Minggu, 18 Oktober 2015

Akulah Si Rembo (cerpen)



Akulah Rembo. Aku adalah anjing jantan ras American Pit Bull Terrier atau biasa disingkat Pit Bull. Kakek moyangku adalah ras Terrier petarung sedangkan nenek moyangku adalah ras Bulldog petarung. Orang-orang mengatakan asal-muasalku dari tanah Inggris dan Irlandia. Akan tetapi, ada juga yang berteori bahwa leluhurku berasal dari Amerika. Terserahlah apa kata mereka, aku tidak terlalu peduli.

Akulah Rembo yang gagah. Dalam tubuhku mengalir darah ras anjing yang unggul. Badanku tegap, kekar, dan berotot seperti Mike Tyson, petinju leher beton itu. Kepalaku lebar dan moncongku pendek. Telingaku dikupir tegak berdiri. Mataku coklat bening. Hidung dan bibirku merah muda. Gigi-gigiku tajam dan basah di atas rahang yang bisa mengunci. Sekali aku menggigit, jangan harap kau bisa melepaskan diri. Buluku pendek dan bersih. Berwarna dominan coklat keemasan dan sedikit warna putih pada kepala bagian kiri dan bagian dada hingga perut. Aku juga memiliki ekor meski pendek saja.

Akulah Rembo yang ditakuti. Wajahku sangar, tatapanku menantang, auraku mengancam. Nafasku liar. Aku agresif, temperamental, dan mudah naik pitam, jadi jangan coba-coba memprovokasiku. Aku tak kenal belas kasihan dan tak kenal ampun. Emosiku mudah terpancing, terutama ketika ada anjing lain mendekati.

Bersama majikanku, aku hidup dalam kemewahan. Makananku selalu lezat dengan gizi yang terukur. Makananku nasi, daging sapi, leher ayam, ditambah susu. Cemilanku roti dan buah-buahan. Sekali-sekali aku dibelikan dog food mahal merk terkenal.

Kesehatanku sangat dijaga. Kandangku selalu bersih dan nyaman. Aku suka jalan-jalan. Tapi ada satu tempat yang tidak ku suka, yaitu salon hewan. Tempat itu bisa melunturkan aura kejantananku. Kalau bepergian aku berdandan biar keren. Aku memakai baju, topi, dan kacamata hitam. Sering diperlakukan layaknya manusia membuatku merasa seperti manusia sungguhan. Aku mengerti apa yang dikatakan majikanku. Aku sering makan di meja makan bersamanya. Aku sering tidur di tempat tidurnya.

Aku senang hidup bersama majikanku. Di rumahnya, aku menjadi penjaga yang tangguh dan ditakuti. Gonggonganku yang menggelegar mampu menciutkan nyali para begundal yang berniat buruk. Aku juga membuatnya bangga karena sering menjuarai kontes Pit Bull. Aku sangat sehat, lincah, dan cekatan. Lariku kencang dan gesit. Aku mampu melompat dan menerkam umpan karung goni yang digantung setinggi 5 meter.

Akulah Rembo yang beruntung. Ya, aku sangat beruntung hidup di zaman sekarang. Kau pasti terenyuh jika mengetahui kisah leluhurku. Zaman dahulu mereka dijadikan binatang aduan. Dijadikan gladiator. Nyawa mereka tak berarti. Luka dan darah mereka dibeli untuk kesenangan manusia. Sakit mereka adalah tawa bagi petaruh. Semakin tercabik-cabik tubuh mereka, semakin riuh manusia-manusia kejam itu bersorak sorai. Ras anjing sepertiku memang terkenal sangar, galak, dan suka berkelahi. Semua itu disalahgunakan oleh manusia. Sampai saat ini pun banyak yang masih menganggapku sebagai hewan buas. Orang-orang melihatku dengan pandangan takut dan ngeri. Mereka tidak ingin dekat-dekat denganku. Di situ kadang aku merasa sedih.

Akulah Rembo yang kuat dan pemberani. Aku tidak gentar diadu dengan siapapun. Ras anjing sepertiku adalah yang terkuat. Jangan membandingkan aku dengan ras anjing lainnya. Sebut saja Doberman si kurus atau Herder si kacung polisi, mereka sama sekali bukan tandinganku. Golden, Great Dane, Rottweiler, Labrador, Siberian Husky, mereka semua banci. Anjing-anjing seperti Dalmation, Pomerians, dan Ci Hua Hua bahkan sudah kabur begitu mendengar nafasku. Zaman dahulu, kakek dari kakeknya kakekku pernah diadu melawan banteng di Spanyol. Dia tidak mundur sedikit pun, dan hebatnya lagi, menjatuhkan banteng itu. Konon, dari situlah awal mula Bull diselipkan dalam nama ras kami.

Dua hari yang lalu, saat aku dan majikanku sedang keluar, seekor anjing jalanan menghadang. Anjing kurus dan koreng itu terlihat tidak bersahabat. Sepertinya ia kesal dan marah. Ia menggeram dan memamerkan gigi-giginya yang penuh bakteri busuk. Air liurnya deras menetes-netes. Matanya semerah darah, lekat menggertak majikanku. Anjing itu memasang kuda-kuda hendak menerkam. Aku segera tahu, anjing itu gila!

Mau apa anjing kumal ini? Dia tidak tahu dengan siapa dia sedang berhadapan, pikirku. Tak ayal amarahku tersulut. Naluri bertarungku pun bergejolak. Emosiku terbakar. Aku menggeram lebih keras dan tak mau kalah memamerkan gigi-gigiku yang tajam berkilat. Mataku awas mengintai setiap gerakannya. Otak anjing itu benar-benar tidak beres, bukannya kabur ia malah makin mendekat. Majikanku berusaha tenang. Ia paham, melakukan gerakan yang tiba-tiba bisa berakibat fatal. Lalu dengan satu hentakan yang mengejutkan, anjing itu menyerang. Ia mengarahkan gigitannya yang buas ke kaki majikanku.

Akulah Rembo yang setia. Tentu aku tak tinggal diam. Dengan gesit aku melompat dan menjadi tameng majikanku. Tak kubiarkan anjing gila itu menyentuh majikanku. Aku sangat sayang padanya. Ia mengadopsiku sejak aku berusia 2 bulan. Sejak saat itu, ia sudah menjadi ayahku, ibuku, sahabatku, pelindungku, pelatihku. Anjing kurap itu harus melangkahi mayatku dulu jika ingin mencelakainya.

“Rembo! Rembo! Awas, Rembo!” Aku mendengar majikanku berteriak khawatir. Aku dan anjing gila itu jatuh berguling-guling. Ah, rupanya bahuku tergigit. Darah mengalir keluar dari dagingku yang terkoyak. Tapi aku tidak merasakan sakit. Kata sakit tidak ada dalam kamus hidupku. Lalu aku dan anjing gila itu bangkit. Kami berduel dengan sengit, saling cakar dan saling gigit.

Tenaga anjing gila itu lumayan juga. Ia menyerangku dengan beringas dan membabi buta. Terus menerus dan tak lelah. Namun, tetap saja ia bukan lawanku yang seimbang. Akulah Rembo Sang Algojo. Aku tidak ingin buang-buang waktu. Saat anjing kalap itu lengah, aku langsung menerkamnya tepat di leher. Darah muncrat mengenai wajahku. Anjing itu meraung-raung, memberontak berusaha melepaskan diri. Tapi sia-sia. Rahangku mengunci. Kubanting tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Ia masih meronta-ronta. Kakinya mengais-ngais. Akhirnya dengan kekuatan penuh, aku mengeksekusinya. Krakk! Lehernya patah, riwayatnya usai sudah.

“Rembo! Rembo!” Majikanku berlari mendekatiku. Dari matanya aku tahu ia panik dan gusar. Kemudian ia mengusap-usap kepalaku. “Bagus jagoan. Kau berdarah, ayo kita ke dokter.”

   Sampai di klinik, lukaku langsung dibersihkan dan dijahit. Aku diberi antibiotik. Dokter sebenarnya menyarankan agar aku diberi suntikan anti rabies. Namun berita buruk, stok vaksin rabies kosong dimana-mana. Majikanku menelpon ke semua rumah sakit, semua klinik, semua kenalan, akan tetapi nihil, semua kehabisan stok. Majikanku membawaku pulang bersama rasa takut.

Ketakutan itu menjadi kenyataan siang tadi. Aku kalap. Entah apa yang terjadi. Aku menggonggong dan berniat menggigitnya ketika ia membawa makanan dan air untukku. Air? Ya tiba-tiba aku mengalami phobia terhadap air. Aku juga merasakan sendi-sendi tubuhku ngilu. Air liurku keluar terus dan aku sensitif terhadap sinar. Aku menjadi liar dan lepas kendali. Ada amarah meledak-ledak di dadaku. Aku merasa diriku bukanlah aku.

“Rembo, tenang Rembo. Ini cuma air dan makanan.” Majikanku memaksa mendekat. Aku menyeringai dan menunjukkan taringku. Oh, apa yang telah kulakukan. Seperti ada yang berbisik di telingaku, memerintahku agar menggigitnya. Tidak, aku tidak bisa menggigitnya. Aku tidak mungkin menggigit orang yang aku sayangi. Aku melawan bisikan itu. Akan tetapi, semakin lama bisikan itu semakin kuat. Aku tidak bisa lagi mengontrol diri. Aku memberontak berusaha melepaskan diri dari rantai yang mengikat leherku. Dalam kegilaan aku masih bisa melihat raut wajah sedihnya. Ia tahu apa yang telah terjadi padaku dan risiko jika aku menggigitnya namun ia tidak lari, ia tetap berdiri di sana.

Saking kuatnya tenagaku, rantai yang mengekangku terputus. Taringku rasanya gatal ingin mengoyak sesuatu. Saat itu aku bisa saja langsung menerkam majikanku. Tapi sejenak aku sadar. Aku malu, bingung. Aku benar-benar kacau. Majikanku menatapku dengan tatapan penuh harapan aku sembuh. Sejenak kemudian mataku kembali berkilat merah. Demi menghindari majikanku, aku berlari keluar rumah. Aku berlari menjauh sekencang-kencangnya. Dalam hati aku sedih dan menangis. Aku telah mengecewakannya.

Akulah Rembo si anjing rabies. Aku tertular rabies dari anjing yang menggigitku dua hari yang lalu itu. Saat ini aku tergolek lumpuh tak berdaya. Virus rabies telah menyerang pusat saraf di otakku. Aku telah menggigit seorang anak kecil tak berdosa yang ku papas di jalan. Hukum alam berlaku. Anjing rabies akan segera menemui ajal setelah menggigit mangsanya. Di sinilah aku meringkuk sekarang, sekarat dan sendirian dalam kegelapan. Mengingat masa-masa keemasan di detik-detik sisa hidup yang akan berakhir mengenaskan. Ironis memang. Sebelum kuhembuskan nafas terakhir, kuceritakan kisahku ini padamu, Kawan. Agar kelak ada yang mengenang, akulah si Rembo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar