Minggu, 17 April 2016

Panggil Aku Sherly (cerpen)


Seandainya tahu kondisi daerah itu macam apa, tentu Suwati tidak akan memutuskan tinggal di sana.  Semua orang maklum dengan reputasi daerah itu. Permukiman gelap nan kelam, sarang kupu-kupu malam, pekerja seks komersial, cewek kafe, perempuan penghibur, dan sejenisnya. Bagi kaum lelaki hidung belang dan bermata keranjang, daerah itu adalah surga.
Orang-orang tahu, tapi Suwati tidak. Ia gadis kampung yang lugu lagi polos. Pergaulannya terbatas dan tidak begitu luas sehingga informasi-informasi semacam itu tak pernah sampai di telinganya.
Niat Suwati hijrah ke kota tak lain dan tak bukan adalah untuk kuliah. Ia ingin dapat menyandang titel ns di depan namanya dan S.Kep. di belakang namanya. Bapaknya, seorang petani tamatan SD, mendukung penuh cita-cita Suwati menjadi seorang tenaga kesehatan. Begitu pula ibunya, adiknya, sepupunya, tetangganya, mantan kekasihnya yang sudah kawin, dagang laklak depan rumah, bahkan sapinya. Sapi itu, yang bobotnya setara dengan sepuluh pemuda, tak menolak ketika digiring ke pasar untuk dijual, uangnya untuk membayar uang pangkal kuliah.
Jarak antara kampung Suwati dengan kampusnya kurang lebih 90 kilometer atau lebih kurang dua jam perjalanan. Setelah menimbang berbagai aspek antara lain jarak, waktu, biaya, kesehatan, keselamatan, kenyamanan, keekonomisan, keefektivan, dan banyak lagi yang tak bisa disebutkan satu-persatu, Suwati akhirnya ngekos. Tak ada yang salah dengan keputusan itu. Hanya saja, ia tak sadar salah memilih tempat kos.
Jangan tanya mengapa di daerah itu banyak perempuan dengan profesi mendebarkan seperti yang disebutkan tadi. Permukiman itu, yang cerah prospek bisnis kos-kosannya, berada persis di tengah-tengah lalu di sekitarnya berkerumun puluhan kafe—legal maupun remang-remang—diskotik, night club, salon dan panti pijat terselubung, dan usaha lain yang beraroma prostitusi. Daerah itu menjadi semacam assembly point atau titik aman dan nyaman berkumpul bagi para pekerja dunia malam. Akses mereka kemana-mana dekat.
Hari pertama tinggal di sana Suwati langsung terpana. Takjub ia melihat perempuan-perempuan berkeliaran di jalanan dengan entengnya, tanpa rasa malu secuil pun, mengenakan pakaian seakan-akan kekurangan kain. Baju ketat dengan bagian leher lebar dan rendah tak jarang dari bahan tipis transparan sengaja untuk mengumbar dua buah keramat. Celana super minimalis atau hot pants yang memang benar-benar hot! Lelaki rabun pun pasti melotot memandangnya.
Seminggu di sana Suwati kian geleng-geleng kepala. Ketika duduk di sebuah warung memesan rujak gula, buahnya campur tanpa ketimun, cabe dua, dia tersedak. Bukan karena kepedasan tapi lantaran gulungan asap tembakau menerobos hidungnya. Tak habis pikir dia demi mengetahui asap polusi nikotin penyebab kanker paru-paru itu tersembur dari mulut bergincu tebal seorang perempuan. Belum lagi melihat tatonya, yang dirajah di area-area tubuh yang tidak sopan jika disebutkan, tambah ia mengelus-elus dada.
Sebulan kemudian Suwati lebih terperanjat. Malam itu ia menerima telepon dari orangtuanya di kampung. Karena sinyal di dalam kamar tidak bersahabat ia bergeser ke luar. Ia berdiri di depan pintu gerbang dan tak sengaja melihat seorang perempuan dengan rambut tergerai bersembunyi dan mendesah di balik rerimbunan semak-semak. Astaganaga!!! Pasti wanita itu berlaku tidak senonoh di situ. Bukan pemirsa, ternyata itu makhluk jadi-jadian sejenis kuntilanak! Suwati lari pontang-panting hingga sandalnya putus lalu menyeruduk kamar.
Semua hal itu membuat Suwati risih, resah, dan terganggu. Ia lahir dan besar di lingkungan religius yang sangat teguh menjaga nilai dan norma agama. Di kampungnya tidak ada perempuan yang bertingkah aneh-aneh. Semuanya bertabiat lurus-lurus saja sesuai apa yang diajarkan dalam Dasa Darma Pramuka.
Lama-kelamaan Suwati sadar tinggal di sana sangat riskan. Dia takut ikut terperosok ke jurang maksiat. Sebuah hal yang sangat mungkin saja terjadi. Ia tidak ingin durhaka terhadap sang kakek yang menamainya Suwati. Konon sang kakek mendapat ilham saat bersemedi di kamar mandi. Bagi Kau yang susah mendapat  ilham, cobalah temukan di kamar mandi. Akhirnya didapatlah nama Suwati, su berarti baik, dan wati akhiran untuk menyebut perempuan. Jadi Suwati? Tak perlulah diuraikan lagi, nenek-nenek ompong pun tahu artinya.
Salah satu keahlian waktu adalah mengecoh. Suwati urung bermigrasi lantaran mulai terbiasa. Hari berganti minggu, minggu berubah bulan, Suwati yang alim tak lagi heran, tak lagi melongo bak kebo mebalih gong menyaksikan apa yang terjadi di sekitarnya.
Kini dia terbiasa melihat cewek berpakaian seadanya, sudah lumrah melirik perempuan merokok, menenggak alkohol, bertato, rambut bersemir macam memedi. Ia pun maklum melihat laki-laki mata keranjang keluar-masuk salon kecantikan perempuan—belakangan Suwati paham salon itu hanyalah kedok.
Dulu Suwati sering jijik ketika menoleh ke butik murahan pinggir jalan, yang bertebaran dekat kosnya, karena manekinnya memamerkan pakaian tidak senonoh, model pakaian yang suka dikenakan pelacur ketika berdinas. Kini tidak lagi, ia sudah berdamai dengan lingkungan.
Dalam rangka memroteksi diri dari pengaruh negatif lingkungan, Suwati tak mau sembarangan berteman. Di tempat kos, dia hanya punya satu teman, tetangganya yang menempati kamar nomor satu, Kak Ina panggilannya. Dialah yang berjasa membantu Suwati beradaptasi. Dengan penghuni lainnya Suwati tidak begitu akrab. Mereka jarang bergaul, pintu dan jendelanya selalu tertutup. Individualisme, itulah salah satu produk budaya perkotaan. Berbeda dengan lingkungan Suwati di kampung, tetangga serasa saudara kandung.
Sepengetahuan Suwati, dua kamar paling ujung juga diisi perempuan, masih muda, single. Suwati menduga, mudah-mudahan dugaan ini salah, kedua perempuan itu bukan perempuan baik-baik alias perempuan nakal. Pekerjaannya tak jelas, sering keluar malam pulang subuh. Yang satunya bahkan terlihat seperti pecandu pil setan. Suwati sering mengintip lelaki yang bertamu berganti-ganti. Ia tidak mau menyapa kedua perempuan itu.
Suwati hanya bergaul dengan Kak Ina, nonton sinetron India dan Turki dengan Kak Ina, pergi ke salon dengan Kak Ina. Insting Suwati, Kak Ina adalah orang yang aman. Gerak-geriknya menyiratkan ia perempuan baik-baik, tidak akan menyesatkan.
Masalah kos kelar, masalah kuliah datang. Masuk semester dua, Suwati ketar-ketir. Mengingat ia tergolong mahasiswa yang berotak lumayan, penyebabnya pasti bukan karena materi kuliah yang runyam.
Sejak cuaca mengalami kekacauan, yaitu musim kemarau dan musim hujan datang tak sesuai aturan, seenaknya saja, petani, termasuk bapak Suwati, tidak bisa maksimal menggarap lahan. Kemarau berkepanjangan, hujan setetes pun tak sudi datang. Anomali, begitu orang-orang dari BMKG menyebutnya. Panen gatot alias gagal total. Kiriman uang tersendat bak kencing penderita batu ginjal. Di sisi lain SPP harus lunas sebelum ujian tengah semester, Suwati panik seperti tikus direndam.
Di tengah kegelisahan yang membekapnya muncul ide untuk mencari kerja.
“Kak Ina, aku mau kerja. Kalau ada lowongan kerja kasi tahu ya.” Suwati berkata pada Kak Ina.
“OK. Mau kerja yang gimana?”
“Maunya sih yang part time, supaya bisa sambil kuliah.”
Kak Ina melirik Suwati dari ujung rambut hingga ujung jempol kaki dengan lagak orang menilai. Air mukanya mengesankan bahwa ia sudah menemukan perkerjaan yang pas untuk Suwati.
“Kerja malam mau?”
“Aku coba dulu deh Kak.”
“Ok, Say. Tunggu kabar nanti malam ya.”
Suwati tersenyum, Kak Ina tersenyum, ada kilatan aneh di matanya.
Malamnya, seperti biasa, kos-kosan sepi senyap bak kuburan. Suwati baru kelar mandi dan hanya mengenakan handuk ketika Kak Ina datang.
“Baru selesai mandi ya, kebetulan sekali.” Kak Ina tersenyum lebar. Agaknya ia membawa kabar bagus buat Suwati.
“Kebetulan apanya, Kak?”
“Aku membawakan pekerjaan buatmu.”
“Serius? Pekerjaan apa, Kak?” Suwati sumringah dan penasaran ingin segera tahu pekerjaan apa yang bisa dilakukannya.
Kak Ina menyamping memberi jalan pada seorang lelaki yang datang dari belakangnya. Lelaki setengah baya yang gaya dan dandanannya mirip pejabat pemda itu langsung masuk ke kamar Suwati membuat Suwati bingung. Laki-laki itu menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan. Lagaknya seperti mandor memeriksa pekerjaan anak buahnya. Lalu ia cengar-cengir menatap tubuh Suwati yang sedikit terbuka, mulus, dan basah. Jelas sekali pikiran kotor telah mencemari kepalanya yang hampir botak.
Suwati memang lugu tapi ia bisa segera membaca situasi. Hanya saja ia tak percaya dengan apa yang ada dibenaknya.  Rasanya seperti menggenggam angin, Kak Ina tak mungkin seperti itu.
“Kak, ini maksudnya apa? Siapa orang ini?” Suwati memastikan apa yang dipikirkannya keliru.
“Tidak usah bingung. Dialah pekerjaanmu. Tenang saja, nikmati, nanti pasti terbiasa.”
Deg! Suwati menutup mulutnya, tubuhnya bergetar, ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari teman baiknya, matanya mulai basah.
“Tidak, Kak, ini pasti bercanda kan?”
Kak Ina menyeringai sejurus kemudian pergi ke kamarnya. Ia menjual Suwati kepada lelaki tengik itu, dia tak lebih dari seorang mucikari.
“Kata Ina kamu lagi butuh uang, aku bisa menyelesaikan masalahmu, tentu setelah kau menyelesaikan tugasmu.”
Si lelaki dengan senyum cabulnya mengeluarkan dompet lalu menghamburkan berlembar-lembar seratus ribuan ke kasur. Suwati yang sebenarnya sudah ingin meloncat kabur entah kenapa urung melakukannya. Hatinya memberontak namun uang itu, yang jumlahnya tak sedikit, menghipnotisnya. Sungguh menggiurkan, mengintimidasi, dan menggoda. Kedua kakinya seolah-olah terpaku di lantai.
Saat itulah dua sosok yang selama ini bersembunyi dalam diri Suwati keluar tergesa-gesa. Sosok pertama, malaikat putih, berteriak-teriak agar Suwati tetap memegang teguh iman. Sosok kedua, setan merah, yang berbinar-binar melihat uang, membisiki Suwati agar tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ketika Suwati memasrahkan tubuhnya di kasur, kita tahu bahwa si malaikat telah ditumpas.
Malam itu, Suwati sadar telah dikhianati. Malam itu, sesuatu yang ditakutkannya terjadi. Seluruh prinsip hidup yang selama ini dipeliharanya lenyap menguap dalam sekejap ibarat alkohol 70% tumpah di meja.
Ironisnya, malam-malam berikutnya, Suwati menerima lagi lelaki di kamarnya. Bahkan dalam semalam bisa tiga sampai empat lelaki. Temannya pun kini bukan hanya Kak Ina. Ia sudah berkawan dengan dua perempuan yang mengisi kamar paling ujung. Suwati paham bahwa apa yang diperbuatnya berisiko kelak diganjar api neraka. Begitulah mahadahsyat kekuatan uang, jangankan Suwati yang notabene rakyat jelata, ketua DPR pun khilaf dibuatnya.

Tidak ada informasi lebih lanjut mengenai kuliah Suwati. Informasi terakhir yang berhembus adalah untuk mengurangi rasa malunya terhadap sang kakek, karena tabiatnya berbanding terbalik dengan nama yang disematkan padanya, dia minta kepada teman-temannya agar berhenti memanggilnya Suwati dan mulai memanggilnya Sherly.

Minggu, 03 April 2016

Pada Sebuah Wawancara (cerpen)


Setelah menerima ijazah, tanda lulus kuliah, aku langsung menyebar lamaran pekerjaan. Tekadku jelas, yaitu kerja. Aku tidak boleh terlalu lama merayakan kebebasan dari kewajiban yang bernama tugas, makalah, presentasi, ujian akhir, dan semacamnya. Kelar kuliah bukan berarti merdeka. Justru pada titik inilah kematangan dan kemandirianku diuji. Posisiku saat ini tak ubahnya anak kangguru yang baru meloncat dari ketiak induknya—berusaha menemukan jati diri di belantara dunia yang sesak oleh persaingan dan marabahaya.
Secepatnya aku harus mendapat pekerjaan sesuai dengan studi mayorku. Selagi ilmuku masih panas berasap bak terang bulan baru keluar dari panggangan. Fresh graduate, itulah kata yang tepat untuk menyebut situasiku saat ini. Segera ingin kuterapkan berupa-rupa teori yang pernah kutelan semasa berkiprah di perguruan tinggi. Teori-teori yang membara memenuhi tempurung kepalaku, meletup-letup, dan menggelegak serupa erupsi gunung berapi.
Aku ingin jadi guru, Kawan. Jadi guru, mulia bukan? Gelar S.Pd cukuplah memberiku wewenang untuk menjadi guru. Gelar yang sering diplesetkan menjadi Sarjana Penuh Derita. Tapi memang benar adanya. Menjadi guru sangatlah jauh dari yang namanya kemewahan, kekayaan, apalagi ketenaran. Padahal tugas yang dibebankan di bahunya amatlah berat: mendidik anak bangsa agar menjadi cerdas dan berguna. Meski begitu, aku tetap ingin menjadi guru, yang jujur, tulus, dan berdedikasi tinggi tentunya.
Segera kukirim lamaran berselip harapan ke sekolah-sekolah. Malamnya sering aku tidak bisa tidur. Jika tidur aku suka mengigau. Aku begitu excited, bergairah, berdebar-debar, gelisah, dan cemas menanti-nanti panggilan.
Dan hari itu tiba, sebuah pesan singkat hinggap di ponselku, bunyinya: selamat sore, berdasarkan  surat lamaran yang Anda kirimkan ke sekolah kami, maka kami mohonkan kehadirannya besok untuk interview dan microteaching, mohon konfirmasinya.
Aih, bahasa yang indah dan tersusun rapi. Apalagi interview dan microteaching, hanya orang-orang terpelajar yang sering menggunakan kata-kata itu. Aku membayangkan orang yang mengirimkan pesan itu pastilah sesosok sekretaris aduhai nan cerdas, berparas teduh seperti penyanyi plus gitaris Sheryl Sheinafia. Aku menerima pesan itu layaknya menerima surat dari cinta pertama, girang tak alang kepalang. Tak perlu membaca dua kali, langsung ku balas: tentu, saya akan datang.
Esoknya aku datang ke sekolah itu, sekolah berlabel internasional, begitu besar dan megah bukan buatan. Di depannya sedang ada pembangunan, mungkin sedang dibuat lab komputer dengan teknologi ter-update atau bisa juga ruang olahraga dengan fasilitas lengkap dan modern.
Sampai di dalam aku kembali terkagum-kagum. Mulutku ternganga seperti kantong semar menunggu mangsa. Koridor yang aku lalui menuju kantor di lantai empat penuh dengan hal-hal yang inspiratif dan sangat edukatif. Murid-muridnya kebanyakan bermata sipit dan berkulit seputih lobak. Sekian menit berada di sana, paling tidak tiga bahasa sudah hilir-mudik di kupingku: bahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin. Para pegawai saling menyapa miss dan mister. Aku tersenyum-senyum geli membayangkan diriku juga disapa mister; Mister Made. Hihi...
Akhirnya sampai juga aku di lantai empat. Oleh seorang pegawai berkaca mata tebal aku diantar menuju sebuah ruangan untuk wawancara. Ternyata ruang kelas dan di sana telah menunggu dua orang wanita.
Wanita pertama memperkenalkan dirinya sebagai Miss Komang, berkacamata, rambut panjang, tidak terlalu tua, dan dia tak lain sang kepala sekolah. Wanita kedua bernama Miss Widya, masih muda, tubuhnya mungil, murah senyum, dan dia yang mengepalai bidang studi Bahasa Indonesia dari SD hingga SMA. Aku sadar kedua wanita itulah yang memegang kendali sepenuhnya atas nasib lamaranku, apakah akan berakhir dengan “Selamat bergabung…”, atau “Maaf, bukan Anda yang kami cari…”. Aku tidak boleh sembarangan di hadapan kedua wanita itu. Aku harus menjaga sikap dan mengesankan mereka bahwa aku memenuhi semua kualifikasi yang mereka butuhkan.
Perihal wawancara dan pengajaran mikro, kedua hal tersebut sebenarnya bukanlah barang baru buatku. Keduanya adalah mata kuliah yang aku dapatkan semasa menempuh pendidikan di institut keguruan, dan bukannya sombong, nilaiku A untuk kedua mata kuliah tersebut. Jika diangkakan empat nilainya, tak kurang. Tetapi ini beda perkara.

Di kampus, jika nilaiku jelek bisa remidi. Akan tetapi, jika dalam wawancara kerja dan microteaching ini aku gagal, risikonya aku akan ditendang dan peluangku dapat kerja kandas lunas, tak bisa diulang. Memikirkan hal itu membuatku jadi gegana alias gelisah, galau, merana seperti warga Kalijodo yang akan digusur tempat tinggalnya.
“Saya sudah membaca CV Anda dan saya sudah langsung tertarik begitu mengetahui Anda lulusan SMP dan SMA terbaik. Tentu perlu usaha yang keras untuk dapat masuk ke sekolah itu, bukan? Dan meskipun perguruan tinggi tempat Anda kuliah tidak begitu populer, tapi saya terkesan dengan nilai dan predikat kelulusan Anda. Bisa Anda ceritakan sedikit.”
Si ibu kepala sekolah memulai wawancara dengan pujian yang melambungkan hatiku. Sebenarnya aku agak tersinggung dengan kata tidak begitu populer. Tahu apa dia tentang kampusku? Tapi aku sadar saat ini tidak mungkin mendebatnya. Wanita di sebelahnya senyum-senyum. Mereka berdua seperti majelis hakim yang terhormat. Aku duduk sendiri di depan kelas, di meja guru, ibarat terdakwa kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur.
“Menurut saya sekolah di mana saja sama, yang terpenting adalah niat untuk belajar. Meskipun sekolahnya bagus, jika tidak ada niat belajar, ya tidak berguna. Tentang nilai, itu baru di atas kertas, prakteklah yang menjawab bagaimana kemampuan seseorang. Nilai tidak sepenuhnya mencerminkan kualitas seseorang. Nilai memang penting akan tetapi proses mendapat nilai itu yang lebih penting. Dengan mendapat nilai tinggi, tidak serta merta membuat saya menjadi pintar. Saya masih terus belajar," kujawab dengan percaya diri. Si ibu kepsek mengangguk-angguk pelan. Aku yakin dia sependapat denganku. Wanita di sebelahnya senyam-senyum.
“Di bidang apa kelebihan Anda dalam pelajaran Bahasa Indonesia? Di sini, kami menuntut setiap guru harus memiliki kelebihan yang spesifik dalam bidang studi yang diampunya sehingga nantinya bisa ditunjuk sebagai pembina ketika ada lomba-lomba yang berkaitan dengan kelebihannya itu.”
Waduh, susah sekali mencari kelebihanku karena sejujurnya aku memang tidak punya kelebihan. Tapi aku segera teringat dengan cerpen yang biasa kubuat.
“Saya biasa membuat cerpen, beberapa pernah dimuat di surat kabar, mungkin itu bisa disebut kelebihan.”
Aku menyombongkan beberapa cerpenku yang pernah mengisi kolom fiksi di koran lokal, meskipun itu sebenarnya berkat campur tangan sang redaktur yang tak lain adalah dosen sastraku.
“Bagus itu. Kami sering mendapat undangan lomba menulis cerpen. Mudah-mudahan Andalah orangnya sehingga nanti bisa membina siswa-siswi kami dalam menulis cerpen.” WUUSH… angin segar bertiup menyejukkan. Aku tersenyum dan mengangguk takzim.
“Coba lihat ini. Ternyata, Anda mulai kuliah setelah enam tahun tamat SMA, kenapa?”
“Iya itu benar, begini ceritanya, setelah tamat SMA saya ingin melanjutkan kuliah akan tetapi tidak bisa sebab tidak ada biaya. Akhirnya saya memutuskan untuk bekerja. Bu Atiri, ibu guru saya yang berhati mulia, yang mencarikan saya pekerjaan. Seiring bergulirnya waktu, mungkin lantaran terlanjur ketagihan memegang uang, pikiran saya berbelok. Keinginan untuk kuliah meredup. Sampai akhirnya saya membaca novel Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Kisah dalam dua novel itu benar-benar menghantam, membangunkan, dan mengingatkan saya bahwa masih ada mimpi-mimpi, yang dulu pernah saya ikrarkan dengan lantang, belum tercapai: mengenyam bangku kuliah kemudian menjadi guru. Dari situ saya mulai mengumpulkan receh demi receh untuk modal kuliah."
“Jadi begitu. Orang tua masih ada?
“Masih. Mereka tidak bisa membiayai pendidikan saya lebih tinggi lagi. Saya masih punya tiga adik yang mesti mereka tanggung kala itu.”
“Jadi begitu. Kalau boleh tahu apa pekerjaan orang tua Anda?”
Aku terhenyak dan termenung. Bukan lantaran tidak punya jawaban melainkan karena malu sebab pekerjaan orang tuaku sangat-sangat-sangat tidak membanggakan. Ibuku hanyalah penjual canang dan bapakku, jika menjadi bandar judi bola adil bisa dikatakan pekerjaan, maka itulah pekerjaannya.
“Judi?” Miss Komang memandangku dengan pandangan tidak percaya, seolah-olah melihat sapi beranak babi.
“Hebat juga ya, bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak, hanya dari hasil judi. Padahal kata orang-orang uang hasil judi pasti telah ngawag. Seperti kata pepatah uang setan dimakan hantu, aluh alih elah ilang. Spekulatif, benar-benar spekulatif…”
Aku tercenung dan tak lagi memperhatikan apa yang dikatakan Miss Komang di depanku. Pertanyaan tentang pekerjaan orang tua menjadi semacam trauma bagiku, mengguncang pikiran, dan sangat sentimental. Pertanyaan itu ibarat air dan aku adalah kabel yang terkelupas. Sontak berhamburan keluar semua emosi dalam diriku. Malu, sedih, kecewa, takut, putus asa, semua yang kurasakan pada masa-masa suram itu terkenang lagi.
Saat itu aku kelas dua SMA. Perekonomian keluargaku benar-benar ambruk setelah polisi mengadakan operasi besar-besaran terhadap penyakit masyarakat, salah satunya judi. Bapakku tak berkutik. Jadilah ibuku tulang punggung keluarga. Namun keuntungan menjual canang tidaklah seberapa, untuk makan saja kurang. Tidak ingin membebani keluarga, dengan perasaan luluh-lantak aku terpaksa berhenti sekolah, mengubur cita-citaku menjadi guru.
Aku mencari pekerjaan, apapun yang penting bisa membawa pulang rupiah. Sempat aku berjualan asongan di stadion Ngurah Rai. Kala itu masih ada Perseden Denpasar yang bermain di divisi utama Liga Indonesia. Adakalanya aku jadi kuli cor bangunan. Pulangnya badanku terasa remuk redam, sekujur telapak tanganku bolong-bolong, seharian pontang-panting mengangkut luluh.
Namun sebulan kemudian dua orang berpakaian PNS datang ke rumahku, yang satu pegawai TU dan satu lagi wali kelasku. Mereka ibarat malaikat pembawa harapan. Mereka menanyakan alasan aku tidak sekolah berhari-hari. Dengan pilu kuceritakan keadaan keluargaku.
“Made, mulai besok kamu datang saja ke sekolah, belajar seperti biasa. Tidak usah merisaukan biaya, sekolah sudah mengurusnya," kata wali kelasku.
Aku menangis bahagia ibarat anak hilang bertemu keluarganya. Esoknya, aku kembali bersekolah dan meninggalkan pekerjaan yang sempat kugeluti. Sebagai pengganti sumber pemasukan, aku mengirim naskah puisi dan karikatur ke majalah pelajar.
“Ehem! Saudara Made, bisa kita lanjutkan?” Ibu Kepsek menyentakanku dari lamunan masa lalu. Dari nada bicaranya jelas sekali ia agak tersinggung karena aku tidak serius menyimak. Wanita di sampingnya senyum-senyum.
“Eh, iya, tentu bisa,” jawabku gelagapan.
Interview-nya saya kira cukup. Sekarang saya ingin melihat Anda microteaching. Silakan.”
Aku berusaha mengendalikan diri. Aku bangkit dan berdiri canggung di tengah, di depan selembar papan tulis putih. Kali ini aku merasa seperti peserta audisi pencarian bakat dan Miss Komang dan Miss Widya sebagai juri-jurinya. Jantungku berdebar dan pyar pikiranku mendadak buyar! Materi yang ingin kusampaikan lenyap dari ingatan, hanyut digulung lamunan.
Aku berusaha rileks meski dalam hati begitu panik. Harus bisa, pikirku. Nilai A yang kudapat harus kupertanggungjawabkan. Tapi dengan otak melompong, jadilah aku berceloteh tak tentu arah, tak jelas apa yang dibahas, aku di depan kelas seperti orang linglung. Tanganku gemetar menggenggam spidol. Tulisanku di papan tulis macam rambut tak disisir, kusut semrawut.
Miss Komang memperlihatkan ekspresi datar saja namun aku tahu persis dia, di dalam hatinya, pasti bosan dan muak. Belum ada sepuluh menit aku sudah disuruh duduk lagi.
“Apa yang baru saja Anda lakukan? Begitukah nanti cara Anda mengajar? Sepertinya saya setuju dengan pendapat Anda bahwa nilai tidak bisa sepenuhnya dijadikan tolok ukur kemampuan seseorang.”
Wajahku pucat bak bocah hendak disunat.
“Melihat penampilan Anda tadi kentara sekali bahwa Anda kurang maksimal, kurang persiapan, kurang menguasai materi, grogi, tidak sistematis, tidak kredibel! Singkat kata, Anda masih perlu banyak latihan.”
Perutku rasanya merosot. Aku takabur dan terlalu percaya diri di awal. Sekarang lihat, inilah yang kuperoleh, diganjar komentar yang sangat pedas dan menusuk. Tak kupungkiri penampilanku memang kacau.
“Saya rasa cukup untuk hari ini. Kami masih akan menyeleksi beberapa orang lagi. Tunggu kabar selanjutnya dari kami.”
Aku tahu tidak akan mendapat kabar. Melihat apa yang aku perbuat barusan wajar jika aku tidak lolos seleksi. Wajahku masam dan badanku lemas saat minta diri keluar dari ruangan. Rasanya seperti minum kopi bercampur sianida. Miss Widya senyum-senyum.

09-Mar-16 (malam Nyepi)