Minggu, 06 Desember 2015

Negeri Asap (cerpen)

Namaku Naya. Umurku 12 tahun. Aku adalah penduduk negeri asap. Kau belum tahu negeri asap? Jangan bohong, Kau pasti tahu. Negeriku sangat terkenal, belakangan ini sering muncul di tv. Bukan karena keindahan alamnya, akan tetapi karena asapnya. Asap yang berasal dari pembakaran ladang, lahan, dan hutan. Asap yang menyelimuti seantero negeri dan membuatnya seakan-akan berada di awan. Putih kabut di setiap sudut.

Aku sangat senang tinggal di negeri asap, negeri yang sudah aku tinggali semenjak aku lahir. Seingatku dulu negeriku tidak berasap. Lalu terjadi pembakaran lahan yang menimbulkan asap. Sempat hilang, kini berasap lagi. Bahkan kian parah. Orang-orang di sekitarku sudah banyak yang memilih evakuasi ke negeri seberang. Akan tetapi aku tidak, aku bersikeras untuk tetap tinggal.

Aku gembira bermain dengan asap. Asap adalah temanku yang paling setia. Dia tebal, kelam, dan ada dimana-mana. Dia ada saat aku mandi di sungai, berjalan kaki ke sekolah, menyeberang jembatan, bahkan saat aku tidur.

“Asap,” aku berkata pada asap saat ia hadir di mimpiku. “Kau jangan pergi. Berjanjilah untuk tetap di sini. Menemaniku setiap hari.”

“Mengapa kau ingin aku tetap di sini? Orang-orang yang lain justru tidak menghendaki kehadiranku.”

“Siapa yang berkata seperti itu? Aku senang kau ada di sini.”

“Kau aneh. Hanya kau yang senang aku di sini. Mereka yang lain menganggap aku adalah bencana. Aku membawa penderitaan. Mereka berlomba-lomba ingin menyingkirkanku dari negerimu ini.” Lalu asap yang murung itu terbang, memudar, dan menghilang dari mimpiku.

Memang benar, orang-orang sangat membenci asap. Mereka selalu mencaci dan mengatakan hal-hal yang tidak baik tentang asap. Menurut mereka, sejak kedatangan asap, bernafas menjadi sesuatu yang mahal.

Negeri tetangga juga mengeluh saat asap singgah di sana. Katanya asap mengganggu penglihatan, mengacaukan penerbangan, merusak kesehatan, dan bla-bla-bla…

Orang tuaku selalu melarangku bermain di luar rumah saat ada asap. Kalau pun harus keluar, aku wajib memakai masker. Katanya asap mengandung partikel berbahaya yang bisa mengancam keselamatan jika dihirup berlebihan. Katanya lagi, asap itu baunya busuk, sebusuk bau mulut orang-orang rakus yang mengkhianati alam.

Aku tidak sependapat dengan orang tuaku. Bagiku, aroma asap sangat alami. Ada semacam aroma kebebasan. Saat menghirup asap, bisa kurasakan hutan, kayu, daun, dan akar menari-nari kegirangan karena terlepas dari penderitaan di dunia.

Lalu bayi-bayi yang meninggal itu, apakah asap penyebabnya? Tentu tidak. Hal seperti itu bisa terjadi dimana saja. Bukan karena asap ataupun ISPA. Bayi-bayi itu pasti titisan orang-orang baik. Tuhan cepat-cepat memanggil mereka kembali ke sorga karena tidak ingin mereka berlama-lama menderita di mercapada. Bukankah ada filsuf yang mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah sebuah penderitaan?

Asap tidak pernah berjanji akan tetap menemaniku, namun aku tahu dia akan selalu datang. Aku tahu itu dengan pasti. Akan selalu ada orang tidak tahu malu yang berbaik hati membakar hutan dan lahan untuk kepentingan pribadi. Akan selalu ada percikkan api keserakahan dari orang-orang tengik yang ingin meraup keuntungan dengan cara ilegal: menghanguskan paru-paru bumi. Jika sudah begitu, asap pun muncul menemani hari-hariku.

Aku tidak tahu siapa mereka, orang-orang baik itu. Apakah mereka pengusaha, petani, orang kaya, orang asing, atau justru pemerintah? Aku tidak tahu. Tapi aku ingin berterima kasih yang sebesar-besarnya pada mereka. Terima kasih dari hati yang terdalam karena telah menciptakan asap-asap ini. Terima kasih karena telah memberikanku teman yang setia, yang kata ibuku, sewaktu-waktu bisa membunuhku, membunuhmu, membunuh semua orang.

Aku juga ingin berterima kasih karena kemunculan asap ternyata membuka lapangan pekerjaan bagi beberapa orang. Ada yang mendadak menjadi pedagang masker. Ada yang serta-merta membuka apotek. Obat mata,  obat sesak, obat batuk, obat penyakit kulit semua laris manis. Puskesmas juga jadi laku dan tambah ramai. Petugas puskesmas yang biasanya hanya duduk-duduk santai sambil nonton tv kini punya kesibukan. Sungguh bijak tindakan para pembakar hutan dan ladang itu.

Selanjutnya mungkin jangan di negeriku saja, bakarlah hutan dan lahan di negeri sebelah, di negeri tetangga, di seluruh dunia sekalian! Biarkan asap penuh menyelimuti bumi. Setelah itu anak-cucu Kalian tidak lagi mengenal bumi sebagai planet biru melainkan planet kelabu.

Sebarkan asap hingga matahari pun tersedak. Buatlah asap mengepung seluruh negeri. Agar bukan hanya aku yang merasakan kegembiraan adanya asap ini. Agar ada anak-anak lain yang bisa bermain dengan asap. Agar ada anak-anak lain yang mengenakan masker setiap keluar rumah. Agar ada anak-anak lain yang memiliki kesempatan tidak pergi ke sekolah sebab dilarang oleh guru-gurunya di sekolah akibat dari polusi udara yang sudah melewati batas toleransi!

Bakar! Bakar! Bakar saja semua! Buka lahan seluas-luasnya. Tanam kelapa sawit sebanyak-banyaknya. Bangun pabrik setinggi-tingginya. Keruk rupiah sedalam-dalamnya. Sampai Kalian sendiri bisa mati tenggelam di dalamnya. Penuhi keserakahan Kalian. Jangan sisakan ruang untuk oksigen. Jangan pikirkan hewan dan tumbuhan yang kehilangan habitat dan terancam punah. Pikirkan saja perut Kalian yang tak pernah kenyang dan semakin buncit.

(Naya terengah-engah melampiaskan emosinya. Tangannya mengepal. Setetes air mata merambat turun di pipi yang berabu. Sekejap kemudian ia tersenyum kembali.)

Oh ya, aku belum menceritakan tentang sekolahku. Kini aku kelas 5 SD. Dulu aku suka bolos. Bersama beberapa teman aku tidak pergi ke sekolah. Tetapi sekarang aku tidak perlu bolos lagi sebab sekolah sendiri yang melarang kami datang. Aku tidak sedih dengan hal itu. Lagipula aku memang tidak begitu  suka dengan pelajarannya. Aku lebih suka belajar dari alam. Api, tanah, angin, dan air mengajariku tentang banyak hal. Tentang moral, kesederhanaan, kejujuran, dan banyak lagi. Di sekolah, hanya satu pelajaran yang aku suka, yaitu pelajaran mengarang yang diajarkan oleh Pak Su… Su… Ahh, tiba-tiba aku lupa namanya. Nanti kalau aku sudah diperbolehkan ke sekolah lagi, aku ingin mengarang sebuah cerita pendek tentang negeriku ini dan kuberi judul “Negeri Asap”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar