Minggu, 25 Maret 2018

Mobil Baru Made Merta

BILA ada lomba suami teladan, pasti Made Merta juaranya. Semua unsur-unsur suami yang dapat diandalkan ada pada dirinya.

Sejak perkawinannya sah, seusai dipuput pendeta, Made Merta memang sudah bertekad akan menjadi suami nomor satu, menjadi suami yang selalu menyejukkan hati sang istri.

Tekadnya itu bukanlah omong kosong. Demi meringankan beban sang istri misalnya, Made Merta tak ragu menggarap pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang umumnya dikerjakan kaum hawa. Dari mencuci baju hingga mengurus anak, semua diembannya dengan penuh tanggung jawab.
Made Merta memang suami yang perhatian. Dia ingin sang istri juga punya waktu untuk menyenangkan diri. Toh, sang istri juga bekerja.

Made Merta pun selalu berusaha memenuhi segala keinginan sang istri. Meskipun kantongnya tak tebal, asal bisa bilang, segala kemauan sang istri pasti dituruti.

Untungnya, sang istri juga sosok yang pengertian. Dia tidak pernah meminta hal-hal yang dia tahu suaminya tidak akan mampu memenuhi.

Namun, pada suatu malam menjelang tidur, sang istri berbisik. Katanya, sudah lama dia mengidamkan sebuah mobil. Made Merta terperangah. Dapat uang darimana untuk membeli mobil? Dia berpikir keras dan tidak bisa tidur memikirkan hal itu.

Selama ini Made Merta hidup sederhana. Memiliki mobil tidak termasuk dalam cita-citanya.

Namun setelah direnungkan, masuk akal juga. Belakangan ini mereka sering pulang kampung. Si anak sudah kian besar, tak muat lagi dibonceng naik sepeda motor. Apalagi menempuh perjalanan jauh. Maka mobil memang suatu hal yang harus diupayakan.

Oleh sebab itu, hari-hari berikutnya Made Merta dengan tertib menyisihkan pendapatannya untuk bisa membeli mobil. Seperti kukatakan tadi, Made Merta adalah lelaki yang dapat diandalkan. Mengecewakan istri bukanlah kebiasaannya.

Waktu berjalan, akhirnya Desember, bulan kelahiran sang istri. Uang terkumpul. Diam-diam, Made Merta berangkat ke showroom mobil dan membawa pulang satu sebagai kado ulang tahun. Manis sekali bukan?

“Bu, coba lihat ke sini!” Made Merta sumringah memanggil sang istri, lalu tersenyum puas menunjukkan sebuah mobil gres di depan rumah.

Sang istri terkesiap dan langsung menutup mulutnya yang ternganga. Ekspresinya jelas menunjukkan perasaan antara gembira dan tak percaya. Sang anak juga muncul lalu bersorak-sorak riang. Mereka berangkulan penuh sukacita. Sungguh keluarga kecil yang bahagia.

“Tapi, kita taruh dimana mobil kita, Bu?” Made Merta tiba-tiba ingat bahwa mereka tidak punya garasi.

“Taruh di depan rumah saja. Toh, jalannya cukup besar.”

“Tapi di sana kan tempat mobil Pak Dewa biasa parkir?”

“Ya, di depan itu kan masih lingkungan kita. Lagipula Pak Dewa punya garasi kok.”

Keesokan harinya menjadi debut yang sangat istimewa. Sang istri akan berangkat kerja dan, bak gayung bersambut, di luar hujan turun dengan derasnya. Made Merta dan istrinya tidak mengeluh seperti yang sudah-sudah. Mereka justru bersyukur. Keputusan membeli mobil terasa tepat.

Di tengah kebahagiaan itu, beberapa hari kemudian, terjadilah malapetaka yang membuat Made Merta geram. Matanya melotot, perutnya mendidih. Dia ingin marah, tapi tidak tahu pada siapa. Sebaris baret panjang terpampang di bodi mobil sebelah kanan!

Made Merta kontan emosi. Mobil itu kini sudah menjadi benda paling prestisius--kalau tidak ingin mengatakan sudah seperti anggota keluarga--dan kini seseorang menggoresnya tanpa perasaan.

Dalam kalap, pikirannya sontak tertuju pada anak-anak yang biasa bermain sepeda di depan rumah. Tetapi ada begitu banyak anak-anak, siapa kira-kira yang sudah berani kurang ajar? Apakah Panjul? Alit? Bojes? Atau Lipur?

Panjul, agaknya bukan dia pelakunya. Dia sudah SD kelas 6. Anak seusianya pasti sudah paham bahwa mobil bukanlah barang sembarangan. Dia tidak akan bersepeda di dekat mobil dengan ceroboh dan ugal-ugalan.

Alit, sudah TK besar, juga bukan dia. Dia pemalu dan biasanya duduk di pinggir saja ketika yang lain asyik bermain.

Bojes, anaknya sendiri, lima tahun umurnya. Made Merta sudah menginterogasinya berkali-kali dan dia bersikukuh bilang tidak pernah menyentuh mobil. Barangkali memang bukan dia.

Anak terakhir, Lipur, seusia dengan anaknya. Nah, dia yang paling mungkin. Dialah yang badannya paling bau, jarang mandi, dan tidak pernah memakai sandal!

Pasti dia! Tidak bisa tidak, Lipur pelakunya! Made Merta dilanda keyakinan yang mantap. Dia sudah ingin segera menendang anak itu, namun urung dilakukannya. Atas dasar apa dia menuduh anak itu?

Beberapa hari berikutnya, astaga! Lagi-lagi Made Merta menemukan baret pada bagian mobil yang lain!

Made Merta kian gusar. Pada detik itu ingin sekali dia mengunyah orang dan orang bernasib buruk itu adalah Lipur!

Tetapi tak ada bukti, pun tak ada saksi. Made Merta benci lantaran tak berdaya. Semua kejengkelan itu pun hanya bisa disimpannya dalam-dalam. Bak menyimpan api dalam sekam.

Semenjak kejadian itu Made Merta selalu berprasangka buruk terhadap Lipur. Ketika pot tanaman pecah, atau ketika ada corat-coret di tembok luar rumah, atau ketika tempat sampah terguling sehingga isinya terserak tumpah, Made Merta langsung menuding Lipur biang keladinya.

Apakah karena kumal berarti dia seorang kriminal? Kemarahan yang tak terlampiaskan membuat Made Merta dendam. Dendam membuat Made Merta kehilangan akal sehat.

Tapi tak lama berselang, Made Merta menemukan alasan melampiaskan semua kekesalannya. Ketika itu Lipur bermain dengan sang anak di dalam rumah. Made Merta mendelik. Ingin sekali dia mengusir anak itu, tetapi tidak dilakukannya. Kemudian entah bagaimana ceritanya, Lipur menyenggol gelas di atas meja dan praang…! Gelas itu pecah, persis di depan hidung Made Merta.

Emosi Made Merta meluap. Tanpa panjang kata dia menggampar anak itu dan menjewernya tanpa ampun.

“Makanya pakai mata kalau main!” Ternyata ada sisi kejam tersembunyi dalam diri Made Merta.

Lipur menangis meraung-raung. Besoknya dia tak keluar rumah. Konon, badannya demam, bahkan nyaris kejang. Kasihan benar.

Lantaran tidak enak hati dengan orang tua Lipur, sang istri ingin Made Merta meminta maaf. Tak seharusnya Made Merta keras begitu pada anak-anak. Alih-alih setuju, Made Merta justru menghardik sang istri.

“Tidak usah sok menasihati aku! Bocah tengik itu memang patut diberi pelajaran! Jangan dibela. Ibu tidak tahu apa yang telah dia perbuat pada mobil kita! Bila perlu ku gampar dia lagi tiga kali!”

Sang istri terkejut. Benarkah lelaki di depannya itu Made Merta?

Made Merta yang dikenalnya adalah lelaki terpuji, suri teladan, juga ramah anak macam Kak Seto Mulyadi. Semenjak punya mobil Made Merta berubah. Ternyata sebuah benda bisa begitu cepat mengubah watak manusia. Sang istri miris.

Iya, Made Merta pun merasa dirinya tak lagi sama. Sejak punya mobil, pikirannya selalu cemas, was-was. Sebentar-sebentar dia melompat keluar mengintip mobilnya. Dia takut mobilnya kotor, lecet, atau hilang dicuri orang. Made Merta memang kadang-kadang suka berlebihan.

Lambat laun Made Merta menyadari, ternyata begini rasanya punya mobil: hidup jadi tidak tenteram.

Tetapi mengapa dia yang lebih was-was? Bukankah yang awalnya menginginkan mobil adalah sang istri? Lihat, istrinya tenang-tenang saja. Jangan-jangan, tanpa disadari, dialah yang sebenarnya lebih menginginkan punya mobil ketimbang sang istri.

Hingga akhirnya suatu malam, tak lama setelah kejadian itu, Made Merta pulang dari kondangan. Saking lelahnya, dia tidak langsung masuk rumah dan ketiduran di dalam mobil.

Tak sadar sudah berapa lama dia tertidur, tiba-tiba terdengar suara misterius dari belakang mobil, suara seperti sesuatu digoreskan dengan kasar.

Made Merta membuka mata. Samar-samar dia melihat sesosok manusia!

“Ha… Rasakan lagi! Siapa suruh nyerobot tempat parkirku!” Sosok itu menggumam. Duh, apakah selama ini orang itu pelakunya?

“Hei!” pekik Made Merta kemudian.

Sadar aksinya ketahuan, sosok itu langsung minggat secepat kilat. Made Merta meloncat keluar dari mobil, tapi tidak berusaha mengejar. Dia hanya melongo lantaran takjub. Kendati suasana remang, Made Merta mengenali sosok itu. Orang yang sama sekali tak pernah terpikir olehnya.

“Pak Dewa?” ucapnya setengah tak percaya.

Made Merta tiba-tiba teringat Lipur. Ingin sekali dia memeluk anak lugu lagi polos itu.

Membonceng Rezeki

-Hidup memang sulit, namun selalu ada jalan untuk mereka yang mau berusaha.-

Dalam foto tampak seorang bapak membonceng karung. Begitu besarnya karung membuat bapak yang di belakang tak kebagian tempat  duduk. Namun, mereka tak kehilangan akal. Dengan cemerlang mereka menambahkan papan kayu panjang sehingga motor itu mampu menampung mereka berdua plus karung-karung itu.

Saya memerhatikan bapak-bapak itu dari Sempidi hingga A. Yani Selatan, Minggu (25/03/2018) sore. Sepertinya menuju ke pasar. Tak jelas apa isi karung-karung tersebut. Sepertinya timun, atau terong, atau jagung (?)

Kalau dilihat polisi kena tilang nggak ya? Yang penting tetap hati-hati ya, Pak, dan semoga selamat sampai di tujuan.