“Baik
Pak Made, pemeriksaan hari ini saya rasa sudah cukup, sekarang Anda bisa
pulang, namun jika keterangan Anda saya butuhkan sewaktu-waktu saya harap Anda
bisa datang lagi. Terima kasih atas kerjasama Anda.” Seorang petugas kepolisian
menjabat tanganku kemudian mengantarku keluar dari sebuah ruangan di Polsek
Denpasar Barat. Hari telah sore. Ternyata lama juga aku berada di kantor itu. Setengah
berlari aku menuju sepeda motor tuaku di parkiran. Aku ingin cepat-cepat enyah
dari tempat itu. Tempat yang berbau kejahatan. Entah kenapa aku merasa tidak
nyaman berada di kantor itu, padahal aku hanya menjadi saksi, bukan penjahat seperti
lelaki tinggi besar dengan badan penuh tato yang aku lihat tadi. Belakangan aku
ketahui ternyata dia ditangkap lantaran ketahuan mencuri satu slop rokok di
sebuah mini market. Ya, aku dipanggil oleh pihak kepolisian untuk menjadi
saksi. Aku diminta keterangan terkait peristiwa penembakan satpam oleh oknum
brimob yang terjadi di depan mata kepalaku beberapa hari yang lalu.
Adalah
Briptu Jabrik, penembak satpam yang bertugas menjaga komplek pertokoan di
sekitar jalan Teuku Umar. Sebenarnya aku tidak terlalu akrab dengannya tapi aku
sering melihatnya melintas di depan tempatku berjualan. Dia, bisa dibilang,
adalah orang yang dibayar untuk menjaga keamanan di wilayah komplek. Mungkin
itu pekerjaan sampingannya selain menjadi anggota brimob. Sesekali memang dia
pernah makan di warungku. Dari pertemuan
yang sesekali itu aku sudah bisa membaca tabiatnya. Dia arogan dan
sok berkuasa. Gaya berdirinya berkacak pinggang. Suaranya keras dan kasar. Sorot
matanya selalu penuh amarah, seakan-akan hendak memakan orang. Aku yakin orang
yang berpapasan dengannya pasti takut menatap matanya. Dia pemabuk kelas berat.
Saat malam minggu, hari raya, atau hari libur, dia selalu berkumpul bersama
temannya sesama peminum menenggak miras alias minuman keras di sekitar komplek.
Saking seringnya mabuk, keringatnya jadi bau alkohol. Jika dia dan
teman-temannya sudah mabuk, aku buru-buru menutup warungku. Aku tidak ingin
warungku diobrak-abrik dengan alasan ini-itu padahal sebenarnya mereka
hanya ingin makan gratis.
Tentang
rumah tangganya aku juga tidak terlalu tahu. Dari orang-orang kudengar dia
sudah beristri dan anaknya dua, tapi aku tak pernah melihat Briptu Jabrik
datang ke komplek bersama istri dan anaknya. Justru dia sering kulihat
membonceng wanita-wanita yang selalu berbeda, dengan dandanan seksi seperti
penyanyi dangdut. Wanita-wanita itu akan menemani Briptu Jabrik minum hingga
teler, setelah teler mereka pergi entah kemana. Dari orang-orang juga kudengar
bahwa Briptu Jabrik tidak disukai di lingkungan tempat tinggalnya. Dia suka
ngebut di gang rumahnya yang banyak anak-anak. Anak-anak pasti berlari tunggang
langgang jika melihatnya. Dia juga suka mengacung-acungkan pistol dengan gaya
seperti preman sehingga sering membuat warga resah.
Sedangkan
Ronny, satpam yang ditembak Briptu Jabrik adalah orang Flores. Aku sangat
mengenalnya. Hampir tiap hari dia makan di warungku. Dia suka menu masakan Bali
yang kujual. Dia kos dekat warungku juga sehingga dia suka nongkrong di
warungku saat tidak sedang bekerja. Dia masih muda, umurnya 25 tahun. Dia baru
dua bulan bekerja di komplek. Seperti orang Flores kebanyakan, Ronny bertubuh
agak gelap, tidak terlalu besar namun keras berotot, rambutnya keriting, dan
logat bicaranya jelas sekali mencirikan daerahnya. Meski badannya tidak besar,
tapi Ronny punya nyali yang besar. Satpam tidak mungkin tidak bernyali. Beberapa
hari sebelum ditembak mati oleh Briptu Jabrik, ia sempat meringkus dua pemuda
berandal yang hendak mencuri helm di parkiran komplek tempat ia berjaga.
Sebelum
bekerja di Bali, Ronny bekerja di Batam, di pabrik ban. Dua tahun dia bekerja
di sana. Ketika pabrik ban tersebut bangkrut banyak yang di PHK. Ronny termasuk
karyawan yang di PHK. Akhirnya dia memutuskan pulang dulu ke kampung halamannya
bertemu dengan istri dan seorang anak laki-lakinya yang baru berumur dua tahun.
Sula namanya. Dia sering bercerita tentang anaknya. Terkadang jika istrinya
mengirim foto di handphonenya, dia
langsung memperlihatkannya padaku. Dia sangat menyayangi anaknya. Suatu ketika
dia pernah bercerita bahwa dia ingin membelikan sebuah mainan untuk anaknya,
tapi sampai saat ini belum bisa dia lakukan karena uang gajinya kurang. Sedih
aku mendengarnya.
Saat
hari naas itu terjadi, 3 hari yang lalu, setauku Ronny sedang piket sore. Tapi aku
tidak melihatnya. Saat itu tanggal merah karena hari raya jadi kebanyakan
kantor tutup. Daganganku sepi. Aku duduk ngopi dan merokok di depan warung.
Briptu Jabrik dari tengah hari sudah kulihat minum bersama teman-temannya.
Beberapa wanita juga kulihat di sana. Seperti biasa, dandanannya mencirikan
mereka pasti bukan wanita baik-baik. Daganganku masih banyak jadi aku tidak
ingin buru-buru tutup. Menjelang malam mereka bubar. Suara motor-motorpun
menderu memekakkan telinga. Botol-botol ditinggalkan berserakan. Dalam sekejap
mereka lenyap entah kemana. Cuma Briptu Jabrik yang lewat di depan warungku. Di
pos yang dijaga Ronny dia berhenti. Tampaknya
pos kosong. Kemana gerangan Ronny? Briptu Jabrik berkacak pinggang dan tampak
marah. Wajahnya merah, mungkin karena mabuk. Dia menghisap rokok di mulutnya dalam-dalam
sampai habis. Apinya membara dan asapnya mengepul tebal seakan-akan
menggambarkan hawa kemurkaan yang melanda. Ditendangnya kursi plastik yang ada
di depan pos sampai patah jadi tiga. Tak lama kemudian Ronny muncul.
“Anjing!!
Kemana Kamu tadi? Kenapa pos dibiarkan kosong?!!” bentak Briptu Jabrik. Matanya
mendelik, tangannya mengepal seperti hendak meninju.
“Saya
ke toilet Pak. Dari kemarin mencret, jadi bolak-balik ke toilet Pak.” Jawab Ronny
polos. Kalau orang lain pasti menunduk tidak berani menatap. Tapi Ronny tidak.
Dia menatap Briptu Jabrik dengan tenang. Mungkin merasa ditantang, Briptu
Jabrik semakin beringas.
“Kamu
menantang saya?!! Jangan sok jagoan Kamu ya!!!” Briptu Jabrik berteriak sambil
menunjuk hidung Ronny.
“Tidak
Pak, saya bukan jagoan.” Ronny mulai kelihatan agak gentar.
“Push up Kamu!!! 100 kali, sekarang!!
Cepaatt!!” Briptu Jabrik mulai hilang kesabaran. Aku berdiri kurang lebih 20
meter dari mereka, ragu antara ingin melerai atau kabur. Ternyata beberapa
teman Ronny juga ada yang melihat namun takut melerai. Aku lambaikan tangan ke
arah Ronny. Aku beri kode dengan maksud agar Ronny tidak melawan. Si briptu
sialan itu sangat nekat. Apapun bisa dia lakukan apalagi otaknya dalam pengaruh
alkohol. Tapi sayang sekali Ronny tidak melihatku.
“Atas
dasar apa Bapak menghukum saya?”
“DORRR!!!” Terdengar suara ledakan.
Moncong
pistol Briptu Jabrik berasap. Ternyata pelatuk pistol sudah ditarik. Ronny
tersungkur sambil memegang dadanya yang bersimbah darah. Kemudian dia tidak
bergerak. Kasihan Ronny. Dia orang baru, dia belum mengenal Briptu Jabrik. Aku
terkesima. Orang-orang kaget. Briptu Jabrik mengambil motornya dan pergi
secepat kilat. Orang-orang mulai mendekat.
Akhirnya
aku tiba di rumah. Aku ceritakan tentang pemeriksaan di polsek tadi kepada
istriku. Sejak kejadian itu aku belum membuka warungku. Istriku melarangku. Dia
takut statusku yang menjadi saksi membahayakan diriku. Aku tonton di televisi,
Briptu Jabrik sudah diamankan. Dia menyerahkan diri di markas brimob tempat dia
bertugas. Semua masyarakat berkomentar agar Briptu Jabrik dihukum mati saja
karena tingkahnya yang seperti binatang. Atau paling tidak dihukum seumur
hiduplah. Ronny yang tewas di tempat saat kejadian, jenasahnya sudah dikirim ke
keluarganya di Flores. Kasihan istrinya. Kasihan Sula, dia baru berumur 2 tahun
dan harus menjadi yatim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar