Minggu, 04 September 2016

Bukan Lelucon

PERMISI, selamat sore! Pesanan datang!” terdengar lelaki berseru dibarengi ketukan pintu. Nah, ini dia, kurir yang kunanti sudah datang, pikirku sumringah. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Makanan yang kupesan via aplikasi ojek online di smart phone-ku muncul pada waktu yang tepat sekali. Laparku sudah berada di ujungnya. Lewat sedikit bisa-bisa pipih ususku.

“Ya, sebentar,” kurogoh tas dan kujumput sejumlah uang. Dengan semangat 45 aku melesat menuju pintu. Bayangan makanan panas berasap siap santap menari-nari dengan mantap.

Kuhela pintu dan nah! Bukan pak kurir yang datang. Aku malah dikagetkan oleh tampang konyol lelaki yang kemudian tertawa terpingkal-pingkal. Kentara sekali dia amat-sangat puas telah berhasil mengerjaiku.

“Nggak lucu!” hardikku dengan jengkel sekaligus kecewa. Ingin sekali kutendang lelaki itu hingga jatuh terguling-guling seperti yang dilakukan Valentino Rossi kepada Marc Marquez tempo hari.

Lelaki itu tak lain dan tak bukan adalah suamiku, manusia jahil, usil, dan suka iseng. Sifatnya seperti bocah. Koplaknya tidak ketulungan. Otaknya disesaki hal-hal miring dan konyol. Moto hidupnya adalah “keep calm and stay konyol” atau “usil-lah sebelum usil itu dilarang” bisa juga “tidak ada kata terlambat untuk bercanda ria”.

Suamiku sudah begitu dari dulu dan tidak kunjung waras hingga sekarang. Kemungkinan dia akan seperti itu seumur hidupnya. Ibarat penyakit, tabiat konyolnya sudah kronis. Jika kepalanya dibelah, pasti terlihat saraf-saraf otaknya kusut semrawut. Centang perenang sehingga sering korslet. Kegemarannya menjahili orang. Karena aku orang terdekat, yang setiap hari bersamanya, jadilah aku yang kerap menjadi korbannya.

Tidak hanya itu, suamiku juga amat susah diajak diskusi serius. Pemikirannya terlalu santai. Tak jarang ketika aku ingin membahas perkara yang agak serius, dia menanggapinya dengan guyonan. Di situ kadang aku merasa ingin meninjunya hingga terjungkal ke kawah Barujari.

Dan lagi, sangat sulit membedakan antara dia berkata jujur atau sedang berbohong. Air mukanya susah diterka. Sandiwaranya mengalahkan akting pemain sinetron Cinta di Langit Taj Mahal. Lengkaplah sudah penderitaanku menjadi istrinya.

Mengapa dulu aku nekat menerima bujukan menjadi istrinya? Pertanyaan itu pernah terbesit di kepalaku. Memunculkan sebuah tanda tanya besar. Ketika kutelusuri, senang sekali ternyata kutemukan bahwa suamiku tidaklah buruk sekali. Kalau dipikir-pikir, kelakuannya itulah yang justru membuatku gelap mata menyukainya.

Aku jatuh cinta padanya justru karena sifatnya yang tengal dan konyol itu. Tingkah polahnya yang seperti itu membuatnya lucu dan kocak. Aku suka orang lucu dan humoris. Bagiku, orang humoris selalu membawa aura positif. Jika Kau seorang pria yang sedang mendekati wanita, aku beri saran, jadilah pria yang humoris. Tak usah romantis sebab pria humoris akan mengalahkan pria romatis. Trust me, it works.

Saat pacaran dulu, suamiku—tentu saja saat itu masih pacar—sering membuatku tertawa tak habis-habis ketika bernyanyi sambil memainkan gitar. Lagu-lagu yang didendangkannya bukanlah lagu-lagu romantis melainkan lagu-lagu sembarang dengan lirik yang dibuat sekenanya sehingga terdengar lucu dan mengundang gelak tawa. Aku suka tersenyum geli sendiri bila mengingatnya. Kini, setelah menikah, bukannya tambah matang dan dewasa, kejahilan malah kian parah dan makin menjadi-jadi. Aku curiga ia bercita-cita ingin jadi seperti Vincent Club ’80, presenter acara 'Ups Salah' yang doyan mengerjai orang-orang.

Kecurigaanku bukan tanpa alasan. Suamiku tidak seperti orang lain yang mengidolai tokoh-tokoh kharismatik, gagah, ganteng, pintar, semisal Bung Karno, Iwan Fals, Luna Maya, Vin Diesel, Rhoma Irama, Sheryl Sheinafia, Andrea Hirata, ataupun Vicky Prasetyo. Suamiku justru memuja dan menjadi penganut pelawak-pelawak tengal dan jauh dari citra keren, seperti Komeng, Sule, Trio Warkop DKI, Cak Lontong, Abdur, Tukul Arwana, hingga Mister Bean. Bagi suamiku, mereka adalah inspirator. Merekalah yang mengukir karakter suamiku sampai jadi unik seperti ini.

Suamiku memang konyol dan kekanak-kanakan, akan tetapi di balik itu, dia tetap bertanggung jawab. Kendati candaannya suka kelewatan dan acap membuat sebal, aku tidak pernah dendam. Justru tanpa kekonyolan-kekonyolan itu, hubungan kami akan terasa kurang sedap, ibarat bakso tanpa cilok. Suamiku selalu bisa menghadirkan keceriaan dan suasana penuh suka. Dia selalu bisa membuat gigiku kering lantaran kebanyakan tertawa.

Beberapa hari setelah kejadian kurir palsu itu, aku sedang menyetrika baju dan seseorang mengetuk pintu rumah. Kemudian terdengar rintihan memanggil namaku.

“Siapa?”

“Ini aku… Cepat. Sakit sekali.”

Suaranya pelan dan tersendat. Aku mengenali suara itu, behh… itu suara suamiku. Meski dibuat sedemikian rupa, aku tetap mengenalinya. Aku langsung sadar ini pasti lelucon. Tidak diragukan lagi, ini pasti jebakan. Aku tidak menaruh setrikaku. Sing ngerambang bangken dongkang alias tak peduli bangkai kodok, pikirku. Aku tahu yang dia rencanakan: dia berpura-pura kesakitan, aku membuka pintu dengan was-was, aku menyongsongnya dengan cemas, kemudian dia tertawa terbahak-bahak karena itu hanya bohong belaka dan aku berhasil ditipu.

Trik murahan. Cuiihh…! Aku takkan termakan sandiwaranya lagi. Seperti kata pepatah, keledai tak masuk ke lubang yang sama dua kali. Aku sudah belajar dari pengalaman.

“Ning… Ningsih, cepat… tolong…” Aku tidak menjawab. Hahaha… siapa yang mau diperdaya? Kutinggikan volume tv. Aku ingin dia sadar bahwa apa yang akan dia coba lakukan sudah terendus. Rencananya gagal total, permainannya sudah terbaca. Aku lanjut menyetrika sambil tersenyum penuh kepuasan. Sebentar lagi dia akan masuk dengan malu dan aku akan mengejeknya habis-habisan. Hahaha…

Lima menit berselang, dia tak juga masuk. Suaranya juga tak terdengar. Kira-kira apa yang sedang dilakukannya di luar? bisikku dalam hati. Aku nyaris terpancing ingin membukakan pintu. Jangan-jangan dia sedang menjalankan rencana B: aku membuka pintu, dia berpura-pura mati, ketika aku dekati dia sontak bangun dan mengagetkanku. Oo… tidak bisa!

Tujuh setengah menit berlalu, dia masih belum juga masuk. Dasar manusia keras kepala tak mau kalah. Perangkap apa yang dia pasang sekarang? Aku penasaran apa yang dia perbuat di luar. Akhirnya aku menyerah. Aku bangkit dan berjalan menuju pintu. Setelah ku buka, kudapati suamiku tidur tengkurap di depan sana. Ternyata benar, ini pasti rencana B.

“Hei, stop tipu-tipu, Bung! Aku tahu Kau pasti pura-pura kan?” teriakku.

Suamiku tak bergerak. “Sudahlah, berhenti dong bercandanya.”

Dia masih tidak bergeming. “Bercandanya nggak lucu deh. Ayo bangun!"

Dia tak juga bergerak. Perasaan ganjil tiba-tiba menyergapku. Benar saja, aku melihat keanehan pada posisi tangannya. Aku mulai cemas. Aku menyongsongnya ke sana, mendekat agar dapat melihat lebih jelas.

Astaga! Tangan kirinya terpelintir mengerikan! Tulangnya seperti terlepas dari sendi. Oh, apa yang terjadi? Jantungku berdegup kencang, kedua lututku mendadak lemas. Kubalikkan tubuhnya. Oh, Tuhan! Bahunya hancur, pelipisnya berlumuran darah. Apakah ia mengalami kecelakaan? Mengapa tak seorang pun menolong? Tanganku gemetar hebat mengusap darah itu. Aku mulai menangis dan panik luar biasa. Ya, Tuhan! Kini aku benar-benar berharap ini hanya permainan, hanya pura-pura. Tapi suamiku tidak membuka matanya dan tertawa seperti biasa. Ini bukan lelucon, ini serius! Suaraku bergetar.

“Kamu kenapa? Ayo bangun…! Bangun…! Oh, Tuhan… Siapa pun toloooooooooong!!!”***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar