Senin, 30 November 2015

DORRR!!! (cerpen)


Hasil gambar untuk police line“Baik Pak Made, pemeriksaan hari ini saya rasa sudah cukup, sekarang Anda bisa pulang, namun jika keterangan Anda saya butuhkan sewaktu-waktu saya harap Anda bisa datang lagi. Terima kasih atas kerjasama Anda.” Seorang petugas kepolisian menjabat tanganku kemudian mengantarku keluar dari sebuah ruangan di Polsek Denpasar Barat. Hari telah sore. Ternyata lama juga aku berada di kantor itu. Setengah berlari aku menuju sepeda motor tuaku di parkiran. Aku ingin cepat-cepat enyah dari tempat itu. Tempat yang berbau kejahatan. Entah kenapa aku merasa tidak nyaman berada di kantor itu, padahal aku hanya menjadi saksi, bukan penjahat seperti lelaki tinggi besar dengan badan penuh tato yang aku lihat tadi. Belakangan aku ketahui ternyata dia ditangkap lantaran ketahuan mencuri satu slop rokok di sebuah mini market. Ya, aku dipanggil oleh pihak kepolisian untuk menjadi saksi. Aku diminta keterangan terkait peristiwa penembakan satpam oleh oknum brimob yang terjadi di depan mata kepalaku beberapa hari yang lalu.
Adalah Briptu Jabrik, penembak satpam yang bertugas menjaga komplek pertokoan di sekitar jalan Teuku Umar. Sebenarnya aku tidak terlalu akrab dengannya tapi aku sering melihatnya melintas di depan tempatku berjualan. Dia, bisa dibilang, adalah orang yang dibayar untuk menjaga keamanan di wilayah komplek. Mungkin itu pekerjaan sampingannya selain menjadi anggota brimob. Sesekali memang dia pernah makan di warungku.  Dari pertemuan yang sesekali itu aku sudah bisa membaca tabiatnya. Dia arogan dan sok berkuasa. Gaya berdirinya berkacak pinggang. Suaranya keras dan kasar. Sorot matanya selalu penuh amarah, seakan-akan hendak memakan orang. Aku yakin orang yang berpapasan dengannya pasti takut menatap matanya. Dia pemabuk kelas berat. Saat malam minggu, hari raya, atau hari libur, dia selalu berkumpul bersama temannya sesama peminum menenggak miras alias minuman keras di sekitar komplek. Saking seringnya mabuk, keringatnya jadi bau alkohol. Jika dia dan teman-temannya sudah mabuk, aku buru-buru menutup warungku. Aku tidak ingin warungku diobrak-abrik dengan alasan ini-itu padahal sebenarnya mereka hanya ingin makan gratis.
Tentang rumah tangganya aku juga tidak terlalu tahu. Dari orang-orang kudengar dia sudah beristri dan anaknya dua, tapi aku tak pernah melihat Briptu Jabrik datang ke komplek bersama istri dan anaknya. Justru dia sering kulihat membonceng wanita-wanita yang selalu berbeda, dengan dandanan seksi seperti penyanyi dangdut. Wanita-wanita itu akan menemani Briptu Jabrik minum hingga teler, setelah teler mereka pergi entah kemana. Dari orang-orang juga kudengar bahwa Briptu Jabrik tidak disukai di lingkungan tempat tinggalnya. Dia suka ngebut di gang rumahnya yang banyak anak-anak. Anak-anak pasti berlari tunggang langgang jika melihatnya. Dia juga suka mengacung-acungkan pistol dengan gaya seperti preman sehingga sering membuat warga resah.
Sedangkan Ronny, satpam yang ditembak Briptu Jabrik adalah orang Flores. Aku sangat mengenalnya. Hampir tiap hari dia makan di warungku. Dia suka menu masakan Bali yang kujual. Dia kos dekat warungku juga sehingga dia suka nongkrong di warungku saat tidak sedang bekerja. Dia masih muda, umurnya 25 tahun. Dia baru dua bulan bekerja di komplek. Seperti orang Flores kebanyakan, Ronny bertubuh agak gelap, tidak terlalu besar namun keras berotot, rambutnya keriting, dan logat bicaranya jelas sekali mencirikan daerahnya. Meski badannya tidak besar, tapi Ronny punya nyali yang besar. Satpam tidak mungkin tidak bernyali. Beberapa hari sebelum ditembak mati oleh Briptu Jabrik, ia sempat meringkus dua pemuda berandal yang hendak mencuri helm di parkiran komplek tempat ia berjaga.
Sebelum bekerja di Bali, Ronny bekerja di Batam, di pabrik ban. Dua tahun dia bekerja di sana. Ketika pabrik ban tersebut bangkrut banyak yang di PHK. Ronny termasuk karyawan yang di PHK. Akhirnya dia memutuskan pulang dulu ke kampung halamannya bertemu dengan istri dan seorang anak laki-lakinya yang baru berumur dua tahun. Sula namanya. Dia sering bercerita tentang anaknya. Terkadang jika istrinya mengirim foto di handphonenya, dia langsung memperlihatkannya padaku. Dia sangat menyayangi anaknya. Suatu ketika dia pernah bercerita bahwa dia ingin membelikan sebuah mainan untuk anaknya, tapi sampai saat ini belum bisa dia lakukan karena uang gajinya kurang. Sedih aku mendengarnya.
Saat hari naas itu terjadi, 3 hari yang lalu, setauku Ronny sedang piket sore. Tapi aku tidak melihatnya. Saat itu tanggal merah karena hari raya jadi kebanyakan kantor tutup. Daganganku sepi. Aku duduk ngopi dan merokok di depan warung. Briptu Jabrik dari tengah hari sudah kulihat minum bersama teman-temannya. Beberapa wanita juga kulihat di sana. Seperti biasa, dandanannya mencirikan mereka pasti bukan wanita baik-baik. Daganganku masih banyak jadi aku tidak ingin buru-buru tutup. Menjelang malam mereka bubar. Suara motor-motorpun menderu memekakkan telinga. Botol-botol ditinggalkan berserakan. Dalam sekejap mereka lenyap entah kemana. Cuma Briptu Jabrik yang lewat di depan warungku. Di pos yang dijaga Ronny dia berhenti.  Tampaknya pos kosong. Kemana gerangan Ronny? Briptu Jabrik berkacak pinggang dan tampak marah. Wajahnya merah, mungkin karena mabuk. Dia menghisap rokok di mulutnya dalam-dalam sampai habis. Apinya membara dan asapnya mengepul tebal seakan-akan menggambarkan hawa kemurkaan yang melanda. Ditendangnya kursi plastik yang ada di depan pos sampai patah jadi tiga. Tak lama kemudian Ronny muncul.
“Anjing!! Kemana Kamu tadi? Kenapa pos dibiarkan kosong?!!” bentak Briptu Jabrik. Matanya mendelik, tangannya mengepal seperti hendak meninju.
“Saya ke toilet Pak. Dari kemarin mencret, jadi bolak-balik ke toilet Pak.” Jawab Ronny polos. Kalau orang lain pasti menunduk tidak berani menatap. Tapi Ronny tidak. Dia menatap Briptu Jabrik dengan tenang. Mungkin merasa ditantang, Briptu Jabrik semakin beringas.
“Kamu menantang saya?!! Jangan sok jagoan Kamu ya!!!” Briptu Jabrik berteriak sambil menunjuk hidung Ronny.
“Tidak Pak, saya bukan jagoan.” Ronny mulai kelihatan agak gentar.
Push up Kamu!!! 100 kali, sekarang!! Cepaatt!!” Briptu Jabrik mulai hilang kesabaran. Aku berdiri kurang lebih 20 meter dari mereka, ragu antara ingin melerai atau kabur. Ternyata beberapa teman Ronny juga ada yang melihat namun takut melerai. Aku lambaikan tangan ke arah Ronny. Aku beri kode dengan maksud agar Ronny tidak melawan. Si briptu sialan itu sangat nekat. Apapun bisa dia lakukan apalagi otaknya dalam pengaruh alkohol. Tapi sayang sekali Ronny tidak melihatku.
“Atas dasar apa Bapak menghukum saya?”
“DORRR!!!” Terdengar suara ledakan.
Moncong pistol Briptu Jabrik berasap. Ternyata pelatuk pistol sudah ditarik. Ronny tersungkur sambil memegang dadanya yang bersimbah darah. Kemudian dia tidak bergerak. Kasihan Ronny. Dia orang baru, dia belum mengenal Briptu Jabrik. Aku terkesima. Orang-orang kaget. Briptu Jabrik mengambil motornya dan pergi secepat kilat. Orang-orang mulai mendekat.

Akhirnya aku tiba di rumah. Aku ceritakan tentang pemeriksaan di polsek tadi kepada istriku. Sejak kejadian itu aku belum membuka warungku. Istriku melarangku. Dia takut statusku yang menjadi saksi membahayakan diriku. Aku tonton di televisi, Briptu Jabrik sudah diamankan. Dia menyerahkan diri di markas brimob tempat dia bertugas. Semua masyarakat berkomentar agar Briptu Jabrik dihukum mati saja karena tingkahnya yang seperti binatang. Atau paling tidak dihukum seumur hiduplah. Ronny yang tewas di tempat saat kejadian, jenasahnya sudah dikirim ke keluarganya di Flores. Kasihan istrinya. Kasihan Sula, dia baru berumur 2 tahun dan harus menjadi yatim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar