Cerpen Denpost Minggu, 20 Mei 2018
MASIH ingat Made Merta? Tokoh yang sebelumnya kuceritakan berhasil meraih cita-citanya menjadi guru?—yang pada hari pertamanya di sekolah mengalami kejadian menegangkan: bertemu dengan sesosok siswi misterius.
Kini dia masih mengajar di sana dan mulai memupuk ambisi-ambisi baru. Entah apa ambisi-ambisinya itu, yang jelas, itu membuatnya selalu bergairah menjalani hari-hari di sekolah. Ada semangat baru bertunas dalam sanubarinya.
Terlebih belakangan dia sudah dipercaya menjadi pembina, didapuk menjadi kreator juara, aih, bukan main gagah kedengarannya. Dada Made Merta selalu mengembang mendengar kata pembina. Sebutan yang membuatnya merasa menjadi seorang yang ahli, mahir, jago, master, atau dalam bahasa Inggris: expert. Padahal, bukan karena itu dia dipilih melainkan karena tidak ada orang lain yang mau repot. Made Merta tidak sadar akan hal itu. Ya, sayang sekali, Made Merta tidak tahu itu.
Seperti siang ini, ketika rekan-rekannya yang lain sudah melenggang menuju rumah masing-masing, Made Merta masih berkutat di sekolah. Kali ini dia akan membina murid yang akan berlaga dalam lomba yang sarat emosi: lomba membaca puisi. Nah! Tahu apa Made Merta tentang puisi? Dia bahkan tidak pernah membaca satu bait puisi pun seumur hidupnya.
“Agar bisa membacakan puisi dengan baik, hal pertama yang harus dilakukan adalah pahami puisi itu, cari tahu apa yang ingin disampaikan si pengarang dalam puisi itu,” begitulah Made Merta selalu membual pada anak didiknya.
Meskipun pengetahuannya tentang puisi amat menyedihkan dan mafhum betapa dia tidak memiliki murid yang berbakat, Made Merta tak keder. Setiap tantangan harus dijawab dengan optimis, begitu falsafah hidupnya.
Sampai akhirnya hari perlombaan tiba. Sang murid tampil membacakan puisi heroik karya Chairil Anwar yang melegenda. Made Merta mendampingi di sana, tekun menyimak lomba dari awal hingga akhir. Terkagum-kagum dia menyaksikan penampilan peserta lain yang begitu luar biasa.
Lalu pada akhir acara, saat para pemenang diumumkan, dirasakannya dadanya akan meledak. Muridnya terpilih sebagai pemenang. Juara pertama pula! Sungguh Made Merta tak menduga. Benar-benar menakjubkan! Dia melonjak, tawanya lebar, dipeluknya si murid dengan kebanggaan penuh. Pelukan yang begitu dahsyat sampai-sampai si murid kesulitan bernafas. Made Merta dihantam kegembiraan yang tak terkatakan. Hampir saja dia tidak bisa menguasai diri. Salah satu ambisinya, yaitu mencetak juara, baru saja terwujud.
Senyum Made Merta belum pudar sampai keesokkan harinya. Dia berangkat ke sekolah sambil bersiul-siul. Langkahnya ringan; Kemenangan memang selalu berasa manis. Dia sudah bersiap-siap menerima ucapan selamat dan pujian dari rekan-rekannya dan membayangkan reputasinya meroket, naik daun. Namun yang terjadi, sampai pulang sekolah, tak seorang pun menghampirinya. Jangankan memberi selamat, sekadar bertanya basa-basi pun tak ada. Made Merta merasa aneh bin ajaib.
Dua hari, tiga hari, empat hari kemudian pun sama, tak ada yang menyinggung-nyinggung perihal lomba dan juara. Seminggu kemudian, setelah tak kuasa menahan hasrat bercerita, akhirnya Made Merta mendekati seorang rekannya.
“Hai, sudah tahu? Minggu lalu murid kita dapat juara satu lomba membaca puisi,” bisik Made Merta. Rekannya yang tengah giat memeriksa ulangan menoleh datar dan bertanya, “Terus?”
“Dia baru pertama kali ikut lomba, saingannya banyak, tapi astungkara bisa bawa pulang piala. Juara satu pula. Saya yang membina,” Made Merta pamer.
Sang rekan tak berkata apa-apa. Dia sibuk saja dengan buku-buku di hadapannya. Hanya mulutnya tersungging sedikit, memperlihatkan senyum tipis, seolah-olah baru saja mendengar sesuatu yang menggelitik.
“Kenapa senyum-senyum? Nggak mau ngasi selamat, gitu?” Made Merta keheranan.
“Oh, ya, Made,” sang rekan menghentikan pekerjaannya, “selamat kalau begitu.”
“Makasi,”
“Tetapi jangan senang dulu. Saya memberi selamat bukan berarti saya mengakui kamu hebat. Saya sudah lama tidak percaya dengan lomba. Zaman sekarang, pemenang tidak selalu mereka yang tampil sempurna, mereka yang berotak encer, ataupun mereka yang kuat. Seringkali mereka yang lemah, yang penampilannya kacau, yang tidak pintar pun bisa jadi pemenang, bisa jadi juara. Jadi, menang-kalah itu biasa, jangan terlalu dibawa perasaan.”
“Saya kurang paham.”
“Jangan naif. Lomba sekarang sudah tidak murni lomba, tidak semata-mata mencari yang orang yang unggul untuk dipilih menjadi juara. Sekarang ini lomba penuh kecurangan, rekayasa, kongkalikong. Lomba sudah menjadi bagian dari bisnis, terkadang juga politik, sarat kepentingan. Lomba sekarang sudah tercemar. Apalagi lomba membaca puisi, subjektivitasnya kentara, tergantung selera, suka-sukanya juri. Acapkali yang menurut kita bagus, eh, oleh juri malah dicaci-maki, atau sebaliknya. Beda dengan main catur, misalnya, yang sudah jelas-jelas menang-kalahnya. Kalau rajanya sudah kena skak mat, ya sudah pasti kalah.”
Made Merta diam tertegun. Tampak betul dia kesulitan mencerna kata-kata rekannya itu.
“Apakah kamu memperhatikan penampilan peserta lain?”
Made Merta mengangguk.
“Menurutmu mereka jelek?”
“Tidak.”
“Ya itu. Kalau peserta lain juga tampil bagus, kenapa bukan mereka yang jadi juara? Apalagi murid yang dikirim baru pertama kali ikut lomba, belum punya jam terbang, masa langsung dapat juara satu? Menjadi juara itu tidak bisa instan, harus bertahap, mulai dari bawah dulu. Bisa jadi muridmu dimenangkan bukan karena dia lebih baik dari yang lain, tetapi karena ada agenda tertentu di baliknya.”
Mendengar ucapan yang terakhir Made Merta langsung ngeloyor tanpa kata. Mukanya merah padam. Panas hatinya. Tampak betul dia tidak terima. Dia dan murid binaannya sudah bekerja keras dan pantas menjadi juara. Masa dibilang ada kongkalikong. Sampai mengatakan juri tidak objektif. Dasar sinting! Keterlaluan. Itu adalah ocehan orang iri, yang tidak senang melihat kegemilangan orang di sebelahnya. Seharusnya kan ikut senang. Saling mendukung. Benar-benar tidak menghargai. Sangat merendahkan nilai-nilai sportivitas. Penyakit orang kalah.
Bagi Made Merta, lomba adalah sesuatu yang suci, yang tidak memiliki tujuan lain selain memilih yang terbaik dari yang terbaik dengan cara-cara yang jujur, bersih, dan tidak ditunggangi kepentingan apapun. Tak terkecuali lomba yang diikuti muridnya.
Kali berikutnya ada undangan lomba membaca puisi lagi. Made Merta sumringah sebab meskipun beda penyelenggara dan beda juri, puisi yang wajib dibawakan lagi-lagi puisi heroik karya Chairil Anwar yang melegenda. Belum apa-apa Made Merta sudah optimis bakalan juara. Bukankah dia sudah punya bibit?—Made Merta kini punya istilah baru untuk menyebut murid yang akan dikirimnya lomba.
Tak buang masa, segera dipanggil bibitnya itu dan, meskipun masih belum belajar banyak tentang puisi, dia tetap lantang berkata, “Agar bisa membacakan puisi dengan baik, hal pertama yang harus dilakukan adalah pahami puisi itu, cari tahu apa yang ingin disampaikan si pengarang dalam puisi itu.”
Melihat performa murid binaannya, Made Merta puas. Rasanya piala sudah di tangan. Tak sabar dia menunggu hari H tiba. Lomba kali ini tak ubahnya ajang pembuktian dan penegasan bahwa kemenangannya tempo hari adalah murni hasil jerih payahnya, bukan berkat pertolongan ataupun hadiah dari orang lain; Bahwa kemudian kemenangan itu layak untuk dirayakan, dibanggakan, dan diapresiasi. Dia ingin rekannya itu menelan kembali kata-kata yang dimuntahkannya dulu.
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Made Merta, seperti sebelumnya, ikut mendampingi jagoannya di sana. Dia memerhatikan para peserta dan merasa damai. Rupanya sebagian besar adalah peserta yang sama dengan lomba terdahulu; Orang-orang yang pernah dipecundangi muridnya. Amboi, kemenangan sudah di depan mata!
Beberapa jam kemudian, setelah semua peserta tampil, tibalah saat yang ditunggu-tunggu, momen yang mendebarkan. Dewan juri mengumumkan pemenang lomba. Mulailah nomor-nomor peserta yang menang disebutkan satu per satu diikuti riuh sorak-sorai dan tepuk tangan. Lalu, di kursi sana, Made Merta melongo, agaknya kebingungan. Di antara nomor yang disebutkan juri, tak ada nomor muridnya. Duh, kasihan Made Merta. Kali ini murid juara satunya gagal juara. Dia melempar handuk; kecewa.
“Lomba zaman sekarang payah. Juri-juri tidak becus. Masa jelek gitu jadi juara? Tidak sportif. Tidak murni. Pasti ada kongkalikong! Huh!” Made Merta menyumpah-nyumpah. Tak dinyana, rupanya Made Merta juga mengidap penyakit orang kalah.***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar