Lestari duduk di atas kursi plastik putih di depan art shopnya. Hampir sepanjang hari ia di situ. Wajahnya ibarat bulan kesiangan, pucat pias tanpa gairah. Ia tidak melakukan apa-apa. Ia hanya melamun bermuram durja. Membiarkan pikirannya yang kosong terombang-ambing dalam beribu pertanyaan yang ditujukan entah kepada siapa. Pertanyaan-pertanyaan yang walaupun sudah terjawab, tetap tidak dapat ia terima. “Mengapa hal ini menimpaku? Mengapa Bli Atmaja begitu tega? Bukankah Bli Atmaja sendiri yang yakin kebahagiaan itu akan datang? Mengapa Tuhan bersikap tidak adil terhadapku?” Mengapa demi mengapa itu terus meluncur menyesakkan dadanya, melelehkan air mata, dan menggali lebih dalam kesedihan di hati.
Senja di Kuta telah sampai pada ujungnya. Nuansa jingga memenuhi langit di ufuk barat. Sebentar lagi gelap menyapa. Namun bukan Kuta namanya jika menyerah pada gulita. Di sana, selalu ada cahaya untuk mereka yang terjaga.
Lestari masih tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Senja yang menawan sama sekali tidak menggoda pikirannya. Ia tidak menyapa ramah para tamu yang datang melihat-lihat seperti biasa. Ia tidak mengelap debu tebal yang tak pernah jera menghinggapi benda-benda yang dipajang. Namun begitu ia belum hendak menutup art shopnya. Pikirannya menerawang entah kemana. Pandangannya sayu menatap tembok gang di depannya. Bagi Lestari tembok tersebut adalah cermin ajaib yang bisa memberi jawaban sesuai dengan yang ia harapkan. Terkadang tembok itu berubah menjadi layar yang bisa menampilkan kenangan-kenangan manis hidupnya bersama Atmaja. Masa-masa indah yang harus ternoda. Noda yang sangat menyakitkan. Lalu air matanya kembali mengalir. Apa yang disangka Lestari hanyalah gurauan ternyata sungguh terjadi.
“Ya, boleh saja Bli, kalau memang ada yang mau sama Bli. Bli kan jelek.” jawab Lestari sambil tertawa nakal kala itu, ketika sang suami dianggapnya hanya bergurau.
***
Lestari adalah seorang wanita yang kalem juga pintar. Ia lemah lembut dan penuh semangat. Ia sudah seperti itu sejak dulu, sejak masih kecil. Orang-orang melihat ia mewarisi sifat ibunya. Ditambah dengan parasnya yang cantik dan alami, ia menjadi begitu sempurna. Lestari menjadi idaman setiap kaum lelaki.
Dari sekian banyak lelaki yang mendekati, hanya Atmaja yang mampu membuat Lestari terpikat. Atmaja memiliki semua kriteria yang diinginkan wanita: baik, lembut, perhatian, juga penyabar dan mapan. Setelah sekian lama berpacaran, Atmaja mengajak Lestari untuk menikah. Pada sore yang indah, saat sunset di pantai Kuta, Lestari mengiyakannya. Mereka pun menjadi pasangan suami istri.
Pada awal masa pernikahan, Lestari masih tekun menjalani pekerjaannya sebagai pemandu wisata di sebuah travel. Namun ketika hingga dua tahun ia belum juga hamil, Atmaja memintanya untuk berhenti bekerja. Atmaja menerka kelelahanlah yang menghambat istrinya untuk bisa hamil. Sebagai istri yang baik, Lestari tentu tidak ingin mengecewakan suaminya. Ia setuju berhenti bekerja. Namun supaya tidak bosan seharian berada di rumah, Lestari ikut membantu ibu mertuanya menjaga art shop. Toh perkerjaan itu tidak terlalu menguras tenaga.
Bulan demi bulan telah lewat, tahun demi tahun pun berlalu, rahim Lestari tidak kunjung mengandung janin. Lestari tidak mampu menjawab kerinduan suaminya terhadap buah hati. Untuk pertama kalinya Lestari mulai merasa gelisah. Ia mulai mengurai dirinya, apa ada yang salah? Kepercayaan dirinya runtuh. Memang tak ada gading yang tak retak. Hidup Lestari ternyata tidak benar-benar sempurna. Pernikahan tanpa anak memang menakutkan. Bagai istana tak berpenghuni. Ibarat sepiring nasi tanpa lauk. Sepi dan hambar.
“Bagaimana jika besok kita periksa ke dokter kandungan?” demikian ajak Atmaja pada suatu ketika.
Maka berangkatlah mereka ke rumah sakit untuk periksa ke dokter kandungan keesokan harinya. Setelah melakukan semua rangkaian pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa kesuburan Lestari bermasalah. Kegusaran kian bertambah di hati Lestari. Ia takut dan merasa tidak enak hati pada suaminya karena terancam tidak bisa memberi keturunan. Dokter lalu menyarankan Lestari melakukan terapi untuk memperbaiki kesuburannya.
“Iya tidak apa-apa.” Atmaja berkata lembut ketika melihat raut rasa bersalah di wajah Lestari. Atmaja begitu sabar meski ia sudah sangat ingin memiliki anak. “Aku yakin kebahagiaan itu pasti akan datang. Kamu pasti hamil dan kita akan memiliki anak laki-laki yang gagah. Sekarang kita ikuti dulu saran dokter.”
Semua terapi yang dianjurkan oleh dokter pun diikuti. Biaya yang dikeluarkan untuk itu tidak sedikit. Namun keinginan dan harapan yang besar membuat uang bukan menjadi masalah. Berapapun itu yang penting Lestari bisa hamil dan melahirkan anak-anak yang kelak akan merawat ia dan suaminya saat tua.
Namun, seolah memang sudah ditakdirkan, semua usaha itu gagal. Semua obat yang telah masuk ke tubuh Lestari tidak membuat perubahan. Lestari panik. Pengobatan alternatif pun menjadi pilihan. Tak terbilang tabib dan dukun dikunjungi, tak terhitung macam jamu dan ramuan dicoba. Semua pantangan, hal-hal yang konon membuatnya susah hamil, dihindari sepenuh hati. Tetapi tetap saja tidak berhasil. Lestari tidak juga hamil. Ia pun menyesali diri dan kian terpukul menghadapi kenyataan itu. Buatnya, bisa memiliki anak hanyalah mimpi.
“Janganlah memikirkan hal itu terlalu berlebihan. Aku tidak menyalahkanmu. Kamu sudah berusaha semampumu. Mungkin Tuhan menilai kita belum siap memiliki anak. Aku tetap yakin kebahagian itu akan datang. Sambil menunggu saat itu tiba, kita tetap berdoa dan berusaha.”
Kata-kata lembut dan bijaksana yang keluar dari bibir Atmaja sedikit menenangkan hati Lestari. Ia senang lantaran Atmaja mau menerima ia dengan segala kekurangannya. Namun jauh di lubuk hati, Lestari tetap gelisah. Ia melalui hari-harinya penuh tekanan. Terutama saat berhadapan dengan sang mertua.
Sang mertua sering bergumam, “Bu Desak tetangga sebelah sudah punya tiga cucu, tapi Ibu belum punya satupun. Kapan ya Ibu bisa menimang cucu seperti dia?” Walau tidak dengan terang-terangan, tapi Lestari sadar bahwa retorika itu adalah sebuah tuntutan.
Di tengah kegundahannya, Lestari sering menuduh Tuhan tidak adil. Begitu sering ia melihat berita bayi yang dibuang atau bahkan dibunuh lantaran tidak diinginkan oleh orangtuanya. “Mengapa mereka yang tidak ingin anak, begitu mudah punya anak? Sedangkan aku yang sangat menginginkan anak, tak kunjung diberi?”
Begitulah seterusnya hingga tak terasa sepuluh tahun sudah Lestari menjalani rumah tangga tanpa kehadiran buah hati. Semua menjadi biasa.
Namun, semua yang biasa itu menjadi tak biasa setelah perbincangan pada suatu malam yang hangat, sesaat sebelum Lestari dan Atmaja beranjak beristirahat menghilangkan penat. Mereka bercanda, bercerita tentang hal-hal lucu dan konyol yang pernah mereka alami. Di tengah candaan itu Atmaja bertanya pada Lestari, “Tari, bagaimana jika aku menikah lagi?”
“Ya, boleh saja Bli, kalau memang ada yang mau sama Bli. Bli kan jelek.” jawab Lestari sambil tertawa nakal.
Tak ada dalam pikiran Lestari bahwa apa yang ditanyakan Atmaja adalah pertanyaan yang serius. Semua itu dianggapnya gurauan dan tak perlu dihiraukan. Hingga keesokkan harinya, Atmaja benar-benar membawa pulang seorang wanita, masih muda namun tidak lebih cantik dari dirinya. Atmaja memperkenalkan wanita itu bernama Dewi dan ia berniat menikahinya. Alangkah terkejutnya Lestari demi mendengar hal itu. Jantungnya berdetak cepat. Ia tidak mengerti. “Ini tidak mungkin, ini pasti lelucon!” sangkalnya.
“Tari, maafkan aku, aku harus menikahinya. Ia mengandung benihku.” ucap Atmaja pelan bergetar. Meski pelan namun bergemuruh di dada Lestari. Ia tidak kuat. Kakinya lemas, sejurus kemudian ia tersungkur pingsan. Kasihan Lestari. Ia tidak bisa mencegah suaminya menikah lagi. Dewi hamil enam bulan dan keluarganya menuntut Atmaja bertanggungjawab. Lestari hanya bisa meratapi nasib.
Setelah hari itu, kehidupan Lestari bertambah kelabu. Ia menghabiskan waktu di art shop dengan melamun dan bersedih. Ia sangat kecewa dan sakit hati karena merasa dibohongi dan dikhianati. Sakit hatinya bertambah ketika melihat sang mertua mau menerima kehadiran Dewi. Lestari merasa kalah. Ia mandul sehingga tidak bisa memberi anak buat suaminya, tidak bisa menghadirkan cucu buat mertuanya, sedangkan Dewi bisa.
Lestari sempat berpikir jernih, mencoba menerima kehadiran Dewi. Apa yang telah terjadi tak bisa dielakkan. Ia mencoba mencari hikmah. Namun tidak bisa, hati kecilnya tetap menolak.
Lestari menjadi sakit-sakitan karena stress dan depresi. Ia kehilangan selera makan. Ia menjadi sering mual dan muntah-muntah. Seolah-olah Dewi yang hamil namun Lestari yang ngidam. Beberapa kali ia merasa badannya kurang sehat. Ia bahkan tidak datang bulan akibat stress. Hidupnya benar-benar berantakan.
Ajakan suaminya untuk periksa ke dokter selalu ditolak. “Dokter tidak bisa mengobati sakit hatiku!” Lestari selalu menjawab begitu. Mendengar jawaban yang bernada menyindir itu Atmaja hanya bisa terdiam.
Beberapa bulan berikutnya, tiba saatnya Dewi melahirkan. Semua mengantarnya ke rumah sakit kecuali Lestari. Lestari berbaring di kamar tidurnya. Ia lemas dan menahan mual yang parah. Ia menangis. Sebentar lagi tidak akan ada yang memedulikannya karena semua perhatian akan tercurah pada Dewi dan bayinya. Bayi yang telah lama diidam-idamkan oleh suami dan mertuanya.
Melalui persalinan normal, bayi yang telah dikandung Dewi sembilan bulan berhasil dikeluarkan. Semua menyambut dengan gembira meski agak kecewa karena bayinya perempuan. Mereka lebih berharap yang lahir adalah bayi laki-laki yang kelak menjadi penerus keluarga.
Pada saat yang hampir bersamaan, Atmaja menerima telepon dari Lestari. Alih-alih memberi selamat, Lestari justru merintih kesakitan. “Bawa aku ke rumah sakit.” ringisnya dari seberang.
Atmaja segera pulang menjemput Lestari. Didapatinya Lestari terkulai lemas di kamarnya. Ia segera diboyong ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit Lestari segera mendapat perawatan. Melihat gejala yang dialami, dokter melakukan USG atau pemindaian menggunakan gelombang pada perut Lestari.
Beberapa saat kemudian sang dokter datang membawa hasil pemeriksaan. Atmaja tercengang begitu mengetahuinya. Seluruh tubuhnya bergetar. Keyakinannya selama ini benar. Kebahagiaan itu memang benar datang, meski terlambat.
“Istri Bapak hamil. Kurang lebih 12 minggu.” kata sang dokter. Lestari yang turut mendengar perkataan dokter juga terperangah. “Aku hamil?”
Lalu keduanya menangis berdekapan. Atmaja merasa bersyukur, terharu, sedih, sekaligus menyesal. Seandainya ia mau sedikit bersabar, tentu tidak ada yang harus tersakiti.
Enam bulan setelah hari itu, Lestari melahirkan bayi laki-laki yang gagah. Bayi yang membawa kebahagiaan dan menghapus segala kesedihan di hatinya. Bayi yang menjawab semua pertanyaan yang memojokkannya. Bayi yang membalas semua kekalahannya. Bayi yang membuatnya sempurna menjadi wanita. Bayi yang akan menjadi penerusnya. Meskipun terlambat semua terasa begitu indah, seindah sunset di pantai Kuta. Begitulah rahasia Tuhan. Tak pernah ada yang tahu akan seperti apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar