Minggu, 24 Januari 2016

Pemuda Yang Menunggu Pesawat (cerpen)

Saat kegundahan melingkupi jiwa, di pantailah aku bermuara. Tatkala tak satu pun mampu mengurai kemelut kusut yang membalut, ke pantailah aku beringsut. Pantai adalah tempat yang kuanggap bisa menawar kesedihan yang kurasakan. Tempatku meredam emosi yang bergejolak. Pantai seakan memiliki kekuatan menghisap beban hidup yang tidak dapat kutanggung seorang diri, meski hanya sementara.
Aku menyukai pantai dengan segala pernak-perniknya: pasir, karang, ombak, angin, yuyu, perahu yang bergoyang, bahkan sampahnya. Aku selalu merindukan warna birunya, rindu belaian angin yang menghamburkan aroma laut—basah, lembab, dan asin. Entah kenapa segala hal itu mampu meneduhkan hatiku.
Begitu pun hari ini, ketika aku dihadapkan pada persoalan rumit yang sulit bagiku untuk menyelesaikannya, ketika sebuah dilema menghampiri tak terduga, aku pergi ke pantai. Ingin kutumpahkan segenap keluh kesah, agar enyah terhempas ke laut lepas, agar hatiku jernih dan dapat mengambil keputusan tanpa merampas kebahagiaan siapapun.
Tapi pantai ini bukan pantai yang biasa kudatangi. Pantai ini sama sekali baru. Sejak aku pindah tempat tinggal, pantai yang sering kudatangi menjadi begitu jauh. Dari seorang teman, kuketahui keberadaan pantai ini, lokasinya dekat dengan tempat tinggalku yang baru.
Aku belum tahu nama pantai ini. Situasinya tidak begitu ramai. Pasirnya putih dan ombaknya tenang. Tempat yang pas untukku melepas keresahan. Lalu ada tumpukan tinggi batu-batu putih melintang seolah-olah membelah pantai menjadi dua, utara dan selatan. Aku langsung berdiri di atas bebatuan itu. Di utara, aku melihat puluhan perahu ditambat, terombang-ambing gemulai mengikuti alunan ombak, menunggu sang nahkoda yang datang senja. Berpaling ke selatan, aku melihat runway atau landasan pesawat menjulur panjang hingga ke tengah laut. Rupanya di sana bagian dari bandara. Di landasan itu aku melihat pesawat take off dan landing silih berganti. Aku takjub lantaran belum pernah menyaksikan pesawat sedekat dan sebesar itu.
Aku merasa mulai menyukai pantai ini. Nuansanya yang benar-benar baru memantik keinginanku untuk menyusurinya dan berhasil membuatku lupa akan persoalan yang tengah menyandera. Segera aku menuruni bebatuan menuju ke selatan. Pesawat-pesawat itu menggodaku agar mendekat. Kakiku yang tak beralas melangkah cepat di atas pasir padat dan landai. Sesekali aku berhenti untuk memungut karang-karang kecil yang terdampar dimuntahkan ombak. Semakin ke selatan, aku dapat melihat burung-burung besi itu begitu besar, gagah, dan percaya diri. Diam-diam aku merasa kagum dengan salah satu teknologi tercanggih dalam sejarah peradaban manusia tersebut.
Aku terus saja berjalan ke selatan mendekati landasan. Ternyata aku tidak sendiri. Seorang pemuda bertubuh gemuk tengah duduk di atas batu karang menghadap ke selatan. Kedua tangannya sibuk dengan kamera. Ketika landasan pesawat berjarak kurang lebih 50 meter di depanku, tiba-tiba entah dari mana muncul seekor anjing menyalak galak. Lalu seorang petugas bandara keluar dari posnya di sisi landasan. Aku tidak mendengar ia berteriak apa—deru mesin pesawat menenggelamkan suaranya—akan tetapi dari gerakan tangannya aku paham ia menghalauku agar tidak mendekati landasan. Mungkin anjing itu adalah piaraan si petugas. Gonggongannya menjadi kode baginya jikalau ada orang yang mendekat.
“Tidak boleh ke sana. Cuma boleh sampai di sini saja.” Si pemuda bertubuh gemuk berseru. Ia menatap landasan sejenak, kemudian kembali sibuk dengan kameranya. Ia sama sekali tidak memandangku. “Oh, tidak boleh ya? Saya tidak tahu, saya baru sekali ini ke sini.” jawabku. Sekilas kuperhatikan pemuda itu. Sepertinya ia orang baik-baik, tanpa ragu aku mengambil posisi yang pas duduk di sekitarnya.
“Sering ke sini?” tanyaku. Pemuda itu menjawab dengan menganggukkan kepala. Sepertinya ia tidak suka banyak bicara, karena itu aku tidak berniat bertanya lagi.
Selama sekian menit kami berdua diam tanpa kata. Aku kembali terpesona melihat pesawat-pesawat yang melintas dengan anggun, terpana dengan deru mesinnya yang membahana saat akan tinggal landas, terpukau melihat roda-rodanya yang cantik berdecit mengepulkan asap tipis saat mendarat menyentuh Iandasan.
Pemuda itu masih sibuk dengan kameranya, bertindak seolah-olah tidak ada aku di sana. Ia tidak melihat ke arah lain selain melihat pesawat. Beberapa kali ia mengarahkan lensanya pada pesawat yang mendarat. Menjepret lalu melihat hasilnya. Begitu terus berulang-ulang. Ekspresinya datar saja. Kalau tidak ada pesawat, ia melamun. Umurnya mungkin tidak lebih dari 23 tahun, akan tetapi tak kulihat semangat darah muda di dirinya. Aku melihat sorot mata yang sedih dan menyiratkan keputusasaan, namun ada semacam kerinduan yang dalam di sana.
Sesaat kemudian, sebuah pesawat besar dan panjang terbang rendah hendak mendarat. Pemuda itu membidik pesawat itu beberapa kali. “Betapa besarnya pesawat itu!” seruku.
“Itu pesawat jenis Boeing 777 seri 300,” rupanya ia mendengar ungkapan kekagumanku tadi. “pesawat terbesar yang sering masuk bandara di sini, bisa menampung penumpang hingga 400an orang.” Aku manggut-manggut mendengarkan. “Sebenarnya ada yang lebih besar, Boeing 747, mesinnya empat, tapi jarang ke sini. Kalau yang lebih besar lagi Airbus A380 tapi tidak bisa masuk bandara di sini karena saking besarnya.”
“Begitu ya? Pesawat ternyata banyak jenisnya ya.”
“Banyak, selain Boeing dan Airbus juga ada ATR, Sukhoi, Fokker, Embraer.” Pemuda itu mulai bercerita. Sejak tadi, baru kali ini kulihat ia tersenyum. “Tadi itu pesawat Singapura, kode penerbangannya 9V. Kalau pesawat Indonesia kodenya PK.”
Melihatku antusias mendengarkan, pemuda itu tambah semangat bercerita. Ia bercerita tentang maskapai-maskapai penerbangan, juga tentang bandara-bandara di seluruh dunia. Ia bercerita banyak tentang dunia penerbangan, termasuk bagaimana kerja pilot, pramugari, engineer pesawat, hingga ATC. Ia bahkan punya aplikasi radar pesawat dan jadwal penerbangan lengkap di handphonenya.
“Saya cuma ngerti sedikit. Spotter-spotter yang lebih ‘gila’ dari saya banyak di luar sana.” pemuda itu merendah saat aku memuji hobinya yang tergolong tidak lumrah.
“Lalu bagaimana awalnya bisa menggeluti hobi ini?” mendengar pertanyaanku, senyum pemuda itu seketika lenyap. Menghilang bersama tenggelamnya mentari di ufuk barat.
Bayangan sesosok wanita mendekat ke arah kami. “Andri, ayo pulang sudah sore.”
“Aku sudah dijemput, sampai jumpa lagi, Bli.” pemuda itu beranjak dengan wajah murungnya seperti saat awal kulihat. Ia berlalu melewati ibunya. Wajah si ibu murung, semurung wajah anaknya. “Temannya Andri?” ia bertanya.
“Bukan, eh, iya. Tapi kami baru kenal tadi.” jawabku.
“Kasihan dia,” si ibu memandang sedih anaknya yang berjalan menjauh. “seharusnya 5 tahun yang lalu bapaknya pulang kerja dari kapal pesiar, tapi pesawat yang ditumpanginya tidak pernah sampai. Dia masih menanti hingga kini. Setiap ada jadwal penerbangan pesawat dari Qatar ke Bali ia selalu ke sini. Kadang ia menunggu di kedatangan internasional di dalam bandara, berharap bapaknya keluar melambaikan tangan, membawa oleh-oleh, dan memeluknya. Dia masih percaya bapaknya pasti kembali. Ia rindu bapaknya.” Si ibu menitikkan air mata kemudian pamit menyusul anaknya.
Lama aku memikirkan bagaimana pemuda itu masih tahan memelihara kerinduannya selama itu. Ternyata ia tidak punya bapak sama sepertiku. Tiba-tiba aku kembali teringat pada dilema yang membelitku. Ibuku, setelah menjanda tiga tahun, berkata ingin menikah lagi. Aku tidak masalah. Bagaimana pun kebahagiaan ibuku adalah kebahagiaanku juga. Akan tetapi, lelaki—berstatus duda—yang akan dinikahinya ternyata ayahnya Tarmini, gadis yang sudah setahun ini jadi kekasihku.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar