Dia tidak menyangka akan menempuh
perjalanan seperti ini sebab ini adalah kali pertamanya dia ke Lempuyang.
Di
tengah suara angin yang bersiut-siut aku mendengar ringisan. Ringisan dari
seorang gadis yang ternyata adalah Herlin. Gadis itu membekap tangannya di dada
dan langkahnya berat. Berkali-kali aku melihatnya hampir roboh. Kepada kakaknya
dia mengeluh tidak mau lanjut. Dia ingin pulang.
Ulum
serta merta emosi. Dia sudah mewanti-wanti adiknya untuk tidak ikut karena
perjalanan ini tidak akan mudah. Namun Herlin tetap memaksa ikut. Karena itulah
Ulum tidak mau menaruh kasihan pada adiknya. Untuk mencairkan suasana, aku,
Menung, dan Pak Gede kompak menyemangati Herlin agar bertahan.
Empat
puluh menit kemudian kami tiba di Pura Telaga Mas. Terdengar gemericik air
karena di sebelahnya adalah beji. Di
sebuah warung yang kosong ditinggal pemiliknya kulihat Mang Ayu dan Gus De
sudah menunggu. Seusai sembahyang di Pura Telaga Mas kami tidak langsung
meneruskan perjalanan. Di sebuah balai tak jauh dari situ kami membongkar
perbekalan. Makanan yang kami bawa sebenarnya biasa saja: ketupat, ayam goreng,
telur, sate, tempe goreng manis, dan serundeng. Tapi semua terasa nikmat saat
dimakan bersama. Perut kenyang, perjalanan kami lanjutkan. Obor dinyalakan
karena jalan akan lebih gelap dan dua senter tidak akan cukup.
Gerimis
sudah tak terasa lagi namun kabut semakin pekat. Suara angin dan suara binatang
malam menemani langkah kami. Sekali-kali aku melihat titik-titik cahaya di
antara pepohonan, redup-terang mengintai. Rupanya itu kunang-kunang.
Sebenarnya
kami boleh saja memilih jalur aman dan cepat untuk sampai ke puncak. Tapi jika
itu dipilih maka kami akan melewatkan tiga pura. Kami tidak ingin kehilangan
satu bagian pun, karena itu kami memilih jalur ke kanan di sebuah persimpangan.
Jalur ini akan membawa kami ke Pura Telaga Sawangan, Pura Lempuyang Madya, dan
Pura Pucak Bisbis. Jalannya sangat tidak bersahabat. Tidak ada anak tangga
untuk dipijak. Yang ada adalah jalan setapak yang becek, licin, dan gelap penuh
lumpur. Di kiri-kanannya, pohon-pohon berkerosok liar dan mendirikan bulu
sekujur tubuh, membayangkan seakan-akan sesuatu akan melompat keluar dan
mencabikmu tanpa mampu melawan. Mahkluk itu ada di sekitar kami, mendesis-desis
memamerkan taring tajamnya karena terganggu istirahatnya. Mereka adalah primata
penghuni Gunung Lempuyang: kera abu-abu.
Lepas
dari kepungan kera abu-abu, jangan senang dulu Kawan! Di antara guguran daun
yang mulai membusuk terdapat kehidupan. Makhluk kecil, sebiji beras, kenyal,
dan menjijikkan, siap menghisap darah di sela-sela jari kakimu, di betismu,
bahkan di lehermu! Jangan berdiri terlalu lama di satu tempat atau memegang
pohon sembarangan, karena ratusan pacet akan dengan senang hati menempelkan
diri, meraba-raba mencari pembuluh darah untuk kemudian disedot hingga tubuhnya
kembung sebiji rambutan. Dan sialnya itu menimpa diriku. Dua kali pacet-pacet
kenyal itu hinggap di punggung kakiku, memaksaku mendonorkan darah.
Aaiiiihhhh!!! Ini bukan soal kehilangan darah. Sejak dulu, entah kenapa, aku
sangat takut atau lebih tepatnya jijik dengan hewan-hewan melata yang kecil,
merayap, kenyal, dan gelap. Hal serupa dialami Mia dan Gus De. Seekor pacet
masing-masing menempel di tangan mereka. Kontan Mia berteriak sembari
mengibas-ngibaskan tangannya membabi buta dengan harapan pacet itu terlempar
dari tangannya. Namun sia-sia. Laksana Spiderman, pacet itu erat melekat tak
bergeming. Mia baru berhenti berteriak setelah Gus De dengan tenang melepas
pacet tersebut dengan kayu.
Di
tengah kegelisahan kami akan pacet dan kera abu-abu, terjadi hal menggelikan.
Ulum yang sejak tadi tampak serius tiba-tiba terpeleset jatuh mencium tanah.
Meledaklah tawa di antara kami. Begitu pula Mang Ayu. Ia terjungkal ketika
kakinya tidak menemukan pijakan yang pas. Tangannya penuh lumpur. Kainnya
tercabik. Kotak yang berisi bekal makanan yang ditenteng Mang Ayu, terlempar.
Tumpah ruahlah seluruh isinya. Sendok-sendok berhamburan, dan sepotong besar
daging ayam menggelinding entah kemana. Alih-alih menolongnya kami kembali
tertawa terbahak-bahak. Mang Ayu hanya bisa tersenyum kecut sembari memunguti
benda-benda yang berhamburan.
Akhirnya
kami sampai di jalan yang landai yang bermuara di tangga utama. Ini berarti
puncak sudah semakin dekat. Mengetahui hal itu, aku makin semangat. Benar saja,
beberapa menit berjalan kami sampai di Pura Pasar Agung, pura terakhir sebelum
Pura Luhur Lempuyang. Pura dengan nama yang sama juga aku temui di Pura
Andakasa dekat Padang Bai sana.
Pura
ini dikelilingi warung-warung kosong. Kuat dugaanku warung-warung ini hanya
buka saat odalan. Tempat
sembahyangnya tidak begitu luas, hanya sepetak tanah yang paling menampung
10-15 orang, mungkin 25 orang kalau dipepet-pepetkan.
Setelah
selesai di Pura Pasar Agung, perjalanan dilanjutkan ke pemberhentian terakhir:
Pura Luhur Lempuyang. Tak terasa sudah pukul dua pagi. Mataku mulai lelah.
Punggungku nyeri dibebani tas yang lumayan berat. Kepalaku pening karena
disiram gerimis dari tadi. Langkahku gontai. Aku terhuyung-huyung. Berkali-kali
aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Uap tebal menyembur dari
mulut dan hidungku layaknya orang merokok.
Mendekati
puncak suasana menjadi gaduh. Suara angin bersiut-siut keras menerabas
pohon-pohon besar yang tidak aku ketahui namanya. Ranting-rantingnya bergoyang
cepat, bergesekan menimbulkan suara gemerosok. Kabut-kabut muncul-tenggelam
dihempas angin. Aku menengadah menatap langit. Tidak tampak bintang-bintang.
Bulan yang seharusnya bersinar penuh pun enggan muncul. Aku bergidik menahan
dingin. Lalu dari balik lebatnya pepohonan aku melihat sinar mencurigakan.
Seberkas sinar kuning dari lampu di ketinggian. Aku tak ingin salah lihat. Aku
harap ini nyata. Maka aku percepat langkahku menyalip Gus De, Mang Ayu, Ulum,
Herlin, Mia, dan Pak Gede yang ada di depanku. Senyumku mengembang menjadi
tawa. Aku angkat kedua tanganku tinggi-tinggi laksana peserta balap lari
mencapai garis finish. “ Kita
sampai!!!!!!!”
Tuntas
sudah perjalanan ini. Herlin tampak terharu mendapati dirinya mampu mencapai
puncak. Kami puas dan lega meski badan kami remuk redam akibat kelelahan.
Di
puncak ini ternyata kami tidak sendiri. Puluhan orang yang tiba lebih dahulu
dari kami terlihat menyesaki sebuah bangunan teduh di jaba pura. Beberapa di antaranya tampak masih ngobrol, beberapa yang
lain tampak sudah tidur. Untuk menangkal dingin, mereka yang tidur membungkus
tubuh mereka dengan kain dari ujung kaki hingga ujung rambut. Persis mayat
selesai dimandikan.
Gerimis
mulai turun lagi, aku bergegas menyusul yang lain mendaki tangga menuju jeroan Pura Luhur Lempuyang. Beberapa
orang yang juga tiba lebih dulu terlihat bersila menghadapi pelinggih suci maha
agung ini. Pak Gede, Mia, dan Mang Ayu langsung mempersiapkan banten untuk
dipersembahkan ke hadapan Sang Hyang Widhi Sang Pencipta Alam nan mulia.
Akhirnya
kami berdelapan mengambil tempat menekuri canang
dan dupa masing-masing. Kami memusatkan pikiran meresapi keagungan Tuhan.
Kepala kami tertunduk menyadari betapa kecilnya kami di hadapan Beliau.
Lelah,
gerimis, hawa dingin, pacet, semua terlepas dari pikiran kami. Yang tersisa
hanyalah keinginan melepas semua hal keduniawian dan menyatu dengan Brahman. Nyaring suara genta dan
semerbak wangi dupa mengiringi mantra-mantra Puja Tri Sandhya dan Panca
Sembah yang seakan menggema hingga ke langit ke tujuh menuju nirwana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar