Rabu, 31 Mei 2023

MALING PRATAMA

pixabay.com

Gede Tandung melangkah berhati-hati menerabas rerimbunan padang gajah. Jalannya sedikit sempoyongan. Maklum dia habis pesta tuak. Meski begitu, Gede Tandung masih sadar kemana tujuannya: seberkas sinar lampu neon di ujung persawahan. Di sanalah Pura Dalem Lingsir berada. Langit gelap tanpa cahaya rembulan. Tentu saja, hari itu Tilem.

Sampai di belakang pura, Gede Tandung mengaso sejenak mengatur napas. Napasnya beraroma tuak. Ditolehnya kanan-kiri, memastikan tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Sunyi senyap. Hanya sesekali nampak kelelawar berkelebat. Gumatat-gumitit binatang malam diam tiarap tak bersuara. Mungkin heran melihat ada manusia mengendap-endap pada tengah malam buta. Merasa aman, Gede Tandung melanjutkan aksinya. Dipanjatnya pagar bata penyengker pura. Tak sulit baginya sebab pagar itu pendek saja. Dalam sekejap, dia sudah ada di utama mandala, areal utama pura. Dalam remang, matanya tertuju ke bangunan meru tumpang telu yang ada di bagian utara. Bangunan itu tak lain dan tak bukan adalah gedong penyimpenan. Lalu dengan linggis yang didapatnya entah dari mana, Gede Tandung mencongkel pintu gedong penyimpenan. Dengan lengannya yang besar, itu bukan hal yang sulit. Sekali hentak, gembok langsung tergeletak.

Di dalam gedong penyimpenan rupanya tersimpan berupa-rupa benda berharga yang dikeramatkan. Ada pratima Ida Hyang Bhatari Durga berlapis emas, banyak sekar emas, gelang dan sabuk perak, juga beberapa ikat pis bolong satakan. Gede Tandung berniat mencuri semua benda-benda itu! Apa yang ada di otak laki-laki brangasan itu? Dasar bromocorah tak tahu undang-undang.

Pura Dalem Lingsir terkenal sangat pingit. Tak seorang pun berani berbuat macam-macam di sana. Tapi Gede Tandung malah hendak mencuri benda-benda sakral tersebut. Akal sehatnya pingsan dihantam tuak.

Di Desa Dukuh, nama Gede Tandung memang terkenal. Hanya saja, dia dikenal bukan karena dicap sosok berbudi, tapi karena suka berjudi. Namanya selalu tersebut di arena judi. Tajen, maceki, spirit, bola adil, ah pokoknya semua macam judi. Padahal dia bukan orang berpunya. Alih-alih hidup sederhana, dia malah mengumbar nafsunya bermain judi.

Jika ada warga desa meninggal, dia yang paling rajin datang magebagan karena pasti digelar ceki. Kartu, meja, dan kopi sudah disiapkan untuk para bebotoh ceki. Kalau sudah duduk mengitari meja ceki, Gede Tandung suka lupa waktu, lupa diri. Dari malam sampai pagi, sampai ketemu malam lagi, tak henti-henti. Dia bertaruh habis-habisan. Tak jarang sampai berutang.

Gede Tandung tidak bekerja. Maka tak salah jika warga heran, dia selalu saja punya uang untuk berjudi. Memang dia berjualan tuak. Dia punya beberapa pohon jaka di belakang rumah. Pohon-pohon itu rajin betul mengeluarkan tuak. Namun berapa sih uang hasil menjual tuak? Apalagi, seringkali tuak yang diturunkannya tidak dijual, melainkan diminum sendiri olehnya bersama kawan-kawannya sesama peminum. Selain penjudi, Gede Tandung adalah peminum kelas berat. Kalau sudah punyah, dia tidak ingat lagi dengan bisnis. Dia gratiskan saja semua tuak-tuaknya.

Dulu sekali, saat kedua orangtuanya masih ada, Gede Tandung pernah menjadi orang waras. Orang tuanya punya beberapa petak sawah, juga punya beberapa ekor babi dan sapi. Maka, dia belajar menjadi petani. Dia turun ke sawah, menyemai bibit, menanam padi, singkong, cabai, sayur hijau, kacang tanah, juga menyabit rumput, mencari pakan babi dan sapi. Hati orang tuanya teduh melihat anak satu-satunya itu bisa diandalkan.

Tapi itu hanya sebentar, tak sampai 2 bulan. Imannya tak kuat. Melihat orang maceki, tangannya gatal ingin ngupak cekian. Melihat kawan-kawannya bersenang-senang mengangkat gelas, matuakan sambil magenjekan, ingin juga dia. Jiwa pemalas dan berfoya-foyanya memberontak. Serta merta dia merasa tangannya kaku mengayunkan cangkul dan sabit. Setelah itu dia pensiun dari dunia pertanian. Dia tinggalkan sawah, sapi-sapi, dan babi-babinya. Lebih parah lagi, semua hartanya itu, sawah, sapi-sapi, dan babi-babi itu, habis di meja judi! Tinggallah yang tersisa hanya sepetak kecil tanah, yang di sana berdiri gubug tempat tinggalnya dan beberapa pohon jaka. Orang tua Gede Tandung yang renta tak mampu berkata-kata. Mereka pasrah menahan sakit hati dan kecewa.

Kebiasaan Gede Tandung berjudi dan mabuk-mabukan itu jugalah yang membuat Luh Werni pergi meninggalkannya. Dulu, sebelum menikah, Gede Tandung mengucap janji akan berhenti main judi, juga berhenti mamunyah. Gede Tandung juga berkata akan menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Hati Luh Werni luluh mendengar bujuk rayu Gede Tandung. Setelah menikah, janji tinggallah janji. Semua isapan jempol belaka. Belum lewat abulan pitung dina mereka menikah, Gede Tandung sudah lupa dengan apa yang pernah keluar dari mulutnya. Mana ada dia peduli dengan istrinya. Gede Tandung tak betah di rumah, pun jarang memberi nafkah. Luh Werni mengelus dada berusaha sabar, awalnya. Sendiri dia mengurus hidup, sendiri pula dia membesarkan sang anak. Namun ketika tingkah Gede Tandung kian parah, dia pun minggat bersama anaknya yang baru 1 tahun itu. Apakah Gede Tandung menyesal setelah itu? Tidak. Dia justru makin lupa diri. Memang bedebah sekali tokoh kita yang satu ini.

Hari itu adalah hari sialnya bermain ceki. Dari pagi sampai matahari terbenam dia main, kartunya selalu busuk. Uangnya amblas. Mau meminjam uang lagi, dia malu. Semua orang sudah diutanginya. Orang-orang menertawai kekalahannya. Panas telinganya, jengah hatinya. Hari itu Tilem. Dilihatnya Jro Mangku pulang dari ngayah di Pura Dalem Lingsir. Saat itulah muncul niatnya menggasak pratima di pura.

Gede Tandung adalah pecalang di desanya. Perawakannya memang cocok menjadi pecalang. Jika tiba odalan di Pura Dalem Lingsir, dia ngayah menjadi pecalang. Sudah biasa dia keluar masuk pura. Dia tahu persis seluk beluk pura. Dia tahu ada benda-benda berharga tersimpan di sana. Dia akan mencolong benda-benda itu malam nanti. Benda-benda itu akan dijual, uangnya untuk maceki membalas kekalahan hari ini, niatnya. Kemudian dia mengundang kawan-kawannya metuakan. Dia minum-minum sambil menunggu malam tiba. Di samping itu, dia ingin lebih lagas saat beraksi nanti. Seperti warga lain, dia tahu keangkeran Pura Dalem Lingsir. Takut juga dia ke sana sendiri tengah malam buta. Dia membesarkan nyali dengan mabuk.


Pura Dalem Lingsir berada di ujung selatan Desa Dukuh, di atas tebing yang jauh dari permukiman. Untuk sampai ke sana, warga harus menyusuri persawahan yang berundak-undak. Kendaraan parkir di jalan besar sebab tidak bisa masuk sampai di pura. Akses ke pura hanya jalan setapak. Ada jalan pintas yang tidak melewati persawahan, tapi agak sulit dilalui lantaran jalurnya dihalangi lebatnya padang gajah.

Di Pura Dalem Lingsir berstana Ida Hyang Bhatari Durga. Beliau memiliki pengabih Ida Ratu Mas Gede Macaling, sang penguasa kematian. Beliau terkenal bares. Sering warga naur sesangi atau membayar kaul di sana karena doanya terkabul. Namun di sisi lain, Ida juga terkenal pingit. Di pura itu warga tidak boleh berkata sembarangan, apalagi berbuat sembarangan. Jangan sesekali berani menunjuk pelinggih ataupun petapakan Ida jika tidak mau tulah. Sering terjadi kerauhan masal di sana, pertanda ada sesuatu yang beliau kurang berkenan.

Terlebih di ujung jalan setapak adalah pura prajapati dan setra yang juga tenget. Di sana banyak pohon besar-besar bersaput poleng. Ada bunut, pule, dan beringin. Yang terbesar adalah beringin yang tumbuh persis di tengah kuburan. Besar, rimbun, dan menjulang, macam raksasa dalam cerita seram. Sulur-sulurnya panjang terjuntai. Warga menduga ratusan tahun usianya. Petani yang kebetulan mengecek pengairan sawahnya pada malam hari, sering melihat bola api melayang-layang kemudian saling beradu di sekitar beringin itu. Konon, bola-bola api itu adalah mereka penganut ilmu pengleakan yang tengah mengadu kesaktian. Konon juga, jika keesokkan harinya ada orang yang mendadak sakit aneh, dia tak lain adalah leak yang kalah adu tanding.

Gede Tandung sudah membungkus pratima dan benda-benda keramat lainnya dengan kain yang sudah dia siapkan. Dia menaksir benda-benda itu bisa laku puluhan juta. Dia terkekeh. Mulutnya bau tuak. Mencuri pratima dipikirnya macam mencuri sandal kawannya saja. Dia tidak sadar sesuatu yang niskala mulai terusik.

Tiba-tiba terdengar lolongan anjing, "Aaauuuuuuuu......!" Suaranya berasal dari arah kuburan. Panjang, iramanya horor, dan membuat bulu kuduk berdiri. Pertanda anjing melihat sesuatu yang tak kasat mata. Gede Tandung merinding juga. Tak mau dia berlama-lama di sana. Segera dia menuju tempat memanjat saat masuk tadi.

Gede Tandung mudah saja memanjatnya. Kemudian dia melompat menceburkan diri. Dan suatu keanehan yang mengerikan terjadi. Keanehan yang tak pernah sempat dia ceritakan kepada siapapun. Gede Tandung merasakan kakinya tidak pernah menyentuh tanah. Dia merasa tubuhnya terjun jatuh ke sebuah lubang yang gelap dan dalam. Lalu entah dari mana, datang berkelebat kain kasa putih panjang tak putus-putus menggulung tubuh dan menjerat lehernya. Gede Tandung terbungkus laksana mayat yang siap dikubur. Dia panik meronta-ronta. Sia-sia, tubuhnya yang besar tak mampu melawan kekuatan niskala. Napasnya tercekat, matanya melotot, lidahnya terjulur keluar.

Keesokan harinya, Jro Mangku yang hendak mabanten kajeng kliwon terkesiap. Gedong penyimpenan berantakan, raib! Dalam sekejap warga sudah tumpah di pura. Mereka kasak-kusuk. Setelah mencari-cari, warga menemukan sesosok tubuh tergeletak di dasar tebing, kaku tak bernyawa. Di sebelah tubuh itu, prerai Ida Ratu Mas Gede Mecaling tersembul dari dalam bungkusan kain.***

 

Kamis, 05 Agustus 2021

Terang Bulan Pemberian

Hari ini cuaca terik luar biasa. Sang Surya menghajar alam semesta tanpa ampun, tanpa kenal iba. Memanggang siapa saja yang naif menantangnya. Sengat sinarnya membakar raga, menyilaukan mata, kepala serasa ingin meledak dibuatnya.  Hanya lelaki pekerja keras bermental baja yang sanggup bekerja di jalanan pada cuaca membara bak di Gurun Sahara. Ketut Lacur adalah salah satu orangnya. Bagaimana mau tidak sanggup? Ada dua perut kosong tengah menunggu di rumah minta diisi. Malah perutnya sendiri juga keroncongan. Seharian berada di jalan, Ketut Lacur belum mengunyah apa-apa lagi sejak sarapan jaja laklak tadi pagi. Panas dan lapar, dua derita yang ditanggungnya saat ini.

Kendati begitu, Ketut Lacur masih sabar menunggu. Tak terbilang sudah berapa kali dia menjamah hp. Sekian kali dibuka, sekian kali dia harus menelan kecewa. Di trotoar itu, di pokok pohon perindang jalan dia terenyak. Dengan selipat koran bekas, dia halau gerah dari tubuhnya yang kuyup berkeringat. Jaket hijau seragam dinasnya yang sudah lusuh dan koyak dimakan matahari teronggok tak berguna di stang motor.

Nasib baik memang tidak memihaknya hari ini. Sejak keluar rumah dari jam 9 pagi tadi, Ketut Lacur baru dapat satu orderan. Ongkosnya pun cuma sepuluh ribu rupiah. Untuk beli bensin saja habis. Beberapa kali dia pindah lokasi, orderan tak kunjung menghampiri. Oh, kenapa rezeki begitu susah dicari, keluhnya dalam hati. Kalau boleh menangis, ingin dia menangis. Tapi menangis pun tidak akan memperbaiki situasi. Jadi buat apa menangis. Maka dia bekap wajahnya yang kusam berminyak dengan kedua telapak tangan, lalu ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat, berharap beban berat yang menggelayut ikut tersembur keluar dan menguap dari rongga kepalanya.

Jalanan di depannya masih ramai. Mobil, motor, pesepeda, pejalan kaki, hilir mudik lalu lalang. Ketut Lacur melihat semua orang sibuk dan tidak ada kelihatan senyum. Bagaimana mau kelihatan senyum, sementara dari lubang hidung hingga dagu ditutupi masker. Besar, kecil, tua, muda, semua bermasker. Katanya supaya tidak kena penyakit. Penyakit yang diyakini Ketut Lacur hanyalah konspirasi.

Kemudian dia termenung. Mengenangkan lagi waktu-waktu yang sudah berlalu. Seandainya dunia tidak mengalami pandemi, tentu kini dia masih sentosa bekerja di hotel bintang lima di Kuta sana. Memakai seragam bersih, rambut tersisir rapi, wangi, dan tidak payah berjemur seperti yang dideritanya saat ini. Meski hanya sebagai karyawan kelas rendah, yang sehari-hari hanya berkutat dengan lap, sapu, dan debu, dia masih bisa mencukupi nafkah keluarganya. Cukup bisa tenang untuk urusan isi perut dan bayar kontrakan. Juga masih bisa mengisi celengan walau tak banyak.

Kini, gering agung berkepanjangan membuat perekonomiannya oleng. Pariwisata lumpuh total dan dia harus menerima kenyataan pahit: di-PHK alias dirumahkan. Getir dia menyadari tidak punya lagi payuk jakan.

Saat awal-awal dirumahkan, Ketut Lacur masih bisa bertahan dengan sedikit tabungan. Hari demi hari tanpa pemasukan, tabungan pun terkuras untuk biaya kebutuhan. Ketut Lacur mulai kocar-kacir. Apalagi sudah setahun lebih, belum tampak tanda-tanda pariwisata akan bangkit dan berjaya seperti sediakala. Dia pun memutuskan banting setir, hengkang dari dunia pariwisata. Kini Ketut Lacur berkiprah di bidang perhubungan sebagai pengemudi ojol alias ojek online.

Hp di genggaman tiba-tiba berbunyi, menyentak Ketut Lacur dari lamunan basi. Ada pemberitahuan masuk. Bergegas dia membuka hp, kiranya ada orderan masuk. Agar ada tambahan ongkos, untuk sekadar membeli lauk untuk makan nanti bersama istri dan anaknya yang seorang. Namun sayang seribu sayang, ternyata hanya sms penipuan berkedok menang hadiah undian. Ketut Lacur jengkel. Pasalnya, sms tak senonoh semacam itu sering nyelonong masuk ke nomornya. Diam-diam Ketut Lacur berharap ada menteri di republik ini yang bisa menangani kejahatan itu lalu menciduk oknum-oknum culas pelakunya.

Sekian lama, lelah juga Ketut Lacur menganggur. Setengah putus asa, dia melirik jam tangan. Jam tangan yang jarumnya sudah lama ngambul. Jarum panjang mogok di angka 9, jarum pendek terkulai di angka 11. Lalu mengapa dia masih memakai jam tangan memprihatinkan itu? Rupanya angka digitalnya masih menyala. Samar-samar terlihat angka 17.30 di sana. Berkedap-kedip lemah, serupa dengan kondisi pemakainya. Lapar kian terasa. Sebaiknya aku pulang saja, putusnya.

Ketut Lacur berdiri dan sedikit limbung lantaran kakinya gemetar. Dia pakai jaket hijau seragam dinasnya dan sudah bersiap-siap untuk memacu motor ketika seorang perempuan menghampirinya.

“Pak, bisa antar barang?” si perempuan bertanya. Pucuk dicinta, ulam tiba.

“Iya, barang apa, gek? Diantar kemana?” Ketut Lacur balas bertanya.

“Makanan, Pak. Diantar ke alamat ini, rumahnya sebelah bale banjar,” si perempuan menyerahkan secarik kertas berisi nama dan alamat.

Ketut Lacur membaca tulisan di secarik kertas tersebut. Kepalanya mengangguk pelan tanda dia tahu alamat tersebut. Belum diiyakan, si perempuan sudah membuka dompet lalu menyodorkan selembar uang biru bergambar pahlawan nasional Bali, I Gusti Ngurah Rai. “Minta tolong ya, Pak. Ini ongkosnya. Cukup, kan?” 

Mata Ketut Lacur berbinar demi melihat selembar lima puluh ribuan. Hatinya tidak kuasa menolak.

"Iya, tentu saja bisa. Ini uangnya semua untuk saya?" 

Si perempuan menggangguk. Senyum Ketut Lacur merekah. Dari pagi dia sudah mencari dan kini rezeki itu datang sendiri. Ah, astungkara. Sering didengarnya orang-orang berkata 'semua akan indah pada waktunya', mungkin inilah maksudnya.

Si perempuan menyerahkan barang berbungkus kresek hitam yang konon berisi makanan. Ketut Lacur menerimanya dengan gestur menandakan dengan senang hati. Di dalam kresek hitam, Ketut Lacur merasakan sebuah kotak. Makanan apa gerangan isi kotak itu? Ketut Lacur tidak bertanya lagi, pun tidak menaruh curiga.

“Kalau ditanya dari siapa, saya bilang apa?”

“Bilang dari Mala.”

“Siap. Saya berangkat sekarang.”

Ketut Lacur meluncur menuju alamat pengiriman. Hatinya senang bukan buatan. Lupa dia akan lapar. Lima puluh ribu tentu jumlah yang lumayan. Sungguh kalau memang rezeki tidak kemana. Sudah ditakar, tidak mungkin tertukar.

Setelah beberapa kali belok kanan-belok kiri-lurus-kemudian belok lagi, Ketut Lacur tiba di alamat tujuan. Berdiri dia di depan sebuah rumah style bali yang bersebelahan dengan bale banjar.

"Om swastiastu, ada kiriman untuk Putu Rai!" Ketut Lacur mengucapkan salam dan memanggil penghuni rumah dengan suara lantang macam pemimpin barisan. Tak lama, dari dalam rumah muncul lelaki muda.

"Nggih, tiang Putu Rai. Kiriman apa pak ya?"

"Anu, dibilangnya sih makanan," Ketut Lacur menyerahkan kresek hitam tersebut.

"Makanan? Tiang tidak ada pesan makanan. Siapa yang ngirim?" Si lelaki mengernyitkan dahi, bingung.

"Perempuan. Namanya Mala."

"Mala? Mala  siapa?"

"Tadi bilangnya cuma Mala. Tidak dikasih nama lengkap."

Laki-laki itu penasaran. Siapa gerangan perempuan yang mengiriminya makanan? Seingatnya dia tidak punya sahabat atau kerabat bernama Mala. Sembari mengingat-ingat, lelaki berkacamata itu membuka kotak kertas di dalam kresek hitam. Setelah dibuka, laki-laki itu tertegun! Raut wajahnya berubah. Isinya ternyata kue terang bulan!

"Luh Kumala," laki-laki itu berbisik pada dirinya sendiri. Kemudian dia tersenyum, "Pak, saya ingat. Pengirimnya pasti Luh Kumala, dia tahu saya suka terang bulan."

"Baguslah kalau sudah ingat," Ketut Lacur lega.

"Tapi saya juga baru saja beli terang bulan. Itu di dalam masih ada, belum habis. Supaya tidak mubasir, ini buat bapak saja."

"Wah, tidak usah. Itu untuk anda."

"Kalau bapak tidak mau, nanti tidak ada yang makan. Kan kasihan kalau terbuang. Mending untuk bapak bawa pulang."

"Hmm... Benar untuk saya?" Ketut Lacur malu-malu kucing.

"Iya, untuk bapak."

Ketut Lacur berpikir memang tidak bijak menyia-nyiakan makanan. Apalagi di masa sulit seperti sekarang. Dan tidak sopan juga menolak pemberian orang.

"Terima kasih kalau begitu," ucapnya sambil tersenyum sumringah.

"Sama-sama."

Dalam perjalanan pulang, Ketut Lacur mengucap syukur atas rezekinya hari ini. Selain dapat uang, dia juga ketiban makanan. Ternyata nasibnya tidak benar-benar buruk. Terang bulan pemberian itu akan dibawanya pulang. Dia sudah membayangkan betapa anaknya akan senang mendapat gapgapan.

Benar saja. Sampai di rumah, Ketut Lacur langsung disambut anaknya yang semata wayang.

"Bapak bawa apa itu?"

"Oleh-oleh untuk anak bapak tersayang."

"Horeee!" seru sang anak girang.

Sang istri juga senang suaminya sudah pulang. "Mau ngopi dulu atau langsung makan?" tanyanya penuh perhatian.

"Ngopi saja dulu, mumpung ada terang bulan," jawab Ketut Lacur lembut pada istrinya tersayang.

Dia pun duduk di sebelah anaknya. Diperhatikannya sang anak begitu lahap menikmati terang bulan, macam tiga hari tidak makan.

"Enak, nak?"

Si anak mengangguk. Bibirnya penuh berlumuran coklat.

"Kalau begitu harus habis ya."

Kopi buatan istri datang, Ketut Lacur urung mengambil terang bulan. Tak sampai hati dia mengganggu kesenangan anaknya. Biarlah nanti aku minta kalau bersisa, pikirnya. Selain pekerja keras bermental baja, Ketut Lacur juga sosok laki-laki penyayang keluarga. Sayang betul dia pada anaknya. Baginya, kebahagiaan anak adalah yang utama.

Begitulah akhirnya malam turun menggantikan siang. Ketut Lacur menyudahi hari itu dengan hati tenteram. Tak tahu dia tragedi tengah menunggunya di sana, di ujung malam. Tragedi yang tak pernah terbayangkan. Tragedi yang menyengsarakan hati melebihi pandemi. Ketut Lacur yang malang harus tabah kehilangan.

*

Nun di sana, di sudut kamar, Luh Kumala tertunduk menyendiri bermuram durja. Matanya semerah saga, wajahnya dibanjiri air mata, rambutnya kusut masai macam diterpa bencana. Kacau, kecewa, dan merana. Itulah yang sedang melandanya. Hatinya hancur berantakan. Terisak-isak dia menangis.

Putu Rai, laki-laki yang amat dicintainya, tega berkhianat! Jalinan asmara sekian tahun kandas lunas setelah dia berpaling ke perempuan lain, meninggalkan perih hati yang tiada tertanggungkan. Sakit sekali. Rasa sakit yang menjelma dendam kesumat. Jika dia tidak bisa memiliki laki-laki itu, perempuan manapun tidak boleh bisa! Maka dia mengirim terang bulan itu untuk sang mantan kekasih. Terang bulan yang telah dilumuri cetik alias racun mematikan. Astaga!

Luh Kumala telah mengirim malapetaka. Tangisnya seketika berganti tawa. Tawa histeris seorang perempuan yang terluka dan putus asa. Dia puas sudah melakukannya. Dia sudah berhasil menghabisi laki-laki tak setia itu. Dia merasa sudah berhasil.

"Ha-ha-ha... Ha-ha-ha... Aaaarrrgghhh!" Luh Kumala lupa diri dan terus saja tertawa seakan gila.***


Kamis, 16 April 2020

SOAL PENILAIAN HARIAN BAB 8 "DRAMA-DRAMA KEHIDUPAN"

SOAL PENILAIAN HARIAN

Mata Pelajaran: Bahasa Indonesia; Bab/ Materi: 8/ Drama-drama Kehidupan; Kelas/Semester: VIII/ Genap


 
1.       Pengertian drama yang tepat adalah…

a.      Cerita yang diwariskan secara turun-temurun dan masih berkembang di masyarakat hingga kini.
b.      Karya sastra yang bercerita tentang suatu kejadian yang penuh khayalan dan dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tidak benar terjadi.
c.       Suatu karangan yang mengutamakan keindahan kata-kata.

d.      Teks yang ditulis dalam bentuk percakapan yang menggambarkan kehidupan dan watak manusia melalui tingkah laku yang dipentaskan.

2.       Berikut ini yang bukan merupakan ciri-ciri drama, yaitu…


a.       berupa cerita 
b.      berbentuk dialog 
c.       berbentuk bait-bait 
d.      bertujuan untuk dipentaskan



3.       Istilah-istilah yang merujuk pada pengertian drama, kecuali…


a.       sendratari 
b.      lakon 
c.       teater 
d.      orkestra



4.       Nama pertunjukkan tradisional Betawi yang dipentaskan dengan iringan Gambang Kromong adalah…


a.       Lenong
b.      Ludruk
c.       Tonil 
d.      Arja



5.       Kesenian drama tradisional Bali yang tokohnya menggunakan topeng dan umumnya bersifat lucu dengan lakon/cerita bersumber dari sejarah atau babad disebut...


a.       Pantomim
b.      Tablo 
c.       Bondres
d.      Ketoprak



6.       Yang termasuk unsur-unsur intrinsik dalam cerita drama antara lain…

a.       tema, alur, tokoh, latar, amanat
b.      tema, alur, pengarang, panggung, amanat
c.       tokoh, wawancang, kramagung, panggung
d.      sutradara, pemeran, penulis naskah, penonton

7.       Tokoh yang mengalami perubahan nasib atau watak selama pertunjukan disebut…


a.       tokoh utama 
b.      tokoh berkembang 
c.       tokoh statis 
d.      tokoh protagonis



Bacalah cuplikan drama berikut untul soal nomor 8—11!
Malin Kundang adalah seorang anak yang telah lama merantau meninggalkan tanah kelahirannya. Ia mengembara mengadu nasib demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Ia meninggalkan Mande, ibu kandungnya seorang diri di tanah kelahirannya. Singkat cerita, akhirnya Malin Kundang berhasil menikah dengan seorang putri saudagar kaya raya. Ia pun kembali ke tanah kelahirannya bersama sang putri.

Malin     : Istriku, inilah tanah kelahiranku dulu. (menunjuk ke arah daratan dari atas perahu yang bersandar)

Putri      : Sungguh indah sekali tanah kelahiran kau ini, Kanda.
 
Mande : (berlari tertatih-tatih) Malin! Kaukah itu, Nak? (berteriak-teriak girang)
 
Putri      : Siapakah wanita tua itu, Kanda?
 
Malin     : (menyembunyikan wajah terkejut) Kanda tak tahu, Dinda. Mungkin itu hanya pengemis yang ingin meminta sedikit sumbangan dari kita saja. Sudah jangan pedulikan lagi dia.
 
Mande : Malin, ini ibumu Nak. Sudah lupakah kau pada ibu yang telah mengandung dan membesarkan kau ini, Malin?
 
Malin     : Wahai, wanita tua! Jangan sekali-kali kau berani mengaku sebagai ibuku. Enyahlah kau! Ibuku bukan wanita tua renta sepertimu, dan ibuku sudah lama meninggal. Pergi kau dari sini! Jangan sampai kau mengotori kapalku ini! (berteriak emosi sambil menunjuk ke Mande)
 
Mande   : (menangis menahan kesedihan) Ya Tuhan, kenapa pula anakku berubah menjadi seperti  ini? Apa  salahku ini Tuhan? Jika memang ia bukan anakku, maka maafkanlah ia yang telah menghinaku ini. Namun jika ia benar anakku si Malin Kundang, maka hukumlah dia yang telah durhaka itu! (menengadahkan tangan)

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh, langit cerah siang itu berubah gelap. Petir datang menggelegar. Badai besar tiba-tiba datang dan kapal Malin Kundang terbalik. Seketika kilat menyambar tubuh Malin dan istrinya. Anehnya, mereka berdua kemudian berubah menjadi batu. Itulah kekuatan doa seorang ibu. Jangan sampai kita menjadi anak yang durhaka kepada kedua orang tua.
8.       Drama tersebut bertema…


a.       suami yang setia
b.      ibu yang terlantar
c.       anak yang durhaka
d.      alam yang tak bersahabat



9.       Yang bukan merupakan tokoh dalam drama tersebut adalah…


a.       Malin Kundang
b.      Mande 
c.       Istri Malin Kundang
d.      Nahkoda perahu



10.   Latar tempat dan latar waktu cerita dalam tersebut adalah…


a.       di pantai;  pada malam hari 
b.      di perkampungan; pada siang hari 
c.       di rumah Mande; malam hari
d.      di pantai; pada siang hari



11.   Amanat yang terkandung dalam drama tersebut yaitu…

a.       Janganlah durhaka kepada istri kita 
b.      Carilah suami yang setia 
c.       Merantaulah untuk mendapat kehidupan yang lebih baik 
d.      Janganlah durhaka kepada orang tua kita


Bacalah drama berikut untuk soal nomor 12—15!
Rena                      : Eh, kalian udah belajar buat ulangan besok?

Roy                        : Belum.
 
Zainal                    : Ah, besok ulangan? (kaget)
 
Rena                      : Iya. Kalau nilai ulangannnya jelek bisa dihukum tahu.
 
Zainal                    : Paling-paling hukumannya lari keliling lapangan bola 10 kali doang.
 
Rena                      : Bukan! Kali ini hukumannya serem, harus ikut pelajaran tambahan setiap pulang sekolah. Kamu sudah belajar, Rin? (Melirik ke arah Ririn)
 
Ririn                       : Sudah dong. Ririn gitu lho. (sambil menunjuk-nunjuk bangga ke dirinya sendiri)

Singkat cerita, mereka bertaruh. Siapa yang nilai ujiannya paling besar, akan jadi pemenang dan bisa memerintah mereka yang kalah. Ririn berusaha keras untuk belajar sedangkan Roy berjuang keras untuk membuat contekan di kertas kecil. Hari ulangan pun tiba.

Pak Asep             : Baik anak-anak, silakan buka lembar soalnya sekarang!

Ririn                       : (berdoa)
 
Roy                        : Soal ini kan gampang sekali. Kalau gini kan gak akan ketahuan. (Sambil membuka kertas contekan)
 
Pak Asep             : Bapak keluar dulu, ingat jangan mencontek atau bertanya pada teman. Dan satu lagi, jangan ribut. (keluar kelas)
 
Roy                        : Rencana dimulai! (menyilangkan kaki dan melihat kertas contekan di atas sepatunya) Ah, bukan yang ini. (bingung) Ah, yang ini nih! (sambil mengeluarkan kertas contekan dari dasi). Selesai! (sambil merebahkan diri di kursi, tersenyum puas sambil melirik teman-teman lain yang belum selesai mengerjakan)

Akhirnya ulangan selesai. Keesokan harinya, Pak Asep membagikan kertas hasil ujian kepada semua siswa.

Pak Asep             : Ini hasil ujian kalian. (sambil membagikan kertas)

Ririn                       : Hore! Nilaiku 85! (tersenyum puas)
 
Zainal                    : Hahahaha, aku dapat 65. Lumayan, ujian terdahulu cuma 60.
 
Roy                        : Lah Pak, kok nilai ujian saya cuma 50? 
 
Pak Asep             : Sebab soal nomor 11—20 di balik kertas tidak kamu isi.
 
Roy                        : Apa? Masih ada soal lagi?
 
Ririn                       : Hahahaha, kamu kalah Roy! Dengan ini saya perintahkan kamu gak nyontek lagi waktu ujian! (sambil menunjuk-nunjuk Roy dengan tertawa lepas)
 
Pak Asep             : Apa? Jadi kamu kemarin mencontek? Oke, kalau begitu nilai kamu saya kurangi  5 poin lagi!
 
Roy                        : Aduh, apes benar aku ini! (mengacak-acak rambut)

12.   Tokoh antagonis dalam drama tersebut adalah…


a.       Pak Asep
b.      Rena 
c.       Ririn 
d.      Roy



13.   Siapakah yang mendapat nilai ulangan tertinggi dalam cerita drama tersebut?


a.       Rena
b.      Roy 
c.       Ririn 
d.      Zainal



14.   Watak Pak Asep dalam drama tersebut adalah…


a.       malas
b.      tegas 
c.       pendiam 
d.      sombong



15.   Epilog yang tepat untuk melengkapi drama tersebut adalah…

a.       Sejak saat itu Roy menyimpan dendam pada Ririn karena telah memberi tahu Pak Asep tentang kebiasaannya menyontek saat ulangan.
b.      Akhirnya Roy menyadari kesalahannya dan berjuang keras untuk belajar. Dia tidak pernah menyontek lagi saat ujian.
c.       Di sebuah kelas, ada 4 siswa yang sedang bercanda ria. Namun suasana seketika berubah tatkala mereka mendapatkan kabar bahwa besok akan ujian.
d.      Roy, Zainal, dan Ririn sedang asyik ngobrol di kantin pada jam istirahat ketika Rena datang membawa kabar bahwa esok hari akan diadakan ulangan.


Bacalah penggalan drama berikut untuk soal nomor 16 & 17!
Suatu pagi, Pak Guru mengabsen murid-muridnya sebelum memulai pelajaran.

Pak Guru             : Bayu ada? (sambil membawa buku absensi)

Ketua Kelas        :Tidak masuk, Pak. Izin, ada upacara agama.

Pak Guru             : Dinda?

Ketua Kelas        : Dispensasi, Pak. Ikut Porjar jadi atlit renang.

Pak Guru            : Baik, tidak ada yang bolos, ya. Kalau ketahuan bolos, akan Bapak berikan sanksi.
16.   Kata tidak baku yang terdapat dalam drama tersebut adalah…


a.       izin 
b.      dispensasi
c.       atlit 
d.      sanksi



17.   Kramagung atau petunjuk perilaku dalam drama tersebut yaitu…

a.       Suatu pagi, Pak Guru mengabsen murid-muridnya sebelum memulai pelajaran. 
b.      (sambil membawa buku absensi) 
c.       Pak Guru dan Ketua Kelas 
d.      Kalau ketahuan bolos, akan Bapak berikan sanksi.


18.   Bagian pembukaan atau peristiwa pendahuluan dalam sebuah drama atau sandiwara disebut…

a.       monolog
b.      dialog
c.       prolog
d.      epilog

Bacalah cuplikan drama berikut untuk soal nomor 19!
Ratna                      : Pak, ketika ulangan minggu lalu saya, Emi, dan Candra tidak masuk. Kapan (1) saya, Emi, dan Candra bisa menyusul ulangan?

Pak Guru                 : (2) Ratna, Emi, dan Candra menyusul ulangan besok, ya.

Ratna, Emi, Candra : Baik, Pak. (bersamaan)
19.   Bagian yang bergaris bawah pada drama tersebut dapat diganti dengan…


a.       (1) mereka; (2) mereka 
b.      (1) kami; (2) kamu 
c.       (1) kita; (2) kamu
d.      (1) kami; (2) kalian



20.   Bagian alur yang ditandai dengan munculnya masalah ataupun pertikaian antartokoh drama disebut…


a.       orientasi 
b.      komplikasi 
c.       resolusi 
d.      narasi



Bacalah penggalan dialog berikut!
Rani       : Kamu sudah tahu harganya?
Yuni       : Belum.
Rani       : Coba lihat ini. (menyodorkan selembar kertas berisi daftar harga)
Yuni       : (kaget) […], mahal sekali harganya! Aku pikir tidak semahal itu.
21.   Kata seru yang tepat untuk melengkapi bagian yang rumpang adalah…


a.       wah
b.      astaga
c.       amboi
d.      oh



22.   Berikut ini yang merupakan kalimat tanya yang tidak memerlukan jawaban (retoris) adalah…

a.       Oh Tuhan, apa salah hamba sehingga harus mendapat cobaan seberat ini? 
b.      Apa yang dimaksud dengan penokohan? 
c.       Kamu sudah belajar? 
d.      Siapa yang menaruh buku ini di atas meja?

23.   Berikut ini kalimat tanya yang mengandung sindiran, yaitu…

a.       PR ini sulit, maukah kakak membantuku?
b.      Daripada sendiri, bagaimana kalau kamu ikut dengan kami?
c.       Mau aku bantu?
d.      Tulisan jelek ini punyamu ya?

Bacalah kutipan drama berikut!
Masut                   : Guru, terima kasih atas ilmu yang guru berikan kepadaku. Apalah artinya diriku andai tidak ada guru.

Guru                      : Masut, Masut! Kamu harus tahu, meskipun kita mempunyai ilmu hanya sedikit, namun tetap harus dibagikan kepada orang lain. (Istri Masut masuk ke ruang tamu membawa teh hangat

Istri Masut          : Lebih enak kalau ngobrolnya sambil minum teh hangat. (menyodorkan cangkir)

Guru                      : Wah, ini nih yang saya tunggu-tunggu. (tersenyum)
24.   Suasana yang tergambar dalam drama tersebut adalah…


a.       santai 
b.      sedih 
c.       tegang 
d.      bosan



Bacalah penggalan teks berikut!
Suatu ketika, terdapat sebuah kerajaan yang diperintah seorang raja yang bijaksana. Raja Henry namanya. Ia memiliki seorang anak bernama Pangeran Arthur. Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda pengembara. Ia menemui sang pangeran yang sedang gundah gulana melamun di taman istana.
25.   Kata sifat yang terdapat pada penggalan teks tersebut adalah…


a.       kerajaan 
b.      bijaksana
c.       melamun
d.      pengembara



Bacalah cuplikan drama berikut!
Surya     : Raka, sudah buat tugas Bahasa Indonesia?
Raka      : Belum. Sepertinya aku tidak bisa mengerjakannya sendiri. (sedih)
Surya     : […]
Raka      : Wah, ide bagus. Bagaimana kalau nanti siang?
Surya     : Ok. (mengacungkan jempol)

26.   Dialog yang tepat untuk melengkapi bagian yang rumpang pada teks drama tersebut adalah…

a.       Minta tolong kakakku yang mengerjakan, yuk! Dia kan pintar.
b.      Aku juga belum. Bagaimana jika kita kerjakan bersama? Pasti jadi lebih mudah. 
c.       Aku juga belum. Tugasnya susah. Bagaimana jika tidak usah dikerjakan? 
d.      Jadi anak itu mesti rajin. Aku saja sudah selesai.
 
Bacalah cuplikan teks berikut untuk soal nomor 27 dan 28!
Genta melihat Zafran membuang bungkus makanan sembarangan lalu menegurnya. “Zafran, buang sampah pada tempatnya dong. Kalau lingkungan kita kotor kan nggak enak dipandang mata,” tegurnya. “Iya, deh maaf,” ucap Zafran sembari memungut sampah yang dibuangnya barusan.
27.   Dialog pada teks tersebut jika diubah menjadi dialog naskah drama penulisannya yang tepat yaitu…

a.       Genta   : Zafran, buang sampah pada tempatnya dong. Kalau lingkungan kita kotor kan nggak enak dipandang mata. (memungut sampah yang dibuangnya barusan)
       Zafran   : Iya, deh maaf.
b.      Zafran   : Genta, buang sampah pada tempatnya dong. Kalau lingkungan kita kotor kan nggak enak dipandang mata.
       Genta   : Iya, deh maaf. (memungut sampah yang dibuangnya barusan)
c.       Genta   : Zafran, buang sampah pada tempatnya dong. Kalau lingkungan kita kotor kan nggak enak dipandang mata.
       Zafran   : Iya, deh maaf. (memungut sampah yang dibuangnya barusan)
d.      Genta   : Zafran, buang sampah pada tempatnya dong. Kalau lingkungan kita kotor kan nggak enak dipandang mata.
       Zafran   : Iya, deh maaf. Aku akan memungut sampah yang aku buang barusan.

28.   Watak Genta dalam cerita tersebut adalah…


a.       peduli kebersihan lingkungan 
b.      setia kawan
c.       suka ikut campur 
d.      ringan tangan



29.   Proses memilih pemain yang cocok untuk memerankan tokoh dalam drama diistilahkan dengan…


a.       reading
b.      casting 
c.       blocking 
d.      running



30.   Mengatur teknis pentas, misalnya dari mana seorang pemain harus muncul dan di mana harus berdiri ketika dialog dimainkan agar tidak menghalangi pemain lain diistilahkan dengan…


a.       reading 
b.      casting 
c.       blocking 
d.      running