Sekiranya ada yang bisa membuat seorang anak begitu riang gembira, hingga berbulan-bulan bahkan 365 hari, apakah yang bisa? Jika seorang anak ingin malam cepat pergi dan esok datang lebih pagi, apakah gerangan yang dinantinya? Apa pula yang membikin anak gatal kaki dan tangannya, ingin menjajal lagi dan lagi?
Adakah benda mendebarkan macam itu? Mengaku saja, Kau pasti tidak tahu karena Kau belum punya anak.
Setelah melakukan penelitian kecil-kecilan, menggunakan teori dan metode yang hanya aku sendiri yang paham, aku berhasil mendapat kesimpulan bahwa benda itu, boleh percaya boleh tidak, adalah sepeda. Ya sepeda, tak lain dan tak bukan.
Hampir seluruh anak di muka bumi mempunyai sepeda. Setidaknya pernahlah mempunyai sepeda. Beberapa anak mungkin lupa pernah punya sepeda. Itu wajar karena saat dibelikan usia mereka baru satu tahun, saat itu daya ingatnya boleh dikatakan belum bisa diandalkan.
Kau sendiri pasti punya sepeda, bukan? Ingatkah Kau saat kecil, Kau begitu bersemangat menunggu ayahmu datang dari toko sepeda. Setelah sepeda itu tiba, Kau gembira tak terkira menaikinya. Malamnya Kau tidak bisa memicingkan mata, sebentar-sebentar Kau mengintip keluar, ke tempat sepeda itu disandarkan, dan Kau ingin cepat-cepat melihat matahari. Memang luar biasa sensasi memiliki sepeda baru.
Waktu kecil dulu aku juga begitu. Aku suka bersepeda. Sepeda hitam kecil itu, yang selalu menemaniku menjelajah waktu, adalah bagian dari cerita masa kecilku yang seru.
Aku ingat, saat Ebtanas hari pertama, ayahku bersabda, “Kalau Kamu lulus dengan NEM tinggi dan dapat SMP negeri, Kamu dapat hadiah sepeda baru.” Jantungku berdebar-bedar.
Seminggu kemudian EBTANAS usai, aku nyengir persis kuda memandangi pengumuman yang ditempel di depan kantor guru. Pulang dari sekolah aku diantar ayahku ke toko sepeda Surapati Selalu Di Hati, letaknya bersebelahan dengan toko kue tart. Tanpa ragu aku menunjuk sepeda laki warna abu-abu, model sepeda gunung, gigi depannya tiga (baca: gir), gigi belakangnya enam. Teknologi tercanggih kala itu, keren bukan buatan.
Aku menggunakan sepeda itu hingga SMA. Kebetulan sepeda adalah ciri khas SMA-ku. Semua murid datang ke sekolah bersepeda. Jika dulu sempat bertandang ke sekolahku, Kau pasti melihat sebuah sepeda berdiri dengan teguh, bersahaja, disiplin, dan sederhana. Di bawahnya tertera pahatan filosofis SEPEDA: SEnyum PEnuh DAmai. Kini, ketika budaya sekolah berubah, sepeda itu teronggok sendirian, tua, rapuh, murung, dan kesepian, hanya ditemani satpam.
Hari ini memang ingin sekali aku bercerita perkara sepeda. Pasalnya, setelah dua tahun kehilangan tawa karena terlalu sedih ditinggal mati ibunya, anakku kini bisa tertawa lagi. Bocah itu, yang saat ibunya meninggal baru berumur tiga tahun, aku pikir belum mengerti apa-apa terkait takdir yang menelikungnya. Namun kenyataannya dia selalu muram dan terus-menerus bertanya, kapan ibu pulang? Sampai-sampai aku kehabisan stok jawaban untuk membesarkan hatinya. Tersayat hatiku tiap kali dia bertanya.
Tetapi kini bolehlah aku bersenang hati. Perasaanku tak jauh berbeda dengan perasaan pegawai negeri menerima gaji ke 13. Anakku sekarang sudah menemukan kembali kebahagiaannya. Ia melonjak-melonjak girang, tergelak, di matanya tampak binar-binar keceriaan, dan semua itu cuma karena sebuah benda bernama sepeda.
Aku merasa bodoh karena tidak pernah terpikir bahwa sepeda mampu menjadi hiburan yang luar biasa, yang dapat menghapus memori kelabu yang telah mendekam di sanubari anakku bertahun-tahun hingga lumutan.
Ingin sekali aku berterima kasih kepada manusia berakhlak mulia penemu sepeda, Karl Drais. Saat ini anakku pasti masih dirundung duka seandainya lelaki Jerman itu tidak menciptakan sepeda, meskipun sepeda yang dibuatnya adalah versi kuno, primitif, belum modern seperti yang ada sekarang ini. Harus diakui orang-orang Jerman memang jenius di bidang mekanika, pantas saja mereka jadi juara dunia sepakbola tahun 2014 lalu setelah di final menaklukkan Argentina 1-0.
Ingin sekali aku memeluk dan menjabat tangan lelaki Taurus itu, memberinya loloh cemcem sebagai cindera mata, mengajaknya berdiskusi—mengingat dia orang jenius—tentang isu-isu hangat di dunia seperti pembajakan pesawat Egyptair, teror bom di Brussel, penyanderaan WNI oleh komplotan Abu Sayyaf, pilgub DKI Jakarta, kasus penyewaan anak-anak, terbakarnya pasar Badung dan pasar Ubud, final piala Bhayangkara, hingga tindakan tidak sportif oknum-oknum dosen yang memeras mahasiswa saat bimbingan skripsi. Ingin aku mendengar tanggapannya tentang semua hal tadi. Sayangnya laki-laki penjaga hutan itu sudah amor ring acintya 165 tahun yang lalu, jauh sebelum aku dilahirkan. Jadi cukuplah aku kirim doa saja untuk beliau.
Aku masih memandangi anakku dan teman-temannya bermain sepeda. Mereka begitu bersemangat dan berkeringat. Sesuatu mengganjal di hati, sejak tadi aku bercerita bahwa anakku bisa tertawa lagi karena sepeda tetapi aku lupa mengatakan sebetulnya dia belum punya sepeda. Dia senang melihat sepeda temannya. Meski hanya sebagai penonton, dia gembira luar biasa. Dia bersorak, berjingkrak-jingkrak, dan bertepuk tangan melihat temannya adu cepat. Ketika ia ingin mencoba, temannya tak memberi.
Anakku, yang sebentar lagi masuk TK, menghampiriku , ”Ayah, belikan nae Giyang sepeda.”
“Sepeda? Cenik gae to! Nanti ayah belikan.”
Nama anakku Gilang namun dia sendiri menyebut dirinya Giyang, hal itu karena dia, seperti anak lain pada umumnya, kesulitan melafalkan huruf L yang termasuk konsonan dental lateral. Lupa apa itu konsonan dental lateral? Coba buka lagi kitab linguistik dan fonologi, semua penjelasan ada di situ.
Anakku kembali bergabung dengan teman-temannya. Mereka bermain dengan sukacita. Hanya anakku yang tak punya sepeda. Sedihnya, tak seorang anak pun mau meminjamkannya. Jangankan meminjam, menjamah saja tak boleh. Anakku berlapang dada. Justru aku yang sesak melihatnya. Betapa anakku menginginkan sebuah sepeda. Sepeda adalah kebahagiaan terbesar seorang anak, dan bagiku, adalah kejahatan serius jika tidak mampu membelikannya.
Maka sejak itu aku bertekad membelikannya sepeda. Tetapi apa daya, uang aku tak sedia, tabungan pun tak punya. Aku memeras otak mencari pekerjaan sampingan agar ada tambahan penghasilan mengingat statusku saat ini hanya karyawan rendahan dengan gaji pas-pasan. Apapun akan kukerjakan asalkan tidak menabrak hukum. Pejabat-pejabat biarlah korupsi, oknum-oknum polisi biarlah pungli, orang lain biarlah mencuri, merampok, merampas, membegal, tapi aku sebisa mungkin tidak.
Aku berlari ke dalam rumah, menyisir seluruh ruangan bermaksud mencari barang yang sekiranya bisa dijual. Setelah diinventarisir, ternyata hanya ada tv usang, kulkas karatan, lemari yang sudah mau roboh, dan kipas angin berisik. Semua benda itu, jangankan dijual, diberikan percuma saja orang masih pikir-pikir menerimanya. Sebenarnya ada laptop lawas tetapi jika itu dijual kiprahku di dunia tulis-menulis bisa tamat.
Bukankah aku punya gitar tua? mengapa tidak mengamen saja?
Setelah bersusah-payah menguasai lagu-lagu yang lagi hits, aku langsung mencari lahan untuk mengais rejeki. Di depan warung lalapan, yang aroma sambalnya membuat orang lupa diet, aku berdiri memeluk sebilah gitar. Gayaku seperti Bang Haji. Sebenarnya malu tetapi ketika membayangkan wajah syahdu anakku menaiki sepeda baru, kepercayaan diriku melambung.
Aku mulai intro dengan kunci C, A minor, D minor, ke G, ke C lagi. Lalu lupa-lupa ingat aku mulai menyanyi, berkoar-koar lebih tepatnya. Suaraku bersaing berebut tempat dengan suara knalpot dan klakson kendaraan. Saat mau masuk reff, si pemilik warung menyetopku.
“Mas, mau nyanyi atau bunuh orang? Suara sampeyan berpotensi membuat orang kumat hipertensinya, suara sampeyan kayak suara kucing mau kawin, berisik.”
Aku cukup tahu diri suaraku memang tak sebagus Ray Peni, pelantun lagu Takut Jak Bojog itu, tetapi masa disamakan dengan suara kucing mau kawin? Dasar tukang ulek sambal, tahu apa Kau tentang seni? Hari itu menjadi kali pertama sekaligus kali terakhir aku berkiprah di dunia tarik suara jalanan.
“Ayah, jadi beli sepeda?” anakku menagih janji beberapa hari berikutnya. Aku panik seperti mahasiswa semester enam belas ditanya kapan wisuda. Batinku tertekan persis bujang lapuk 40 tahun ditanya kapan nikah.
Kembali aku memutar otak. Aku tanya ke sana-kemari, kiri-kanan, membaca lowker di koran, kira-kira apa yang bisa kukerjakan untuk menambah pendapatan, agar cita-citaku segera terealisasi: membelikan sepeda yang bisa membuat anakku semata wayang selalu tersenyum.
“Ikut ojek online aja, bro!” temanku memberi saran. Cemerlang. Ide itu kusambut baik. Aku langsung mengorek informasi dimana bisa mendaftar dan apa saja persyaratannya. Setelah semua kuperoleh dan kulengkapi, kuajukan lamaran.
Semua baik-baik saja saat berkas-berkasku diperiksa tetapi ketika masuk tahap pemeriksaan fisik kendaraan, kening si petugas berkerut. “Pak, serius ini motornya? Kok butut begini? Ini seharusnya sudah dipajang di museum, Pak. Mohon maaf, lamaran Anda tidak dapat saya proses lebih lanjut pasalnya motor Anda tidak memenuhi standar kami.”
Waduh kalau ngomong jangan sembarangan. Memangnya motor saya benda purbakala ditaruh di museum? Dasar tak tahu adat. Untung di republik ini ada hukum, kalau tidak, sudah kureklamasi mulutmu, omelku tapi dalam hati saja. Sebenarnya takut juga aku berkelahi dengannya.
Berkarir jadi tukang ojek gagal.
Tapi memang tepat kata pepatah, Tuhan selalu membuka jalan untuk mereka yang berniat mulia. Karena menyenangkan hati anak dapat dikategorikan mulia, Tuhan pun membukakan jalan untukku. Entah bagaimana, setelah mengalami pengusiran dan penolakan sana-sini, aku berhasil mengumpulkan cukup dana.
Pada hari yang istimewa itu meluncurlah aku ke toko sepeda Surapati Selalu Di Hati, yang letaknya bersebelahan dengan toko kue tart, tempat dulu ayahku membelikanku sepeda. Meski sudah tak sabar, aku tak mau tergesa-gesa. Kupilih sepeda dengan cerdas dan cermat macam memilih presiden.
Setelah hampir dua jam melihat-lihat, akhirnya kutetapkan pilihan pada sebuah sepeda mungil warna hitam, ada cakram dan suspensinya bak sepeda motor, gagah bukan buatan. Secara keseluruhan sepeda itu terkesan riang, elegan, dan tangguh. Aku begitu bergairah sampai-sampai penjualnya kusangka Karl Drais, si mister penemu sepeda itu, aku memeluknya lama dan menjabat tangannya erat sekali.
Dalam perjalanan pulang aku bersiul-siul. Tak jelas nadanya memang, yang jelas hatiku terasa lega, plong, sebab hari ini hutangku lunas tandas. Hidup terasa ringan tiada beban. Dunia berwarna-warni indah tak terperi. Tak peduli kantongku jebol, amblas. Tak hirau sekujur tubuh memar pontang-panting mengumpulkan uang. Aku merasa terharu sekaligus puas dan bangga terhadap diriku sendiri. Aku adalah seorang ayah pemenang, yang memenangi hati anaknya.
Sesekali aku melirik ke belakang memastikan sepeda hitam dengan dua roda bantuan di kiri-kanannya itu masih ada di sana. Aku bisa membayangkan wajah terpesona anakku, senyum lebarnya, pancaran semangat mata beningnya. Lalu kami akan sama-sama memreteli plastik-plastik gelembung yang membungkus sepeda itu. Belum apa-apa aku sudah heboh sendiri.
Aku masih beberapa meter dari rumah, anakku sudah menyongsong. Dia hapal di luar kepala suara mesin motorku seperti anak kucing yang kenal betul suara induknya. Aku yang akan memberi kejutan tetapi aku sendiri yang berdebar-debar, itulah sensasi kejutan. Sebentar lagi ia akan terbelalak melihat apa yang aku bonceng di belakang seperti melihat benda ajaib dari negeri dongeng.
“Gilang, lihat ayah bawa apa untukmu?” aku menunjuk sepeda sembari memamerkan senyuman terlebar yang aku miliki.
Anakku menoleh ke belakangku. Lalu begitu saja, tidak terjadi apa-apa, tidak ada respon. Ekspresinya biasa saja seolah-olah apa yang kubawa tidak berkesan buatnya. Aku turunkan sepeda itu, rasa penasaran menggelayutiku.
“Kamu tidak suka ya? Bukannya Kamu mau sepeda? Lihat, ada kliningannya. Bocah-bocah pelit itu pasti berebutan ingin meminjamnya, jangan diberi! Bikin mereka tahu rasa.”
“Giyang tidak mau sepeda, Ayah.”
Aku tercengang, bingung dengan apa yang terjadi. Aku sentuh dahinya, 36,2 derajat Celcius, tidak panas, kuamati badannya, adakah ia baik-baik saja?
“Ayah, Giyang tidak mau sepeda.”
“Lalu?”
“Giyang mau adik.”
Hah? Aku terperanjat! Motorku hampir saja oleng. Siapa yang mengajarinya berbicara seperti itu? Mengapa tiba-tiba ia menginginkan adik? Apakah lantaran itu ia bermuram durja selama ini? Aku tertegun dan berpikir lama sekali. Bukan memikirkan bagaimana cara memberinya adik melainkan bagian mana yang salah dalam penelitianku itu.***