Minggu, 17 Januari 2016

Pahlawan (cerpen)


Aku adalah guru tetapi bukan guru. Maksudku, latar belakang pendidikanku adalah guru namun aku tidak bekerja di sekolah menjadi guru. Pekerjaanku saat ini justru tidak berkenaan dengan dunia pendidikan.

Saat kecil, aku punya impian menjadi guru. Saat itu aku takjub bahwa guru adalah manusia luar biasa karena serba tahu. Guru memang sosok yang patut digugu dan ditiru.

Demi menggapai cita-cita menjadi guru, aku mengambil kuliah keguruan. Anehnya, setelah menjalani kuliah, cita-citaku yang awalnya bersinar terang mendadak redup. Semangatku yang berkobar kian padam. Ditambah setelah mengetahui kenyataan bahwa penghasilan sebagai guru tidaklah memadai untuk menghidupi keluarga, cita-citaku kian goyah kemudian runtuh.

Setelah lulus kuliah, aku bahkan tidak pernah melamar pekerjaan menjadi guru. Aku sudah mengubur cita-cita menjadi guru sebelum itu. Aku memandang profesi guru dengan sebelah mata. Aku tidak sudi menjadi guru.

Meski begitu, dalam jiwaku masih terpatri jiwa seorang guru. Masih tersisa sedikit naluri mengajar, mendidik, dan melatih sebagaimana tugas yang diemban guru. Setidaknya naluri itu masih kuamalkan untuk anakku. Oleh sebab itulah aku masih bersemangat memberikan penjelasan jika anakku bertanya tentang hal-hal yang tidak ia mengerti di sekolah.

Pernah suatu ketika anakku bertanya, “Ayah, apa itu pahlawan?” Rupanya ia memiliki pekerjaan rumah membuat karangan bertema hari Pahlawan.

“Pahlawan adalah orang-orang yang rela mengorbankan dirinya untuk hal-hal yang lebih besar, hal-hal luhur yang dicita-citakan oleh semua orang. Tidak hanya mengorbankan tenaga dan uang, bahkan nyawa pun siap mereka berikan. Pahlawan adalah mereka yang membuang kepentingan pribadinya agar dapat memikul kepentingan orang banyak. Karena itulah kita wajib menghormati pahlawan.” Kujawab pertanyaan itu dengan antusias.

Anakku yang masih SD itu manggut-manggut kemudian bertanya lagi, “Siapa saja contohnya, Ayah?”

“Contohnya ya banyak. Ada Gusti Ngurah Rai pahlawan dari Bali, Cut Nyak Dien pahlawan dari Aceh, Kapitan Pattimura dari Maluku, Bung Tomo dari Surabaya. Ada juga Bung Karno dan Bung Hatta, pahlawan proklamasi kita. Lalu ada Tuanku Imam Bonjol, Diponegoro, Kartini, Sisingamangaraja, Sudirman, Ahmad Yani, Ki Hajar Dewantara, dan masih banyak lagi. Mereka adalah orang-orang yang rela gugur demi kejayaan tanah air Indonesia. Apa yang telah mereka lakukan harus kita teladani.”

Anakku manggut-manggut lagi, namun kemudian keningnya berkerut. Aku sudah bersiap menyambut pertanyaan berikutnya sebab aku tahu ia masih belum puas dan pasti akan bertanya lagi.

“Mereka semua kan sudah mati…”

“Meninggal” aku menyela.

“Iya, mereka semua kan sudah meninggal, Yah. Apakah harus meninggal dulu baru jadi pahlawan?”

Semakin lama pertanyaan yang muncul tambah aneh. Tapi tak apalah, namanya juga anak-anak.

“Jadi pahlawan tidak harus meninggal dulu, Nak. Tidak harus gugur di medan perang dulu baru jadi pahlawan. Kebetulan saja contoh yang ayah sebutkan tadi memang sudah meninggal. Mereka gugur dalam perlawanan merebut kemerdekaan dulu. Karena pengorbanan dan pengabdian yang besar terhadap tanah air, kini  mereka diberi gelar Pahlawan Nasional.”

“Lalu contoh pahlawan yang masih hidup siapa, Yah?”

“Contoh pahlawan yang masih hidup ya banyak juga. Misalnya polisi. Mereka bisa dianggap pahlawan juga. Mereka mengatur lalu lintas agar semua berjalan lancar, tertib, teratur. Tak peduli panas terik atau hujan lebat mereka tetap bertugas. Semua demi kebaikan bersama. Selain itu, polisi juga memberi kita rasa aman. Coba bayangkan kalau tidak ada polisi. Penjahat, pencuri, pengedar narkoba, pembakar hutan, begal, koruptor siapa yang mengurus?”

“Para tentara juga begitu, mereka juga pahlawan yang masih hidup. Mereka menjaga kedaulatan negara kita. Merekalah yang menjaga keamanan negara kita baik di darat, di laut, maupun di udara. Mereka semua adalah orang-orang yang terlatih. Ketika musuh menyerang, merekalah yang berada di garis terdepan.”

“Lalu siapa lagi?”

“Lalu siapa lagi ya? Nah dokter! Dokter juga pahlawan. Pekerjaan mereka sangat mulia. Mereka membebaskan kita dari penyakit. Banyak dokter yang bertugas di daerah-daerah terpencil dan tidak digaji. Mereka tetap ikhlas demi mewujudkan rakyat Indonesia yang sehat.”

“Petugas kebersihan dan tukang sapu juga pahlawan.”

“Tukang sapu? Masa tukang sapu juga pahlawan?”

“Lho, jangan kamu lihat pekerjaannya, lihat apa yang sudah mereka perbuat untuk orang lain. Tukang sapu membuat lingkungan bersih dari sampah sehingga kita merasa nyaman berada di sana. Mereka tidak jijik meskipun harus berkutat dengan sampah yang bau dan kotor. Mereka tetap semangat bekerja dengan  imbalan yang tidak seberapa. Jadi menurut ayah, mereka patut disebut pahlawan lingkungan.”

“Oh ya, ayah hampir lupa, ada satu lagi pahlawan. Pahlawan wanita dan dia sangat dekat denganmu. Dia membawamu ke sana-ke mari selama sembilan bulan dalam perutnya, tak peduli berat dan lelah. Setelah kamu lahir, ia memberimu kasih sayang yang melimpah. Kamu diasuh dengan sangat telaten hingga sebesar sekarang. Ia merawatmu melebihi ia merawat dirinya sendiri. Dia adalah ibumu sekaligus pahlawanmu.”

“Kalau begitu, Ayah juga pahlawanku dong?”

“Boleh saja kalau kamu menganggapnya begitu. Tapi ayah belum merasa jadi pahlawan. Nanti kalau ayah berhasil mendidikmu menjadi orang yang berguna untuk keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, barulah ayah merasa menjadi pahlawan.”

“Jadi intinya, menjadi pahlawan itu tidak harus meninggal dulu, pahlawan yang hidup juga banyak. Asalkan melakukan pekerjaan mulia dengan ikhlas dan tanpa pamrih demi kebaikan bersama maka pantas disebut pahlawan.” Aku tersenyum puas karena berhasil menjawab semua pertanyaan.

“Kalau begitu aku juga ingin menjadi pahlawan. Aku ingin berguna untuk Indonesia.” Anakku tersenyum lebar. Matanya berbinar-binar memancarkan tekad yang kuat.

“Bagus itu. Maka dari sekarang kamu harus rajin-rajin belajar, makan yang banyak, dan rajin berdoa. Memangnya kamu mau jadi pahlawan apa?”

“Coba Ayah tebak.”

“Ayah tahu. Pasti mau jadi seperti Power Rangers kan, membasmi penjahat dan melindungi orang-orang yang lemah?” aku mencoba menggoda. Ia menggelengkan kepala.

“Kalau begitu pasti mau jadi seperti Ultraman, melindungi bumi dari serbuan monster-monster jelek?”

Anakku menggeleng lagi.

“Pasti mau jadi seperti Satria Baja Hitam? Batman mungkin? Atau Doraemon? Harry Potter? Naruto? Upin Ipin? Ashoka? Tukul Arwana?”

Anakku tetap menggelengkan kepala. Kemudian ia berkata dengan mantap, “Aku ingin jadi guru!”

Aku kaget dan tersedak. “Kamu bilang mau jadi apa, Nak?”

“Aku ingin jadi guru, Ayah. Guru kan pekerjaan mulia. Ayah pasti lupa, guru kan pahlawan juga. Guru membuat kami murid-murid menjadi pintar. Kalau tidak ada guru, siapa yang mengajari kami membaca, menulis, berhitung, menggambar, bernyanyi? Kalau tidak ada guru, kami tidak memiliki ilmu. Kalau tidak ada guru, tidak ada polisi, tentara, dan dokter yang pintar dan cekatan. Ibu pernah bilang, guru itu pahlawan, walaupun tanpa tanda jasa tetap tak jera menjadi pelita. Meskipun penghargaannya tak sebanding, tetap tak ragu membagi ilmu. Ibu juga pernah bilang ayah adalah guru, kok ayah tidak mengajar di sekolah? Ayah tidak mau jadi pahlawan?”

Wajahku langsung pucat. Kugaruk kepalaku meski tak gatal. Senyumku masam. Kali ini aku diam tidak bisa menjawab. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar