(Ida Ayu Kusuma Widiari)
Hari Minggu
yang cerah. Cuaca yang bagus bagi Elang Angkasa, seorang anak laki-laki yang
baru duduk di bangku kelas 8 sekolah menengah pertama, untuk berjualan.
Berbekal semangat dan percaya diri, Elang berkeliling pasar menjajakan kue
buatan ibunya. Hari itu, seluruh dagangannya habis terjual. Dia sangat senang.
Dia kembali ke rumah dengan wajah ceria. Tangannya yang kurus dan legam memeluk
keranjang yang telah kosong. Sesampainya di rumah, di sebuah gubug yang sangat sederhana, yang dinding dan
pintu-pintunya hanya terbuat dari potongan-potongan bambu dan triplek, Elang
langsung merebahkan diri.
“Lelah tapi
menyenangkan,” gumamnya sambil tersenyum, jarang dia sesenang itu.
Tak lama, Elang
lalu meraih sebuah buku yang tertumpuk di lantai dan mulai membacanya. Dia
membaca buku berjam-jam. Membaca memang hobinya. Baginya, buku adalah teman
sejati yang bisa dibawa kemana saja dan bisa disapa kapan saja.
Tak terasa hari
sudah sore. Elang menghentikan sejenak aktivitas membaca buku. Dia keluar rumah
dan duduk di sana menunggu sang ibu pulang dari bekerja.
“Ibu!” Elang berseru
menyambut seorang wanita yang datang terbungkuk-bungkuk menenteng bungkusan.
Wanita itu tersenyum. Dari sorot matanya, tampak betul ia begitu lelah. Keriput
memenuhi wajahnya. Uban memenuhi kepalanya. Wanita itu bernama Narsih, ibu
Elang. Mereka berdua masuk ke rumah lalu makan bersama. Elang memang harus
menunggu sang ibu pulang kerja untuk bisa makan sebab di rumah tidak pernah ada
makanan. Sehabis makan, Elang kembali membaca buku diterangi cahaya lampu
kuning. Begitulah Elang menghabiskan malamnya hingga tertidur.
Elang berlari
secepat yang dia mampu sambil berteriak memanggil-manggil seorang lelaki.
Namun, lelaki itu mengabaikannya. “Ayah!” itu kata terakhir yang dia teriakkan
sebelum laki-laki itu menghilang. “Elang! Bangun, Nak! Kamu mengigau lagi.”
Narsih menggoncang-goncang tubuh anaknya. Elang sontak terbangun. Keringat
membasahi wajahnya. “Ayo, bangun. Tidak usah tidur lagi. Lagipula sudah jam 6,
kamu harus ke sekolah.”
Elang menatap
ibunya lalu menunduk. “Bu, aku tidak ingin ke sekolah. Entah kenapa aku merasa
sangat mengantuk.”
“Tidak, Nak.
Bukan mengantuk masalahmu. Apakah Kau malu? Jadilah Elang yang tegar, bukan
Elang yang pengecut.” Elang tidak membantah lagi. Dia bangkit dari kasurnya
yang tipis lalu pergi mandi.
“Elang! Ora pingin lunga bebarengan?” terdengar
teriakan Bagus, teman sekelas Elang, sesaat setelah Elang selesai sarapan mi
instan.
“Iya, Gus.
Tunggu sebentar.” Elang bergegas. Sebelum pergi, dia berpamitan pada ibunya.
Tak lupa dia membawa kue sekeranjang untuk dititipkan di kantin sekolah.
Udara pagi itu
begitu membekukan jiwa Elang. Selama perjalanan dia diam saja. Tatapannya
kosong. Apa yang ada di pikirannya? Apakah terkait mimpi tadi subuh? Entahlah. Tas
gendong hitam yang sudah sobek sana-sini setia melekat di punggungnya.
“Teet! Teett!
teett!” bel sekolah berbunyi memecah kesunyian pagi. Suaranya nyaring terdengar
hingga sejauh 50 meter dari sekolah. Elang dan Bagus berlari menuju sekolah.
Untung saja pintu gerbangnya belum ditutup. Saat sampai di tengah-tengah
lapangan, mereka berdua berpisah. Bagus langsung menuju kelas sedangkan Elang
harus ke kantin dulu menitipkan kue buatan ibunya tadi. Saat Elang sampai di
kelas, semua mata tertuju padanya. Dia berjalan sambil menundukkan kepala, malu
karena kejadian beberapa hari yang lalu.
“Ayo, Lang,
semangat!” ucap Akbar, teman sebangku Elang.
Jam demi jam
pelajaran terlewati, bel istirahat pun berbunyi. Semua murid berhamburan menuju
kantin, kecuali Elang. Uang saku yang diberi ibunya, kadang seribu, kadang dua
ribu, dia simpan. Dia menghabiskan jam istirahat di perpustakaan. Di sana dia
menyalurkan hobinya membaca. Sesekali dia melempar pandangan keluar jendela,
terpesona memandang cerahnya langit biru tanpa awan. Elang mempunyai mimpi
ingin berkeliling dunia untuk menyaksikan keindahan setiap sudut dunia. Namun
ketika dia bercermin, melihat keadaannya yang miskin, dia merasa mustahil bisa
mewujudkannya. Itulah alasan dia gemar membaca. Dia ingin melihat dunia dari
buku sebab buku adalah jendela dunia.
Tak terasa
sudah 30 menit. Bel tanda masuk kelas berbunyi. Elang bangkit menuju kelas.
Sebuah buku kumpulan cerpen setebal 50 halaman habis dibaca olehnya. Tiba-tiba
langkahnya dihentikan Fahri dan gengnya.
“Rupanya Kau
masih berani ke sekolah. Cukup besar juga nyalimu, Lang!”
Elang diam
tertunduk. Dia tidak melawan. Bukan karena takut, namun ia berusaha
mengendalikan diri. Beruntung pada saat yang runyam itu datang Syana membela
Elang.
“Fahri, salah
apa Elang padamu? Mengapa kamu tak henti-hentinya mengganggu Elang? Jangan
mengganggu dia lagi atau kulaporkan kelakuanmu pada Pak Yudana supaya kamu
dikeluarkan dari sekolah ini!” Mendengar nama Pak Yudana, sang wakasek
kesiswaan yang terkenal garang itu, nyali Fahri dan komplotannya menciut.
“Awas, kau
nanti!” ancam Fahri lalu kabur.
“Sudah, Lang.
Tidak usah dihiraukan. Aku tahu kamu tidak bersalah ketika itu.” Syana berusaha
membesarkan hati Elang.
Jam di dinding
kelas menunjukkan pukul 12.30. Sebagian besar murid tampak sudah penat dan
kurang bersemangat. Mereka terus melirik ke arah jam, berharap bel tanda pulang
sekolah cepat berbunyi. Hanya Elang yang masih kelihatan bersemangat dan fokus.
Untuk urusan belajar dan membaca, Elang memang tak pernah bosan. Lima menit
kemudian bel berbunyi. Sebelum pulang, Elang mampir ke kantin mangambil uang
hasil penjualan.
“Seribu, dua
ribu, tiga ribu, enam, delapan, dua puluh, tiga puluh dua ribu,” dengan cekatan
Elang menghitung. Sore nanti, uang itu akan diserahkan ke ibunya.
Dalam
perjalanan pulang, Elang berhenti sebentar di sebuah toko buku. Nama toko itu
sama dengan pemiliknya, Toko Buku Tangkas. Elang sangat akrab dengan Paman
Tangkas, seorang lelaki 50 tahunan, berpostur tinggi-besar, namun lucu dan ramah.
Paman Tangkas sudah menikah namun tidak memiliki anak.
“Hai, Elang.
Sudah lama kau tidak mampir. Paman punya koleksi buku baru. Apakah kau mau
melihatnya? tanya Paman Tangkas.
“Tentu, Paman.
Tapi, buku yang kuambil dua minggu lalu belum kubayar.” Elang merasa tidak enak
hati sebab berhutang terlalu lama.
“Ah, no problem. Coba kau lihat dulu. Kalau kau
suka, bawa saja pulang. Masalah bayar, bisa nanti-nanti saja.” Paman Tangkas
terkekeh, mengambil sebuah buku, kemudian menyerahkannya pada Elang. Elang
mengusap sampul buku itu dan membaca judulnya, Ayah Menyayangi Tanpa Akhir. Tiba-tiba Elang merasa dadanya
bergemuruh. Matanya berkaca-kaca. Tanpa basa-basi, Elang mengembalikan buku itu
lalu berlari. Paman Tangkas memandang Elang sampai jauh. Sedih hatinya melihat
anak malang itu. “Elang, kau pasti sangat merindukan ayahmu,” ucapnya lirih.
Sore itu, Bu
Narsih tidak seperti biasanya membeli lauk tahu-tempe untuk dimakan. Kali ini
ia membuatkan Elang makanan kesukaannya, yaitu ayam kecap. Elang makan sangat
lahap. Dua piring nasi habis disikatnya. Dia memang jarang menikmati daging. Sehabis
makan, Elang menemani ibunya membuat adonan kue sambil membaca buku.
“Bu, dua minggu
lalu aku mengambil sebuah buku di toko Paman Tangkas. Sampai sekarang uangku
belum cukup untuk membayarnya. Kemudian, tadi siang aku melihat sebuah buku
lagi dan aku ingin membelinya.”
“Nak, habiskan
dulu membaca bukumu itu. Kalau ibu dapat rejeki lebih, ibu akan memberimu uang
untuk membeli buku yang kau inginkan.”
“Iya, Bu,”
jawab Elang senang. Senyumnya terlihat mengembang di bawah sinar lampu temaram.
Keesokkan
harinya semua berjalan seperti biasa. Pagi-pagi Elang berangkat ke sekolah
membawa sekeranjang kue. Saat jam istirahat, dia ke perpustakaan. Kali ini dia
membaca novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Saat pulang, dia ke kantin
mengambil uang hasil penjualan.
“Wah, kuenya
habis ya, Bu?” Ibu kantin tersenyum mengangguk lalu memberi Elang uang delapan
puluh ribu rupiah. Elang menerimanya dengan penuh sukacita. Dia berlari supaya
cepat sampai di rumah. Sampai di rumah, senyumnya mendadak lenyap. Terkejut dia
melihat sang ibu terbaring pucat.
“Ibu pulang
lebih awal? Ibu sakit?” Elang bertanya cemas. Ibunya bekerja sebagai tukang
cuci baju di sebuah laundry dan seharusnya
pulang jam 5 nanti sore.
“Iya, Nak. Ibu
minta ijin pulang lebih awal. Tidak usah khawatir. Ibu baik-baik saja. Hanya
sedikit kelelahan.” Malamnya Elang tidak bisa memejamkan mata.
Ketika pagi
menjelang, Elang masih mendapati ibunya terbaring. Wajahnya lebih pucat dari
sebelumnya. Lalu dia berinisiatif membelikan ibunya bubur dengan uang hasil
penjualan kue kemarin. Setelah itu, dia membangunkan ibunya.
“Ibu, makanlah
bubur ini.” Dengan cekatan Elang menumpahkan bubur itu ke dalam piring seng.
Setelah memakai seragam, dia berpamitan, “Bu, sekarang aku berangkat ke sekolah
dulu. Nanti aku akan cepat pulang.”
Elang melangkah
tapi tidak menuju sekolah melainkan ke pasar. Dia berniat mencari pekerjaan.
Dia tahu ibunya tidak akan sembuh dengan cepat. Harus ada yang bekerja agar
mereka tetap bisa makan. Betapa mulia hati anak itu. Akhirnya di pasar, Elang
mendapat pekerjaan yaitu sebagai kuli angkut barang. Badannya memang kerempeng
tapi dia mampu mengangkut beras karung 50 kilogram. Pukul 12.30 dia pulang
membawa bubur lagi untuk ibunya.
“Nak, maafkan
ibu tidak menyiapkan sarapan untukmu. Malah kamu yang menyiapkan bubur untuk
ibu.”
“Tidak apa-apa,
Bu.” Elang merasa badannya remuk tapi dia senang bisa merawat ibunya.
“Darimana kau
dapatkan uang untuk membeli bubur?”
“Uang penjualan
kue kemarin, Bu. Ditambah uang simpananku.”
“Bukankah uang
simpanan itu untuk membayar buku yang kau ambil di toko Paman Tangkas?
Mudah-mudahan besok ibu bisa bekerja. Ibu akan mengganti uangmu.”
“Tidak apa-apa,
Bu. Ibu istirahat saja dulu. Kalau sudah benar-benar sembuh, barulah ibu
bekerja lagi.” Elang sangat menyayangi ibunya.
Sejak itu Elang
tidak pernah ke sekolah. Tiap pagi dia berpamitan mengaku ke sekolah namun
sesungguhnya dia menjadi buruh. Pendidikan memang penting, sebagai jembatan
untuk meraih cita-cita, namun kesehatan sang ibu lebih penting. Apalagi hanya
ibu yang dia miliki sekarang. Sang ayah menghilang tiga tahun lalu. Ada yang
bilang lelaki itu tenggelam saat mencari ikan di laut. Ada juga yang mengatakan
lelaki itu minggat dan menikah dengan perempuan lain.
Hingga
akhirnya, setelah 5 hari menjadi buruh, Elang dikagetkan oleh kedatangan
seorang wanita di pasar. Wanita itu tak lain adalah Bu Narsih, ibunya.
“Apa yang kau
lakukan di sini, Nak? Jadi, selama ini kau berbohong pada ibu? Tadi Bagus
datang mengatakan kau sudah 5 hari tidak sekolah. Ternyata kau di sini.”
Ekspresi wajah ibunya bercampur antara marah, kaget, dan terharu melihat
anaknya terseok-seok menaikkan sekarung beras ke atas mobil. “Nak, maafkan ibu tidak
bisa menjadi orangtua yang baik. Mulai besok ibu sudah bisa bekerja lagi. Kau
juga harus kembali bersekolah.” Elang menggeleng. Betapa dia ingin mengurangi
beban ibunya. Air mata mulai mengucur dari sudut mata Elang. “Kau harus tetap
semangat anakku. Kau tahu mengapa kau tidak dikeluarkan dari sekolah saat
memukul Fahri tempo hari? Itu karena kau pintar, prestasimu gemilang, kau calon
juara, Nak. Dan lagi, guru-guru tahu kau menjadi kasar karena Fahri yang
memulai dengan menjelek-jelekkan ayahmu.” Mereka akhirnya pulang sambil
menangis berangkulan.
Semenjak
kejadian itu Elang kembali bersekolah seperti biasa. Sang ibu juga sudah
kembali bekerja meski masih tampak lemah.
Suatu siang,
ketika Elang pulang dari sekolah, dia mendapati rumahnya dipenuhi orang-orang.
Dia heran lalu bergegas ke dalam. Di sana, di tempat tidur sederhana itu, Elang
melihat ibunya telah terbujur diselimuti kain. Tiba-tiba dunia terasa sunyi dan
hampa. Elang tak kuasa membendung air mata. Dia memeluk erat jasad ibunya.
Semua orang di rumah itu terenyuh melihat pemandangan yang mengharukan itu.
Setelah orang-orang
pergi, Paman Tangkas datang membawa sebuah buku. “Ibumu sudah melunasi
hutangmu. Dia juga membeli buku ini untukmu. Dia bekerja keras untuk ini.”
Elang membaca judulnya, Ayah Menyayangi
Tanpa Akhir. Air matanya menetes membasahi sampul buku itu.
“Saat itu ibumu
berkata bahwa ia ingin melakukan yang terbaik untukmu. Dia ingin kau tetap
melihat dunia setidaknya melalui buku. Elang, aku tidak kaya, rumahku juga
tidak besar, tapi cukuplah untuk menampung seorang anak berbakti sepertimu.
Kalau kau mau, tinggalah bersamaku. Kau sudah kuanggap seperti anak sendiri.”
Elang
menggeleng pelan. Sungguh dia tidak ingin merepotkan siapa-siapa. Paman Tangkas
tahu itu.
“Elang, kau
tidak punya siapa-siapa lagi, kemana kau akan pergi? Bukankah aku punya toko
buku sebagai tempat nongkrongmu nanti?”
Begitulah
akhirnya Elang tinggal bersama Paman Tangkas. Setelah selesai mengurus
pemakaman ibunya, Elang kembali bersekolah. Dia sudah bertekad, meski dengan
sayap-sayap patah, dia akan terbang tinggi di angkasa dan menjelajahi dunia
laksana elang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar