Minggu, 20 Desember 2015

"Kado" Ulang Tahun (cerpen)

(cerpen ini ditulis untuk mengenang keponakan tercinta, Amora Delistha Varalakhsmi)

Aku lahir pada Sabtu, 15 Februari beberapa puluh tahun silam. Secara otomatis 15 Februari selanjutnya adalah hari ulang tahunku. Sebuah hari yang identik dengan perayaan, kue tart, tiup lilin, makan-makan, undangan, kado, dan sebagainya. Selama hidupku aku telah melewati berpuluh-puluh kali tanggal 15 Februari, namun dari yang kuingat, hanya sekali hari kelahiranku tersebut dirayakan. Kalau tidak salah saat itu aku berumur 7 tahun. Selebihnya tidak ada yang istimewa dari tanggal 15 Februari. Di keluargaku memang tidak ada tradisi merayakan hari ulang tahun. Tidak ada kue tart, tidak ada kado, tidak ada ucapan selamat, tidak ada makan-makan, dan seterusnya. Kedua orang tuaku, jangankan merayakan hari ulang tahun,  mereka bahkan tidak ingat tanggal kapan mereka dilahirkan.
Sejak aku menikah tiga tahun yang lalu, banyak hal yang berubah. Hadirnya seorang istri mengubah kebiasaanku menjalani hidup. Salah satu yang berubah adalah dirayakannya hari kelahiranku, hari pertama kali aku menghirup udara di dunia. Istriku membawa kebiasaan merayakan ulang tahun di keluarganya pada kehidupanku. Ternyata merayakan ulang tahun sangat menyenangkan, meskipun kadang cuma dirayakan bertiga, bersama istri dan seorang anak laki-lakiku yang baru berusia setahun sembilan bulan, dan sepotong kue tart kecil. Aku mulai terbiasa meniup lilin, mendapat kado, mendapat ucapan selamat dari kerabat dan sahabat, lewat sms maupun facebook.
Tanggal 15 Februari tahun ini, di tahun kuda kayu ini, semua yang kuceritakan tadi tidak pernah terjadi. Tidak ada perayaan, tidak ada kue tart, tidak ada kado, dan yang paling ironis, tidak ada suka cita. Yang ada justru kesedihan, perasaan teriris, derai air mata, ketakutan akan kehilangan, dan kebencian terhadap takdir. Bagaimana tidak, aku dan kerabat yang lain sedang berharap-harap cemas di depan ruang Paediatric Intensif Care Unit rumah sakit Sanglah mendoakan kesembuhan untuk Amara, keponakanku tersayang. Amara sedang berada pada masa kritisnya. Virus-virus jahanam telah menggerogoti batang otak dari bayi yang masih polos itu. Virus-virus itu, yang entah datang dari mana, mencoba mengambil Amara dari kami.
Amara adalah seorang bayi perempuan yang cantik, pintar, sehat dan lucu. Dia adalah anak pertama dari iparku, kakak istriku. Tanggal 29 Februari tahun ini seharusnya ia berusia setahun tiga bulan, enam bulan lebih muda dari anakku. Kehadirannya sudah sangat diharapkan oleh Ajung dan Dera, orang tuanya yang telah menikah selama 5 tahun. Hal itu membuat Amara sangat disayangi. Semua yang terbaik buat Amara. Bagiku dan istriku, Amara sudah seperti anak sendiri.
Amara masuk rumah sakit sejak seminggu yang lalu. Keluhan awalnya hanya demam, batuk, dan pilek. Saat aku dan istriku menjenguk, Amara masih baik-baik saja, tawanya masih riang dan menggemaskan. Kamipun tidak terlalu khawatir. Namun pada hari ketiga rawat inap, tiba-tiba Amara hilang kesadaran. Ia langsung masuk ICU. Sejak saat itu Amara tidak pernah membuka mata lagi. Tidak pernah bersuara lagi. Kami semua tercengang.
Dokter anak yang merawat Amara mengatakan Amara terjangkit Pnemonia, harapannya untuk sembuh sangat kecil. Virus telah menyebar hingga ke otak. Kalau pun sembuh, Amara tidak bisa normal seperti dulu. Sang dokter tidak ingin memberi harapan terlalu tinggi kepada kami. Bagai disambar petir, kami kaget bukan kepalang. Kami tidak percaya, rasanya  seperti mimpi di siang bolong. Terlebih Ajung dan Dera. Mereka menanggung cobaan yang tak ringan. Aku bisa merasakan betapa hancurnya hati mereka mendengar buah hati mereka semata wayang akan meninggalkan mereka secepat itu. Aku mengerti betapa remuk redam perasaan mereka karena aku juga orangtua yang memiliki anak yang amat kucintai. Hatiku turut teriris ketika melihat sang ibu terkulai tanpa gairah menangis meratapi nasib anaknya yang malang. Air matanya berurai-urai menghanyutkan kasih sayang yang belum lunas ia berikan.
Sang ayah mencoba tegar. Ia tidak ingin menangis. Ia ingin agar putrinya tahu bahwa ayahnya kuat, sehingga putrinya pun bisa kuat melawan penyakitnya. Lalu diputarnya Mantram Gayatri sepanjang waktu. Ia yakin putrinya pasti sembuh, sehat seperti sediakala. Namun betapapun ia mencoba, ia tetap tidak mampu menyembunyikan kesedihan. “Amara, cepat sembuh ya Nak.” suaranya bergetar, “Ayah sangat menyayangi Amara, semua sayang Amara. Semua menunggu Amara di luar, semua berdoa agar Amara cepat sembuh, supaya bisa bermain lagi. Amara harus kuat ya, cepat bangun ya.” Matanya mulai berkaca-kaca, perlahan-lahan air mata mengalir menelusuri masa-masa indah dahulu yang mungkin tidak akan terulang lagi. Lalu ia menggenggam tangan putrinya, “Siang malam ayah bekerja untuk Amara, supaya bisa membeli mainan untuk Amara, supaya Amara senang. Kalau Amara terus seperti ini untuk siapa ayah bekerja?” Sang ayah menelungkupkan kepalanya di sebelah tubuh anakknya lalu menangis terisak-isak.
Hatiku terenyuh mendengar rayuan sang ayah kepada anakknya. Buah hati yang sangat diidam-idamkan sekarang akan pergi. Tak terasa air mataku ikut tumpah tanpa aku perintahkan. Aku menangis dalam diam. Aku merasa begitu bodoh, mengetahui ada keluarga yang akan pergi tapi tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya. Aku benci takdir ini. Lalu aku sadar hanya Tuhanlah yang mampu membantu. Dalam hati aku berdoa.
“Tuhan, selama hidupku, aku merasa sebagai manusia terberuntung di bumi. Tak pernah kutemui kesulitan dalam hidupku. Walau Engkau tidak memberiku harta yang melimpah, itu tidak mengurangi kebahagiaanku selama ini. Kalau boleh memohon sekali lagi, aku mohon Tuhan, berikan saja semua keberuntungan yang kumiliki pada Amara. Tunjukkan keajaibanmu sehingga Amara mampu melawan maut yang ingin menjemputnya.”
“Dan lagi Tuhan, tidakkah Kau tahu hari ini aku berulang tahun? Tidakkah Kau ingin memberikan kado untuk hambaMu yang miskin ini? Aku ingin sebuah kado, berikanlah kesembuhan untuk Amara. Di hari ulang tahunku ini aku banyak mendapat doa panjang umur. Aku tidak akan mengambilnya, aku berikan semua doa itu untuk Amara. Biarlah Amara yang panjang umur. Biarkan Amara merasakan lagi hangatnya kasih sayang kedua orangtuanya.”
Aku terkulai lemas. Aku tidak tega melihat selang-selang melintang di tubuh mungil Amara yang terbujur kaku dan mulai dingin. Wajah dan bibirnya pucat. Lengannya biru-biru ditusuk jarum-jarum suntik. Botol-botol infus menggantung di atasnya. Nafasnya dibantu ventilator. Di kiri-kanannya berdiri alat-alat dengan lampu merah kecil berkedip-kedip dan mengeluarkan suara tit-tit yang menggertak. Juga ada monitor-monitor dengan gambar garis-garis yang selalu berubah-ubah.
Tiba-tiba turun hujan, dinginnya menambah dingin hati kami yang sudah kelu. Seorang perawat keluar dari ruang PICU dan meminta orangtua Amara masuk. Istriku yang juga paramedis ikut masuk. Ternyata Amara telah di ujung waktu. Denyut nadinya sudah tak teraba. Pupilnya membesar. Namun monitor tidak menunjukkan tanda Amara sudah pergi, karena itu dokter dan perawat masih berusaha menyelamatkan Amara. Ajung dan Dera diminta berdoa dan memberi semangat agar Amara kuat. Satu jam bergulat melawan ajal, Amara tidak membaik. Garis-garis pada monitor sesekali flat, lalu bergelombang lagi, lalu flat lagi, lalu bergelombang lagi. Amara mungkin tidak ingin pergi. Ia mungkin masih ingin tinggal dan membahagiakan orangtuanya. Tapi Tuhan tidak mengijinkannya untuk tinggal. Tuhan telah memanggil dan Amara harus pulang.
“Amara, ini mama Nak.” Sang ibu membelai dahi anaknya dan menciumnya. Matanya sembab namun ia sudah tidak menangis lagi. “Mama sangat sayang Amara, mama kangen Amara. Kalau Amara masih sayang mama, masih ingin tinggal, maka Amara harus kuat. Lawan penyakitnya dan kembali pada mama. Tapi kalau Amara sudah tidak kuat menahan sakit ini, kalau Amara memang sudah dipanggil oleh Tuhan, pergilah Amara dengan tenang. Mama dan Ayah sudah ikhlas. Dan satu hal yang harus Amara tahu, mama dan ayah akan tetap sayang Amara sampai kapanpun.” Aku melihat ketegaran dan ketabahan seorang ibu yang hatinya telah hancur berkeping-keping menerima kenyataan yang pahit. Seakan didengar, sesaat setelahnya garis pada monitor berubah flat, tidak bergelombang lagi, terus saja flat diiringi suara tiiitt panjang yang berarti duka, terdengar sangat memilukan, menyayat-nyayat hati semua kerabat dan sahabat. Semua menangisi kepergian Amara lalu berangkulan membagi kesedihan yang teramat sangat, yang tak kan mampu ditanggung sendiri.
Aku sendiri tersungkur di lantai. Tuhan tidak mengabulkan doaku. Air mata tak mau berhenti keluar dari mataku. Belum pernah aku merasakan sedih sesedih ini. Amara dikeluarkan dari ruang PICU, terbaring di dalam sebuah boks bayi menuju ruang jenazah. Kusingkap kelambu yang menutupinya. Raut wajahnya sedih. Mungkin sebenarnya ia juga tak sampai hati meninggalkan orang tuanya. Semua mendekat dan menciumi Amara untuk terakhir kalinya.
Sampai di ruang jenazah kami masih berkumpul menunggu mobil yang akan membawa jenazah Amara pulang ke rumah. Sang ibu mengambil tubuh anaknya. Ia tidak ingin anaknya kedinginan. Didekapnya erat-erat tubuh mungil itu lalu digoyang-goyang pelan sambil bersenandung kecil seperti yang biasa ia lakukan ketika menidurkan anaknya. Pantatnya ditepuk-tepuk lembut penuh rasa rindu, poninya dielus-elus agar rapi. Siapapun tak akan tega melihat pemandangan yang mengharu biru itu.

Hari ini, Kamis 20 Februari. Pada sore yang kelabu ini aku berdiri di pinggir sungai bersama istri dan anakku serta kerabat dan warga banjar lainnya. Prosesi nganyud sebagai rangkaian terakhir dari upacara ngelungah baru saja usai. Sampai detik ini aku masih tidak percaya dengan kenyataan yang terjadi. Aku masih memandang lekat ujung sungai yang mengantarkan Amara kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Ia sudah tidak sakit lagi dan sekarang sudah mendapat tempat yang baik bersama-Nya. Kado ulang tahun ini tak akan bisa kulupakan. Amor ring acintya Amara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar