Akulah Si Rembo (cerpen)
Akulah
Rembo. Aku adalah anjing jantan ras American Pit Bull Terrier atau biasa
disingkat Pit Bull. Kakek moyangku adalah ras Terrier petarung sedangkan nenek
moyangku adalah ras Bulldog petarung. Orang-orang mengatakan asal-muasalku dari
tanah Inggris dan Irlandia. Akan tetapi, ada juga yang berteori bahwa leluhurku
berasal dari Amerika. Terserahlah apa kata mereka, aku tidak terlalu peduli.
Akulah
Rembo yang gagah. Dalam tubuhku mengalir darah ras anjing yang unggul. Badanku
tegap, kekar, dan berotot seperti Mike Tyson, petinju leher beton itu. Kepalaku
lebar dan moncongku pendek. Telingaku dikupir tegak berdiri. Mataku coklat
bening. Hidung dan bibirku merah muda. Gigi-gigiku tajam dan basah di atas
rahang yang bisa mengunci. Sekali aku menggigit, jangan harap kau bisa
melepaskan diri. Buluku pendek dan bersih. Berwarna dominan coklat keemasan dan
sedikit warna putih pada kepala bagian kiri dan bagian dada hingga perut. Aku
juga memiliki ekor meski pendek saja.
Akulah
Rembo yang ditakuti. Wajahku sangar, tatapanku menantang, auraku mengancam. Nafasku
liar. Aku agresif, temperamental, dan mudah naik pitam, jadi jangan coba-coba
memprovokasiku. Aku tak kenal belas kasihan dan tak kenal ampun. Emosiku mudah
terpancing, terutama ketika ada anjing lain mendekati.
Bersama
majikanku, aku hidup dalam kemewahan. Makananku selalu lezat dengan gizi yang
terukur. Makananku nasi, daging sapi, leher ayam, ditambah susu. Cemilanku
roti dan buah-buahan. Sekali-sekali aku dibelikan dog food mahal merk terkenal.
Kesehatanku
sangat dijaga. Kandangku selalu bersih dan nyaman. Aku suka jalan-jalan. Tapi
ada satu tempat yang tidak ku suka, yaitu salon hewan. Tempat itu bisa
melunturkan aura kejantananku. Kalau bepergian aku berdandan biar keren. Aku memakai
baju, topi, dan kacamata hitam. Sering diperlakukan layaknya manusia membuatku
merasa seperti manusia sungguhan. Aku mengerti apa yang dikatakan majikanku.
Aku sering makan di meja makan bersamanya. Aku sering tidur di tempat tidurnya.
Aku
senang hidup bersama majikanku. Di rumahnya, aku menjadi penjaga yang tangguh
dan ditakuti. Gonggonganku yang menggelegar mampu menciutkan nyali para
begundal yang berniat buruk. Aku juga membuatnya bangga karena sering menjuarai
kontes Pit Bull. Aku sangat sehat, lincah, dan cekatan. Lariku kencang dan
gesit. Aku mampu melompat dan menerkam umpan karung goni yang digantung
setinggi 5 meter.
Akulah
Rembo yang beruntung. Ya, aku sangat beruntung hidup di zaman sekarang. Kau
pasti terenyuh jika mengetahui kisah leluhurku. Zaman dahulu mereka dijadikan binatang
aduan. Dijadikan gladiator. Nyawa mereka tak berarti. Luka dan darah mereka dibeli
untuk kesenangan manusia. Sakit mereka adalah tawa bagi petaruh. Semakin
tercabik-cabik tubuh mereka, semakin riuh manusia-manusia kejam itu bersorak sorai. Ras
anjing sepertiku memang terkenal sangar, galak, dan suka berkelahi. Semua itu
disalahgunakan oleh manusia. Sampai saat ini pun banyak yang masih menganggapku
sebagai hewan buas. Orang-orang melihatku dengan pandangan takut dan ngeri.
Mereka tidak ingin dekat-dekat denganku. Di situ kadang aku merasa sedih.
Akulah
Rembo yang kuat dan pemberani. Aku tidak gentar diadu dengan siapapun. Ras
anjing sepertiku adalah yang terkuat. Jangan membandingkan aku dengan ras
anjing lainnya. Sebut saja Doberman si kurus atau Herder si kacung polisi,
mereka sama sekali bukan tandinganku. Golden, Great Dane, Rottweiler, Labrador,
Siberian Husky, mereka semua banci. Anjing-anjing seperti Dalmation, Pomerians,
dan Ci Hua Hua bahkan sudah kabur begitu mendengar nafasku. Zaman dahulu, kakek
dari kakeknya kakekku pernah diadu melawan banteng di Spanyol. Dia tidak mundur
sedikit pun, dan hebatnya lagi, menjatuhkan banteng itu. Konon, dari
situlah awal mula Bull diselipkan
dalam nama ras kami.
Dua
hari yang lalu, saat aku dan majikanku sedang keluar, seekor anjing jalanan
menghadang. Anjing kurus dan koreng itu terlihat tidak bersahabat. Sepertinya
ia kesal dan marah. Ia menggeram dan memamerkan gigi-giginya yang penuh bakteri
busuk. Air liurnya deras menetes-netes. Matanya semerah darah, lekat menggertak
majikanku. Anjing itu memasang kuda-kuda hendak menerkam. Aku segera tahu,
anjing itu gila!
Mau
apa anjing kumal ini? Dia tidak tahu dengan siapa dia sedang berhadapan,
pikirku. Tak ayal amarahku tersulut. Naluri bertarungku pun bergejolak. Emosiku
terbakar. Aku menggeram lebih keras dan tak mau kalah memamerkan gigi-gigiku yang tajam
berkilat. Mataku awas mengintai setiap gerakannya. Otak anjing itu benar-benar
tidak beres, bukannya kabur ia malah makin mendekat. Majikanku berusaha tenang.
Ia paham, melakukan gerakan yang tiba-tiba bisa berakibat fatal. Lalu dengan
satu hentakan yang mengejutkan, anjing itu menyerang. Ia mengarahkan gigitannya
yang buas ke kaki majikanku.
Akulah
Rembo yang setia. Tentu aku tak tinggal diam. Dengan gesit aku melompat dan
menjadi tameng majikanku. Tak kubiarkan anjing gila itu menyentuh majikanku.
Aku sangat sayang padanya. Ia mengadopsiku sejak aku berusia 2 bulan. Sejak
saat itu, ia sudah menjadi ayahku, ibuku, sahabatku, pelindungku, pelatihku.
Anjing kurap itu harus melangkahi mayatku dulu jika ingin mencelakainya.
“Rembo!
Rembo! Awas, Rembo!” Aku mendengar majikanku berteriak khawatir. Aku dan anjing
gila itu jatuh berguling-guling. Ah, rupanya bahuku tergigit. Darah mengalir
keluar dari dagingku yang terkoyak. Tapi aku tidak merasakan sakit. Kata sakit tidak ada dalam kamus hidupku.
Lalu aku dan anjing gila itu bangkit. Kami berduel dengan sengit, saling cakar
dan saling gigit.
Tenaga
anjing gila itu lumayan juga. Ia menyerangku dengan beringas dan membabi buta.
Terus menerus dan tak lelah. Namun, tetap saja ia bukan lawanku yang seimbang.
Akulah Rembo Sang Algojo. Aku tidak ingin buang-buang waktu. Saat anjing kalap
itu lengah, aku langsung menerkamnya tepat di leher. Darah muncrat mengenai wajahku.
Anjing itu meraung-raung, memberontak berusaha melepaskan diri. Tapi sia-sia.
Rahangku mengunci. Kubanting tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Ia masih
meronta-ronta. Kakinya mengais-ngais. Akhirnya dengan kekuatan penuh, aku mengeksekusinya.
Krakk! Lehernya patah, riwayatnya usai sudah.
“Rembo!
Rembo!” Majikanku berlari mendekatiku. Dari matanya aku tahu ia panik dan
gusar. Kemudian ia mengusap-usap kepalaku. “Bagus jagoan. Kau berdarah, ayo
kita ke dokter.”
Sampai di klinik, lukaku langsung dibersihkan
dan dijahit. Aku diberi antibiotik. Dokter sebenarnya menyarankan agar aku
diberi suntikan anti rabies. Namun berita buruk, stok vaksin rabies kosong dimana-mana.
Majikanku menelpon ke semua rumah sakit, semua klinik, semua kenalan, akan
tetapi nihil, semua kehabisan stok. Majikanku membawaku pulang bersama rasa takut.
Ketakutan itu menjadi kenyataan siang tadi. Aku kalap. Entah apa yang terjadi. Aku menggonggong dan berniat
menggigitnya ketika ia membawa makanan dan air untukku. Air? Ya tiba-tiba aku
mengalami phobia terhadap air. Aku juga merasakan sendi-sendi tubuhku ngilu.
Air liurku keluar terus dan aku sensitif terhadap sinar. Aku menjadi liar dan
lepas kendali. Ada amarah meledak-ledak di dadaku. Aku merasa diriku bukanlah
aku.
“Rembo,
tenang Rembo. Ini cuma air dan makanan.” Majikanku memaksa mendekat. Aku
menyeringai dan menunjukkan taringku. Oh, apa yang telah kulakukan. Seperti ada
yang berbisik di telingaku, memerintahku agar menggigitnya. Tidak, aku
tidak bisa menggigitnya. Aku tidak mungkin menggigit orang yang aku sayangi.
Aku melawan bisikan itu. Akan tetapi, semakin lama bisikan itu semakin kuat.
Aku tidak bisa lagi mengontrol diri. Aku memberontak berusaha melepaskan diri
dari rantai yang mengikat leherku. Dalam kegilaan aku masih bisa melihat raut
wajah sedihnya. Ia tahu apa yang telah terjadi padaku dan risiko jika aku menggigitnya namun ia tidak lari, ia
tetap berdiri di sana.
Saking
kuatnya tenagaku, rantai yang mengekangku terputus. Taringku rasanya gatal
ingin mengoyak sesuatu. Saat itu aku bisa saja langsung menerkam majikanku.
Tapi sejenak aku sadar. Aku malu, bingung. Aku benar-benar kacau. Majikanku
menatapku dengan tatapan penuh harapan aku sembuh. Sejenak kemudian mataku
kembali berkilat merah. Demi menghindari majikanku, aku berlari keluar rumah.
Aku berlari menjauh sekencang-kencangnya. Dalam hati aku sedih dan menangis. Aku
telah mengecewakannya.
Akulah
Rembo si anjing rabies. Aku tertular rabies dari anjing yang menggigitku dua
hari yang lalu itu. Saat ini aku tergolek lumpuh tak berdaya. Virus rabies
telah menyerang pusat saraf di otakku. Aku telah menggigit seorang anak kecil
tak berdosa yang ku papas di jalan. Hukum alam berlaku. Anjing rabies akan
segera menemui ajal setelah menggigit mangsanya. Di sinilah aku meringkuk
sekarang, sekarat dan sendirian dalam kegelapan. Mengingat masa-masa keemasan
di detik-detik sisa hidup yang akan berakhir mengenaskan. Ironis memang.
Sebelum kuhembuskan nafas terakhir, kuceritakan kisahku ini padamu, Kawan. Agar
kelak ada yang mengenang, akulah si Rembo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar