Seandainya tahu kondisi daerah itu macam apa, tentu Suwati tidak akan memutuskan tinggal di sana. Semua orang maklum dengan reputasi daerah itu. Permukiman gelap nan kelam, sarang kupu-kupu malam, pekerja seks komersial, cewek kafe, perempuan penghibur, dan sejenisnya. Bagi kaum lelaki hidung belang dan bermata keranjang, daerah itu adalah surga.
Orang-orang tahu, tapi Suwati tidak. Ia gadis kampung yang lugu lagi polos. Pergaulannya terbatas dan tidak begitu luas sehingga informasi-informasi semacam itu tak pernah sampai di telinganya.
Niat Suwati hijrah ke kota tak lain dan tak bukan adalah untuk kuliah. Ia ingin dapat menyandang titel ns di depan namanya dan S.Kep. di belakang namanya. Bapaknya, seorang petani tamatan SD, mendukung penuh cita-cita Suwati menjadi seorang tenaga kesehatan. Begitu pula ibunya, adiknya, sepupunya, tetangganya, mantan kekasihnya yang sudah kawin, dagang laklak depan rumah, bahkan sapinya. Sapi itu, yang bobotnya setara dengan sepuluh pemuda, tak menolak ketika digiring ke pasar untuk dijual, uangnya untuk membayar uang pangkal kuliah.
Jarak antara kampung Suwati dengan kampusnya kurang lebih 90 kilometer atau lebih kurang dua jam perjalanan. Setelah menimbang berbagai aspek antara lain jarak, waktu, biaya, kesehatan, keselamatan, kenyamanan, keekonomisan, keefektivan, dan banyak lagi yang tak bisa disebutkan satu-persatu, Suwati akhirnya ngekos. Tak ada yang salah dengan keputusan itu. Hanya saja, ia tak sadar salah memilih tempat kos.
Jangan tanya mengapa di daerah itu banyak perempuan dengan profesi mendebarkan seperti yang disebutkan tadi. Permukiman itu, yang cerah prospek bisnis kos-kosannya, berada persis di tengah-tengah lalu di sekitarnya berkerumun puluhan kafe—legal maupun remang-remang—diskotik, night club, salon dan panti pijat terselubung, dan usaha lain yang beraroma prostitusi. Daerah itu menjadi semacam assembly point atau titik aman dan nyaman berkumpul bagi para pekerja dunia malam. Akses mereka kemana-mana dekat.
Hari pertama tinggal di sana Suwati langsung terpana. Takjub ia melihat perempuan-perempuan berkeliaran di jalanan dengan entengnya, tanpa rasa malu secuil pun, mengenakan pakaian seakan-akan kekurangan kain. Baju ketat dengan bagian leher lebar dan rendah tak jarang dari bahan tipis transparan sengaja untuk mengumbar dua buah keramat. Celana super minimalis atau hot pants yang memang benar-benar hot! Lelaki rabun pun pasti melotot memandangnya.
Seminggu di sana Suwati kian geleng-geleng kepala. Ketika duduk di sebuah warung memesan rujak gula, buahnya campur tanpa ketimun, cabe dua, dia tersedak. Bukan karena kepedasan tapi lantaran gulungan asap tembakau menerobos hidungnya. Tak habis pikir dia demi mengetahui asap polusi nikotin penyebab kanker paru-paru itu tersembur dari mulut bergincu tebal seorang perempuan. Belum lagi melihat tatonya, yang dirajah di area-area tubuh yang tidak sopan jika disebutkan, tambah ia mengelus-elus dada.
Sebulan kemudian Suwati lebih terperanjat. Malam itu ia menerima telepon dari orangtuanya di kampung. Karena sinyal di dalam kamar tidak bersahabat ia bergeser ke luar. Ia berdiri di depan pintu gerbang dan tak sengaja melihat seorang perempuan dengan rambut tergerai bersembunyi dan mendesah di balik rerimbunan semak-semak. Astaganaga!!! Pasti wanita itu berlaku tidak senonoh di situ. Bukan pemirsa, ternyata itu makhluk jadi-jadian sejenis kuntilanak! Suwati lari pontang-panting hingga sandalnya putus lalu menyeruduk kamar.
Semua hal itu membuat Suwati risih, resah, dan terganggu. Ia lahir dan besar di lingkungan religius yang sangat teguh menjaga nilai dan norma agama. Di kampungnya tidak ada perempuan yang bertingkah aneh-aneh. Semuanya bertabiat lurus-lurus saja sesuai apa yang diajarkan dalam Dasa Darma Pramuka.
Lama-kelamaan Suwati sadar tinggal di sana sangat riskan. Dia takut ikut terperosok ke jurang maksiat. Sebuah hal yang sangat mungkin saja terjadi. Ia tidak ingin durhaka terhadap sang kakek yang menamainya Suwati. Konon sang kakek mendapat ilham saat bersemedi di kamar mandi. Bagi Kau yang susah mendapat ilham, cobalah temukan di kamar mandi. Akhirnya didapatlah nama Suwati, su berarti baik, dan wati akhiran untuk menyebut perempuan. Jadi Suwati? Tak perlulah diuraikan lagi, nenek-nenek ompong pun tahu artinya.
Salah satu keahlian waktu adalah mengecoh. Suwati urung bermigrasi lantaran mulai terbiasa. Hari berganti minggu, minggu berubah bulan, Suwati yang alim tak lagi heran, tak lagi melongo bak kebo mebalih gong menyaksikan apa yang terjadi di sekitarnya.
Kini dia terbiasa melihat cewek berpakaian seadanya, sudah lumrah melirik perempuan merokok, menenggak alkohol, bertato, rambut bersemir macam memedi. Ia pun maklum melihat laki-laki mata keranjang keluar-masuk salon kecantikan perempuan—belakangan Suwati paham salon itu hanyalah kedok.
Dulu Suwati sering jijik ketika menoleh ke butik murahan pinggir jalan, yang bertebaran dekat kosnya, karena manekinnya memamerkan pakaian tidak senonoh, model pakaian yang suka dikenakan pelacur ketika berdinas. Kini tidak lagi, ia sudah berdamai dengan lingkungan.
Dalam rangka memroteksi diri dari pengaruh negatif lingkungan, Suwati tak mau sembarangan berteman. Di tempat kos, dia hanya punya satu teman, tetangganya yang menempati kamar nomor satu, Kak Ina panggilannya. Dialah yang berjasa membantu Suwati beradaptasi. Dengan penghuni lainnya Suwati tidak begitu akrab. Mereka jarang bergaul, pintu dan jendelanya selalu tertutup. Individualisme, itulah salah satu produk budaya perkotaan. Berbeda dengan lingkungan Suwati di kampung, tetangga serasa saudara kandung.
Sepengetahuan Suwati, dua kamar paling ujung juga diisi perempuan, masih muda, single. Suwati menduga, mudah-mudahan dugaan ini salah, kedua perempuan itu bukan perempuan baik-baik alias perempuan nakal. Pekerjaannya tak jelas, sering keluar malam pulang subuh. Yang satunya bahkan terlihat seperti pecandu pil setan. Suwati sering mengintip lelaki yang bertamu berganti-ganti. Ia tidak mau menyapa kedua perempuan itu.
Suwati hanya bergaul dengan Kak Ina, nonton sinetron India dan Turki dengan Kak Ina, pergi ke salon dengan Kak Ina. Insting Suwati, Kak Ina adalah orang yang aman. Gerak-geriknya menyiratkan ia perempuan baik-baik, tidak akan menyesatkan.
Masalah kos kelar, masalah kuliah datang. Masuk semester dua, Suwati ketar-ketir. Mengingat ia tergolong mahasiswa yang berotak lumayan, penyebabnya pasti bukan karena materi kuliah yang runyam.
Sejak cuaca mengalami kekacauan, yaitu musim kemarau dan musim hujan datang tak sesuai aturan, seenaknya saja, petani, termasuk bapak Suwati, tidak bisa maksimal menggarap lahan. Kemarau berkepanjangan, hujan setetes pun tak sudi datang. Anomali, begitu orang-orang dari BMKG menyebutnya. Panen gatot alias gagal total. Kiriman uang tersendat bak kencing penderita batu ginjal. Di sisi lain SPP harus lunas sebelum ujian tengah semester, Suwati panik seperti tikus direndam.
Di tengah kegelisahan yang membekapnya muncul ide untuk mencari kerja.
“Kak Ina, aku mau kerja. Kalau ada lowongan kerja kasi tahu ya.” Suwati berkata pada Kak Ina.
“OK. Mau kerja yang gimana?”
“Maunya sih yang part time, supaya bisa sambil kuliah.”
Kak Ina melirik Suwati dari ujung rambut hingga ujung jempol kaki dengan lagak orang menilai. Air mukanya mengesankan bahwa ia sudah menemukan perkerjaan yang pas untuk Suwati.
“Kerja malam mau?”
“Aku coba dulu deh Kak.”
“Ok, Say. Tunggu kabar nanti malam ya.”
Suwati tersenyum, Kak Ina tersenyum, ada kilatan aneh di matanya.
Malamnya, seperti biasa, kos-kosan sepi senyap bak kuburan. Suwati baru kelar mandi dan hanya mengenakan handuk ketika Kak Ina datang.
“Baru selesai mandi ya, kebetulan sekali.” Kak Ina tersenyum lebar. Agaknya ia membawa kabar bagus buat Suwati.
“Kebetulan apanya, Kak?”
“Aku membawakan pekerjaan buatmu.”
“Serius? Pekerjaan apa, Kak?” Suwati sumringah dan penasaran ingin segera tahu pekerjaan apa yang bisa dilakukannya.
Kak Ina menyamping memberi jalan pada seorang lelaki yang datang dari belakangnya. Lelaki setengah baya yang gaya dan dandanannya mirip pejabat pemda itu langsung masuk ke kamar Suwati membuat Suwati bingung. Laki-laki itu menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan. Lagaknya seperti mandor memeriksa pekerjaan anak buahnya. Lalu ia cengar-cengir menatap tubuh Suwati yang sedikit terbuka, mulus, dan basah. Jelas sekali pikiran kotor telah mencemari kepalanya yang hampir botak.
Suwati memang lugu tapi ia bisa segera membaca situasi. Hanya saja ia tak percaya dengan apa yang ada dibenaknya. Rasanya seperti menggenggam angin, Kak Ina tak mungkin seperti itu.
“Kak, ini maksudnya apa? Siapa orang ini?” Suwati memastikan apa yang dipikirkannya keliru.
“Tidak usah bingung. Dialah pekerjaanmu. Tenang saja, nikmati, nanti pasti terbiasa.”
Deg! Suwati menutup mulutnya, tubuhnya bergetar, ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari teman baiknya, matanya mulai basah.
“Tidak, Kak, ini pasti bercanda kan?”
Kak Ina menyeringai sejurus kemudian pergi ke kamarnya. Ia menjual Suwati kepada lelaki tengik itu, dia tak lebih dari seorang mucikari.
“Kata Ina kamu lagi butuh uang, aku bisa menyelesaikan masalahmu, tentu setelah kau menyelesaikan tugasmu.”
Si lelaki dengan senyum cabulnya mengeluarkan dompet lalu menghamburkan berlembar-lembar seratus ribuan ke kasur. Suwati yang sebenarnya sudah ingin meloncat kabur entah kenapa urung melakukannya. Hatinya memberontak namun uang itu, yang jumlahnya tak sedikit, menghipnotisnya. Sungguh menggiurkan, mengintimidasi, dan menggoda. Kedua kakinya seolah-olah terpaku di lantai.
Saat itulah dua sosok yang selama ini bersembunyi dalam diri Suwati keluar tergesa-gesa. Sosok pertama, malaikat putih, berteriak-teriak agar Suwati tetap memegang teguh iman. Sosok kedua, setan merah, yang berbinar-binar melihat uang, membisiki Suwati agar tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ketika Suwati memasrahkan tubuhnya di kasur, kita tahu bahwa si malaikat telah ditumpas.
Malam itu, Suwati sadar telah dikhianati. Malam itu, sesuatu yang ditakutkannya terjadi. Seluruh prinsip hidup yang selama ini dipeliharanya lenyap menguap dalam sekejap ibarat alkohol 70% tumpah di meja.
Ironisnya, malam-malam berikutnya, Suwati menerima lagi lelaki di kamarnya. Bahkan dalam semalam bisa tiga sampai empat lelaki. Temannya pun kini bukan hanya Kak Ina. Ia sudah berkawan dengan dua perempuan yang mengisi kamar paling ujung. Suwati paham bahwa apa yang diperbuatnya berisiko kelak diganjar api neraka. Begitulah mahadahsyat kekuatan uang, jangankan Suwati yang notabene rakyat jelata, ketua DPR pun khilaf dibuatnya.
Tidak ada informasi lebih lanjut mengenai kuliah Suwati. Informasi terakhir yang berhembus adalah untuk mengurangi rasa malunya terhadap sang kakek, karena tabiatnya berbanding terbalik dengan nama yang disematkan padanya, dia minta kepada teman-temannya agar berhenti memanggilnya Suwati dan mulai memanggilnya Sherly.