Selasa, 17 April 2018

PARADOKS dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

Hai, jumpa lagi! Kali ini, saya ingin menulis komentar nih pemirsa. Tetapi bukan komentar mengenai suhu politik negeri yang mulai menghangat. Bukan pula komentar perihal banyaknya nyawa melayang akibat miras oplosan. Saya ingin menulis komentar terkait bidang yang saya geluti, yakni Bahasa Indonesia.

Kemarin kan hari terakhir pelaksanaan USBN. Nah, saya ngawas anak-anak ujian. Lantaran duduk melulu tanpa melakukan apa-apa, saya jadi ngantuk. Biar nggak ngantuk, iseng-iseng saya baca tuh sisa soal ujiannya (sebenarnya pengawas nggak boleh baca soal, tapi daripada saya ketiduran, apa boleh buat).

Benar saja, membaca soal membuat ngantuk saya seketika lenyap. Namun setelahnya, pikiran saya justru terganggu. Pasalnya, pertama, banyak soal yang ternyata nggak bisa saya jawab padahal pelajaran anak SMP lho (betapa bodohnya saya). Kedua, banyak sekali kekacauan bahasa yang saya temukan pada naskah soal itu.

Baik, mari kita lupakan masalah saya yang pertama. Tidak saya pungkiri, pengetahuan agama saya memang menyedihkan. Hmm…

Lanjut, mari bicarakan masalah yang kedua. Pada naskah soal tersebut, banyak sekali kesalahan berbahasa ragam tulis yang saya dapati. Kesalahan seperti apa sih? Contohnya ya, banyak menuliskan kata tidak baku. Lalu, tidak menggunakan tanda baca dengan tepat. Ada kata yang seharusnya diawali huruf kapital, ditulis dengan huruf kecil, dan sebaliknya. Penulis soal juga sepertinya tidak paham perbedaan penulisan di- sebagai awalan dan di sebagai kata depan. Banyak sekali, dari awal hingga akhir. Kalau saya sebutkan semua, nanti tulisan ini jadi panjang macam novel. Intinya, naskah soal tersebut menabrak kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar.

Kalau kesalahan-kesalahan tadi ada di tulisan-tulisan pribadi, saya tidak tertarik menanggapi. Tapi ini naskah soal USBN, dokumen resmi, dibaca oleh ribuan siswa sehingga berpeluang dijadikan teladan oleh siswa. Dan lebih miris, ini terjadi di wilayah pendidikan, ruang intelektual, lingkungan yang sepatutnya mengedukasi dan memberi contoh-contoh yang benar berdasarkan ilmu pengetahuan.

Sebagai pengajar bahasa, saya jadi merasa tersia-sia. Saya menyebutnya paradoks dalam pembelajaran bahasa. Saya selalu berbusa memberi pemahaman tentang kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar kepada siswa, dan di saat yang sama mereka disodorkan/dibiasakan dengan bentuk-bentuk yang salah.

Hal ini berarti apa? Hal ini berarti semua pihak hendaknya memahami kaidah berbahasa yang baik dan benar. Tidak hanya ragam ujar, namun juga ragam tulis, terlebih bagi penulis, baik penulis soal, penulis cerpen, penulis buku, penulis berita, maupun penulis lainnya. Selain itu, sebelum disebarluaskan pada khalayak, tulisan, apalagi tulisan resmi, hendaknya diperiksa dan disunting. Jika tidak yakin dengan suntingan sendiri, mintalah orang yang berkompeten untuk menyuntingnya.

Nah pemirsa, itulah kurang lebih komentar yang ingin saya sampaikan dan terakhir saya ingin berpesan, mari gunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar agar bahasa negara kita tersebut tetap ajeg, tak kehilangan wibawa, dan tak kalah dengan bahasa-bahasa asing.

Selasa, 10 April 2018

Rossi Marah Besar dan Satu Pertanyaan Muncul di Kepala Saya



PEBALAP atau PEMBALAP?
Ketika menjemput anak di rumah neneknya, saya selalu menyempatkan diri membaca surat kabar; surat kabar murah yang setiap hari dibeli bapak saya seharga 2.000 rupiah. Maklum, bapak saya sekarang sudah tidak berpenghasilan. Kendati murah, isinya lumayan meriah. Beritanya menarik, rubriknya asik, independen, dan yang spesial, koran tersebut menyediakan dua halaman khusus untuk memberitakan sepak terjang tim sepak bola kebanggaan: Bali United. Oke, tentang korannya segitu dulu ya, saya tidak mau berpanjang lebar. Nanti disangka promosi.

Hal pokok yang ingin saya ceritakan sebenarnya adalah tadi siang (Selasa, 10/04/2018) saya membaca berita menarik di halaman depan surat kabar tersebut. Judulnya “Rossi Marah Besar”. Dari judulnya saja sudah membuat penasaran. Juga ada foto Valentino Rossi, sepupu jauh saya yang jadi pembalap Yamaha, terjatuh bersama motornya yang bernomor 46. Di depannya sedikit, Marc Marques, pembalap Honda, menoleh sembari melambaikan tangan (konon sebagai tanda maaf). Karena ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi, langsung saja saya baca beritanya hingga tuntas.

Rupanya kemarahan besar Rossi seperti yang disebut dalam judul disebabkan Marc Marques menyeruduknya dari belakang sehingga dia terjungkal. Kelakuan Marques tersebut dianggapnya bisa membahayakan pembalap lain yang berada di lintasan. Dari tulisan di koran, ternyata Marques yang menunggang motor bernomor 93 dari awal sudah mencuri perhatian. Ketika start, motornya mati. Dia pun tercecer di belakang. Kemudian, mungkin lantaran hilang konsentrasi dan terlalu bernafsu ingin memperkecil jarak, dia hampir menabrak pembalap-pembalap lain sebelum akhirnya menjatuhkan Rossi. Kontan The Doctor marah besar dan tidak menerima permintaan maaf Marques.

Seusai membaca, saya tidak tenang. Pasalnya, ada sebuah pertanyaan terbit dalam kepala saya. Manakah yang benar, pebalap atau pembalap?

Dalam berita tersebut, penulis menggunakan kata pebalap, alih-alih pembalap. Awalnya saya kira salah ketik alias tipo, namun setelah saya baca hingga habis, kata yang digunakan memang semuanya pebalap.

Saya sendiri cenderung memilih pembalap sebagai bentuk yang benar. Biar yakin, saya buru-buru membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua cetakan kesepuluh tahun 1999 (lawas kan?) punya seorang kawan yang tak kunjung saya kembalikan sampai sekarang. Akhirnya saya temukan di sana tertera: pembalap, adalah nomina, dan artinya adalah orang yang turut dalam lomba adu cepat. Sedangkan pebalap tidak ada. Tuh kan, saya benar.

Mungkin si penulis ingin mengikuti bentuk-bentuk seperti pesepeda, pecatur, pegulat, petenis, pebulu tangkis, dan lain-lain. Semua bentuk itu memang betul. Artinya bentuk pebalap betul juga, dong? Eitts, tunggu dulu.

Dari yang pernah saya baca, kata pembalap bukan diturunkan langsung dari kata balap, melainkan membalap. Sama halnya dengan kata pemberi, pembeli, pembaca, dan pembuat yang diturunkan dari kata-kata memberi, membeli, membaca, dan membuat, bukan dari kata-kata beri, beli, baca, dan buat. Jadi tidak ada kata-kata peberi, pebeli, pebaca, ataupun pebuat.

Sedangkan bentuk-bentuk seperti pesepeda, pecatur, pegulat, petenis, dan pebulu tangkis memang diturunkan langsung dari kata sepeda, catur, gulat, tenis, dan bulu tangkis. Kan tidak lazim kita dengar bentuk menyepeda, menyatur, menggulat, menenis, maupun membulu tangkis. Jika bentuk tersebut memang ada, maka pelakunya akan menjadi penyepeda, penyatur, penggulat, penenis, dan pembulu tangkis.

Jadi, pebalap atau pembalap? Ya, pembalap-lah hehe..

Nah, itu menurut dari apa yang pernah saya pelajari, maaf bila ternyata saya keliru. Atau mungkin ada yang bisa memberi pendapat lain? Boleh tentang balapannya, boleh tentang pembahasan: manakah yang benar, pebalap atau pembalap?


Minggu, 08 April 2018

JADI SALAH SIAPA DONG?



BELOK KANAN - Tampak dua pengendara motor tetap berbelok ke kanan meski sudah ada tanda larangan berbelok ke kanan.

     GAMBAR tersebut saya ambil tadi pagi. Lokasinya di ujung Jalan Tukad Gangga (pertemuan Jalan Tukad Gangga dengan Jalan Tukad Yeh Aya, Renon, Denpasar).

     Saya sedang dalam perjalanan menuju SMK Negeri 2 Denpasar untuk mendampingi siswa mengikuti lomba baca puisi. Saya berhenti sejenak dan menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir, atau lebih tepatnya MUAK dengan bangsa saya sendiri. Apa sebab?


     Coba perhatikan. Pengendara motor dengan seenak perutnya menikung ke kanan padahal jelas-jelas sudah ada larangannya! Plang 'belok kanan dicoret' bahkan bukan cuma satu, tapi dua!!!

     Saya percaya pemerintah sudah dengan sungguh-sungguh, penuh perhitungan, dan kajian meletakkan larangan belok kanan di sana, semuanya demi kenyamanan pengguna jalan, dan para pemotor itu terang-terangan mengkhianatinya. Saya yakin SIM mereka semua PALSU!!!

     Akan tetapi, ketika saya lebih mendekat, saya mendapati ternyata ada satu plang tersembunyi. Agak sulit membaca tulisannya lantaran tertutup rerimbunan daun pohon jambu. Meski demikian, akhirnya saya berhasil juga mengeja huruf-hurufnya. Plang itu berbunyi "KECUALI SEPEDA MOTOR". Nah, lho?
TERSEMBUNYI - Plang bertuliskan "KECUALI SEPEDA MOTOR" tersembunyi di balik rerimbunan daun pohon jambu.
      Duh, ternyata saya yang keliru. Saya sudah menuduh dan mengumpat (di dalam hati) para pemotor yang sejatinya tak bersalah tadi. Mereka tak lain adalah warga yang tertib. Maaf ya, Pak, Bu... hehe

     Pertanyaan yang tersisa sekarang, jika para pemotor tersebut tidak bersalah, siapa dong yang bersalah? Apakah salah mata saya karena tidak melihat tulisan "KECUALI SEPEDA MOTOR"? Apakah salah plang itu karena bersembunyi malu-malu kucing?? Atau salah pohon jambu itu kenapa tumbuh di situ???

Minggu, 01 April 2018

Menjaga Kebersamaan dan Kekeluargaan dengan Magibung

SABAN Saniscara Kliwon wuku Landep atau lebih dikenal dengan sebutan Tumpek Landep, warga Dadya Selingket tumpah ruah memenuhi Pura Dadya Selingket di Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Karangasem. Piodalan pura yang terletak di kaki Gunung Agung tersebut memang jatuh setiap Tumpek Landep. Warga berdatangan dari berbagai daerah, seperti Denpasar, Klungkung, Gianyar, Buleleng untuk melakukan persembahyangan. Nah, ada sebuah tradisi menarik yang masih dipertahankan oleh krama di pura ini, yakni magibung. Yang berasal dari Karangasem pasti sudah tidak asing dengan tradisi yang satu ini.

JAGA TRADISI - Magibung adalah salah satu tradisi di Karangasem yang masih dipertahankan hingga kini.


Magibung dapat diartikan makan bersama-sama dalam satu wadah makanan. Di pura ini, seusai muspa, warga tidak langsung pulang melainkan disilakan magibung di jaba pura. Biasanya, 5 hingga 6 orang membuat kelompok, kemudian duduk menyantap makanan dalam porsi jumbo yang disajikan di atas klakat (bambu yang dianyam, berfungsi serupa nampan). Laki-laki berkelompok dengan laki-laki, perempuan berkelompok dengan perempuan. Menunya, tentu saja makanan tradisional masyarakat Bali: sate dan lawar.

Di Karangasem, magibung tidak hanya digelar pada saat upacara keagamaan di pura. Magibung juga digelar pada kegiatan-kegiatan adat, misalnya nelu bulanin (tiga bulanan), mapandes (potong gigi),  dan pawiwahan (pernikahan).


Tujuan dari magibung adalah untuk memupuk kebersamaan dan kekeluargaan. Selain itu, makan beramai-ramai akan membuat makanan terasa lebih nikmat. Setuju nggak?

KEBERSAMAAN - Magibung untuk menjaga kekeluargaan dan kebersamaan. Tampak beberapa orang magibung usai persembahyangan di Pura Dadya Selingket di Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Karangasem, Sabtu (31/03/2018).

Tapi perlu diketahui, ada aturan tak tertulis
lho ketika magibung di Desa Pidpid. Meskipun sudah kenyang dan selesai makan, jika kelompok lain belum berdiri, kita pun tidak boleh berdiri. Kita harus tetap duduk menunggu yang lain selesai. Dengan kata lain, mulainya barengan, selesainya pun harus barengan. Setelah kelar magibung, barulah warga mepamit alias pulang ke rumah masing-masing.



Sekian tulisan mengenai magibung. Harapannya, semoga tradisi ini tetap lestari. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya ya...
Tonton videonya driki nggih semeton