Minggu, 03 April 2016

Pada Sebuah Wawancara (cerpen)


Setelah menerima ijazah, tanda lulus kuliah, aku langsung menyebar lamaran pekerjaan. Tekadku jelas, yaitu kerja. Aku tidak boleh terlalu lama merayakan kebebasan dari kewajiban yang bernama tugas, makalah, presentasi, ujian akhir, dan semacamnya. Kelar kuliah bukan berarti merdeka. Justru pada titik inilah kematangan dan kemandirianku diuji. Posisiku saat ini tak ubahnya anak kangguru yang baru meloncat dari ketiak induknya—berusaha menemukan jati diri di belantara dunia yang sesak oleh persaingan dan marabahaya.
Secepatnya aku harus mendapat pekerjaan sesuai dengan studi mayorku. Selagi ilmuku masih panas berasap bak terang bulan baru keluar dari panggangan. Fresh graduate, itulah kata yang tepat untuk menyebut situasiku saat ini. Segera ingin kuterapkan berupa-rupa teori yang pernah kutelan semasa berkiprah di perguruan tinggi. Teori-teori yang membara memenuhi tempurung kepalaku, meletup-letup, dan menggelegak serupa erupsi gunung berapi.
Aku ingin jadi guru, Kawan. Jadi guru, mulia bukan? Gelar S.Pd cukuplah memberiku wewenang untuk menjadi guru. Gelar yang sering diplesetkan menjadi Sarjana Penuh Derita. Tapi memang benar adanya. Menjadi guru sangatlah jauh dari yang namanya kemewahan, kekayaan, apalagi ketenaran. Padahal tugas yang dibebankan di bahunya amatlah berat: mendidik anak bangsa agar menjadi cerdas dan berguna. Meski begitu, aku tetap ingin menjadi guru, yang jujur, tulus, dan berdedikasi tinggi tentunya.
Segera kukirim lamaran berselip harapan ke sekolah-sekolah. Malamnya sering aku tidak bisa tidur. Jika tidur aku suka mengigau. Aku begitu excited, bergairah, berdebar-debar, gelisah, dan cemas menanti-nanti panggilan.
Dan hari itu tiba, sebuah pesan singkat hinggap di ponselku, bunyinya: selamat sore, berdasarkan  surat lamaran yang Anda kirimkan ke sekolah kami, maka kami mohonkan kehadirannya besok untuk interview dan microteaching, mohon konfirmasinya.
Aih, bahasa yang indah dan tersusun rapi. Apalagi interview dan microteaching, hanya orang-orang terpelajar yang sering menggunakan kata-kata itu. Aku membayangkan orang yang mengirimkan pesan itu pastilah sesosok sekretaris aduhai nan cerdas, berparas teduh seperti penyanyi plus gitaris Sheryl Sheinafia. Aku menerima pesan itu layaknya menerima surat dari cinta pertama, girang tak alang kepalang. Tak perlu membaca dua kali, langsung ku balas: tentu, saya akan datang.
Esoknya aku datang ke sekolah itu, sekolah berlabel internasional, begitu besar dan megah bukan buatan. Di depannya sedang ada pembangunan, mungkin sedang dibuat lab komputer dengan teknologi ter-update atau bisa juga ruang olahraga dengan fasilitas lengkap dan modern.
Sampai di dalam aku kembali terkagum-kagum. Mulutku ternganga seperti kantong semar menunggu mangsa. Koridor yang aku lalui menuju kantor di lantai empat penuh dengan hal-hal yang inspiratif dan sangat edukatif. Murid-muridnya kebanyakan bermata sipit dan berkulit seputih lobak. Sekian menit berada di sana, paling tidak tiga bahasa sudah hilir-mudik di kupingku: bahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin. Para pegawai saling menyapa miss dan mister. Aku tersenyum-senyum geli membayangkan diriku juga disapa mister; Mister Made. Hihi...
Akhirnya sampai juga aku di lantai empat. Oleh seorang pegawai berkaca mata tebal aku diantar menuju sebuah ruangan untuk wawancara. Ternyata ruang kelas dan di sana telah menunggu dua orang wanita.
Wanita pertama memperkenalkan dirinya sebagai Miss Komang, berkacamata, rambut panjang, tidak terlalu tua, dan dia tak lain sang kepala sekolah. Wanita kedua bernama Miss Widya, masih muda, tubuhnya mungil, murah senyum, dan dia yang mengepalai bidang studi Bahasa Indonesia dari SD hingga SMA. Aku sadar kedua wanita itulah yang memegang kendali sepenuhnya atas nasib lamaranku, apakah akan berakhir dengan “Selamat bergabung…”, atau “Maaf, bukan Anda yang kami cari…”. Aku tidak boleh sembarangan di hadapan kedua wanita itu. Aku harus menjaga sikap dan mengesankan mereka bahwa aku memenuhi semua kualifikasi yang mereka butuhkan.
Perihal wawancara dan pengajaran mikro, kedua hal tersebut sebenarnya bukanlah barang baru buatku. Keduanya adalah mata kuliah yang aku dapatkan semasa menempuh pendidikan di institut keguruan, dan bukannya sombong, nilaiku A untuk kedua mata kuliah tersebut. Jika diangkakan empat nilainya, tak kurang. Tetapi ini beda perkara.

Di kampus, jika nilaiku jelek bisa remidi. Akan tetapi, jika dalam wawancara kerja dan microteaching ini aku gagal, risikonya aku akan ditendang dan peluangku dapat kerja kandas lunas, tak bisa diulang. Memikirkan hal itu membuatku jadi gegana alias gelisah, galau, merana seperti warga Kalijodo yang akan digusur tempat tinggalnya.
“Saya sudah membaca CV Anda dan saya sudah langsung tertarik begitu mengetahui Anda lulusan SMP dan SMA terbaik. Tentu perlu usaha yang keras untuk dapat masuk ke sekolah itu, bukan? Dan meskipun perguruan tinggi tempat Anda kuliah tidak begitu populer, tapi saya terkesan dengan nilai dan predikat kelulusan Anda. Bisa Anda ceritakan sedikit.”
Si ibu kepala sekolah memulai wawancara dengan pujian yang melambungkan hatiku. Sebenarnya aku agak tersinggung dengan kata tidak begitu populer. Tahu apa dia tentang kampusku? Tapi aku sadar saat ini tidak mungkin mendebatnya. Wanita di sebelahnya senyum-senyum. Mereka berdua seperti majelis hakim yang terhormat. Aku duduk sendiri di depan kelas, di meja guru, ibarat terdakwa kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur.
“Menurut saya sekolah di mana saja sama, yang terpenting adalah niat untuk belajar. Meskipun sekolahnya bagus, jika tidak ada niat belajar, ya tidak berguna. Tentang nilai, itu baru di atas kertas, prakteklah yang menjawab bagaimana kemampuan seseorang. Nilai tidak sepenuhnya mencerminkan kualitas seseorang. Nilai memang penting akan tetapi proses mendapat nilai itu yang lebih penting. Dengan mendapat nilai tinggi, tidak serta merta membuat saya menjadi pintar. Saya masih terus belajar," kujawab dengan percaya diri. Si ibu kepsek mengangguk-angguk pelan. Aku yakin dia sependapat denganku. Wanita di sebelahnya senyam-senyum.
“Di bidang apa kelebihan Anda dalam pelajaran Bahasa Indonesia? Di sini, kami menuntut setiap guru harus memiliki kelebihan yang spesifik dalam bidang studi yang diampunya sehingga nantinya bisa ditunjuk sebagai pembina ketika ada lomba-lomba yang berkaitan dengan kelebihannya itu.”
Waduh, susah sekali mencari kelebihanku karena sejujurnya aku memang tidak punya kelebihan. Tapi aku segera teringat dengan cerpen yang biasa kubuat.
“Saya biasa membuat cerpen, beberapa pernah dimuat di surat kabar, mungkin itu bisa disebut kelebihan.”
Aku menyombongkan beberapa cerpenku yang pernah mengisi kolom fiksi di koran lokal, meskipun itu sebenarnya berkat campur tangan sang redaktur yang tak lain adalah dosen sastraku.
“Bagus itu. Kami sering mendapat undangan lomba menulis cerpen. Mudah-mudahan Andalah orangnya sehingga nanti bisa membina siswa-siswi kami dalam menulis cerpen.” WUUSH… angin segar bertiup menyejukkan. Aku tersenyum dan mengangguk takzim.
“Coba lihat ini. Ternyata, Anda mulai kuliah setelah enam tahun tamat SMA, kenapa?”
“Iya itu benar, begini ceritanya, setelah tamat SMA saya ingin melanjutkan kuliah akan tetapi tidak bisa sebab tidak ada biaya. Akhirnya saya memutuskan untuk bekerja. Bu Atiri, ibu guru saya yang berhati mulia, yang mencarikan saya pekerjaan. Seiring bergulirnya waktu, mungkin lantaran terlanjur ketagihan memegang uang, pikiran saya berbelok. Keinginan untuk kuliah meredup. Sampai akhirnya saya membaca novel Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Kisah dalam dua novel itu benar-benar menghantam, membangunkan, dan mengingatkan saya bahwa masih ada mimpi-mimpi, yang dulu pernah saya ikrarkan dengan lantang, belum tercapai: mengenyam bangku kuliah kemudian menjadi guru. Dari situ saya mulai mengumpulkan receh demi receh untuk modal kuliah."
“Jadi begitu. Orang tua masih ada?
“Masih. Mereka tidak bisa membiayai pendidikan saya lebih tinggi lagi. Saya masih punya tiga adik yang mesti mereka tanggung kala itu.”
“Jadi begitu. Kalau boleh tahu apa pekerjaan orang tua Anda?”
Aku terhenyak dan termenung. Bukan lantaran tidak punya jawaban melainkan karena malu sebab pekerjaan orang tuaku sangat-sangat-sangat tidak membanggakan. Ibuku hanyalah penjual canang dan bapakku, jika menjadi bandar judi bola adil bisa dikatakan pekerjaan, maka itulah pekerjaannya.
“Judi?” Miss Komang memandangku dengan pandangan tidak percaya, seolah-olah melihat sapi beranak babi.
“Hebat juga ya, bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak, hanya dari hasil judi. Padahal kata orang-orang uang hasil judi pasti telah ngawag. Seperti kata pepatah uang setan dimakan hantu, aluh alih elah ilang. Spekulatif, benar-benar spekulatif…”
Aku tercenung dan tak lagi memperhatikan apa yang dikatakan Miss Komang di depanku. Pertanyaan tentang pekerjaan orang tua menjadi semacam trauma bagiku, mengguncang pikiran, dan sangat sentimental. Pertanyaan itu ibarat air dan aku adalah kabel yang terkelupas. Sontak berhamburan keluar semua emosi dalam diriku. Malu, sedih, kecewa, takut, putus asa, semua yang kurasakan pada masa-masa suram itu terkenang lagi.
Saat itu aku kelas dua SMA. Perekonomian keluargaku benar-benar ambruk setelah polisi mengadakan operasi besar-besaran terhadap penyakit masyarakat, salah satunya judi. Bapakku tak berkutik. Jadilah ibuku tulang punggung keluarga. Namun keuntungan menjual canang tidaklah seberapa, untuk makan saja kurang. Tidak ingin membebani keluarga, dengan perasaan luluh-lantak aku terpaksa berhenti sekolah, mengubur cita-citaku menjadi guru.
Aku mencari pekerjaan, apapun yang penting bisa membawa pulang rupiah. Sempat aku berjualan asongan di stadion Ngurah Rai. Kala itu masih ada Perseden Denpasar yang bermain di divisi utama Liga Indonesia. Adakalanya aku jadi kuli cor bangunan. Pulangnya badanku terasa remuk redam, sekujur telapak tanganku bolong-bolong, seharian pontang-panting mengangkut luluh.
Namun sebulan kemudian dua orang berpakaian PNS datang ke rumahku, yang satu pegawai TU dan satu lagi wali kelasku. Mereka ibarat malaikat pembawa harapan. Mereka menanyakan alasan aku tidak sekolah berhari-hari. Dengan pilu kuceritakan keadaan keluargaku.
“Made, mulai besok kamu datang saja ke sekolah, belajar seperti biasa. Tidak usah merisaukan biaya, sekolah sudah mengurusnya," kata wali kelasku.
Aku menangis bahagia ibarat anak hilang bertemu keluarganya. Esoknya, aku kembali bersekolah dan meninggalkan pekerjaan yang sempat kugeluti. Sebagai pengganti sumber pemasukan, aku mengirim naskah puisi dan karikatur ke majalah pelajar.
“Ehem! Saudara Made, bisa kita lanjutkan?” Ibu Kepsek menyentakanku dari lamunan masa lalu. Dari nada bicaranya jelas sekali ia agak tersinggung karena aku tidak serius menyimak. Wanita di sampingnya senyum-senyum.
“Eh, iya, tentu bisa,” jawabku gelagapan.
Interview-nya saya kira cukup. Sekarang saya ingin melihat Anda microteaching. Silakan.”
Aku berusaha mengendalikan diri. Aku bangkit dan berdiri canggung di tengah, di depan selembar papan tulis putih. Kali ini aku merasa seperti peserta audisi pencarian bakat dan Miss Komang dan Miss Widya sebagai juri-jurinya. Jantungku berdebar dan pyar pikiranku mendadak buyar! Materi yang ingin kusampaikan lenyap dari ingatan, hanyut digulung lamunan.
Aku berusaha rileks meski dalam hati begitu panik. Harus bisa, pikirku. Nilai A yang kudapat harus kupertanggungjawabkan. Tapi dengan otak melompong, jadilah aku berceloteh tak tentu arah, tak jelas apa yang dibahas, aku di depan kelas seperti orang linglung. Tanganku gemetar menggenggam spidol. Tulisanku di papan tulis macam rambut tak disisir, kusut semrawut.
Miss Komang memperlihatkan ekspresi datar saja namun aku tahu persis dia, di dalam hatinya, pasti bosan dan muak. Belum ada sepuluh menit aku sudah disuruh duduk lagi.
“Apa yang baru saja Anda lakukan? Begitukah nanti cara Anda mengajar? Sepertinya saya setuju dengan pendapat Anda bahwa nilai tidak bisa sepenuhnya dijadikan tolok ukur kemampuan seseorang.”
Wajahku pucat bak bocah hendak disunat.
“Melihat penampilan Anda tadi kentara sekali bahwa Anda kurang maksimal, kurang persiapan, kurang menguasai materi, grogi, tidak sistematis, tidak kredibel! Singkat kata, Anda masih perlu banyak latihan.”
Perutku rasanya merosot. Aku takabur dan terlalu percaya diri di awal. Sekarang lihat, inilah yang kuperoleh, diganjar komentar yang sangat pedas dan menusuk. Tak kupungkiri penampilanku memang kacau.
“Saya rasa cukup untuk hari ini. Kami masih akan menyeleksi beberapa orang lagi. Tunggu kabar selanjutnya dari kami.”
Aku tahu tidak akan mendapat kabar. Melihat apa yang aku perbuat barusan wajar jika aku tidak lolos seleksi. Wajahku masam dan badanku lemas saat minta diri keluar dari ruangan. Rasanya seperti minum kopi bercampur sianida. Miss Widya senyum-senyum.

09-Mar-16 (malam Nyepi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar