Kamis, 21 Desember 2017
Membijaksanai Sanksi Fisik
Seorang murid suka berulah di sekolah: sering mangkir dari kelas, kerap melabrak tata-tertib, tidak disiplin, dan terakhir, bahkan melawan saat kedapatan berbuat anarkis merusak fasilitas sekolah. Akumulasi perbuatan tidak terpuji tersebut berujung pada hukuman fisik berupa tamparan. Si murid tidak terima lalu pulang mengadu ke orang tuanya. Orang tuanya berang lalu serta-merta melaporkan perkara tersebut ke kantor polisi.
Itu adalah gambaran miris betapa tindakan yang diniatkan untuk mendidik, untuk menyadarkan bahwa perbuatannya itu tidak patut, justru bisa mengantar sang pendidik ke balik jeruji besi.
Seorang guru memiliki wewenang mendidik murid-muridnya. Dengan mengirim anak ke sebuah sekolah, berarti orang tua telah memercayakan si anak untuk dididik oleh guru-guru di sekolah tersebut. Ketika si anak terlalu sering berbuat onar, dan peringatan verbal sudah tidak mempan, maka hukuman fisik wajar diberikan, tentu dalam batas aman. Dengan hukuman tersebut, diharapkan murid jera dan tidak mengulangi lagi kesalahannya.
Memang semua orang tua pasti menyayangi anaknya. Namun, tentu tidak benar menganggap anak selalu benar. Di sini, orang tua harus bisa bersikap bijaksana dan berpikir jernih menerima informasi, tidak menelan mentah-mentah apa yang dikatakan anak lalu ujug-ujug menyalahkan guru secara sepihak.
Kita mengenal hukum kausalitas. Tidak ada guru yang marah-marah tanpa sebab alasan. Tidak ada guru yang menyimpan dendam terhadap muridnya. Semua pasti didahului oleh pelanggaran. Guru menghukum murid bukanlah untuk melampiaskan amarah ataupun dendam melainkan untuk mendisiplinkan.
Kita ketahui bersama murid adalah individu yang unik. Karakter mereka berbeda-beda. Sekolah tentu menginginkan murid berkarakter baik. Tetapi tidak dapat dipungkiri, pasti ada saja murid yang suka bertingkah. Jika terjun langsung ke sekolah, kita akan menemukan tipe murid yang datang ke sekolah bukan untuk mencari ilmu melainkan untuk menguji kesabaran guru, jika dinasihati dengan lemah lembut justru kian menjadi-jadi. Hari ini, karena melakukan pelanggaran berat, orang tuanya dipanggil, esoknya kembali mengulangi pelanggaran yang sama. Maka langkah terakhir untuk membina murid model begitu adalah dengan memberi sanksi fisik.
Di samping itu, jika murid yang berperangai tidak baik dibiarkan, tidak diberi tindakan tegas, bukan tidak mungkin ketidakbaikan itu akan menular ke kawan-kawannya yang lain. Murid lain akan meniru. Misalnya, murid yang sejak awal rajin menyimak pelajaran jadi ikut-ikutan ngobrol di kelas dan tidak mengerjakan tugas, bahkan ikut-ikutan membolos. Lebih parah, ikut-ikutan geng tidak jelas dan melakukan hal-hal negatif. Seperti ucap pepatah nila setitik merusak susu sebelanga.
Sayangnya, masih juga ada yang salah paham, menilai guru adalah sosok yang sewenang-wenang, arogan, yang sedikit-sedikit main kekerasan. Padahal, tidak mungkin guru menghukum keras kalau pelanggarannya tidak berat.
Sikap menyamakan cara guru mendidik dengan tindakan pidana akan berdampak pada psikologis guru dalam melaksanakan tugas. Para guru akan melakukan pembiaran alias apatis: membiarkan murid bersikap nakal, malas, atau tidak disiplin. Intinya guru tidak ambil pusing terkait pembentukan karakter si murid. Untuk apa repot-repot membina anak orang jika ujung-ujungnya malah disalahkan. Yang penting masuk kelas sesuai jadwal dan mengajar, entah kelakuan murid macam preman, tidak perlu dihiraukan. Toh, mereka sendiri yang akan menanggung hasil belajar di kemudian hari.
Jika itu yang terjadi, maka tujuan penerapan Kurikulum 2013 yang mengedepankan pendidikan karakter tidak akan tercapai. Kompetensi nilai-nilai spiritual dan sosial menjadi sebatas teori di atas kertas, tidak terlaksana, hanya pajangan di silabus dan RPP.
Penulis sependapat dengan mereka yang mengklaim sistem pendidikan kita mengalami kemunduran. Dulu, pada rapor murid, nilai yang belum mencapai ketuntasan akan ditulis dengan tinta merah. Murid yang mendapat beberapa nilai merah tidak naik kelas. Keinginan agar tahun berikutnya mendapat nilai bagus, dan terhindar dari malu lantaran kembali tinggal kelas, membuat murid bersangkutan mau-tidak mau harus rajin bersekolah, berusaha tidak dapat merah, dan yang paling penting, bersikap baik.
Kini, tidak ada hal seperti itu. Nilai di rapor semua di atas KKM. Jarang ada sekolah yang tidak menaikkelaskan muridnya. Meski dalam satu semester membolos 30 kali, sudah kelas IX belum lancar baca-tulis, pun terang-terangan melawan guru, tetap lulus.
Pendidikan dewasa ini seolah-olah hanya sekadar berjalan. Sekadar menyukseskan program wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah. Program tersebut menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap anak-anak. Program tersebut pula yang tidak membenarkan sekolah memecat murid bermasalah. Sekolah dilarang mengeluarkan murid meskipun telah melakukan pelanggaran berat. Sudah menjadi tugas sekolah membina murid bermasalah.
Lalu, jika karena tahu sudah pasti naik kelas dan lulus, apa yang bisa membuat murid serius belajar? Jawabannya: tidak ada. Guru tidak punya “kekuatan” yang bisa membuat murid sadar akan kewajibannya sebagai pelajar. Yang ada, guru sering sakit hati lantaran murid berbuat sekehendak hati.
Beberapa pihak berpendapat bahwa metode belajar yang perlu disesuaikan. Memang betul. Namun perlu dicermati, apapun cara yang digunakan akan sulit bila keinginan belajar tidak tumbuh dari diri si anak sendiri. Ibaratnya kita tidak bisa menuangkan air pada cangkir yang sudah penuh. Agar bisa diisi, cangkir itu harus kosong terlebih dahulu. Seperti pengalaman penulis, berbagai variasi menarik dilakukan agar murid antusias belajar. Bagi mereka yang dari hati memang tidak ada niat belajar, tetap tak berhasil. Bagi murid-murid tipe begitu, pelajaran seakan-akan tidak penting.
Terakhir, tulisan ini tidak berupaya membenarkan semua praktik hukuman fisik di sekolah. Namun harap digarisbawahi, pemberian hukuman fisik dapat ditoleransi selama itu dalam batas aman, sesuai dengan tingkat kesalahan, dan masih dalam kerangka mendidik. Analoginya begini, jika semua manusia bisa disadarkan hanya dengan kata-kata, polisi tidak perlu diberi senjata.
Langganan:
Postingan (Atom)