Kau bangkit, memandang sekeliling kamar yang remang, lalu rebah lagi. Matamu terpejam tapi sesuatu tak henti berkecamuk di kepalamu, membuatmu tetap terjaga.
Mungkin setelah satu-dua lagu, aku bisa tidur, pikirmu. Kau putar lagu-lagu sendu tahun 90-an dan benar saja, kau mulai menguap setelah lagu kesepuluh. Baiklah, mari tidur.
Namun baru saja menutup mata, kepalamu mendadak gatal bak diserang ribuan kutu. Udara tiba-tiba menjadi teramat dingin. Kucing usil merangkak di atas atap seng menimbulkan bunyi gemerondeng yang semakin mengganggu.
Kau urung tidur. Putus asa, kau menyalakan televisi. Sial, siarannya selalu sama dan membosankan: drama konyol seorang pejabat yang berusaha kabur dari tanggung jawab. Lantaran ulah si pejabat, hingga detik ini kau belum memiliki KTP. Apakah dia tetap sakti seperti yang sudah-sudah? Entahlah, yang jelas, kini wajahnya tampak konyol di pengadilan.
Selalu begitu setiap malam, beberapa minggu belakangan. Kau mulai bertanya-tanya apa yang salah dengan dirimu. Kau frustasi.
Biar aku bagi tahu. Gelisah! Itulah yang sekarang menderamu, kawan. Kau merasa semua baik-baik saja tetapi sebetulnya kau gelisah. Kepalamu disesaki pikiran. Otakmu tegang, tak bisa bernafas.
Gelisah membuatmu tidak bisa tidur. Jikapun bisa, sering tidak nyenyak. Pikiran-pikiran yang berkeliaran itu hanyut terseret ke alam bawah sadar membuatmu bermimpi yang bukan-bukan. Keesokan paginya kau terbangun dengan tubuh lemas seakan telah bekerja keras seharian. Matamu masih menggantung, rasanya baru saja terpejam.
Akuilah bahwa kau sedang gelisah. Seorang kritikus sastra dari Larantuka pernah menyebutkan ada tiga jenis kegelisahan. Salah satu kegelisahan itu adalah kegelisahan eksistensial, yang menggambarkan sastrawan menghadapi dan mencoba menyelesaikan persoalan dirinya sendiri. Meski aku tahu kau bukan sastrawan, aku yakin kau mengalami kegelisahan itu. Kau tengah menghadapi persoalan: kau butuh didengar akan tetapi tak ada yang mendengar.
Kau ingin berkomentar setelah membaca berita utama di koran tadi pagi, juga berkomentar tentang tingkah laku murid-murid zaman sekarang, atau segala intrik antarmanusia dari sudutmu berdiri, namun tak satu pun mau mendengar. Dewasa ini, orang-orang memang lebih suka didengar ketimbang mendengar.
Jadi yang harus kau lakukan adalah menulis. Tumpahkan isi kepalamu ke dalam wujud tulisan. Tuliskan apa yang ada di benak, apa yang dicerap indera, semua pengalaman, pun semua kegelisahan.
Tulis sekarang juga, jangan tunggu besok pagi, lusa, apalagi tahun depan. Gelisah adalah situasi yang tepat bagi seseorang untuk menulis.
Bukankah istri dan anakmu telah terlelap. Tidak ada yang mengganggumu saat ini. Tidak ada yang akan merebut laptopmu untuk kemudian dipakai main Plants Versus Zombie. Tidak ada yang akan membuka obrolan tentang pekerjaan yang bisa membuyarkan konsentrasimu.
Tadi pagi kau tercenung membaca surat kabar. Berita tentang sebuah gunung yang diprediksi akan meletus ada di halaman depan. Puluhan ribu warga mengungsi.
Berpuluh tahun sebelum tadi pagi, letusan dahsyat gunung yang sama memaksa para tetuamu hijrah nun ke pulau seberang.
Mereka harus berpindah seiring menguapnya harapan hidup di tanah kelahiran sendiri. Sawah ladang luluh lantak berantakan akibat erupsi.
Butuh waktu berhari-hari terombang-ambing di atas kapal berbau solar hingga akhirnya tiba di sebuah tanah baru bernama Sulawesi. Jangan silap ketika mendengar kata tanah. Tanah itu bukanlah lahan permukiman yang siap digarap dan ditinggali melainkan hutan rimba yang liar dan masih perawan. Di sanalah mereka berkampung. Memulai semua dari nol.
Beberapa bulan mereka hidup disokong jaminan dari pemerintah. Saat jaminan itu putus, mereka harus berjuang sendiri. Tetuamu bercerita bahwa dia pernah berhari-hari hanya makan dedaunan yang tumbuh di sepanjang pinggir sungai setelah kiriman beras terhenti. Bayangkan!
Pelan-pelan mereka mulai berniaga, menjual komoditas yang didapat di kampung ke kota, dipikul berjalan kaki selama sehari semalam. Sampai di kota membeli lagi dagangan untuk dijajakan selama perjalanan kembali ke kampung, berjalan kaki pula.
Mereka yang ulet dan tangguh kini mampu membeli gunung, punya puluhan hektar kebun. Sedangkan mereka yang kurang beruntung harus balik kampung. Bingung, dengan cara bagaimana hidup akan disambung.
Saat ini muncul lagi wacana transmigrasi sebagai solusi bagi pengungsi jika bencana berlangsung lama. Banyak saudaramu di sana. Kau gelisah.
Siangnya kau masuk kelas lalu tak habis pikir. Salah seorang murid terlambat mengikuti ulangan umum padahal rumahnya dekat saja. Konon lantaran menunggu hujan reda.
Setelah duduk, dia tidak segera menjawab soal Bahasa Indonesia di hadapannya. Soal-soal yang kebanyakan berbentuk teks panjang itu membuatnya tidak betah. Alih-alih menjawab soal, dia justru melamun. Dalam hati barangkali dia bertanya-tanya: siapa yang menciptakan pelajaran membosankan semacam ini? Menurutnya bahasa itu sederhana saja. Dia ngomong aku ngerti, aku ngomong dia ngerti. Selesai. Tak perlu ribet belajar bentuk baku, segala konjungsi, struktur teks, ciri kebahasaan, apalah itu istilahnya.
Sungguh dia adalah kid zaman now yang tidak gemar membaca.
Dia belum paham betapa bahasa Indonesia memiliki peran yang tidak kecil ketika bangsa ini berada dalam masa perjuangan pergerakan kemerdekaan. Tanpa bahasa Indonesia, orang-orang Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam suku bangsa akan menemui masalah ketika berkomunikasi. Bahasa Indonesia tak ubahnya bahasa persatuan. Makanya dalam Sumpah Pemuda dan pasal 36 UUD 1945, bahasa Indonesia turut disebut-sebut. Dan hingga kini, Oktober diperingati sebagai Bulan Bahasa.
Hebatnya lagi, dewasa ini bahasa kita dipakai dan dipelajari di lebih dari 45 negara di dunia. Ada Rusia, Ceko, Australia, Jepang, Korea, Filipina, India, Jerman, Prancis, Inggris, Amerika, Kanada, dan lain-lain. Bahkan, di Vietnam, bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua.
Oleh karena itulah, bahasa Indonesia perlu dilestarikan. Salah satu cara melestarikan adalah dengan mempelajari dan menggunakannya dengan baik dan benar. Kita harus bangga menjadi bangsa pemilik bahasa Indonesia.
Tapi sayangnya, semua argumentasi tersebut tak pernah benar-benar kau sampaikan pada murid yang memprihatinkan itu. Kau gelisah.
Sampai di kantor, kembali kau terheran-heran. Sekelompok rekan kerja mengobrol seru. Topiknya nenek sihir. Usut punya usut, ternyata nenek sihir yang dimaksud tak lain adalah mertua perempuan mereka masing-masing.
Nenek sihir itu diam-diam, saat aku pergi kerja, suka mengambil lauk yang kumasak; Nenek sihir itu tidak mau ngempu cucunya sendiri; Nenek sihir itu selalu mendelik jika saat libur aku bangun siang; Semoga nenek sihir itu cepat mati! Begitu mereka bercerita, saking bersemangat hingga mulutnya miring-miring. Astaga! Kau bertanya-tanya, apakah benar seperti itu? Atau mereka sekadar membual agar ada obrolan seru?
Kau tertegun. Jangan-jangan istriku juga begitu, suka menjelek-jelekkan ibu, batinmu.
Sampai di rumah kau masih tidak tenang. Selama ini kau merasa istrimu memang tidak begitu akrab dengan ibumu. Meski itu tidak berarti mereka saling tidak menyukai namun tak ayal kau jadi bimbang, di sisi siapa kau akan berdiri seandainya mereka memang berseberangan?
Kau pun gelisah.