Minggu, 03 Januari 2016

Euforia (cerpen)

Ketika membaca berita di koran bahwa akan digelar turnamen sepak bola bertajuk Indonesian Championship Jenderal Sudirman Cup pada pertengahan November, dan Bali United turut di sana, Sutama langsung tersenyum sinis. Dibakarnya koran di warung nasi itu sampai tak bersisa. Bu Wati, pemilik warung nasi, langsung sewot melihat kelakuan Sutama yang seenaknya membakar koran miliknya dan, tentu saja, mengganggu kenyamanan pelanggan lain yang sedang makan.
“Lho Pak Sutama, mengapa koran saya dibakar? Nanti kalau apinya gede terus warung saya hangus, gimana?” semprot Bu Wati naik pitam.
“Nggak usah sewot, nanti saya ganti rugi kalau itu terjadi. Itu koran berapa harganya? Sekalian saya bayar sama nasi saya, plus kerupuk tadi satu.” jawab Sutama tak kalah emosinya.
“Emosi sih emosi, tapi jangan asal main bakar dong. Kan bahaya. Memangnya ada kabar apa sih, sampai Pak Sutama bakar koran segala?”
“Gini Bu Wati, maaf korannya saya bakar. Saya nggak bisa menutup-nutupi kemarahan saya. Saya muak dengan sepak bola Indonesia. Kemarin-kemarin turnamen, sekarang turnamen lagi, kapan liganya digulirkan? Turnamen yang baru selesai kemarin saja finalnya rusuh. Indonesia itu tidak butuh turnamen banyak-banyak. Turnamen itu sifatnya cuma sebentar dan jangka pendek. Indonesia butuh sebuah liga yang profesional, yang berkelanjutan, sebagai tempat pembibitan pemain-pemain timnas agar terasah, teruji, dan mumpuni. Agar sepak bola Indonesia kembali ke jalur yang benar dan diakui FIFA. Dulu sepak bola kita masih dianggap di mata dunia, setidaknya di level asia tenggara, sekarang apa? Kompetisi saja tidak punya. Begini nih kalau pengurus-pengurus sepak bola kita tidak becus. Gimana sepak bola Indonesia bisa maju kalau PSSI sama Menpora berkelahi? Ibarat gajah berkelahi sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.”
“Lho bukannya Pak Sutama fans berat Bali United? Seharusnya Pak Sutama senang sebab Bali United main, jadi tuan rumah pula, masa nggak setuju?” seorang teman di sebelah Sutama ikut nimbrung.
“Saya tetap nggak setuju. Saya bukan lagi pendukung Bali United. Biar kata jadi tuan rumah juga pasti bakal kalah. Pasti bakal lebih dulu tersingkir seperti yang sudah-sudah. Apa yang bisa diharapkan dari tim bau kencur. Bikin malu saja.” jawab Sutama pesimis.
“Menurut saya, permainan Bali United, seperti yang saya lihat di turnamen yang duluan, sudah bagus. Hanya saja musuhnya kebetulan lebih bagus lagi, lebih banyak jam terbangnya. Saya, walaupun Bali United kalah, tetap bangga. Ke depannya, saya yakin Bali United pasti jadi tim besar yang ditakuti tim-tim lain. Masa nggak bangga dengan tim sepak bola daerah sendiri?”
Bu Wati yang tidak mengerti sepak bola hanya geleng-geleng kepala lalu ngeloyor pergi. Sutama juga tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecut lalu pergi setelah membayar makanannya.
Sampai di rumah, emosi Sutama belum juga reda. Pintu gerbang ditendang. Sepatu dilempar sembarang. Istrinya terkejut lalu bertanya, “Kenapa Pak? Pulang-pulang kok marah-marah?”
“Nggak usah nanya, Bu. Nanti aku jadi tambah kesal. Bikinkan saja aku kopi.” jawab Sutama ketus lalu duduk di kursi depan sambil menunggu kopinya datang.
Sutama adalah salah satu dari sekian banyak orang yang kecewa terhadap sepak bola Indonesia. Dulu ia penggemar sejati sepak bola Indonesia. Tapi kini ia terlanjur sakit hati. Ia merasa dikhianati. Kecintaannya terhadap sepak bola tanah air dibalas dengan pembekuan liga. Sutama langsung mengambil sikap. Ia menghapus sepak bola dari kehidupannya. Ia berhenti jadi suporter. Ia juga tidak mau menyentuh si kulit bundar lagi, walaupun untuk sekedar mencari keringat. Ia ngambul dan gantung sepatu. Tidak hanya itu, ia juga bersumpah tidak lagi menonton pertandingan sepak bola nasional.
Tak lama, Putra Adnyana—anaknya—datang. Dengan menenteng sepatu bola dan menggendong tas, ia lewat santai di depan Sutama.
“Hei, darimana Kamu?” tanya Sutama tanpa senyum.
“Biasa, dari Renon latihan bola.”
“Dengar, mulai sekarang tidak ada sepak bola-sepak bolaan. Kamu pilih olahraga yang lain. Kamu main saja badminton. Murah dan cocok untuk badanmu yang tinggi. Atau basket juga boleh. Voli, renang, karate, panjat tebing, lempar lembing, kasti, catur, poco-poco apa saja boleh, asalkan jangan sepak bola.”
“Lho, memang kenapa Pak? Kok tiba-tiba Bapak melarangku main sepak bola? Bukannya Bapak yang dulu nyuruh aku ikut sekolah sepak bola?” Putra Adnyana berkelit.
“Itu dulu, sekarang sudah beda. Sekarang sepak bola sudah tidak sportif lagi. Sudah penuh skandal dan tidak halal. Sepak bola sudah dikorupsi, sudah berorientasi bisnis. Masa depanmu di sepak bola tidak bagus. Di rumah ini, sekarang, semua yang berbau sepak bola dilarang. Titik.”
“Kalau nonton?”
“Tidak boleh! Bapak nggak akan ngasi uang untuk nonton bola. Buat apa datang jauh-jauh jadi suporter? Sudah macet, capek, suara habis, ujung-ujungnya juga kalah. Masa beli tiket mahal-mahal untuk nonton orang kalah? Benar-benar payah dan nggak bisa dibanggakan.”
“Bapak gimana sih, menang-kalah kan biasa dalam pertandingan. Masa mau menang terus?”
“Sudah, Kamu jangan banyak omong. Sekarang turuti saja perintah Bapak. Buang semua alat-alat sepak bolamu. Buang juga punya bapak. Baju, bola, sepatu, kaos, majalah, bendera, buang semua. Buang! Buang semua jauh-jauh. Jangan sampai Bapak melihatnya lagi. Bila perlu bakar saja. Jersey Bali United buang juga. Bapak nggak butuh itu lagi. Poster-poster yang ada di tembok robek saja semua. Semuanya! Jangan sisakan satupun, ngerti kamu?”
“Termasuk poster Lionel Messi juga, Pak?”
“Eh, emm… yang itu jangan. Dia pemain favorit Bapak.”
Putra Adnyana tak berani membantah lagi. Ia masuk ke rumah dengan lesu sekaligus heran. Ia terancam tidak bisa menyaksikan pertandingan Bali United versus Persipura Sabtu depan. Di dalam, ia bertanya pada ibunya perihal kelakuan bapaknya yang aneh. Ibunya hanya mengangkat bahu. “Mungkin ambeyennya kumat.” bisik ibunya singkat.
Diam-diam Putra Adnyana tidak mengikuti perintah Sutama, bapaknya. Ia tidak membuang benda-benda seperti yang sudah diperintahkan. Semua disimpan dalam kardus dan ditaruh di belakang rumah. Jersey Bali United, topi, dan syal juga disimpannya dengan rapi di dalam kardus. Pun ia tetap pergi ke Stadion Dipta menyaksikan pertandingan Bali United kontra Persipura.
Pertandingan Bali United melawan tim asal Papua tersebut berjalan sengit. Kedua tim saling melancarkan serangan. Di pertengahan babak kedua, Lerby Eliandry berhasil mencetak gol membuat Bali United unggul lebih dulu. Namun dramatis, poin tiga yang sudah hampir masuk kantong terpaksa melayang lantaran Persipura berhasil menyamakan kedudukan melalui gol tendangan bebas Ian Kabes saat pertandingan sudah dalam hitungan detik. Hasil imbang membuat pertandingan dilanjutkan dengan adu penalti.
Putra Adnyana menyaksikan drama adu penalti di tribun timur dengan penuh ketegangan. Dan luar biasa, Bali United berhasil mempecundangi Persipura dengan skor 4-1. Dalam gemuruh kegembiraan yang meluap-luap, Putra Adnyana menulis status di BBM, “Serdadu Tridatu mengandaskan Mutiara Hitam. Forza Bali United!” Tak lupa ia mengganti display picture dengan foto dirinya berlatar lautan suporter berseragam merah.
Di rumah, Sutama melihat apa yang ditulis anaknya saat mengecek pembaruan. Matanya langsung melotot. Mukanya merah padam. Dadanya kembang-kempis. Jemari-jemari tangannya gemeretak karena dikepal kuat-kuat. Melihat gelagat tidak bagus, istrinya langsung meng-SMS sang anak, “Enggal mulih, perasaan Meme nggak enak.”
Putra Adnyana tiba di rumah sudah hampir tengah malam. Ia masuk ke rumah dengan berjingkat-jingkat berharap bapaknya tidak terbangun. Namun apa daya sial, Sutama masih belum tidur dan menghadangnya di depan pintu. Putra Adnyana langsung tertunduk memelas. Ia tidak berani memandang mata bapaknya yang merah membelalak. Ibunya khawatir dan cemas.
“Apa Bapak bilang? Dari awal Bapak sudah yakin Bali United pasti bakal menang. Keberanian coach Indra Sjafri menggunakan pemain-pemain muda sangat brilian. Kita memang harus memberi peluang pada generasi muda untuk unjuk gigi memamerkan kemampuan mereka. Asalkan pemain muda yang dipilih adalah mereka yang pekerja keras, mereka yang berjiwa puputan. Bukan banci, takut jatuh, takut kepanasan, bermental lembek, baru mendengar nama besar musuh langsung kendor. Pemain-pemain muda harus diberi banyak pengalaman agar kelak mereka menjadi pemain yang cemerlang, baik taktik maupun teknik.”
Putra Adnyana dan ibunya saling pandang. Mereka tidak paham dengan sikap Sutama yang sontak berubah 180 derajat. “Jadi Bapak bangga?”
“Jelas bangga dong, gimana sih. Kita orang Bali harus tetap mendukung Bali United, apapun kondisinya. Jangan hanya mendukung saat menang saja, lalu saat kalah dilupakan. Menang atau kalah Bali United adalah tim kebanggaan daerah kita. Dan ingat, kita jadi suporter jangan sampai terpecah belah. Jangan kayak partai politik, ada kubu-kubuan. Masa kalah sama suporter luar? Tribun timur dan tribun selatan harus bersatu kalau nggak mau mati kutu. Pokoknya Jumat depan Bapak mau ikut memerahkan Stadion Dipta. Bapak tidak mau ketinggalan euforia turnamen ini. Ibu juga harus ikut.”
“Bapak kan nggak suka macet.” Putra Adnyana nyeletuk.
“Tak masalah, ini macetnya berbeda. Kemacetan penuh antusiasme dan fanatisme. Semua yang berpakaian sama dengan kita serasa saudara. Tapi ngomong-ngomong, baju Bapak jadi dibuang?”***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar