Minggu, 13 Agustus 2017

GOK



TEMPO hari aku mendaki gunung mengantar serombongan pelajar. Sesungguhnya, kata ‘mendaki’ agak kurang tepat. Untuk sampai di puncak, tersedia anak-anak tangga yang begitu bersahabat untuk dijejaki. Dalam persepsiku, mendaki harusnya tidak semudah itu. Mendaki adalah berjibaku menaklukkan ketinggian daratan dengan medan yang lebih liar. Mendaki tidak sekadar melawan lelah.

Perjalanan itu sekaligus kegiatan mendekatkan diri ke haribaan Yang Mahaguru. Bolehlah disebut perjalanan spiritual. Di puncak gunung berdiri sebuah pura. Pura yang tua, dingin, magis, dan suci. Menurut lontar, dibangun oleh seorang maharsi sakti pada zaman yang amat lampau. Di sana berstana Tuhan dalam manifestasi Beliau sebagai Ida Hyang Gni Jaya. Untuk mencapainya kami menyusuri anak-anak tangga panjang tadi, pantang berkata lelah.

Di kiri-kanan sepanjang jalur menuju puncak, vegetasi tumbuh alami. Rimbun menjulang menghalau sinar sang penguasa hari. Aneka flora itu tak kutahu namanya. Ada yang berdaun serupa pandan, ada yang berbuah mirip seruni. Semua lembab dan berlumut. Semakin ke atas semakin lindap ditelan sayong.

Kutapaki satu persatu anak tangga dengan ringan saja. Aku tidak tergesa. Sengaja kubiarkan diriku terlambat di urutan paling ekor. Aku berkewajiban memantau anggota rombongan, memastikan di antara mereka tidak ada yang tercecer atau tertinggal dan selamat sentosa hingga kegiatan berakhir. Dan lagi, dengan memosisikan diri di belakang, aku bisa leluasa menghayati atmosfer yang tenteram. Atmosfer yang mampu menetralisir segala bentuk kontaminasi di jiwa dan pikiran.

Sedikit lagi sampai. Mereka yang lain tentu telah usai sembahyang di puncak tertinggi dan kini tengah meluruskan kaki sembari menghirup harumnya kuah popmie. Nikmat nian. Mengangankan hal itu membuatku ingin sekali menyusul.

Tapi tunggu. Nun di sana, beberapa meter di depanku, ada sosok-sosok yang menghadang!

Mereka bergerombol dan dari gelagatnya terang sekali berniat tidak baik. Mereka dikenal sebagai begundal yang tak tahu tata krama. Mereka menungguku di depan sana, bergaya persis geng sekolah Suzuran, yang dipimpin Takiya Genji, menunggu murid sekolah Housen yang menjadi seterunya untuk sebuah perkelahian habis-habisan. Kenyataan bahwa mereka kawanan 20 cecunguk dan aku, sialnya, hanya seorang diri, lumayan membuat gentar nyali.

Sekilas aku ragu tetapi tidak ada jalan lain. Berani-tidak berani aku harus menghadapi gerombolan itu. Maka kulangkahkan kaki dengan tenang, setegar mungkin, dalam jarak aman yang telah kuperhitungkan.

Tak tinggal diam, dengan gesit mereka mengatur posisi, mulai merubungku rapat-rapat dari segala penjuru. Mata mereka lekat mengintai, menakar dari sudut mana akan beraksi--mereka menggasak apapun yang bisa digasak, masalah berguna atau tidak, itu urusan belakangan.

Sejurus kemudian aku terkepung. Mereka menggerayangiku tanpa ampun. Aku tidak dibiarkan lepas begitu saja. Terang-terangan mereka menuntut upeti. Jika tidak, aku pasti celaka. Keadaan benar-benar runyam. Ketegangan mencapai puncaknya.

Untungnya aku tidak sekali-dua kali datang ke sana. Pengalaman memberiku pelajaran cara menyiasati situasi gawat semacam itu. Siasatnya adalah melemparkan makanan jauh-jauh dengan maksud ketika mereka mengejar makanan itu, aku bisa bergegas melarikan diri. Dan itu berhasil. Mereka semburat berhamburan menyongsong umpan--lima bungkus kacang kapri--yang kutolak sekuat tenaga. Tahukah Kalian siapa sosok-sosok yang tak tahu adat itu?

Tak perlu cemas. Mereka hanyalah kera abu-abu ekor panjang, memiliki nama latin Macaca Fascicularis, primata penghuni gunung di sana. Para bromocorah rakus itu kuwaspadai sejak awal namun baru muncul menjelang puncak. Biasanya masih di kaki gunung mereka sudah bertingkah. Agaknya populasi mereka kini tak sebanyak dulu.

Eksistensi mereka di gunung, bagiku, bukanlah ancaman. Hewan dari kelas mamalia itu justru menjadi salah satu pusat gravitasi atau daya tarik selain panorama alam pegunungan itu sendiri. Ada sensasi ngeri-ngeri sedap tatkala dikerumuni wenara-wenara itu.

Tengoklah betapa menggelikan tingkah polah mereka. Mereka bergelantungan, menjuntai dari dahan ke dahan, beratraksi bak pemain sirkus, bahkan sambil menyusui si bayi yang belum tumbuh bulu. Luar biasa!

Beberapa merangkak di anak-anak tangga, croat-croet meributkan biji-bijian yang berserakan.

Kami berdamai. Saatnya meneruskan perjalanan mencari kitab suci.

Tetapi nanti dulu, lagi-lagi langkahku tertahan. Kali ini seekor kera besar membuatku penasaran.

Dia begitu gempal. Pitak menghiasi sekujur tubuhnya. Kera itu pasti telah melalui hidup yang tak mudah. Jambang memanjang di pipinya. Aku yakin umurnya tidak sedikit. Ada aura ganjil yang kurasakan pada kera itu.

Dia memunggungiku, menyendiri, mematung menatap jurang yang menganga di hadapannya.

Apakah gerangan yang dia lamunkan? Apakah banyaknya pejabat negara terjaring operasi tangkap tangan membuatnya tak habis pikir? Atau ia gundah demi mendengar isu full day school yang dilontarkan pak menteri pendidikan? Jangan-jangan dia kecewa lantaran Obama tidak mengunjunginya ketika berlibur di Bali. Misterius. Kurasa hanya Tuhan dan zoologist yang bisa menjawab.

Kulihat sungguh-sungguh, astaga! Ada cacat pada kera itu. Tangan kirinya tak sempurna. Ada bekas cidera di sana. Barangkali didapatnya ketika bertikai dengan kera lain memperebutkan teritorial. Atau memperebutkan betina saat musim kawin? Entahlah.

“Apa?”

Aku tersentak. Mulut kera itu bergerak. Aku toleh sekeliling, tidak ada manusia lagi selain aku. Kera itu bicara!

“Mengapa melihatku seperti itu? Bahagiakah hatimu melihat penderitaanku?”

Kera itu benar-benar bicara padaku. Aku terperangah, merinding, dan tak percaya. Sungguh mustahil!

“Kami di sini jauh sebelum kalian datang. Kami menjaga tempat ini. Mengapa kami diusir?”

“Kami bukan makhluk rendah. Kami mendiami tempat-tempat tinggi nan suci. Kami jero sedahan, bersahabat dengan dewa. Leluhur kami pernah sekuat tenaga membangun Titi Banda, bertaruh nyawa menantang Rahwana, semua demi membela titisan Wisnu: Sri Rama.”

“Kalian datang meminta selamat dan sorga. Kalian sebut diri kalian bakti. Tetapi perilaku dan mulut kalian penuh sampah. Kalian mengotori gunung ini, mencemari rumah kami!”

Aku tak paham benar apa yang digumamkan kera itu, namun, entahlah, ada rasa malu dan bersalah untuk hal yang tak kupahami itu.

Kera itu berbalik. Sorot mata kami beradu. Pernah kudengar larangan kontak mata dengan kera karena hal itu bisa dianggap menantang. Aku berusaha berpaling namun tak kuasa. Mata yang aneh itu seolah menghisapku. Aku lesap masuk ke dalam memorinya, dan secara aneh terlempar ke suatu peristiwa di masa lalu.

Aku terhempas ke sebuah malam, berdiri di suatu tempat di gunung itu. Terdengar letupan peluru senapan angin sahut-menyahut. Kera yang berbicara itu, bersama dua pemimpin kera yang lain, berteriak-teriak dan menggoncang-goncangkan dahan dengan beringas untuk memperingatkan anggota kawanan yang terlelap akan datangnya bahaya. Malam gaduh oleh lengkingan histeris kawanan kera.

Rupanya sekitar enam orang pemburu ditugaskan untuk membedil beberapa kera yang suka berulah. Memang pernah tersiar di surat kabar, kera-kera itu menjadi agresif. Mereka tidak hanya merampas canang, sanggul, kacamata, perhiasan, dan benda-benda lain, tetapi juga mencakar dan menggigit.

Tetapi para juru boros terlanjur kalap. Tangan mereka gatal tak henti mengokang senjata. Semua kera ditembaki membabi-buta. Kera-kera muda yang polos tak luput dibantai. Kera yang berbicara padaku melihat langsung dua temannya, para pemimpin itu, jatuh terkapar ke dasar jurang dengan kepala tertembus mimis. Sungguh tragis.

Saat bidikan senapan pemburu mengarah pada seekor betina, yang sedang mengapit seekor bayi di bawah ketiaknya, kera yang berbicara itu meloncat, menahan laju peluru dengan tubuhnya. Dia jatuh terguling namun selamat karena pelor hanya mengenai tangan kirinya. Ketika dia mendongak, si betina dan si bayi sudah tak terlihat lagi, hingga kini.

Kera itu berlinang air mata. Hatinya terluka. Kawan-kawannya binasa dengan cara yang pahit. Dia merangkak mendekatiku. Tangan kirinya terseret-seret.

“Sudah pahamkah kau kini?” Dia menyeringai. Di bawah sinar bulan kulihat taringnya setajam belati.

Aku hanya terkesima, tak mampu berkata apa-apa.

“Namaku Gok. Aku raja di sini. Sampai kapan pun akan kubawa dendam ini.” Dia menerjangku! Lalu gelap...

Kurasakan tubuhku terayun-ayun. Kubuka mata lalu silau oleh sinar matahari yang menerobos celah dedaunan. Nyeri luar biasa kurasa di tangan dan kaki.

“Daftar korban gigitan kera bertambah. Lain kali jangan pernah berjalan sendirian di belakang,” ujar rekanku prihatin.

Aku berusaha mengingat. Kepalaku pening. Iya, Gok menyerangku. Dia dendam pada manusia.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar