Minggu, 27 November 2016

Buku Terakhir dari Ibu



(Ida Ayu Kusuma Widiari)

Hari Minggu yang cerah. Cuaca yang bagus bagi Elang Angkasa, seorang anak laki-laki yang baru duduk di bangku kelas 8 sekolah menengah pertama, untuk berjualan. Berbekal semangat dan percaya diri, Elang berkeliling pasar menjajakan kue buatan ibunya. Hari itu, seluruh dagangannya habis terjual. Dia sangat senang. Dia kembali ke rumah dengan wajah ceria. Tangannya yang kurus dan legam memeluk keranjang yang telah kosong. Sesampainya di rumah, di sebuah gubug  yang sangat sederhana, yang dinding dan pintu-pintunya hanya terbuat dari potongan-potongan bambu dan triplek, Elang langsung merebahkan diri.
“Lelah tapi menyenangkan,” gumamnya sambil tersenyum, jarang dia sesenang itu.
Tak lama, Elang lalu meraih sebuah buku yang tertumpuk di lantai dan mulai membacanya. Dia membaca buku berjam-jam. Membaca memang hobinya. Baginya, buku adalah teman sejati yang bisa dibawa kemana saja dan bisa disapa kapan saja.
Tak terasa hari sudah sore. Elang menghentikan sejenak aktivitas membaca buku. Dia keluar rumah dan duduk di sana menunggu sang ibu pulang dari bekerja.
“Ibu!” Elang berseru menyambut seorang wanita yang datang terbungkuk-bungkuk menenteng bungkusan. Wanita itu tersenyum. Dari sorot matanya, tampak betul ia begitu lelah. Keriput memenuhi wajahnya. Uban memenuhi kepalanya. Wanita itu bernama Narsih, ibu Elang. Mereka berdua masuk ke rumah lalu makan bersama. Elang memang harus menunggu sang ibu pulang kerja untuk bisa makan sebab di rumah tidak pernah ada makanan. Sehabis makan, Elang kembali membaca buku diterangi cahaya lampu kuning. Begitulah Elang menghabiskan malamnya hingga tertidur.
Elang berlari secepat yang dia mampu sambil berteriak memanggil-manggil seorang lelaki. Namun, lelaki itu mengabaikannya. “Ayah!” itu kata terakhir yang dia teriakkan sebelum laki-laki itu menghilang. “Elang! Bangun, Nak! Kamu mengigau lagi.” Narsih menggoncang-goncang tubuh anaknya. Elang sontak terbangun. Keringat membasahi wajahnya. “Ayo, bangun. Tidak usah tidur lagi. Lagipula sudah jam 6, kamu harus ke sekolah.”
Elang menatap ibunya lalu menunduk. “Bu, aku tidak ingin ke sekolah. Entah kenapa aku merasa sangat mengantuk.”
“Tidak, Nak. Bukan mengantuk masalahmu. Apakah Kau malu? Jadilah Elang yang tegar, bukan Elang yang pengecut.” Elang tidak membantah lagi. Dia bangkit dari kasurnya yang tipis lalu pergi mandi.
“Elang! Ora pingin lunga bebarengan?” terdengar teriakan Bagus, teman sekelas Elang, sesaat setelah Elang selesai sarapan mi instan.
“Iya, Gus. Tunggu sebentar.” Elang bergegas. Sebelum pergi, dia berpamitan pada ibunya. Tak lupa dia membawa kue sekeranjang untuk dititipkan di kantin sekolah.
Udara pagi itu begitu membekukan jiwa Elang. Selama perjalanan dia diam saja. Tatapannya kosong. Apa yang ada di pikirannya? Apakah terkait mimpi tadi subuh? Entahlah. Tas gendong hitam yang sudah sobek sana-sini setia melekat di punggungnya.
“Teet! Teett! teett!” bel sekolah berbunyi memecah kesunyian pagi. Suaranya nyaring terdengar hingga sejauh 50 meter dari sekolah. Elang dan Bagus berlari menuju sekolah. Untung saja pintu gerbangnya belum ditutup. Saat sampai di tengah-tengah lapangan, mereka berdua berpisah. Bagus langsung menuju kelas sedangkan Elang harus ke kantin dulu menitipkan kue buatan ibunya tadi. Saat Elang sampai di kelas, semua mata tertuju padanya. Dia berjalan sambil menundukkan kepala, malu karena kejadian beberapa hari yang lalu.
“Ayo, Lang, semangat!” ucap Akbar, teman sebangku Elang.
Jam demi jam pelajaran terlewati, bel istirahat pun berbunyi. Semua murid berhamburan menuju kantin, kecuali Elang. Uang saku yang diberi ibunya, kadang seribu, kadang dua ribu, dia simpan. Dia menghabiskan jam istirahat di perpustakaan. Di sana dia menyalurkan hobinya membaca. Sesekali dia melempar pandangan keluar jendela, terpesona memandang cerahnya langit biru tanpa awan. Elang mempunyai mimpi ingin berkeliling dunia untuk menyaksikan keindahan setiap sudut dunia. Namun ketika dia bercermin, melihat keadaannya yang miskin, dia merasa mustahil bisa mewujudkannya. Itulah alasan dia gemar membaca. Dia ingin melihat dunia dari buku sebab buku adalah jendela dunia.
Tak terasa sudah 30 menit. Bel tanda masuk kelas berbunyi. Elang bangkit menuju kelas. Sebuah buku kumpulan cerpen setebal 50 halaman habis dibaca olehnya. Tiba-tiba langkahnya dihentikan Fahri dan gengnya.
“Rupanya Kau masih berani ke sekolah. Cukup besar juga nyalimu, Lang!”
Elang diam tertunduk. Dia tidak melawan. Bukan karena takut, namun ia berusaha mengendalikan diri. Beruntung pada saat yang runyam itu datang Syana membela Elang.
“Fahri, salah apa Elang padamu? Mengapa kamu tak henti-hentinya mengganggu Elang? Jangan mengganggu dia lagi atau kulaporkan kelakuanmu pada Pak Yudana supaya kamu dikeluarkan dari sekolah ini!” Mendengar nama Pak Yudana, sang wakasek kesiswaan yang terkenal garang itu, nyali Fahri dan komplotannya menciut.
“Awas, kau nanti!” ancam Fahri lalu kabur.
“Sudah, Lang. Tidak usah dihiraukan. Aku tahu kamu tidak bersalah ketika itu.” Syana berusaha membesarkan hati Elang.
Jam di dinding kelas menunjukkan pukul 12.30. Sebagian besar murid tampak sudah penat dan kurang bersemangat. Mereka terus melirik ke arah jam, berharap bel tanda pulang sekolah cepat berbunyi. Hanya Elang yang masih kelihatan bersemangat dan fokus. Untuk urusan belajar dan membaca, Elang memang tak pernah bosan. Lima menit kemudian bel berbunyi. Sebelum pulang, Elang mampir ke kantin mangambil uang hasil penjualan.
“Seribu, dua ribu, tiga ribu, enam, delapan, dua puluh, tiga puluh dua ribu,” dengan cekatan Elang menghitung. Sore nanti, uang itu akan diserahkan ke ibunya.
Dalam perjalanan pulang, Elang berhenti sebentar di sebuah toko buku. Nama toko itu sama dengan pemiliknya, Toko Buku Tangkas. Elang sangat akrab dengan Paman Tangkas, seorang lelaki 50 tahunan, berpostur tinggi-besar, namun lucu dan ramah. Paman Tangkas sudah menikah namun tidak memiliki anak.
“Hai, Elang. Sudah lama kau tidak mampir. Paman punya koleksi buku baru. Apakah kau mau melihatnya? tanya Paman Tangkas.
“Tentu, Paman. Tapi, buku yang kuambil dua minggu lalu belum kubayar.” Elang merasa tidak enak hati sebab berhutang terlalu lama.
“Ah, no problem. Coba kau lihat dulu. Kalau kau suka, bawa saja pulang. Masalah bayar, bisa nanti-nanti saja.” Paman Tangkas terkekeh, mengambil sebuah buku, kemudian menyerahkannya pada Elang. Elang mengusap sampul buku itu dan membaca judulnya, Ayah Menyayangi Tanpa Akhir. Tiba-tiba Elang merasa dadanya bergemuruh. Matanya berkaca-kaca. Tanpa basa-basi, Elang mengembalikan buku itu lalu berlari. Paman Tangkas memandang Elang sampai jauh. Sedih hatinya melihat anak malang itu. “Elang, kau pasti sangat merindukan ayahmu,” ucapnya lirih.
Sore itu, Bu Narsih tidak seperti biasanya membeli lauk tahu-tempe untuk dimakan. Kali ini ia membuatkan Elang makanan kesukaannya, yaitu ayam kecap. Elang makan sangat lahap. Dua piring nasi habis disikatnya. Dia memang jarang menikmati daging. Sehabis makan, Elang menemani ibunya membuat adonan kue sambil membaca buku.
“Bu, dua minggu lalu aku mengambil sebuah buku di toko Paman Tangkas. Sampai sekarang uangku belum cukup untuk membayarnya. Kemudian, tadi siang aku melihat sebuah buku lagi dan aku ingin membelinya.”
“Nak, habiskan dulu membaca bukumu itu. Kalau ibu dapat rejeki lebih, ibu akan memberimu uang untuk membeli buku yang kau inginkan.”
“Iya, Bu,” jawab Elang senang. Senyumnya terlihat mengembang di bawah sinar lampu temaram.
Keesokkan harinya semua berjalan seperti biasa. Pagi-pagi Elang berangkat ke sekolah membawa sekeranjang kue. Saat jam istirahat, dia ke perpustakaan. Kali ini dia membaca novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Saat pulang, dia ke kantin mengambil uang hasil penjualan.
“Wah, kuenya habis ya, Bu?” Ibu kantin tersenyum mengangguk lalu memberi Elang uang delapan puluh ribu rupiah. Elang menerimanya dengan penuh sukacita. Dia berlari supaya cepat sampai di rumah. Sampai di rumah, senyumnya mendadak lenyap. Terkejut dia melihat sang ibu terbaring pucat.
“Ibu pulang lebih awal? Ibu sakit?” Elang bertanya cemas. Ibunya bekerja sebagai tukang cuci baju di sebuah laundry dan seharusnya pulang jam 5 nanti sore.
“Iya, Nak. Ibu minta ijin pulang lebih awal. Tidak usah khawatir. Ibu baik-baik saja. Hanya sedikit kelelahan.” Malamnya Elang tidak bisa memejamkan mata.
Ketika pagi menjelang, Elang masih mendapati ibunya terbaring. Wajahnya lebih pucat dari sebelumnya. Lalu dia berinisiatif membelikan ibunya bubur dengan uang hasil penjualan kue kemarin. Setelah itu, dia membangunkan ibunya.
“Ibu, makanlah bubur ini.” Dengan cekatan Elang menumpahkan bubur itu ke dalam piring seng. Setelah memakai seragam, dia berpamitan, “Bu, sekarang aku berangkat ke sekolah dulu. Nanti aku akan cepat pulang.”
Elang melangkah tapi tidak menuju sekolah melainkan ke pasar. Dia berniat mencari pekerjaan. Dia tahu ibunya tidak akan sembuh dengan cepat. Harus ada yang bekerja agar mereka tetap bisa makan. Betapa mulia hati anak itu. Akhirnya di pasar, Elang mendapat pekerjaan yaitu sebagai kuli angkut barang. Badannya memang kerempeng tapi dia mampu mengangkut beras karung 50 kilogram. Pukul 12.30 dia pulang membawa bubur lagi untuk ibunya.
“Nak, maafkan ibu tidak menyiapkan sarapan untukmu. Malah kamu yang menyiapkan bubur untuk ibu.”
“Tidak apa-apa, Bu.” Elang merasa badannya remuk tapi dia senang bisa merawat ibunya.
“Darimana kau dapatkan uang untuk membeli bubur?”
“Uang penjualan kue kemarin, Bu. Ditambah uang simpananku.”
“Bukankah uang simpanan itu untuk membayar buku yang kau ambil di toko Paman Tangkas? Mudah-mudahan besok ibu bisa bekerja. Ibu akan mengganti uangmu.”
“Tidak apa-apa, Bu. Ibu istirahat saja dulu. Kalau sudah benar-benar sembuh, barulah ibu bekerja lagi.” Elang sangat menyayangi ibunya.
Sejak itu Elang tidak pernah ke sekolah. Tiap pagi dia berpamitan mengaku ke sekolah namun sesungguhnya dia menjadi buruh. Pendidikan memang penting, sebagai jembatan untuk meraih cita-cita, namun kesehatan sang ibu lebih penting. Apalagi hanya ibu yang dia miliki sekarang. Sang ayah menghilang tiga tahun lalu. Ada yang bilang lelaki itu tenggelam saat mencari ikan di laut. Ada juga yang mengatakan lelaki itu minggat dan menikah dengan perempuan lain.
Hingga akhirnya, setelah 5 hari menjadi buruh, Elang dikagetkan oleh kedatangan seorang wanita di pasar. Wanita itu tak lain adalah Bu Narsih, ibunya.
“Apa yang kau lakukan di sini, Nak? Jadi, selama ini kau berbohong pada ibu? Tadi Bagus datang mengatakan kau sudah 5 hari tidak sekolah. Ternyata kau di sini.” Ekspresi wajah ibunya bercampur antara marah, kaget, dan terharu melihat anaknya terseok-seok menaikkan sekarung beras ke atas mobil. “Nak, maafkan ibu tidak bisa menjadi orangtua yang baik. Mulai besok ibu sudah bisa bekerja lagi. Kau juga harus kembali bersekolah.” Elang menggeleng. Betapa dia ingin mengurangi beban ibunya. Air mata mulai mengucur dari sudut mata Elang. “Kau harus tetap semangat anakku. Kau tahu mengapa kau tidak dikeluarkan dari sekolah saat memukul Fahri tempo hari? Itu karena kau pintar, prestasimu gemilang, kau calon juara, Nak. Dan lagi, guru-guru tahu kau menjadi kasar karena Fahri yang memulai dengan menjelek-jelekkan ayahmu.” Mereka akhirnya pulang sambil menangis berangkulan.
Semenjak kejadian itu Elang kembali bersekolah seperti biasa. Sang ibu juga sudah kembali bekerja meski masih tampak lemah.
Suatu siang, ketika Elang pulang dari sekolah, dia mendapati rumahnya dipenuhi orang-orang. Dia heran lalu bergegas ke dalam. Di sana, di tempat tidur sederhana itu, Elang melihat ibunya telah terbujur diselimuti kain. Tiba-tiba dunia terasa sunyi dan hampa. Elang tak kuasa membendung air mata. Dia memeluk erat jasad ibunya. Semua orang di rumah itu terenyuh melihat pemandangan yang mengharukan itu.
Setelah orang-orang pergi, Paman Tangkas datang membawa sebuah buku. “Ibumu sudah melunasi hutangmu. Dia juga membeli buku ini untukmu. Dia bekerja keras untuk ini.” Elang membaca judulnya, Ayah Menyayangi Tanpa Akhir. Air matanya menetes membasahi sampul buku itu.
“Saat itu ibumu berkata bahwa ia ingin melakukan yang terbaik untukmu. Dia ingin kau tetap melihat dunia setidaknya melalui buku. Elang, aku tidak kaya, rumahku juga tidak besar, tapi cukuplah untuk menampung seorang anak berbakti sepertimu. Kalau kau mau, tinggalah bersamaku. Kau sudah kuanggap seperti anak sendiri.”
Elang menggeleng pelan. Sungguh dia tidak ingin merepotkan siapa-siapa. Paman Tangkas tahu itu.
“Elang, kau tidak punya siapa-siapa lagi, kemana kau akan pergi? Bukankah aku punya toko buku sebagai tempat nongkrongmu nanti?”
Begitulah akhirnya Elang tinggal bersama Paman Tangkas. Setelah selesai mengurus pemakaman ibunya, Elang kembali bersekolah. Dia sudah bertekad, meski dengan sayap-sayap patah, dia akan terbang tinggi di angkasa dan menjelajahi dunia laksana elang.

Minggu, 09 Oktober 2016

Bagaimana Aku Mengisinya (puisi)




Gelas-gelas di hadapanku
tertutup rapat-rapat
bagaimana aku mengisinya?

Gelas-gelas di hadapanku
berontak tak mau diam
bagaimana aku mengisinya?

Gelas-gelas di hadapanku
umpama aku pecahkan saja
bagaimana aku mengisinya?

Gelas-gelas di hadapanku
kau sangka berisi? nyatanya kosong belaka
bagaimana pun aku harus mengisinya


Minggu, 18 September 2016

Puisi Kecil

Pagi itu hujan tumpah. Suasana yang biasanya senyap menjadi sedikit semarak. Ternyata, meski tak banyak yang tahu, suara hujan laksana orkestra alam. Hantaman butir-butir air pada genteng, seng, kaleng, kerikil, kubangan tak ubahnya pukulan-pukulan perkusi, menghasilkan irama yang absurd. Lalu secara misterius, irama itu merayu, menarikku keluar dari keteduhan, membubarkan jarak antara aku dan hujan, kubuka tangan, dan tatkala air-air itu terjun menerjang, terjadilah puisi kecil ini.


Derai-surai hujan jatuh
di sepotong pagi
berinai-rinai
tipis bukan gerimis
kelabu namun syahdu

"Musim hujan, rupanya,
datang lebih awal,"
gumam seorang lelaki
yang merenung di bawah daun pisang

Minggu, 04 September 2016

Bukan Lelucon

PERMISI, selamat sore! Pesanan datang!” terdengar lelaki berseru dibarengi ketukan pintu. Nah, ini dia, kurir yang kunanti sudah datang, pikirku sumringah. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Makanan yang kupesan via aplikasi ojek online di smart phone-ku muncul pada waktu yang tepat sekali. Laparku sudah berada di ujungnya. Lewat sedikit bisa-bisa pipih ususku.

“Ya, sebentar,” kurogoh tas dan kujumput sejumlah uang. Dengan semangat 45 aku melesat menuju pintu. Bayangan makanan panas berasap siap santap menari-nari dengan mantap.

Kuhela pintu dan nah! Bukan pak kurir yang datang. Aku malah dikagetkan oleh tampang konyol lelaki yang kemudian tertawa terpingkal-pingkal. Kentara sekali dia amat-sangat puas telah berhasil mengerjaiku.

“Nggak lucu!” hardikku dengan jengkel sekaligus kecewa. Ingin sekali kutendang lelaki itu hingga jatuh terguling-guling seperti yang dilakukan Valentino Rossi kepada Marc Marquez tempo hari.

Lelaki itu tak lain dan tak bukan adalah suamiku, manusia jahil, usil, dan suka iseng. Sifatnya seperti bocah. Koplaknya tidak ketulungan. Otaknya disesaki hal-hal miring dan konyol. Moto hidupnya adalah “keep calm and stay konyol” atau “usil-lah sebelum usil itu dilarang” bisa juga “tidak ada kata terlambat untuk bercanda ria”.

Suamiku sudah begitu dari dulu dan tidak kunjung waras hingga sekarang. Kemungkinan dia akan seperti itu seumur hidupnya. Ibarat penyakit, tabiat konyolnya sudah kronis. Jika kepalanya dibelah, pasti terlihat saraf-saraf otaknya kusut semrawut. Centang perenang sehingga sering korslet. Kegemarannya menjahili orang. Karena aku orang terdekat, yang setiap hari bersamanya, jadilah aku yang kerap menjadi korbannya.

Tidak hanya itu, suamiku juga amat susah diajak diskusi serius. Pemikirannya terlalu santai. Tak jarang ketika aku ingin membahas perkara yang agak serius, dia menanggapinya dengan guyonan. Di situ kadang aku merasa ingin meninjunya hingga terjungkal ke kawah Barujari.

Dan lagi, sangat sulit membedakan antara dia berkata jujur atau sedang berbohong. Air mukanya susah diterka. Sandiwaranya mengalahkan akting pemain sinetron Cinta di Langit Taj Mahal. Lengkaplah sudah penderitaanku menjadi istrinya.

Mengapa dulu aku nekat menerima bujukan menjadi istrinya? Pertanyaan itu pernah terbesit di kepalaku. Memunculkan sebuah tanda tanya besar. Ketika kutelusuri, senang sekali ternyata kutemukan bahwa suamiku tidaklah buruk sekali. Kalau dipikir-pikir, kelakuannya itulah yang justru membuatku gelap mata menyukainya.

Aku jatuh cinta padanya justru karena sifatnya yang tengal dan konyol itu. Tingkah polahnya yang seperti itu membuatnya lucu dan kocak. Aku suka orang lucu dan humoris. Bagiku, orang humoris selalu membawa aura positif. Jika Kau seorang pria yang sedang mendekati wanita, aku beri saran, jadilah pria yang humoris. Tak usah romantis sebab pria humoris akan mengalahkan pria romatis. Trust me, it works.

Saat pacaran dulu, suamiku—tentu saja saat itu masih pacar—sering membuatku tertawa tak habis-habis ketika bernyanyi sambil memainkan gitar. Lagu-lagu yang didendangkannya bukanlah lagu-lagu romantis melainkan lagu-lagu sembarang dengan lirik yang dibuat sekenanya sehingga terdengar lucu dan mengundang gelak tawa. Aku suka tersenyum geli sendiri bila mengingatnya. Kini, setelah menikah, bukannya tambah matang dan dewasa, kejahilan malah kian parah dan makin menjadi-jadi. Aku curiga ia bercita-cita ingin jadi seperti Vincent Club ’80, presenter acara 'Ups Salah' yang doyan mengerjai orang-orang.

Kecurigaanku bukan tanpa alasan. Suamiku tidak seperti orang lain yang mengidolai tokoh-tokoh kharismatik, gagah, ganteng, pintar, semisal Bung Karno, Iwan Fals, Luna Maya, Vin Diesel, Rhoma Irama, Sheryl Sheinafia, Andrea Hirata, ataupun Vicky Prasetyo. Suamiku justru memuja dan menjadi penganut pelawak-pelawak tengal dan jauh dari citra keren, seperti Komeng, Sule, Trio Warkop DKI, Cak Lontong, Abdur, Tukul Arwana, hingga Mister Bean. Bagi suamiku, mereka adalah inspirator. Merekalah yang mengukir karakter suamiku sampai jadi unik seperti ini.

Suamiku memang konyol dan kekanak-kanakan, akan tetapi di balik itu, dia tetap bertanggung jawab. Kendati candaannya suka kelewatan dan acap membuat sebal, aku tidak pernah dendam. Justru tanpa kekonyolan-kekonyolan itu, hubungan kami akan terasa kurang sedap, ibarat bakso tanpa cilok. Suamiku selalu bisa menghadirkan keceriaan dan suasana penuh suka. Dia selalu bisa membuat gigiku kering lantaran kebanyakan tertawa.

Beberapa hari setelah kejadian kurir palsu itu, aku sedang menyetrika baju dan seseorang mengetuk pintu rumah. Kemudian terdengar rintihan memanggil namaku.

“Siapa?”

“Ini aku… Cepat. Sakit sekali.”

Suaranya pelan dan tersendat. Aku mengenali suara itu, behh… itu suara suamiku. Meski dibuat sedemikian rupa, aku tetap mengenalinya. Aku langsung sadar ini pasti lelucon. Tidak diragukan lagi, ini pasti jebakan. Aku tidak menaruh setrikaku. Sing ngerambang bangken dongkang alias tak peduli bangkai kodok, pikirku. Aku tahu yang dia rencanakan: dia berpura-pura kesakitan, aku membuka pintu dengan was-was, aku menyongsongnya dengan cemas, kemudian dia tertawa terbahak-bahak karena itu hanya bohong belaka dan aku berhasil ditipu.

Trik murahan. Cuiihh…! Aku takkan termakan sandiwaranya lagi. Seperti kata pepatah, keledai tak masuk ke lubang yang sama dua kali. Aku sudah belajar dari pengalaman.

“Ning… Ningsih, cepat… tolong…” Aku tidak menjawab. Hahaha… siapa yang mau diperdaya? Kutinggikan volume tv. Aku ingin dia sadar bahwa apa yang akan dia coba lakukan sudah terendus. Rencananya gagal total, permainannya sudah terbaca. Aku lanjut menyetrika sambil tersenyum penuh kepuasan. Sebentar lagi dia akan masuk dengan malu dan aku akan mengejeknya habis-habisan. Hahaha…

Lima menit berselang, dia tak juga masuk. Suaranya juga tak terdengar. Kira-kira apa yang sedang dilakukannya di luar? bisikku dalam hati. Aku nyaris terpancing ingin membukakan pintu. Jangan-jangan dia sedang menjalankan rencana B: aku membuka pintu, dia berpura-pura mati, ketika aku dekati dia sontak bangun dan mengagetkanku. Oo… tidak bisa!

Tujuh setengah menit berlalu, dia masih belum juga masuk. Dasar manusia keras kepala tak mau kalah. Perangkap apa yang dia pasang sekarang? Aku penasaran apa yang dia perbuat di luar. Akhirnya aku menyerah. Aku bangkit dan berjalan menuju pintu. Setelah ku buka, kudapati suamiku tidur tengkurap di depan sana. Ternyata benar, ini pasti rencana B.

“Hei, stop tipu-tipu, Bung! Aku tahu Kau pasti pura-pura kan?” teriakku.

Suamiku tak bergerak. “Sudahlah, berhenti dong bercandanya.”

Dia masih tidak bergeming. “Bercandanya nggak lucu deh. Ayo bangun!"

Dia tak juga bergerak. Perasaan ganjil tiba-tiba menyergapku. Benar saja, aku melihat keanehan pada posisi tangannya. Aku mulai cemas. Aku menyongsongnya ke sana, mendekat agar dapat melihat lebih jelas.

Astaga! Tangan kirinya terpelintir mengerikan! Tulangnya seperti terlepas dari sendi. Oh, apa yang terjadi? Jantungku berdegup kencang, kedua lututku mendadak lemas. Kubalikkan tubuhnya. Oh, Tuhan! Bahunya hancur, pelipisnya berlumuran darah. Apakah ia mengalami kecelakaan? Mengapa tak seorang pun menolong? Tanganku gemetar hebat mengusap darah itu. Aku mulai menangis dan panik luar biasa. Ya, Tuhan! Kini aku benar-benar berharap ini hanya permainan, hanya pura-pura. Tapi suamiku tidak membuka matanya dan tertawa seperti biasa. Ini bukan lelucon, ini serius! Suaraku bergetar.

“Kamu kenapa? Ayo bangun…! Bangun…! Oh, Tuhan… Siapa pun toloooooooooong!!!”***

Minggu, 14 Agustus 2016

Tak Ada (lagi) Malam



Dan akan kurindukan suatu hari nanti:
gemerincing ampul kaca beradu,
semerbak aroma formalin, penisillin, atau entah apa itu,
ruang yang semakin ke sini terasa sedingin salju,
serta malam-malam yang bisu.
biar kuhirup,
kusimak,
kukecap,
kutatap,
kudekap
menjejalkan bayang
sebelum terbang
tatkala detik itu datang
lambaikan tangan
pada kursi-kursi dan selembar kardus infus


Minggu, 03 Juli 2016

Lepas Malam (cerpen)

SORE membeku. Aku duduk sendiri, kuyu menghadapi secangkir kopi instan. Asap rokok meliak-liuk pelan, berpendar ke segala arah diterpa angin lesu. Jarum jam di dinding ikut-ikutan berdetak lunglai, hilang semangat. Sudah pukul 4. Itu berarti tujuh jam sudah aku berhibernasi—pembalasan setelah melakoni kerja malam yang menggelisahkan, yang membuat mata hanya sanggup berpijar setengah watt. Namun begitu, rasanya belum setimpal. Serpihan-serpihan kantuk masih terasa memerihkan mata.
Di sebelah sana, tetangga kosku sibuk menyampir-nyampirkan dagangan pada keranjang yang telah diikatkan pada sepeda motor. Rokok tak lepas dari mulutnya. Dia berdagang nasi bungkus dan berupa-rupa temannya. Sebentar lagi dia akan berangkat. Terlalu bersemangat dia sampai tak memedulikan anaknya yang sejak tadi bermain tanah kini sudah penuh berlumuran debu, mirip kue moci. Aku duduk malas saja. Berusaha mengumpul-ngumpulkan nyawa yang tercerai-berai entah kemana.
Sebenarnya apa yang tengah aku lakukan adalah berpikir. Aku berusaha menilai situasiku saat ini. Aku merasa, beberapa minggu belakangan, pekerjaan tak lagi menyenangkan, tak ubahnya beban. Padahal sebelumnya aku menikmatinya. Namun, kini, aku tidak bisa lagi mengembannya sepenuh hati. Apalagi jika mendapat giliran shift malam. Kaki seumpama terikat pada barbel seberat 200 kilogram, susah nian dilangkahkan. Sikap-sikap pekerja yang disukai para atasan: loyal, militan, berinisiatif, penuh ide-ide kreatif, tak lagi bersemayam dalam diriku. Aku menggeledah setiap sudut otak, mencari-cari apa gerangan yang tengah merasukinya. Usut punya usut, aku berhasil menemukannya, rupanya seekor hantu kecil. Ia bernama bosan.
Di dunia ini, Tuhan menciptakan semua hal berpasangan. Tua-muda, menulis-membaca, fiksi-ilmiah, jadian-putus, lulus UN-tak lulus UN—tapi demi citra lembaga dan sedikit kongkalikong, tenang saja, pasti lulus—koruptor-KPK, bersemangat-bosan. Dulu semangatku menyala-nyala bak obor olimpiade. Jangankan yang disuruh, yang tak disuruh pun aku kerjakan. Jangan heran bila waktu itu aku dinobatkan sebagai karyawan teladan—bonusnya sebilah handphone dan tabungan. Aku dielu-elukan banyak orang. Kini, semua berbalik 180 derajat. Tingkahku tak lagi terpuji. Jangankan yang tak diperintah, yang diperintahkan pun aku masih pikir-pikir melaksanakan. Hampir setiap hari absenku merah. Jika owner merengkingkan prestasi kami, karyawannya yang berjumlah tak kurang dari 500 jiwa, barangkali akulah yang bertahta di urutan paling ekor.
Wajar rasanya aku dihinggapi bosan. Jika dihitung-hitung, sudah berganti 12 kalender aku bekerja di perusahaan. Dari tamat SMA sampai sekarang usia kepala tiga. Dari dulunya bujang hingga sekarang punya anak seorang, empat tahun umurnya. Kalau aku presiden, aku sudah menjabat dua periode dan dilarang keras mencalonkan diri lagi. Dengan durasi kerja selama itu, aku cukup percaya diri mengatakan tidak ada lagi tantangan dalam pekerjaan.
Meski sudah mengabdi selama itu pangkatku di perusahaan tetap, seperti matahari yang senantiasa terbit dari timur dan terbenam di ufuk barat, tidak berubah. Tidak ada promosi, tidak pula degradasi. Jenjang karir tidak diciptakan untukku. Lebih merana lagi, statusku masih karyawan kontrak. Perkara gaji, tidak perlulah kubahas di sini, terlalu miris. Sama mirisnya dengan ketika menyaksikan berita kekerasan seksual yang lagi tren di republik ini. Berkutat dengan hal yang sama, berulang-ulang, saban hari, selama 12 tahun, diperparah dengan bayaran yang tak kunjung membaik, adakah di semesta ini yang masih meragukan kebosananku?
Rokok yang menyala sejak tadi menggodaku. Kuberikan hisapan terakhir sebelum tandas. Semakin dalam aku menghisap, semakin jauh aku berkontemplasi.
Sesungguhnya, hal yang membangkitkan kebosananku dalam bekerja tidak melulu soal karir yang stagnan ataupun gaji yang segitu-gitu saja. Perkara yang paling pokok adalah sistem yang selalu bermasalah dan tak kunjung mendapat solusi sehingga tak jarang menempatkanku dalam posisi dilematis. Kemudian, seiring dengan pendidikan terakhirku yang meningkat satu setrip, kini aku memiliki mentalitas baru dalam menjalani kehidupan, dan pekerjaan tentunya. Mentalitas itu membuatku punya cara pandang baru dalam menghargai diri sendiri, juga membuatku berani memelihara idealisme. Sayangnya, idealisme yang aku pupuk tidak sehaluan dengan pekerjaan.
Tak hanya sampai di situ. Kebosanan, hantu kecil itu, ternyata memiliki kemampuan beranak-pinak layaknya makhluk hidup. Anak-anaknya adalah sifat-sifat antagonis: pesimis, sinis, tak jarang anarkis. Semua sifat itulah yang kini menjajahku. Semua orang kuanggap tak becus bekerja. Senioritas yang congkak membuatku tak sudi menerima perintah—dari atasan sekalipun—dan merasa paling pintar padahal tak tahu apa-apa. Bila melakukan kesalahan, tak mau disalahkan. Bila mengobrol, topik utamaku adalah menjelek-jelekkan perusahaan dan menyindir atasan yang nyinyir. Begitu laten bahaya yang ditimbulkan oleh kebosanan.
Dalam struktur organisasi tempatku bekerja ada tiga tingkatan jabatan. Pertama, kepala, diemban oleh seorang lulusan fakultas farmasi, minimal strata 1. Tak peduli tabiatnya seperti anak ingusan, pengalaman baru seujung kelingking, belum bisa membedakan indikasi paracetamol dengan salbutamol, ketika menyapanya, tetap harus dengan Pak atau Bu melekat di depan namanya. Keceplosan, siap-siap diganjar penataran P4. Hal itu, katanya, tak lain merupakan etika untuk menghormati profesi mulia yang disandangnya. Kedua, asisten kepala. Namanya asisten, pekerjaannya tentu membantu sang kepala. Ketiga, kasta terendah, non-asisten julukannya. Mereka yang pendidikannya tidak bersangkut-paut dengan obat-obatan termasuk dalam kasta ini. Aku termasuk di sana. Maka pekerjaanku adalah mendorong-dorong troli, mengangkat berkardus-kardus infus, wara-wiri alias mondar-mandir, dan segala pekerjaan yang tidak membutuhkan pengetahuan tentang obat. Posisi non-asisten menjadi tambah tragis sebab seorang asisten, yang meskipun baru bekerja kemarin sore, memiliki kewenangan lebih ketimbang non-asisten yang sudah bekerja setengah abad sekalipun. Maka, di sini, jelas sekali pengalaman tidak memiliki kredit. Non-asisten, termasuk aku tentunya, tidak mendapat pengakuan.
Namun, bagaimana pun, aku tidak berhak kecewa. Pendidikanku memang tidak memadai untukku berurusan dengan resep dokter. Aku seharusnya berkecimpung di lembaga pendidikan bukan di rumah sakit. Aku ibarat pemain sepakbola yang masuk ke lapangan voli. Meskipun sepakanku sedahsyat halilintar, tetap aku dipandang sebelah mata, sebab permainan voli tidak menggunakan kaki untuk mengolah bola.
Kuingat-ingat, dari awal aku bekerja hingga sekarang, banyak yang keluar-masuk perusahaan, tak terhitung jumlahnya. Mereka yang sudah keluar, tak sedikit mendapat pekerjaan yang lebih bagus. Lebih bagus di sini merujuk pekerjaan yang memberimu gaji lebih besar. Lalu mengapa aku mau-maunya dikerjai dan bertahan di perusahaan hingga karatan? Tanpa kusadari, barangkali aku mengidap kombinasi penyakit orang gagal: bodoh, wawasan sempit, takut mengambil risiko.
Kusulut sebatang rokok lagi. Kuteguk kopi yang mulai hangat. Aku tersenyum senang. Bukan lantaran nikmatnya rokok berteman kopi, melainkan karena jawaban untuk pertanyaan tadi, alasan aku masih betah.
Satu-satunya penghiburan yang membuat aku tetap tabah bekerja adalah kawan-kawan yang budiman, berjiwa muda, unik, inspiratif, kocak, seru, gampang berkompromi, punya passion, dan yang paling mendebarkan, mereka para wanita, berparas cantik nan rupawan, lumayan untuk sekedar cuci mata. Berada dalam lingkaran pertemanan ini membuatku merasa pekerjaan sedikit berwarna. Dan lagi, tak ada di antara kami yang punya tabiat buruk bermuka dua, berperangai licik suka menjatuhkan, ataupun gemar mengadu domba seperti kompeni. Mungkin karena kami semua paham, perusahaan tak akan memberi lebih meski kami berperilaku demikian. Merendahkan martabat diri demi satu-dua pujian tak masuk dalam kamus kami. Lalu, seandainya aku resign, katakanlah aku diterima di perusahaan yang lebih bagus tadi, adakah jaminan aku akan mendapat tim yang sama baiknya dengan saat ini? Bagaimana jika nanti di sana aku malah tidak bahagia karena tertekan batinku setiap hari diperolok dan diperdaya? Lambat laun aku setuju dengan sebuah quote yang berbunyi: jika ingin seumur hidupmu bahagia, cintailah pekerjaanmu. Sentosalah mereka yang pekerjaannya sejalan dengan hobinya.
Aku selalu bercita-cita punya usaha sendiri. Aku sadar, tak mungkin selamanya menghambabudakkan diri pada orang lain. Kurasa bisnis kuliner serasi buatku. Rancangan sebuah tempat mengisi perut, dengan menu yang ringan-ringan saja, sekaligus menjadi tempat nongkrong anak muda dengan konsep berbau musik—agar sejalan dengan hobiku—itulah yang ada dalam angan-anganku selalu.
Ingin sekali aku seperti tetangga kosku, yang dagang nasi bungkus itu. Meski SD pun dia tak tamat, kutaksir pendapatannya jauh melebihi aku yang kerja selalu rapi memasukkan baju dan bersepatu pantofel berkilap. Tetanggaku berangkat jualan jam 6 sore dan baru pulang paling lambat jam 4 subuh. Baik nasibnya, tiap hari nasinya ludes. Dari sana ia bisa membayar kos, menghidupi anak-istri, memanjakan diri dengan memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Nah aku, memenuhi kebutuhan primer seorang diri saja masih kocar-kacir. Bila mau jujur, pekerjaanku hanya menang rapi.
Belum kelar aku menghayati bosannya menjadi karyawan, sore yang beku tiba-tiba pecah dan meriah. Ternyata terjadi keributan suami-istri, tetangga yang baru saja kuceritakan. Awalnya hanya cekcok mulut kemudian diikuti suara perabot dapur dibanting. Gawat, perang dunia III akan meletus! Lalu ada suara, mungkin tamparan. Ibu-beranak itu menangis. Sekonyong-konyong, seperti biasa, datang tetangga lain melerai. Si suami masih meledak-ledak memuntahkan caci-maki. Si istri ngotot tak mau kalah membela diri sambil sesenggukan.
Dari perang mulut kucerna, pertengkaran yang di dalamnya terjadi KDRT itu bermula dari suami yang menyuruh istrinya memandikan si anak yang tengah berdebu-ria. Mungkin nadanya kasar, istri tersinggung dan mengelak dengan berkata bahwa ia pun penat. Wajar saja, ia menyiapkan ratusan bungkus nasi, mulai dari memasak nasi dan lauk, sampai membungkus. Semua dilakukan seorang diri sebab si lelaki sejak datang dari berjualan ngorok hingga tengah hari. Perkara mengurus anak, jadilah mereka saling oper.
Aku tak tahu persis karena bukan orang ekonomi, tapi dari kericuhan itu aku menarik teori sederhana yaitu penghasilan yang besar berhubungan linear dengan kebutuhan tenaga dan waktu yang banyak. Bukan cuma aku, barangkali mereka pun sejak lama telah diterkam bosan. Sepanjang hari mengurusi dagangan tak ada waktu untuk yang lain. Ditambah kelelahan fisik saban hari, pikiran jadi tak keruan. Pantas saja ekspresi mereka selalu saja muram. Terkadang macam orang hendak menangis, terkadang macam ingin mengunyah manusia. Mereka tampak lebih tua dari usianya.
Kejadian itu tak pelak membuatku berpikir lagi. Setelah kutinjau ulang, dengan mengerahkan segala energi positif dalam diri, walaupun penghasilanku lebih sedikit, tiba-tiba aku merasa pekerjaanku lebih baik. Setidaknya aku bekerja hanya tujuh jam sehari, di ruangan ber-AC pula. Aku punya banyak waktu untuk keluarga karena tak ada pekerjaan yang kubawa pulang. Akhirnya untuk sementara, dengan perasaan lega—banyak yang mengatakan tampangku terlihat lebih muda dari umurku—kutunda niatku menjadi seperti tetanggaku. Aku meloncat mandi. Besok akan kuurus cuti, menghamburkannya dengan refreshing, menghalau si hantu bosan itu, mumpung ia masih kecil saja.***

Sabtu, 28 Mei 2016

Duniamu (puisi)








Ketika angin beringsut pergi
Dan cahaya dengan khidmat mengundurkan diri
Kepada siapakah hatimu yang lugu akan bernyanyi

Aku,

Menjadi duniamu selalu