Hai, jumpa lagi! Kali ini, saya ingin menulis komentar nih pemirsa. Tetapi bukan komentar mengenai suhu politik negeri yang mulai menghangat. Bukan pula komentar perihal banyaknya nyawa melayang akibat miras oplosan. Saya ingin menulis komentar terkait bidang yang saya geluti, yakni Bahasa Indonesia.
Kemarin kan hari terakhir pelaksanaan USBN. Nah, saya ngawas anak-anak ujian. Lantaran duduk melulu tanpa melakukan apa-apa, saya jadi ngantuk. Biar nggak ngantuk, iseng-iseng saya baca tuh sisa soal ujiannya (sebenarnya pengawas nggak boleh baca soal, tapi daripada saya ketiduran, apa boleh buat).
Benar saja, membaca soal membuat ngantuk saya seketika lenyap. Namun setelahnya, pikiran saya justru terganggu. Pasalnya, pertama, banyak soal yang ternyata nggak bisa saya jawab padahal pelajaran anak SMP lho (betapa bodohnya saya). Kedua, banyak sekali kekacauan bahasa yang saya temukan pada naskah soal itu.
Baik, mari kita lupakan masalah saya yang pertama. Tidak saya pungkiri, pengetahuan agama saya memang menyedihkan. Hmm…
Lanjut, mari bicarakan masalah yang kedua. Pada naskah soal tersebut, banyak sekali kesalahan berbahasa ragam tulis yang saya dapati. Kesalahan seperti apa sih? Contohnya ya, banyak menuliskan kata tidak baku. Lalu, tidak menggunakan tanda baca dengan tepat. Ada kata yang seharusnya diawali huruf kapital, ditulis dengan huruf kecil, dan sebaliknya. Penulis soal juga sepertinya tidak paham perbedaan penulisan di- sebagai awalan dan di sebagai kata depan. Banyak sekali, dari awal hingga akhir. Kalau saya sebutkan semua, nanti tulisan ini jadi panjang macam novel. Intinya, naskah soal tersebut menabrak kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar.
Kalau kesalahan-kesalahan tadi ada di tulisan-tulisan pribadi, saya tidak tertarik menanggapi. Tapi ini naskah soal USBN, dokumen resmi, dibaca oleh ribuan siswa sehingga berpeluang dijadikan teladan oleh siswa. Dan lebih miris, ini terjadi di wilayah pendidikan, ruang intelektual, lingkungan yang sepatutnya mengedukasi dan memberi contoh-contoh yang benar berdasarkan ilmu pengetahuan.
Sebagai pengajar bahasa, saya jadi merasa tersia-sia. Saya menyebutnya paradoks dalam pembelajaran bahasa. Saya selalu berbusa memberi pemahaman tentang kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar kepada siswa, dan di saat yang sama mereka disodorkan/dibiasakan dengan bentuk-bentuk yang salah.
Hal ini berarti apa? Hal ini berarti semua pihak hendaknya memahami kaidah berbahasa yang baik dan benar. Tidak hanya ragam ujar, namun juga ragam tulis, terlebih bagi penulis, baik penulis soal, penulis cerpen, penulis buku, penulis berita, maupun penulis lainnya. Selain itu, sebelum disebarluaskan pada khalayak, tulisan, apalagi tulisan resmi, hendaknya diperiksa dan disunting. Jika tidak yakin dengan suntingan sendiri, mintalah orang yang berkompeten untuk menyuntingnya.
Nah pemirsa, itulah kurang lebih komentar yang ingin saya sampaikan dan terakhir saya ingin berpesan, mari gunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar agar bahasa negara kita tersebut tetap ajeg, tak kehilangan wibawa, dan tak kalah dengan bahasa-bahasa asing.