Made Merta tiba di sekolah terlalu pagi, tatkala matahari pun belum ingin menampakkan diri. Tak dapat disalahkan memang. Ia terlalu bersemangat memulai profesi barunya. Hari ini adalah hari pertama ia akan masuk kelas tampil sebagai seorang guru. Bahasa Indonesia, mata pelajaran yang diampunya.
Setahun lebih ia menunggu datangnya kesempatan ini. Hampir pupus harapannya. Sedikit lagi ia akan berbulat tekad mengandaskan cita-citanya yang mulia itu dan berlapang dada bekerja di mana saja. Namun, nasib baik memang selalu menimpa orang-orang yang sabar. Beribu-ribu terima kasih ia alamatkan kepada Ibu Dayu, wanita yang tak lain adalah dosennya saat masih berkiprah di institut keguruan. Atas petunjuk beliaulah Made Merta menemukan pencerahan.
Made Merta masuk ke ruang guru dengan pasti dan percaya diri. Ia langsung menuju ke meja yang telah disediakan untuknya. Meja yang sebetulnya dadakan sebab sebelumnya di sana bersemayam sebuah lemari kayu tua, tempat bertumpuk-tumpuk kertas yang juga tua dan, barangkali, rumah bagi kecoa atau sebangsanya. Posisinya tersembunyi, nun jauh di pojok belakang ruangan, seolah-olah tak ingin diketahui. Meski begitu, Made Merta tetap bangga dianugrahi meja di sana.
Made Merta duduk dan merasa begitu nyaman padahal kursinya hanya kursi kayu biasa, tidak empuk disorot dari sisi manapun. Memang tepat jika ada yang berpendapat bahwa sumber kebahagiaan sejatinya berasal dari pikiran.
Diusapnya permukaan meja yang terbentang di depannya tadi. Tiba-tiba ada rasa haru menyeruak. Meja itu adalah metafora. Semacam simbol pengakuan, pemberian wewenang dan kepercayaan atas kemampuan dan pencapaian pendidikannya. Belum-belum, matanya sudah berkaca-kaca membayangkan meja itu akan menjadi saksi kesibukkannya mengisi rapor murid-muridnya yang cemerlang. Meja itu pula yang akan menemaninya memeriksa tugas-tugas para murid yang rajin lagi pintar. Selain melankolis, Made Merta memang orang yang optimistis, tipikal calon menteri pendidikan yang mumpuni.
Sejurus kemudian, dari dalam tas punggungnya yang berat, Made Merta mengeluarkan berupa-rupa kitab sakti mandraguna yang akan menjadi senjatanya membasmi jiwa-jiwa yang tuna ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan bahasa. Ada Kamus Besar Bahasa Indonesia, buku sintaksis, buku jenis-jenis kalimat, buku 1000 peribahasa, kumpulan puisi dan cerpen, semuanya serba tebal, serta tak lupa novel kesayangannya yang berjudul Ayah. Semua buku itu ia susun di atas meja dengan rapi dan penuh rasa hormat. Tak ingin ia durhaka terhadap para penulis buku-buku tersebut.
Detik berikutnya, Made Merta mengeluarkan sisir kecil dua ribu rupiah yang dibelinya di pasar tadi malam. Dengan sigap ia merapikan rambut tipisnya lalu tersenyum sendiri. Ia merasa benar-benar siap untuk mengajar.
Sejak tadi sibuk dengan urusan sendiri, Made Merta tidak menyadari bahwa ia tidak sendiri di ruangan itu. Ada sepasang mata sayu murid perempuan yang sedari tadi lekat mengawasinya dari dekat pintu. Tangan kanannya mengapit sebuah buku tulis lusuh.
Aih, rajin benar anak ini, pikir Made Merta tatkala mengetahui keberadaan anak itu.
“Mencari siapa, Nak? Belum ada yang datang, kecuali saya.” Made Merta bertanya sembari tersenyum, menampilkan sosok Umar Bakri yang pemaaf lagi penyayang. Adakah kelakuan murid itu salah sehingga harus dimaafkan? Aku pun tak tahu.
Lalu keanehan terjadi, ketika Made Merta mengerjapkan mata, macam sulap, bocah perempuan itu menghilang, sirna, lenyap tak berbekas!
Bagaimana bisa? Made Merta takjub sekaligus heran. Tetapi Made Merta adalah seorang akademisi yang selalu berpikir rasional mengikuti alur logika dan sains, maka ia menganggap yang barusan terjadi adalah imajinasi, mungkin lantaran terlalu sering menulis cerita fiksi. Meski begitu, keingintahuan yang tinggi tetap membuatnya penasaran.
Made Merta menyusul ke arah pintu untuk memastikan. Sampai di luar memang tidak ada seorang pun. Halaman sekolah masih sunyi dan teduh ditutupi bayangan gedung dan pepohonan ketapang. Made Merta berbelok ke kanan, yang di sana ternyata kantin. Tidak ada pula seorang pun. Ternyata benar, hanya imajinasi. Tetapi tiba-tiba...
“Cari siapa?” Seorang bapak secara mengagetkan menepuk pundak Made Merta dari belakang. Wajahnya keriput, tatapannya ganjil, alis meninggi mengesankan dia seorang yang mudah naik pitam.
“Oh, tadi ada murid perempuan di ruang guru, saya sapa, tiba-tiba menghilang,” jawab Made Merta polos.
Si bapak menatap Made Merta dengan serius, agak lama seolah-olah sedang membaca pikiran, sebelum akhirnya menjawab, “Tidak usah dicari.”
“Kenapa?”
“Dia memang begitu, datang dan pergi tiba-tiba.”
“Jadi bapak juga melihatnya?”
Si bapak diam. Air mukanya serius, tak ada sekilas pun senyuman di bawah kumisnya yang ubanan. “Anda guru baru?”
“Iya, betul.”
“Dia ingin berkenalan.”
“Berkenalan?” Kening Made Merta berkerut.
“Ya, berkenalan.”
“Lalu kenapa dia pergi?”
Bapak itu diam lagi, menatap Made Merta seperti tidak suka. Ia menuju bangku kayu panjang di depan kantin.
“Anda banyak tanya! Yakin mau tahu?”
“Jika boleh, Pak.”
“Saya tahu ceritanya. Paling tahu di antara pegawai dan guru-guru di sini.” Si bapak mengeluarkan rokok. Sekejap kemudian asapnya mengepul, wajahnya seolah-olah terbakar. Si bapak kemungkinan tidak pandai membaca sebab di setiap sudut sudah tertempel stiker besar-besar berbunyi kawasan tanpa rokok.
“Anak itu bernama Winari, sekolah di sini, kelas 9 saat itu. Anak yang cerdas sesungguhnya.”
Made Merta ikut duduk meski tak ditawari.
“Hidupnya tak sebahagia anak lain. Bapaknya bedebah, suka main perempuan. Ibunya minggat entah kemana. Jadilah Winari anak yang terbuang, pemurung, pendiam, tertutup, tidak suka bergaul. Sahabatnya hanya dua: kecewa dan putus asa.”
Made Merta tekun menyimak.
“Tetapi ada satu hal yang membuatnya tetap ingin hidup, yaitu Indra, guru bahasa Indonesia kala itu.”
“Saya juga mengajar bahasa Indonesia.”
“Saya tidak tanya.”
“Maaf.”
“Indra tak sengaja membaca puisi-puisi dan cerita-cerita pendek yang ditulis Winari di buku catatan. Winari sesungguhnya tak bermaksud menulis cerpen atau puisi. Ia menulis apa yang ia rasakan, tentang betapa nasib telah memperlakukannya dengan amat buruk. Tak dinyana setiap kata dalam tulisan itu hidup, sendu mengadu, meratap namun memikat. Indra langsung terpesona dan mengerti satu hal: Winari piawai menulis. Mungkin lantaran kepahitan itu dialami sendiri sehingga setiap diksi yang tersaji mampu mengiaskan emosi yang diinterpretasi sebagai ironi dan tragedi dalam suatu kisah fiksi."
Made Merta manggut-manggut seakan paham padahal tak satu patah kata pun pada kalimat terakhir itu mampu ia mengerti.
“Indra meniupkan harapan baru dalam hidup Winari. Dia memuji dan menyemangati Winari agar terus menulis, mengembangkannya pada hal-hal lain. Beberapa karya diikutsertakan dalam lomba. Beberapa lagi dipajang di majalah dinding dan majalah sekolah. Winari bergairah, hidupnya tak sia-sia lagi. Setiap Senin, ia selalu datang lebih pagi sebab pelajaran bahasa Indonesia ada pada jam pertama. Sungguh ia tidak ingin terlambat.”
“Lalu, pak?” Made Merta memburu.
“Sayang seribu sayang, Indra tak lama di sini. Saat orangtuanya jatuh sakit, ia pulang kampung, jauh ke seberang pulau. Dua minggu kemudian ia mengundurkan diri.”
“Dan Winari?” suara Made Merta pelan dan ragu.
Bapak berkumis tertegun, cukup lama. Ia seperti selalu berpikir sebelum menjawab. Entah apa yang berkecamuk di balik wajahnya yang serius itu. Ada gurat penyesalan, kemudian tegang, bercampur-campur, sulit digambarkan. Suaranya bergetar meneruskan.
“Winari yang sudah berbesar hati kembali tersuruk menyendiri. Ia menahan rasa kehilangan yang tak tertanggungkan, melebihi rasa kehilangan sosok orangtua. Ia merana, patah hati, depresi, lalu, dengan membawa semua tulisannya, dia bunuh diri melompat dari lantai 4 gedung sekolah ini.”
Deg! Made merta terpana dan bergidik ngeri. Rambut-rambut di sekujur tubuhnya kompak berdiri.
Jadi yang dilihatnya itu arwah penasaran seorang gadis penulis bernama Winari? Mungkinkah masih ada hantu di zaman serba online sekarang ini? Mustahil. Bisa saja itu semacam efek teknologi canggih 3D holographic display. Made Merta kalut. Pendekatan leksikal-gramatikal yang dikuasainya tak relevan menjelaskan masalah ini. Satu kata yang menyelimuti hatinya saat ini: misteri!
“Pak, cerita tadi hoax, kan?”
Si bapak berkumis sudah beberapa langkah pergi. Ia berbalik melemparkan raut wajah tak suka.
“Itulah cerita sebenarnya. Tapi saya tidak memaksa anda untuk percaya. Dia memang ada di sini, menunggu…”
“Kenapa begitu yakin?”
Si bapak menatap Made Merta dengan bola matanya yang keruh, agak lama seolah-olah hendak membaca pikiran, sebelum akhirnya menunjukkan sebuah buku tulis lusuh yang dia keluarkan dari saku celana, dan lirih berkata, “Aku si bapak bedebah itu.”
Made Merta terpana tak bertanya lagi. Si bapak berlalu seperti angin meninggalkan sekolah yang masih hening, sehening kuburan di depan sana.