Minggu, 25 Juni 2017

Tak Kusangka Cinta Sepelik Ini


Mengapa ketika membuat suatu tulisan, meski kenyataannya kita mengetik, tetap dikatakan menulis? Mengapa ada kata dasar dengan huruf awal k, ketika bertatapan dengan imbuhan meN-, k tersebut tidak luluh, semisal pada kata mengkristal? Bagaimana membedakan kalimat tunggal dengan kalimat majemuk? Apa makna yang terkandung dalam tiap bait Syair Perahu karya Hamzah Fansuri? Manakah penulisan yang benar, Nopember atau November? Kawan, jika semua persoalan remeh itu membuatmu risau, bolehlah bertanya padaku. Singgahlah pada sore yang teduh, kuhidangkan kopi terseduh. Salam secangkir kopi hangat di sore hari, kalimat khas seorang kuli tinta senior.

Di antara khalayak pembaca pasti ada yang bertanya, siapa gerangan orang ini berlagak ahli? Maaf, kawan, tidak ada maksudku begitu, tidak congkak pun tidak tinggi hati.

Pengetahuanku tentang hal-hal di atas adalah keniscayaan, konsekuensi dari profesi. Jika tidak maka ibaratkanlah aku kemarau menjanjikan hujan. Hendak memberi, diri sendiri tak memiliki. Itu namanya tidak profesional, menipu, layak dijebloskan ke dalam satu sel bersama para pejabat yang gemar menipu rakyat.

Namun, sekali lagi, namun, apabila yang membuatmu resah adalah perkara cinta, misalkan mengapa cintamu bertepuk sebelah tangan? Atau bagaimana agarbdia membalas rindumu yang biru? Atau bagaimana mengatasi cinta segitiga? Kawan, jangan pernah sekalipun berpikir mencari jawaban padaku. Aku tidak berkompeten di bidang itu.

Pengalamanku dalam hal percintaan berikut konflik-konflik yang ditimbulkannya amat minim, nyaris nihil. Oleh sebab itulah, tak banyak yang bisa kubantu tatkala Tisna menghampiriku meminta petunjuk terkait polemik cinta yang membekapnya.

Tisna, temanku yang tinggi bak burung unta itu, tengah gundah gulana. Galau, istilah anak muda zaman sekarang. Hatinya disandera dua lelaki--bisa jadi tiga lelaki seandainya aku belum menikah. Eda dan Rah, di antara merekalah hati Tisna terperangkap. Bagaimana bisa terjadi?

Mari kita putar waktu, kembali sedikit ke masa ketika Tisna dan Eda masih berseragam putih-abu-abu. Para murid lelaki seantero sekolah sepakat bahwa Eda, yang tingkahnya macam lutung, memang beruntung bisa memacari Tisna, sang kembang sekolah.

Eda adalah lelaki kurus yang konyol, tak pernah serius dalam segala hal, santai, namun adakalanya nekat. Tampangnya mirip-mirip Fauzi Baadilah, pemeran Damar dalam film Mengejar Matahari.

Tisna lain lagi. Dia adalah perempuan yang aduhai. Badannya tinggi-langsing, berkulit terang. Tatanan rambutnya menawan. Tatapannya seindah pelangi. Belum lagi senyumannya, aih, macam caffein: membuat jantung berdebar. Pramugari maskapai manapun pasti berkecil hati dibuatnya. Jika saja nilai-nilai di rapornya bagus, terutama nilai bahasa, aku yakin dia bisa sukses di ajang pemilihan ratu sejagad.

Meskipun banyak yang mencibir, bahwa dirinya tidak pantas bersanding dengan Eda, Tisna tidak ambil pusing. Tak hirau dia dengan apa tanggapan orang.

Tisna sendiri tak paham mengapa dia suka kepada Eda. Tahu-tahu dia suka. Begitu saja tanpa ada penjelasan. Barangkali itu yang oleh para pakar disebut chemistry.

Lantaran tidak ada penjelasan logis terhadap rasa suka itu, merebaklah kabar bahwa Tisna menderita rabun parah, sehingga Eda yang bermuka pas-pasan dilihatnya serupa Aliando Ganteng-Ganteng Serigala. Tak ayal juga banyak yang menuduh Eda, diam-diam mewarisi benda magis peninggalan almarhum kakeknya yang beristri tiga. Benda langka nan bertuah itu konon pis bolong rejuna.

Kelas tiga, tepatnya mendekati kelulusan, ketika itulah drama bermula. Di belakang Tisna, Eda main serong alias selingkuh alias menyeleweng! Sebuah tindakan tak terpuji yang dia kutuki sendiri di kemudian hari.

Kata pepatah, mustahil menutupi asap. Tisna mengetahuinya dan terluka tentu saja. Yang membuat kian panas hati Tisna, perempuan selingkuhan Eda adalah seorang teman dekat. Alamak!

Tetapi secara aneh, Tisna tidak meledak. Di wajah manisnya justru melengkung senyum, senyum misterius penuh rencana pembalasan. Pembalasan yang didasarkan pada emansipasi, bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, yaitu dengan berselingkuh juga, terang-terangan di depan hidung Eda!

Tisna selingkuh, Eda berang. Tak terima dia harga dirinya dilangkahi. Baginya, laki-laki selingkuh, wajar. Perempuan selingkuh, kurang ajar. Begitulah, Sang Pencipta memang membekalkan ego berlebih pada makhluk bernama lelaki.

“Kita putus detik ini juga!” Gelap mata, kalimat maut itu meluncur deras dari mulut Eda tanpa bisa ditunda.

“Nah, kita sudah putus pada detik sebelum kamu minta putus!” salak Tisna tak mau kalah. Mereka balik kanan-bubar-jalan.

Selepas SMA, Tisna yang memang tidak begitu suka membuka buku tidak melanjutkan kuliah. Dia melamar pekerjaan dan di sinilah dia sekarang bekerja denganku. Beberapa bulan berikutnya, dia bertemu Rah.

Rah adalah tipe lelaki idaman kaum hawa. Perangainya berbanding terbalik dengan Eda. Dia kalem, serius, selalu berpenampilan rapi, dan dari keluarga mapan--ayahnya pemilik hotel. Wajahnya ganteng, hanya saja irit senyum persis Tommy Kurniawan sakit gigi.

Singkat kata ringkas cerita, Tisna dengan Rah jadian. Tak ada yang mencibir sebab dua sejoli itu memang serasi nian. Si lelaki tampan, si perempuan rupawan.

Aku yakin Tisna serius jatuh cinta. Segenap tingkahnya mengatakan itu. Kini dia lebih sering berkaca, lebih rajin bekerja, tak henti bersenandung lagu cinta. Semua dilakukan dengan ceria.

Keluarga Tisna tidak usah ditanya. Rah diterima dengan tangan terbuka. Terlebih niang, nenek Tisna dari pihak ibu. Dia yang paling getol mendukung hubungan Tisna dengan Rah.

Nah, entah dari mana, setelah sekian lama tidak ada berita, tahu-tahu tokoh kita Eda muncul lagi.
Kejadiannya pada suatu pagi yang murung karena mendung, tahu-tahu dia muncul di depan rumah macam tukang cek meteran listrik.

“Luh Tu,” nama panjang Tisna adalah Luh Putu Tisnadewi, “ada yang ingin kukatakan.” Raut wajah bersalah ditunjukkannya. Tisna justru membuang muka. Rupanya dendam belum sirna.

Eda berkata bahwa yang dulu terjadi adalah kekhilafan. Bahwa kini dia menyesal sepenuh jiwa dan raga. Bahwa semenjak putus dengan Tisna, ada rasa kehilangan yang tak terkatakan. Bahwa tak ada detik, menit, jam dia lalui tanpa memikirkan Tisna. Bahwa setiap melintas di depan SMA, melihat guru, adik kelas, batik sekolah, bendera merah putih, parkir sepeda, kantin, ijazah, pokoknya semua yang berbau sekolah, segala kenangan romansa itu menguar.

Intinya, bahwa hidupnya kelabu tanpa Tisna. Tisna adalah tulang rusuknya.

“Bersediakah menerimaku lagi?” Eda meraih tangan perempuan yang sempat dikhianatinya itu.

Belum sempat Tisna menjawab, sebuah mobil mewah menepi, ada Rah di dalamnya. Tisna menepis tangan Eda lalu masuk tergesa.

“Itu siapa, sayang?” tanya Rah.

“Bukan siapa-siapa. Lekas pergi.”

Seketika di langit terdengar gemuruh. Gemuruhnya meruntuhkan segenap asa yang dikumpulkan Eda. Derai hujan berjatuhan.

Eda tertegun tak beranjak. Seolah tak habis pikir, lama dipandanginya arah mobil itu menghilang. Sangkanya akan mudah saja merayu Tisna. Tak dinyana seseorang yang lain sudah memilikinya. Jiwanya tergoncang. Dadanya sesak. Lalu untuk pertama kalinya dia merasa ingin menangis. Hujan mengguyur kian deras. Orang-orang meneriakinya agar berteduh. Eda menyingkir, terseok-seok, susah payah merekat-rekatkan kembali hatinya yang remuk.

Kejadian berikutnya persis sinetron. Eda tenggelam dalam alkohol. Di kamarnya yang gelap dan pengap dia terkulai, tak henti mengutuki diri dan segala kecerobohannya.

Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Kasihan Eda. Di tengah kemeranaan itu, ibunya tutup usia. Eda ditimpa kesedihan pangkat dua. Hidup memang tragis kadang-kadang.

Berita mengenai sepak terjang Eda di dunia minuman keras serta kematian sang ibu sampai di telinga Tisna. Iba juga dia dengan nasib lelaki tengik itu. Tiba-tiba ada gelisah menyelinap.

Jujur, sesungguhnya pagi itu, ketika Eda datang tempo hari, terbit gembira di hati Tisna. Sudah lama dia menunggu. Diam-diam, dia rindu pada lelaki kurus itu.

Lalu dia ingat Rah, dan merasa tidak betah. Rah sangat dingin, kaku, tidak romantis. Di depan Rah, Tisna tidak bisa menjadi diri sendiri. Dan yang belum kalian tahu, Rah sangat overprotektif dan ketat bak baju renang. Dia memblokir segala hubungan sosial Tisna dengan laki-laki lain.

Kini Tisna paham alasan dia dulu suka pada Eda. Meski cengengesan, Eda adalah pribadi yang cair, akrab, dan hangat. Bersama Eda, Tisna nyaman sebab Eda jauh dari sifat-sifat posesif. Unsur-unsur itu membuat Eda lebih dari sekadar ganteng. Alhasil, terbitlah keinginan untuk berdamai dengan masa lalunya itu.

“Tidak boleh!” Ibu Tisna memelotot. “Dia itu tukang mabuk, tidak kuliah, pengangguran terselubung, hidupnya tak keruan! Mau jadi apa republik ini jika semua pemuda berkelakuan seperti dia!”

Niang menimpali, “Tidak usah macam-macam! Jalanmu sudah benar. Mengawini Rah, berarti mengembalikan statusmu, sesuatu yang dilepaskan ibumu lantaran nyerod kawin dengan bapakmu.” Nah?

Jadi semua ini bersangkut-paut dengan kasta. Pantas niang begitu semangat memasang-masangkan  Rah dengan Tisna.

Rah, lengkapnya Anak Agung Ngurah, adalah keturunan puri--tak jelas puri mana, mungkin Puri Raharja. Jika jadi dengan Rah, Tisna yang seorang jaba akan naik kasta menjadi jero.

Sampai cerita ini kutulis, Eda sedang berjuang di samudra sana. Jengah dia dengan pernyataan sikap ibu dan niang. Dia berhenti minum, melanjutkan studi setahun, dan kini bekerja di kapal pesiar megah--yang namanya mirip judul film bajak laut Karibia. Dia ingin membuktikan bahwa dia adalah lelaki becus. Ambisinya sekembali dari pelayaran agak nyeleneh.

“Dimana orang menjual kasta? Akan kubayar, berapapun harganya!”

Di tempat lain, Rah mengendus gelagat tidak baik itu dan ingin segera mengawini Tisna. Dia tak ingin bidadarinya terbang lepas. Ibu dan niang tersenyum lalu membuka-buka kalender, mengira-ngira hari baik.

Tisna sendiri kian gamang. Buka taluhe apit batu, peribahasa orang Bali. Dia tidak ingin durhaka membangkang pada keluarga tetapi juga ingin bahagia. Hati kecilnya berkata bahagia itu adalah Eda. Apalagi ada desas-desus, menjadi jero, ia akan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari kerabat suaminya yang murni berdarah menak. Tak kusangka perihal cinta bisa sepelik ini. Tisna, oh, Tisna maafkan aku tak bisa membantumu.

1 komentar: