Sabtu, 24 Oktober 2015

Aku dan Marlon (cerpen)

Hari ini aku pulang telat lagi. Lewat dua jam dari yang semestinya. Sudah hampir sebulan seperti ini. Ahh, rasanya lelah sekali.
Anjing di ujung gang menyalak mendengar suara berisik roda pintu gerbang karatan yang ku dorong. Setelah memarkir motor, aku tidak langsung masuk ke rumah. Aku duduk di tepian teras. Rasanya nikmat sekali ketika pantatku menyentuh permukaan lantai. Kubenamkan wajahku di kedua tanganku. Kukeluhkan letih fisik dan pikiran ini. Kupijat-pijat sedikit kepalaku berharap dapat mengembalikan energi yang terkuras. Berkali-kali aku menghela nafas panjang. Helaan yang berarti ‘begini beratnya mencari uang’. Cukup lama aku seperti itu. Bulan muncul-tenggelam di antara awan-awan. Sementara anjing liar di luar masih menyalak galak, seakan ada sesuatu yang mengganggu. Tiba-tiba suasana menjadi dingin. Dingin sekali. Bulu kudukku berdiri. Aku pun melonjak ke dalam rumah.
Seharusnya aku bisa langsung tidur nyenyak seandainya tidak ada tugas kuliah yang harus segera kuselesaikan. Terlebih besok aku masih harus mengikuti ujian akhir semester. Mengingatnya saja sudah membuatku putus asa. Tapi apa boleh buat, inilah resiko atas jalan yang kupilih. Maka, masih dengan mengenakan pakaian kerja, tugas itu mulai kukerjakan. Kusambar laptop dan buku-buku yang kuperlukan, lalu ku gelar di lantai. Tangan dan otak kupaksa bekerja meski kelopak mata sudah ingin menutup. Malam ini aku harus begadang dan mudah-mudahan esok tidak telat ikut ujian.
Jari-jari tanganku mengetik dan terus mengetik. Sesekali aku merenung, berpikir. Antara lelah dan kantuk, pikiranku melayang pada pekerjaan tadi sore. Pekerjaan yang melelahkan dan terkadang menyebalkan. Setiap pulang kerja punggung dan kakiku terasa pegal. Otakku kacau karena bekerja di bawah tekanan. Konsumenku adalah orang sakit. Melayani orang sakit banyak tidak enaknya. Mereka jarang berterima kasih dan sering mengeluh. Tentu saja mereka begitu, karena mereka sakit.
Dari lamunan tentang perkerjaan, pikiranku melayang pada kuliah. Tugas bertumpuk-tumpuk di akhir semester membuatku mual. Sebenarnya tugas-tugas itu tidaklah terlalu sulit, yang sulit adalah mencari waktu mengerjakannya. Tak jarang aku mengerjakan tugas kuliah malam hari sepulang kerja, begadang hingga subuh, seperti yang kulakukan sekarang. Terkadang aku curang. Jika benar-benar tidak bisa mengerjakannya, aku copy paste tugas teman, atau kuambil dari internet.
Semakin lama lamunanku semakin silih berganti, hingga tak sadar aku tidur. Mataku sudah tak kuat, kesadaranku menguap. Badanku terbaring menimpa buku-buku yang berserakan. Lamunanpun berubah menjadi mimpi. Mimpi yang sangat aneh. Aku merasa memiliki sesuatu, tapi tidak tahu apa itu. Terasa ada yang kurang dalam hidupku. Kekurangan itu membuat hidupku menjadi kosong, sepi, dan tawar. Kemudian terdengar suara tangisan anak kecil. Kucari-cari namun tak kutemukan. Semakin lama semakin keras. Lalu muncul pula suara langkah kaki. Berdebuk-debuk mendekat ke arahku. Terus mendekat seolah-olah ingin menginjakku. Tanpa pikir panjang aku berlari. Berlari sekencang-kencangnya. Tapi terlambat. Kaki itu sudah sangat dekat dan akupun terinjak.
“Auuw!” aku terbangun sambil memegang jari tanganku yang terasa sakit. Seseorang pasti telah menginjaknya.
“Eh, maaf- maaf. Siapa suruh tidur menghalangi jalan.” sergah seorang wanita.
Setelah kesadaranku pulih dan pandanganku jelas, aku bisa mengenali wanita itu adalah istriku. Dan walau sudah terjaga, aku masih bisa mendengar suara tangisan anak kecil di mimpiku tadi. Aneh.
Ternyata lama juga aku tertidur. Seragam kerjaku kusut. Buku-buku masih berserakan. Laptop masih terbuka meski monitornya sudah padam. “Ohh, tugasku belum kelar!” perasaan was-was lantaran diburu tenggat waktu mulai merubungku. Kantukku hilang. Dengan sisa-sisa semangat yang ada, aku mencoba lanjut menyelesaikannya.
“Anakmu nangis minta susu.” istriku tiba-tiba berkata dari dapur.
Aku tersentak. Hah? Anak? Aku seperti orang linglung. Benar juga, aku memiliki seorang anak. Maka selain sebagai karyawan dan mahasiswa, aku juga adalah seorang ayah. Dan suara tangisan itu bukan mimpi, itu adalah suara tangisan anakku.
Tiba-tiba perasaan was-was yang kurasakan tadi hilang, berganti dengan rasa rindu yang menggebu-gebu. Rasa rindu yang kemudian bercampur dengan rasa bersalah dan penyesalan. Bagaimana aku bisa lupa dengan anakku? Bagaimana aku bisa lupa memiliki jagoan yang hebat? Oh, tidak! Sudah lama aku tidak memberinya perhatian. Sudah lama pula aku tidak bercanda dengannya. Aku terlalu sibuk dengan urusanku.
Serta merta aku bangkit dan berjalan mendekat, lalu duduk di pinggir tempat tidur anakku. Kuperhatikan dia dari ujung rambut hingga ujung kaki. Istriku datang membawa sebotol susu hangat. Anakku langsung menyedotnya dengan beringas seakan belum minum tiga hari. Lucu sekali gerak-geriknya. Raut wajahnya yang tertidur sungguh polos dan mendamaikan hati. Aku usap rambutnya, aku remas betis dan jemari kakinya yang halus. Aku cium dahi dan pipinya dengan penuh kebanggaan. Aroma uap minyak penghangat yang melegakan menghambur keluar dari tubuhnya. Lelah , pegal, kantuk, putus asa, dan semua yang kukeluhkan tak kurasakan lagi.
Tidak sampai sepuluh menit, botol susunya telah kosong. Tidurnya telah pulas kembali. Aku senyum-senyum sendiri menyadari ia telah tumbuh dewasa. Sudah dua tahun umurnya. Badannya tinggi dan berisi. Giginya sudah banyak. Jika tertawa kelihatan putih bersih dan rapi. Dia sudah bisa berlari. Bicaranya pun mulai lancar. Dia suka meniru dan mengoceh seperti burung beo.
Aku jadi teringat awal dia hadir di dunia, awal aku menjadi seorang ayah. Waktu itu jam tiga pagi, hari Minggu. Istriku membangunkanku karena mengalami pecah ketuban. Tak menunggu lama aku segera membawanya ke rumah sakit.
Aku mengira bayiku akan lahir saat itu juga. Namun tidak, ternyata proses melahirkan tidak secepat yang kubayangkan. Saat diperiksa, istriku baru bukaan dua. Selama proses mencapai bukaan lengkap, istriku mengalami sakit yang hebat. Dia menangis, meringis, meronta-ronta dan berteriak-teriak. Aku coba menenangkan namun tidak berhasil. Aku sadar, untuk alasan inilah seorang anak tidak boleh durhaka terhadap orang tuanya, terutama ibu.
Setelah tujuh setengah jam berjuang, barulah istriku dalam keadaan bukaan lengkap. Dokter dan bidan beraksi. Aku tetap berada di ruang bersalin untuk memberi semangat. Dalam kesakitan istriku menarik nafas panjang, lalu mengedan, tarik nafas lagi, mengedan lagi. Sang dokter tetap tenang meski wajahnya basah berpeluh. Sang bidan turut memberi semangat sembari mendorong-dorong perut istriku ke arah bawah dengan maksud memudahkan si bayi keluar. Keadaan semakin mendebarkan. Hingga akhirnya pukul 10.45 lahirlah bayi itu. Bayi laki-laki yang gemuk dan sehat. Meski tubuhnya berlumur darah dan lemak, aku tahu dia sangat tampan. Sesaat kemudian dia menangis, melengking pelan dan tersendat-sendat. Aku terharu. Seketika itu juga aku memberinya nama: Marlon!
Betapa bahagianya aku dan istriku menyambut kehadiran Marlon. Segala yang terbaik kami berikan untuk putra pertama kami tersebut. ASI terbaik, perhatian terbaik, dan doa terbaik. Aku bahkan mengambil cuti kuliah dua semester agar memiliki waktu lebih banyak untuk merawatnya. Dia adalah semangatku menyambut masa depan.
Namun itu tak berlangsung lama. Setelah masa cuti kuliahku habis, kesibukan menjadi mahasiswa kembali menyita waktuku. Aku berangkat kuliah pagi, sebelum Marlon bangun, dan saat pulang kerja malam hari dia sudah tidur. Marlon lebih banyak melewatkan hari-hari bersama kakek dan neneknya. Jika terus seperti ini, bisa-bisa dia lupa denganku.
Ketika libur, seharusnya aku bisa menghabiskan banyak waktu bermain dengannya. Namun aku dengan egois justru memilih tidur, dan betapa jahatnya aku karena sering menghardik dan memarahinya lantaran mengganggu istirahatku. Ahh, aku membentak anak selugu itu, ayah macam apa aku? Sekarang aku menyesal telah melakukan itu. Aku merasa bersalah bila mengingat wajah ketakutannya saat itu. Saat dia menunduk dan menangis tak bersuara. Aku tahu dia pasti rindu. Rindu pelukanku, rindu suapanku, rindu usapanku, rindu ceritaku tentang binatang-binatang. Dan kini aku yang merindukannya. Rindu tawa cerianya, rindu dia memanggilku ayah, rindu kenakalannya, rindu nyanyiannya, rindu rengekannya saat minta dibelikan mainan.
Tak terasa mataku berkaca-kaca saat aku mengusap rambutnya. Usapan yang mewakili batinku, “Nak, maafkan ayah jarang ada untukmu. Ayah tidak ada saat kamu ingin membeli es krim. Ayah tidak ada saat kamu ingin bermain bola. Ayah tidak ada saat kamu ingin dibela. Bukan karena ayah tidak sayang, namun karena keadaan. Sabar Nak, sedikit lagi kuliah ayah selesai. Setelah itu ayah akan punya banyak waktu untuk menemanimu. Maafkan ayah sering memarahimu. Memberimu ketakutan saat kamu meminta perhatian. Maafkan juga ayah sering ceroboh menjagamu. Dan percayalah, besarnya rasa sayang ayah kepadamu melebihi besarnya semesta.”
Waktu sudah mulai subuh. Tugasku belum kelar. Ahh masih ada hari esok. Biarlah saat ini aku tidur menemani anakku dan mendekapnya penuh kehangatan.***

Minggu, 18 Oktober 2015

Akulah Si Rembo (cerpen)



Akulah Rembo. Aku adalah anjing jantan ras American Pit Bull Terrier atau biasa disingkat Pit Bull. Kakek moyangku adalah ras Terrier petarung sedangkan nenek moyangku adalah ras Bulldog petarung. Orang-orang mengatakan asal-muasalku dari tanah Inggris dan Irlandia. Akan tetapi, ada juga yang berteori bahwa leluhurku berasal dari Amerika. Terserahlah apa kata mereka, aku tidak terlalu peduli.

Akulah Rembo yang gagah. Dalam tubuhku mengalir darah ras anjing yang unggul. Badanku tegap, kekar, dan berotot seperti Mike Tyson, petinju leher beton itu. Kepalaku lebar dan moncongku pendek. Telingaku dikupir tegak berdiri. Mataku coklat bening. Hidung dan bibirku merah muda. Gigi-gigiku tajam dan basah di atas rahang yang bisa mengunci. Sekali aku menggigit, jangan harap kau bisa melepaskan diri. Buluku pendek dan bersih. Berwarna dominan coklat keemasan dan sedikit warna putih pada kepala bagian kiri dan bagian dada hingga perut. Aku juga memiliki ekor meski pendek saja.

Akulah Rembo yang ditakuti. Wajahku sangar, tatapanku menantang, auraku mengancam. Nafasku liar. Aku agresif, temperamental, dan mudah naik pitam, jadi jangan coba-coba memprovokasiku. Aku tak kenal belas kasihan dan tak kenal ampun. Emosiku mudah terpancing, terutama ketika ada anjing lain mendekati.

Bersama majikanku, aku hidup dalam kemewahan. Makananku selalu lezat dengan gizi yang terukur. Makananku nasi, daging sapi, leher ayam, ditambah susu. Cemilanku roti dan buah-buahan. Sekali-sekali aku dibelikan dog food mahal merk terkenal.

Kesehatanku sangat dijaga. Kandangku selalu bersih dan nyaman. Aku suka jalan-jalan. Tapi ada satu tempat yang tidak ku suka, yaitu salon hewan. Tempat itu bisa melunturkan aura kejantananku. Kalau bepergian aku berdandan biar keren. Aku memakai baju, topi, dan kacamata hitam. Sering diperlakukan layaknya manusia membuatku merasa seperti manusia sungguhan. Aku mengerti apa yang dikatakan majikanku. Aku sering makan di meja makan bersamanya. Aku sering tidur di tempat tidurnya.

Aku senang hidup bersama majikanku. Di rumahnya, aku menjadi penjaga yang tangguh dan ditakuti. Gonggonganku yang menggelegar mampu menciutkan nyali para begundal yang berniat buruk. Aku juga membuatnya bangga karena sering menjuarai kontes Pit Bull. Aku sangat sehat, lincah, dan cekatan. Lariku kencang dan gesit. Aku mampu melompat dan menerkam umpan karung goni yang digantung setinggi 5 meter.

Akulah Rembo yang beruntung. Ya, aku sangat beruntung hidup di zaman sekarang. Kau pasti terenyuh jika mengetahui kisah leluhurku. Zaman dahulu mereka dijadikan binatang aduan. Dijadikan gladiator. Nyawa mereka tak berarti. Luka dan darah mereka dibeli untuk kesenangan manusia. Sakit mereka adalah tawa bagi petaruh. Semakin tercabik-cabik tubuh mereka, semakin riuh manusia-manusia kejam itu bersorak sorai. Ras anjing sepertiku memang terkenal sangar, galak, dan suka berkelahi. Semua itu disalahgunakan oleh manusia. Sampai saat ini pun banyak yang masih menganggapku sebagai hewan buas. Orang-orang melihatku dengan pandangan takut dan ngeri. Mereka tidak ingin dekat-dekat denganku. Di situ kadang aku merasa sedih.

Akulah Rembo yang kuat dan pemberani. Aku tidak gentar diadu dengan siapapun. Ras anjing sepertiku adalah yang terkuat. Jangan membandingkan aku dengan ras anjing lainnya. Sebut saja Doberman si kurus atau Herder si kacung polisi, mereka sama sekali bukan tandinganku. Golden, Great Dane, Rottweiler, Labrador, Siberian Husky, mereka semua banci. Anjing-anjing seperti Dalmation, Pomerians, dan Ci Hua Hua bahkan sudah kabur begitu mendengar nafasku. Zaman dahulu, kakek dari kakeknya kakekku pernah diadu melawan banteng di Spanyol. Dia tidak mundur sedikit pun, dan hebatnya lagi, menjatuhkan banteng itu. Konon, dari situlah awal mula Bull diselipkan dalam nama ras kami.

Dua hari yang lalu, saat aku dan majikanku sedang keluar, seekor anjing jalanan menghadang. Anjing kurus dan koreng itu terlihat tidak bersahabat. Sepertinya ia kesal dan marah. Ia menggeram dan memamerkan gigi-giginya yang penuh bakteri busuk. Air liurnya deras menetes-netes. Matanya semerah darah, lekat menggertak majikanku. Anjing itu memasang kuda-kuda hendak menerkam. Aku segera tahu, anjing itu gila!

Mau apa anjing kumal ini? Dia tidak tahu dengan siapa dia sedang berhadapan, pikirku. Tak ayal amarahku tersulut. Naluri bertarungku pun bergejolak. Emosiku terbakar. Aku menggeram lebih keras dan tak mau kalah memamerkan gigi-gigiku yang tajam berkilat. Mataku awas mengintai setiap gerakannya. Otak anjing itu benar-benar tidak beres, bukannya kabur ia malah makin mendekat. Majikanku berusaha tenang. Ia paham, melakukan gerakan yang tiba-tiba bisa berakibat fatal. Lalu dengan satu hentakan yang mengejutkan, anjing itu menyerang. Ia mengarahkan gigitannya yang buas ke kaki majikanku.

Akulah Rembo yang setia. Tentu aku tak tinggal diam. Dengan gesit aku melompat dan menjadi tameng majikanku. Tak kubiarkan anjing gila itu menyentuh majikanku. Aku sangat sayang padanya. Ia mengadopsiku sejak aku berusia 2 bulan. Sejak saat itu, ia sudah menjadi ayahku, ibuku, sahabatku, pelindungku, pelatihku. Anjing kurap itu harus melangkahi mayatku dulu jika ingin mencelakainya.

“Rembo! Rembo! Awas, Rembo!” Aku mendengar majikanku berteriak khawatir. Aku dan anjing gila itu jatuh berguling-guling. Ah, rupanya bahuku tergigit. Darah mengalir keluar dari dagingku yang terkoyak. Tapi aku tidak merasakan sakit. Kata sakit tidak ada dalam kamus hidupku. Lalu aku dan anjing gila itu bangkit. Kami berduel dengan sengit, saling cakar dan saling gigit.

Tenaga anjing gila itu lumayan juga. Ia menyerangku dengan beringas dan membabi buta. Terus menerus dan tak lelah. Namun, tetap saja ia bukan lawanku yang seimbang. Akulah Rembo Sang Algojo. Aku tidak ingin buang-buang waktu. Saat anjing kalap itu lengah, aku langsung menerkamnya tepat di leher. Darah muncrat mengenai wajahku. Anjing itu meraung-raung, memberontak berusaha melepaskan diri. Tapi sia-sia. Rahangku mengunci. Kubanting tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Ia masih meronta-ronta. Kakinya mengais-ngais. Akhirnya dengan kekuatan penuh, aku mengeksekusinya. Krakk! Lehernya patah, riwayatnya usai sudah.

“Rembo! Rembo!” Majikanku berlari mendekatiku. Dari matanya aku tahu ia panik dan gusar. Kemudian ia mengusap-usap kepalaku. “Bagus jagoan. Kau berdarah, ayo kita ke dokter.”

   Sampai di klinik, lukaku langsung dibersihkan dan dijahit. Aku diberi antibiotik. Dokter sebenarnya menyarankan agar aku diberi suntikan anti rabies. Namun berita buruk, stok vaksin rabies kosong dimana-mana. Majikanku menelpon ke semua rumah sakit, semua klinik, semua kenalan, akan tetapi nihil, semua kehabisan stok. Majikanku membawaku pulang bersama rasa takut.

Ketakutan itu menjadi kenyataan siang tadi. Aku kalap. Entah apa yang terjadi. Aku menggonggong dan berniat menggigitnya ketika ia membawa makanan dan air untukku. Air? Ya tiba-tiba aku mengalami phobia terhadap air. Aku juga merasakan sendi-sendi tubuhku ngilu. Air liurku keluar terus dan aku sensitif terhadap sinar. Aku menjadi liar dan lepas kendali. Ada amarah meledak-ledak di dadaku. Aku merasa diriku bukanlah aku.

“Rembo, tenang Rembo. Ini cuma air dan makanan.” Majikanku memaksa mendekat. Aku menyeringai dan menunjukkan taringku. Oh, apa yang telah kulakukan. Seperti ada yang berbisik di telingaku, memerintahku agar menggigitnya. Tidak, aku tidak bisa menggigitnya. Aku tidak mungkin menggigit orang yang aku sayangi. Aku melawan bisikan itu. Akan tetapi, semakin lama bisikan itu semakin kuat. Aku tidak bisa lagi mengontrol diri. Aku memberontak berusaha melepaskan diri dari rantai yang mengikat leherku. Dalam kegilaan aku masih bisa melihat raut wajah sedihnya. Ia tahu apa yang telah terjadi padaku dan risiko jika aku menggigitnya namun ia tidak lari, ia tetap berdiri di sana.

Saking kuatnya tenagaku, rantai yang mengekangku terputus. Taringku rasanya gatal ingin mengoyak sesuatu. Saat itu aku bisa saja langsung menerkam majikanku. Tapi sejenak aku sadar. Aku malu, bingung. Aku benar-benar kacau. Majikanku menatapku dengan tatapan penuh harapan aku sembuh. Sejenak kemudian mataku kembali berkilat merah. Demi menghindari majikanku, aku berlari keluar rumah. Aku berlari menjauh sekencang-kencangnya. Dalam hati aku sedih dan menangis. Aku telah mengecewakannya.

Akulah Rembo si anjing rabies. Aku tertular rabies dari anjing yang menggigitku dua hari yang lalu itu. Saat ini aku tergolek lumpuh tak berdaya. Virus rabies telah menyerang pusat saraf di otakku. Aku telah menggigit seorang anak kecil tak berdosa yang ku papas di jalan. Hukum alam berlaku. Anjing rabies akan segera menemui ajal setelah menggigit mangsanya. Di sinilah aku meringkuk sekarang, sekarat dan sendirian dalam kegelapan. Mengingat masa-masa keemasan di detik-detik sisa hidup yang akan berakhir mengenaskan. Ironis memang. Sebelum kuhembuskan nafas terakhir, kuceritakan kisahku ini padamu, Kawan. Agar kelak ada yang mengenang, akulah si Rembo.