Minggu, 27 November 2016

Buku Terakhir dari Ibu



(Ida Ayu Kusuma Widiari)

Hari Minggu yang cerah. Cuaca yang bagus bagi Elang Angkasa, seorang anak laki-laki yang baru duduk di bangku kelas 8 sekolah menengah pertama, untuk berjualan. Berbekal semangat dan percaya diri, Elang berkeliling pasar menjajakan kue buatan ibunya. Hari itu, seluruh dagangannya habis terjual. Dia sangat senang. Dia kembali ke rumah dengan wajah ceria. Tangannya yang kurus dan legam memeluk keranjang yang telah kosong. Sesampainya di rumah, di sebuah gubug  yang sangat sederhana, yang dinding dan pintu-pintunya hanya terbuat dari potongan-potongan bambu dan triplek, Elang langsung merebahkan diri.
“Lelah tapi menyenangkan,” gumamnya sambil tersenyum, jarang dia sesenang itu.
Tak lama, Elang lalu meraih sebuah buku yang tertumpuk di lantai dan mulai membacanya. Dia membaca buku berjam-jam. Membaca memang hobinya. Baginya, buku adalah teman sejati yang bisa dibawa kemana saja dan bisa disapa kapan saja.
Tak terasa hari sudah sore. Elang menghentikan sejenak aktivitas membaca buku. Dia keluar rumah dan duduk di sana menunggu sang ibu pulang dari bekerja.
“Ibu!” Elang berseru menyambut seorang wanita yang datang terbungkuk-bungkuk menenteng bungkusan. Wanita itu tersenyum. Dari sorot matanya, tampak betul ia begitu lelah. Keriput memenuhi wajahnya. Uban memenuhi kepalanya. Wanita itu bernama Narsih, ibu Elang. Mereka berdua masuk ke rumah lalu makan bersama. Elang memang harus menunggu sang ibu pulang kerja untuk bisa makan sebab di rumah tidak pernah ada makanan. Sehabis makan, Elang kembali membaca buku diterangi cahaya lampu kuning. Begitulah Elang menghabiskan malamnya hingga tertidur.
Elang berlari secepat yang dia mampu sambil berteriak memanggil-manggil seorang lelaki. Namun, lelaki itu mengabaikannya. “Ayah!” itu kata terakhir yang dia teriakkan sebelum laki-laki itu menghilang. “Elang! Bangun, Nak! Kamu mengigau lagi.” Narsih menggoncang-goncang tubuh anaknya. Elang sontak terbangun. Keringat membasahi wajahnya. “Ayo, bangun. Tidak usah tidur lagi. Lagipula sudah jam 6, kamu harus ke sekolah.”
Elang menatap ibunya lalu menunduk. “Bu, aku tidak ingin ke sekolah. Entah kenapa aku merasa sangat mengantuk.”
“Tidak, Nak. Bukan mengantuk masalahmu. Apakah Kau malu? Jadilah Elang yang tegar, bukan Elang yang pengecut.” Elang tidak membantah lagi. Dia bangkit dari kasurnya yang tipis lalu pergi mandi.
“Elang! Ora pingin lunga bebarengan?” terdengar teriakan Bagus, teman sekelas Elang, sesaat setelah Elang selesai sarapan mi instan.
“Iya, Gus. Tunggu sebentar.” Elang bergegas. Sebelum pergi, dia berpamitan pada ibunya. Tak lupa dia membawa kue sekeranjang untuk dititipkan di kantin sekolah.
Udara pagi itu begitu membekukan jiwa Elang. Selama perjalanan dia diam saja. Tatapannya kosong. Apa yang ada di pikirannya? Apakah terkait mimpi tadi subuh? Entahlah. Tas gendong hitam yang sudah sobek sana-sini setia melekat di punggungnya.
“Teet! Teett! teett!” bel sekolah berbunyi memecah kesunyian pagi. Suaranya nyaring terdengar hingga sejauh 50 meter dari sekolah. Elang dan Bagus berlari menuju sekolah. Untung saja pintu gerbangnya belum ditutup. Saat sampai di tengah-tengah lapangan, mereka berdua berpisah. Bagus langsung menuju kelas sedangkan Elang harus ke kantin dulu menitipkan kue buatan ibunya tadi. Saat Elang sampai di kelas, semua mata tertuju padanya. Dia berjalan sambil menundukkan kepala, malu karena kejadian beberapa hari yang lalu.
“Ayo, Lang, semangat!” ucap Akbar, teman sebangku Elang.
Jam demi jam pelajaran terlewati, bel istirahat pun berbunyi. Semua murid berhamburan menuju kantin, kecuali Elang. Uang saku yang diberi ibunya, kadang seribu, kadang dua ribu, dia simpan. Dia menghabiskan jam istirahat di perpustakaan. Di sana dia menyalurkan hobinya membaca. Sesekali dia melempar pandangan keluar jendela, terpesona memandang cerahnya langit biru tanpa awan. Elang mempunyai mimpi ingin berkeliling dunia untuk menyaksikan keindahan setiap sudut dunia. Namun ketika dia bercermin, melihat keadaannya yang miskin, dia merasa mustahil bisa mewujudkannya. Itulah alasan dia gemar membaca. Dia ingin melihat dunia dari buku sebab buku adalah jendela dunia.
Tak terasa sudah 30 menit. Bel tanda masuk kelas berbunyi. Elang bangkit menuju kelas. Sebuah buku kumpulan cerpen setebal 50 halaman habis dibaca olehnya. Tiba-tiba langkahnya dihentikan Fahri dan gengnya.
“Rupanya Kau masih berani ke sekolah. Cukup besar juga nyalimu, Lang!”
Elang diam tertunduk. Dia tidak melawan. Bukan karena takut, namun ia berusaha mengendalikan diri. Beruntung pada saat yang runyam itu datang Syana membela Elang.
“Fahri, salah apa Elang padamu? Mengapa kamu tak henti-hentinya mengganggu Elang? Jangan mengganggu dia lagi atau kulaporkan kelakuanmu pada Pak Yudana supaya kamu dikeluarkan dari sekolah ini!” Mendengar nama Pak Yudana, sang wakasek kesiswaan yang terkenal garang itu, nyali Fahri dan komplotannya menciut.
“Awas, kau nanti!” ancam Fahri lalu kabur.
“Sudah, Lang. Tidak usah dihiraukan. Aku tahu kamu tidak bersalah ketika itu.” Syana berusaha membesarkan hati Elang.
Jam di dinding kelas menunjukkan pukul 12.30. Sebagian besar murid tampak sudah penat dan kurang bersemangat. Mereka terus melirik ke arah jam, berharap bel tanda pulang sekolah cepat berbunyi. Hanya Elang yang masih kelihatan bersemangat dan fokus. Untuk urusan belajar dan membaca, Elang memang tak pernah bosan. Lima menit kemudian bel berbunyi. Sebelum pulang, Elang mampir ke kantin mangambil uang hasil penjualan.
“Seribu, dua ribu, tiga ribu, enam, delapan, dua puluh, tiga puluh dua ribu,” dengan cekatan Elang menghitung. Sore nanti, uang itu akan diserahkan ke ibunya.
Dalam perjalanan pulang, Elang berhenti sebentar di sebuah toko buku. Nama toko itu sama dengan pemiliknya, Toko Buku Tangkas. Elang sangat akrab dengan Paman Tangkas, seorang lelaki 50 tahunan, berpostur tinggi-besar, namun lucu dan ramah. Paman Tangkas sudah menikah namun tidak memiliki anak.
“Hai, Elang. Sudah lama kau tidak mampir. Paman punya koleksi buku baru. Apakah kau mau melihatnya? tanya Paman Tangkas.
“Tentu, Paman. Tapi, buku yang kuambil dua minggu lalu belum kubayar.” Elang merasa tidak enak hati sebab berhutang terlalu lama.
“Ah, no problem. Coba kau lihat dulu. Kalau kau suka, bawa saja pulang. Masalah bayar, bisa nanti-nanti saja.” Paman Tangkas terkekeh, mengambil sebuah buku, kemudian menyerahkannya pada Elang. Elang mengusap sampul buku itu dan membaca judulnya, Ayah Menyayangi Tanpa Akhir. Tiba-tiba Elang merasa dadanya bergemuruh. Matanya berkaca-kaca. Tanpa basa-basi, Elang mengembalikan buku itu lalu berlari. Paman Tangkas memandang Elang sampai jauh. Sedih hatinya melihat anak malang itu. “Elang, kau pasti sangat merindukan ayahmu,” ucapnya lirih.
Sore itu, Bu Narsih tidak seperti biasanya membeli lauk tahu-tempe untuk dimakan. Kali ini ia membuatkan Elang makanan kesukaannya, yaitu ayam kecap. Elang makan sangat lahap. Dua piring nasi habis disikatnya. Dia memang jarang menikmati daging. Sehabis makan, Elang menemani ibunya membuat adonan kue sambil membaca buku.
“Bu, dua minggu lalu aku mengambil sebuah buku di toko Paman Tangkas. Sampai sekarang uangku belum cukup untuk membayarnya. Kemudian, tadi siang aku melihat sebuah buku lagi dan aku ingin membelinya.”
“Nak, habiskan dulu membaca bukumu itu. Kalau ibu dapat rejeki lebih, ibu akan memberimu uang untuk membeli buku yang kau inginkan.”
“Iya, Bu,” jawab Elang senang. Senyumnya terlihat mengembang di bawah sinar lampu temaram.
Keesokkan harinya semua berjalan seperti biasa. Pagi-pagi Elang berangkat ke sekolah membawa sekeranjang kue. Saat jam istirahat, dia ke perpustakaan. Kali ini dia membaca novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Saat pulang, dia ke kantin mengambil uang hasil penjualan.
“Wah, kuenya habis ya, Bu?” Ibu kantin tersenyum mengangguk lalu memberi Elang uang delapan puluh ribu rupiah. Elang menerimanya dengan penuh sukacita. Dia berlari supaya cepat sampai di rumah. Sampai di rumah, senyumnya mendadak lenyap. Terkejut dia melihat sang ibu terbaring pucat.
“Ibu pulang lebih awal? Ibu sakit?” Elang bertanya cemas. Ibunya bekerja sebagai tukang cuci baju di sebuah laundry dan seharusnya pulang jam 5 nanti sore.
“Iya, Nak. Ibu minta ijin pulang lebih awal. Tidak usah khawatir. Ibu baik-baik saja. Hanya sedikit kelelahan.” Malamnya Elang tidak bisa memejamkan mata.
Ketika pagi menjelang, Elang masih mendapati ibunya terbaring. Wajahnya lebih pucat dari sebelumnya. Lalu dia berinisiatif membelikan ibunya bubur dengan uang hasil penjualan kue kemarin. Setelah itu, dia membangunkan ibunya.
“Ibu, makanlah bubur ini.” Dengan cekatan Elang menumpahkan bubur itu ke dalam piring seng. Setelah memakai seragam, dia berpamitan, “Bu, sekarang aku berangkat ke sekolah dulu. Nanti aku akan cepat pulang.”
Elang melangkah tapi tidak menuju sekolah melainkan ke pasar. Dia berniat mencari pekerjaan. Dia tahu ibunya tidak akan sembuh dengan cepat. Harus ada yang bekerja agar mereka tetap bisa makan. Betapa mulia hati anak itu. Akhirnya di pasar, Elang mendapat pekerjaan yaitu sebagai kuli angkut barang. Badannya memang kerempeng tapi dia mampu mengangkut beras karung 50 kilogram. Pukul 12.30 dia pulang membawa bubur lagi untuk ibunya.
“Nak, maafkan ibu tidak menyiapkan sarapan untukmu. Malah kamu yang menyiapkan bubur untuk ibu.”
“Tidak apa-apa, Bu.” Elang merasa badannya remuk tapi dia senang bisa merawat ibunya.
“Darimana kau dapatkan uang untuk membeli bubur?”
“Uang penjualan kue kemarin, Bu. Ditambah uang simpananku.”
“Bukankah uang simpanan itu untuk membayar buku yang kau ambil di toko Paman Tangkas? Mudah-mudahan besok ibu bisa bekerja. Ibu akan mengganti uangmu.”
“Tidak apa-apa, Bu. Ibu istirahat saja dulu. Kalau sudah benar-benar sembuh, barulah ibu bekerja lagi.” Elang sangat menyayangi ibunya.
Sejak itu Elang tidak pernah ke sekolah. Tiap pagi dia berpamitan mengaku ke sekolah namun sesungguhnya dia menjadi buruh. Pendidikan memang penting, sebagai jembatan untuk meraih cita-cita, namun kesehatan sang ibu lebih penting. Apalagi hanya ibu yang dia miliki sekarang. Sang ayah menghilang tiga tahun lalu. Ada yang bilang lelaki itu tenggelam saat mencari ikan di laut. Ada juga yang mengatakan lelaki itu minggat dan menikah dengan perempuan lain.
Hingga akhirnya, setelah 5 hari menjadi buruh, Elang dikagetkan oleh kedatangan seorang wanita di pasar. Wanita itu tak lain adalah Bu Narsih, ibunya.
“Apa yang kau lakukan di sini, Nak? Jadi, selama ini kau berbohong pada ibu? Tadi Bagus datang mengatakan kau sudah 5 hari tidak sekolah. Ternyata kau di sini.” Ekspresi wajah ibunya bercampur antara marah, kaget, dan terharu melihat anaknya terseok-seok menaikkan sekarung beras ke atas mobil. “Nak, maafkan ibu tidak bisa menjadi orangtua yang baik. Mulai besok ibu sudah bisa bekerja lagi. Kau juga harus kembali bersekolah.” Elang menggeleng. Betapa dia ingin mengurangi beban ibunya. Air mata mulai mengucur dari sudut mata Elang. “Kau harus tetap semangat anakku. Kau tahu mengapa kau tidak dikeluarkan dari sekolah saat memukul Fahri tempo hari? Itu karena kau pintar, prestasimu gemilang, kau calon juara, Nak. Dan lagi, guru-guru tahu kau menjadi kasar karena Fahri yang memulai dengan menjelek-jelekkan ayahmu.” Mereka akhirnya pulang sambil menangis berangkulan.
Semenjak kejadian itu Elang kembali bersekolah seperti biasa. Sang ibu juga sudah kembali bekerja meski masih tampak lemah.
Suatu siang, ketika Elang pulang dari sekolah, dia mendapati rumahnya dipenuhi orang-orang. Dia heran lalu bergegas ke dalam. Di sana, di tempat tidur sederhana itu, Elang melihat ibunya telah terbujur diselimuti kain. Tiba-tiba dunia terasa sunyi dan hampa. Elang tak kuasa membendung air mata. Dia memeluk erat jasad ibunya. Semua orang di rumah itu terenyuh melihat pemandangan yang mengharukan itu.
Setelah orang-orang pergi, Paman Tangkas datang membawa sebuah buku. “Ibumu sudah melunasi hutangmu. Dia juga membeli buku ini untukmu. Dia bekerja keras untuk ini.” Elang membaca judulnya, Ayah Menyayangi Tanpa Akhir. Air matanya menetes membasahi sampul buku itu.
“Saat itu ibumu berkata bahwa ia ingin melakukan yang terbaik untukmu. Dia ingin kau tetap melihat dunia setidaknya melalui buku. Elang, aku tidak kaya, rumahku juga tidak besar, tapi cukuplah untuk menampung seorang anak berbakti sepertimu. Kalau kau mau, tinggalah bersamaku. Kau sudah kuanggap seperti anak sendiri.”
Elang menggeleng pelan. Sungguh dia tidak ingin merepotkan siapa-siapa. Paman Tangkas tahu itu.
“Elang, kau tidak punya siapa-siapa lagi, kemana kau akan pergi? Bukankah aku punya toko buku sebagai tempat nongkrongmu nanti?”
Begitulah akhirnya Elang tinggal bersama Paman Tangkas. Setelah selesai mengurus pemakaman ibunya, Elang kembali bersekolah. Dia sudah bertekad, meski dengan sayap-sayap patah, dia akan terbang tinggi di angkasa dan menjelajahi dunia laksana elang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar