Minggu, 20 Desember 2015

"Kado" Ulang Tahun (cerpen)

(cerpen ini ditulis untuk mengenang keponakan tercinta, Amora Delistha Varalakhsmi)

Aku lahir pada Sabtu, 15 Februari beberapa puluh tahun silam. Secara otomatis 15 Februari selanjutnya adalah hari ulang tahunku. Sebuah hari yang identik dengan perayaan, kue tart, tiup lilin, makan-makan, undangan, kado, dan sebagainya. Selama hidupku aku telah melewati berpuluh-puluh kali tanggal 15 Februari, namun dari yang kuingat, hanya sekali hari kelahiranku tersebut dirayakan. Kalau tidak salah saat itu aku berumur 7 tahun. Selebihnya tidak ada yang istimewa dari tanggal 15 Februari. Di keluargaku memang tidak ada tradisi merayakan hari ulang tahun. Tidak ada kue tart, tidak ada kado, tidak ada ucapan selamat, tidak ada makan-makan, dan seterusnya. Kedua orang tuaku, jangankan merayakan hari ulang tahun,  mereka bahkan tidak ingat tanggal kapan mereka dilahirkan.
Sejak aku menikah tiga tahun yang lalu, banyak hal yang berubah. Hadirnya seorang istri mengubah kebiasaanku menjalani hidup. Salah satu yang berubah adalah dirayakannya hari kelahiranku, hari pertama kali aku menghirup udara di dunia. Istriku membawa kebiasaan merayakan ulang tahun di keluarganya pada kehidupanku. Ternyata merayakan ulang tahun sangat menyenangkan, meskipun kadang cuma dirayakan bertiga, bersama istri dan seorang anak laki-lakiku yang baru berusia setahun sembilan bulan, dan sepotong kue tart kecil. Aku mulai terbiasa meniup lilin, mendapat kado, mendapat ucapan selamat dari kerabat dan sahabat, lewat sms maupun facebook.
Tanggal 15 Februari tahun ini, di tahun kuda kayu ini, semua yang kuceritakan tadi tidak pernah terjadi. Tidak ada perayaan, tidak ada kue tart, tidak ada kado, dan yang paling ironis, tidak ada suka cita. Yang ada justru kesedihan, perasaan teriris, derai air mata, ketakutan akan kehilangan, dan kebencian terhadap takdir. Bagaimana tidak, aku dan kerabat yang lain sedang berharap-harap cemas di depan ruang Paediatric Intensif Care Unit rumah sakit Sanglah mendoakan kesembuhan untuk Amara, keponakanku tersayang. Amara sedang berada pada masa kritisnya. Virus-virus jahanam telah menggerogoti batang otak dari bayi yang masih polos itu. Virus-virus itu, yang entah datang dari mana, mencoba mengambil Amara dari kami.
Amara adalah seorang bayi perempuan yang cantik, pintar, sehat dan lucu. Dia adalah anak pertama dari iparku, kakak istriku. Tanggal 29 Februari tahun ini seharusnya ia berusia setahun tiga bulan, enam bulan lebih muda dari anakku. Kehadirannya sudah sangat diharapkan oleh Ajung dan Dera, orang tuanya yang telah menikah selama 5 tahun. Hal itu membuat Amara sangat disayangi. Semua yang terbaik buat Amara. Bagiku dan istriku, Amara sudah seperti anak sendiri.
Amara masuk rumah sakit sejak seminggu yang lalu. Keluhan awalnya hanya demam, batuk, dan pilek. Saat aku dan istriku menjenguk, Amara masih baik-baik saja, tawanya masih riang dan menggemaskan. Kamipun tidak terlalu khawatir. Namun pada hari ketiga rawat inap, tiba-tiba Amara hilang kesadaran. Ia langsung masuk ICU. Sejak saat itu Amara tidak pernah membuka mata lagi. Tidak pernah bersuara lagi. Kami semua tercengang.
Dokter anak yang merawat Amara mengatakan Amara terjangkit Pnemonia, harapannya untuk sembuh sangat kecil. Virus telah menyebar hingga ke otak. Kalau pun sembuh, Amara tidak bisa normal seperti dulu. Sang dokter tidak ingin memberi harapan terlalu tinggi kepada kami. Bagai disambar petir, kami kaget bukan kepalang. Kami tidak percaya, rasanya  seperti mimpi di siang bolong. Terlebih Ajung dan Dera. Mereka menanggung cobaan yang tak ringan. Aku bisa merasakan betapa hancurnya hati mereka mendengar buah hati mereka semata wayang akan meninggalkan mereka secepat itu. Aku mengerti betapa remuk redam perasaan mereka karena aku juga orangtua yang memiliki anak yang amat kucintai. Hatiku turut teriris ketika melihat sang ibu terkulai tanpa gairah menangis meratapi nasib anaknya yang malang. Air matanya berurai-urai menghanyutkan kasih sayang yang belum lunas ia berikan.
Sang ayah mencoba tegar. Ia tidak ingin menangis. Ia ingin agar putrinya tahu bahwa ayahnya kuat, sehingga putrinya pun bisa kuat melawan penyakitnya. Lalu diputarnya Mantram Gayatri sepanjang waktu. Ia yakin putrinya pasti sembuh, sehat seperti sediakala. Namun betapapun ia mencoba, ia tetap tidak mampu menyembunyikan kesedihan. “Amara, cepat sembuh ya Nak.” suaranya bergetar, “Ayah sangat menyayangi Amara, semua sayang Amara. Semua menunggu Amara di luar, semua berdoa agar Amara cepat sembuh, supaya bisa bermain lagi. Amara harus kuat ya, cepat bangun ya.” Matanya mulai berkaca-kaca, perlahan-lahan air mata mengalir menelusuri masa-masa indah dahulu yang mungkin tidak akan terulang lagi. Lalu ia menggenggam tangan putrinya, “Siang malam ayah bekerja untuk Amara, supaya bisa membeli mainan untuk Amara, supaya Amara senang. Kalau Amara terus seperti ini untuk siapa ayah bekerja?” Sang ayah menelungkupkan kepalanya di sebelah tubuh anakknya lalu menangis terisak-isak.
Hatiku terenyuh mendengar rayuan sang ayah kepada anakknya. Buah hati yang sangat diidam-idamkan sekarang akan pergi. Tak terasa air mataku ikut tumpah tanpa aku perintahkan. Aku menangis dalam diam. Aku merasa begitu bodoh, mengetahui ada keluarga yang akan pergi tapi tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya. Aku benci takdir ini. Lalu aku sadar hanya Tuhanlah yang mampu membantu. Dalam hati aku berdoa.
“Tuhan, selama hidupku, aku merasa sebagai manusia terberuntung di bumi. Tak pernah kutemui kesulitan dalam hidupku. Walau Engkau tidak memberiku harta yang melimpah, itu tidak mengurangi kebahagiaanku selama ini. Kalau boleh memohon sekali lagi, aku mohon Tuhan, berikan saja semua keberuntungan yang kumiliki pada Amara. Tunjukkan keajaibanmu sehingga Amara mampu melawan maut yang ingin menjemputnya.”
“Dan lagi Tuhan, tidakkah Kau tahu hari ini aku berulang tahun? Tidakkah Kau ingin memberikan kado untuk hambaMu yang miskin ini? Aku ingin sebuah kado, berikanlah kesembuhan untuk Amara. Di hari ulang tahunku ini aku banyak mendapat doa panjang umur. Aku tidak akan mengambilnya, aku berikan semua doa itu untuk Amara. Biarlah Amara yang panjang umur. Biarkan Amara merasakan lagi hangatnya kasih sayang kedua orangtuanya.”
Aku terkulai lemas. Aku tidak tega melihat selang-selang melintang di tubuh mungil Amara yang terbujur kaku dan mulai dingin. Wajah dan bibirnya pucat. Lengannya biru-biru ditusuk jarum-jarum suntik. Botol-botol infus menggantung di atasnya. Nafasnya dibantu ventilator. Di kiri-kanannya berdiri alat-alat dengan lampu merah kecil berkedip-kedip dan mengeluarkan suara tit-tit yang menggertak. Juga ada monitor-monitor dengan gambar garis-garis yang selalu berubah-ubah.
Tiba-tiba turun hujan, dinginnya menambah dingin hati kami yang sudah kelu. Seorang perawat keluar dari ruang PICU dan meminta orangtua Amara masuk. Istriku yang juga paramedis ikut masuk. Ternyata Amara telah di ujung waktu. Denyut nadinya sudah tak teraba. Pupilnya membesar. Namun monitor tidak menunjukkan tanda Amara sudah pergi, karena itu dokter dan perawat masih berusaha menyelamatkan Amara. Ajung dan Dera diminta berdoa dan memberi semangat agar Amara kuat. Satu jam bergulat melawan ajal, Amara tidak membaik. Garis-garis pada monitor sesekali flat, lalu bergelombang lagi, lalu flat lagi, lalu bergelombang lagi. Amara mungkin tidak ingin pergi. Ia mungkin masih ingin tinggal dan membahagiakan orangtuanya. Tapi Tuhan tidak mengijinkannya untuk tinggal. Tuhan telah memanggil dan Amara harus pulang.
“Amara, ini mama Nak.” Sang ibu membelai dahi anaknya dan menciumnya. Matanya sembab namun ia sudah tidak menangis lagi. “Mama sangat sayang Amara, mama kangen Amara. Kalau Amara masih sayang mama, masih ingin tinggal, maka Amara harus kuat. Lawan penyakitnya dan kembali pada mama. Tapi kalau Amara sudah tidak kuat menahan sakit ini, kalau Amara memang sudah dipanggil oleh Tuhan, pergilah Amara dengan tenang. Mama dan Ayah sudah ikhlas. Dan satu hal yang harus Amara tahu, mama dan ayah akan tetap sayang Amara sampai kapanpun.” Aku melihat ketegaran dan ketabahan seorang ibu yang hatinya telah hancur berkeping-keping menerima kenyataan yang pahit. Seakan didengar, sesaat setelahnya garis pada monitor berubah flat, tidak bergelombang lagi, terus saja flat diiringi suara tiiitt panjang yang berarti duka, terdengar sangat memilukan, menyayat-nyayat hati semua kerabat dan sahabat. Semua menangisi kepergian Amara lalu berangkulan membagi kesedihan yang teramat sangat, yang tak kan mampu ditanggung sendiri.
Aku sendiri tersungkur di lantai. Tuhan tidak mengabulkan doaku. Air mata tak mau berhenti keluar dari mataku. Belum pernah aku merasakan sedih sesedih ini. Amara dikeluarkan dari ruang PICU, terbaring di dalam sebuah boks bayi menuju ruang jenazah. Kusingkap kelambu yang menutupinya. Raut wajahnya sedih. Mungkin sebenarnya ia juga tak sampai hati meninggalkan orang tuanya. Semua mendekat dan menciumi Amara untuk terakhir kalinya.
Sampai di ruang jenazah kami masih berkumpul menunggu mobil yang akan membawa jenazah Amara pulang ke rumah. Sang ibu mengambil tubuh anaknya. Ia tidak ingin anaknya kedinginan. Didekapnya erat-erat tubuh mungil itu lalu digoyang-goyang pelan sambil bersenandung kecil seperti yang biasa ia lakukan ketika menidurkan anaknya. Pantatnya ditepuk-tepuk lembut penuh rasa rindu, poninya dielus-elus agar rapi. Siapapun tak akan tega melihat pemandangan yang mengharu biru itu.

Hari ini, Kamis 20 Februari. Pada sore yang kelabu ini aku berdiri di pinggir sungai bersama istri dan anakku serta kerabat dan warga banjar lainnya. Prosesi nganyud sebagai rangkaian terakhir dari upacara ngelungah baru saja usai. Sampai detik ini aku masih tidak percaya dengan kenyataan yang terjadi. Aku masih memandang lekat ujung sungai yang mengantarkan Amara kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Ia sudah tidak sakit lagi dan sekarang sudah mendapat tempat yang baik bersama-Nya. Kado ulang tahun ini tak akan bisa kulupakan. Amor ring acintya Amara.

Minggu, 06 Desember 2015

Negeri Asap (cerpen)

Namaku Naya. Umurku 12 tahun. Aku adalah penduduk negeri asap. Kau belum tahu negeri asap? Jangan bohong, Kau pasti tahu. Negeriku sangat terkenal, belakangan ini sering muncul di tv. Bukan karena keindahan alamnya, akan tetapi karena asapnya. Asap yang berasal dari pembakaran ladang, lahan, dan hutan. Asap yang menyelimuti seantero negeri dan membuatnya seakan-akan berada di awan. Putih kabut di setiap sudut.

Aku sangat senang tinggal di negeri asap, negeri yang sudah aku tinggali semenjak aku lahir. Seingatku dulu negeriku tidak berasap. Lalu terjadi pembakaran lahan yang menimbulkan asap. Sempat hilang, kini berasap lagi. Bahkan kian parah. Orang-orang di sekitarku sudah banyak yang memilih evakuasi ke negeri seberang. Akan tetapi aku tidak, aku bersikeras untuk tetap tinggal.

Aku gembira bermain dengan asap. Asap adalah temanku yang paling setia. Dia tebal, kelam, dan ada dimana-mana. Dia ada saat aku mandi di sungai, berjalan kaki ke sekolah, menyeberang jembatan, bahkan saat aku tidur.

“Asap,” aku berkata pada asap saat ia hadir di mimpiku. “Kau jangan pergi. Berjanjilah untuk tetap di sini. Menemaniku setiap hari.”

“Mengapa kau ingin aku tetap di sini? Orang-orang yang lain justru tidak menghendaki kehadiranku.”

“Siapa yang berkata seperti itu? Aku senang kau ada di sini.”

“Kau aneh. Hanya kau yang senang aku di sini. Mereka yang lain menganggap aku adalah bencana. Aku membawa penderitaan. Mereka berlomba-lomba ingin menyingkirkanku dari negerimu ini.” Lalu asap yang murung itu terbang, memudar, dan menghilang dari mimpiku.

Memang benar, orang-orang sangat membenci asap. Mereka selalu mencaci dan mengatakan hal-hal yang tidak baik tentang asap. Menurut mereka, sejak kedatangan asap, bernafas menjadi sesuatu yang mahal.

Negeri tetangga juga mengeluh saat asap singgah di sana. Katanya asap mengganggu penglihatan, mengacaukan penerbangan, merusak kesehatan, dan bla-bla-bla…

Orang tuaku selalu melarangku bermain di luar rumah saat ada asap. Kalau pun harus keluar, aku wajib memakai masker. Katanya asap mengandung partikel berbahaya yang bisa mengancam keselamatan jika dihirup berlebihan. Katanya lagi, asap itu baunya busuk, sebusuk bau mulut orang-orang rakus yang mengkhianati alam.

Aku tidak sependapat dengan orang tuaku. Bagiku, aroma asap sangat alami. Ada semacam aroma kebebasan. Saat menghirup asap, bisa kurasakan hutan, kayu, daun, dan akar menari-nari kegirangan karena terlepas dari penderitaan di dunia.

Lalu bayi-bayi yang meninggal itu, apakah asap penyebabnya? Tentu tidak. Hal seperti itu bisa terjadi dimana saja. Bukan karena asap ataupun ISPA. Bayi-bayi itu pasti titisan orang-orang baik. Tuhan cepat-cepat memanggil mereka kembali ke sorga karena tidak ingin mereka berlama-lama menderita di mercapada. Bukankah ada filsuf yang mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah sebuah penderitaan?

Asap tidak pernah berjanji akan tetap menemaniku, namun aku tahu dia akan selalu datang. Aku tahu itu dengan pasti. Akan selalu ada orang tidak tahu malu yang berbaik hati membakar hutan dan lahan untuk kepentingan pribadi. Akan selalu ada percikkan api keserakahan dari orang-orang tengik yang ingin meraup keuntungan dengan cara ilegal: menghanguskan paru-paru bumi. Jika sudah begitu, asap pun muncul menemani hari-hariku.

Aku tidak tahu siapa mereka, orang-orang baik itu. Apakah mereka pengusaha, petani, orang kaya, orang asing, atau justru pemerintah? Aku tidak tahu. Tapi aku ingin berterima kasih yang sebesar-besarnya pada mereka. Terima kasih dari hati yang terdalam karena telah menciptakan asap-asap ini. Terima kasih karena telah memberikanku teman yang setia, yang kata ibuku, sewaktu-waktu bisa membunuhku, membunuhmu, membunuh semua orang.

Aku juga ingin berterima kasih karena kemunculan asap ternyata membuka lapangan pekerjaan bagi beberapa orang. Ada yang mendadak menjadi pedagang masker. Ada yang serta-merta membuka apotek. Obat mata,  obat sesak, obat batuk, obat penyakit kulit semua laris manis. Puskesmas juga jadi laku dan tambah ramai. Petugas puskesmas yang biasanya hanya duduk-duduk santai sambil nonton tv kini punya kesibukan. Sungguh bijak tindakan para pembakar hutan dan ladang itu.

Selanjutnya mungkin jangan di negeriku saja, bakarlah hutan dan lahan di negeri sebelah, di negeri tetangga, di seluruh dunia sekalian! Biarkan asap penuh menyelimuti bumi. Setelah itu anak-cucu Kalian tidak lagi mengenal bumi sebagai planet biru melainkan planet kelabu.

Sebarkan asap hingga matahari pun tersedak. Buatlah asap mengepung seluruh negeri. Agar bukan hanya aku yang merasakan kegembiraan adanya asap ini. Agar ada anak-anak lain yang bisa bermain dengan asap. Agar ada anak-anak lain yang mengenakan masker setiap keluar rumah. Agar ada anak-anak lain yang memiliki kesempatan tidak pergi ke sekolah sebab dilarang oleh guru-gurunya di sekolah akibat dari polusi udara yang sudah melewati batas toleransi!

Bakar! Bakar! Bakar saja semua! Buka lahan seluas-luasnya. Tanam kelapa sawit sebanyak-banyaknya. Bangun pabrik setinggi-tingginya. Keruk rupiah sedalam-dalamnya. Sampai Kalian sendiri bisa mati tenggelam di dalamnya. Penuhi keserakahan Kalian. Jangan sisakan ruang untuk oksigen. Jangan pikirkan hewan dan tumbuhan yang kehilangan habitat dan terancam punah. Pikirkan saja perut Kalian yang tak pernah kenyang dan semakin buncit.

(Naya terengah-engah melampiaskan emosinya. Tangannya mengepal. Setetes air mata merambat turun di pipi yang berabu. Sekejap kemudian ia tersenyum kembali.)

Oh ya, aku belum menceritakan tentang sekolahku. Kini aku kelas 5 SD. Dulu aku suka bolos. Bersama beberapa teman aku tidak pergi ke sekolah. Tetapi sekarang aku tidak perlu bolos lagi sebab sekolah sendiri yang melarang kami datang. Aku tidak sedih dengan hal itu. Lagipula aku memang tidak begitu  suka dengan pelajarannya. Aku lebih suka belajar dari alam. Api, tanah, angin, dan air mengajariku tentang banyak hal. Tentang moral, kesederhanaan, kejujuran, dan banyak lagi. Di sekolah, hanya satu pelajaran yang aku suka, yaitu pelajaran mengarang yang diajarkan oleh Pak Su… Su… Ahh, tiba-tiba aku lupa namanya. Nanti kalau aku sudah diperbolehkan ke sekolah lagi, aku ingin mengarang sebuah cerita pendek tentang negeriku ini dan kuberi judul “Negeri Asap”.

Senin, 30 November 2015

DORRR!!! (cerpen)


Hasil gambar untuk police line“Baik Pak Made, pemeriksaan hari ini saya rasa sudah cukup, sekarang Anda bisa pulang, namun jika keterangan Anda saya butuhkan sewaktu-waktu saya harap Anda bisa datang lagi. Terima kasih atas kerjasama Anda.” Seorang petugas kepolisian menjabat tanganku kemudian mengantarku keluar dari sebuah ruangan di Polsek Denpasar Barat. Hari telah sore. Ternyata lama juga aku berada di kantor itu. Setengah berlari aku menuju sepeda motor tuaku di parkiran. Aku ingin cepat-cepat enyah dari tempat itu. Tempat yang berbau kejahatan. Entah kenapa aku merasa tidak nyaman berada di kantor itu, padahal aku hanya menjadi saksi, bukan penjahat seperti lelaki tinggi besar dengan badan penuh tato yang aku lihat tadi. Belakangan aku ketahui ternyata dia ditangkap lantaran ketahuan mencuri satu slop rokok di sebuah mini market. Ya, aku dipanggil oleh pihak kepolisian untuk menjadi saksi. Aku diminta keterangan terkait peristiwa penembakan satpam oleh oknum brimob yang terjadi di depan mata kepalaku beberapa hari yang lalu.
Adalah Briptu Jabrik, penembak satpam yang bertugas menjaga komplek pertokoan di sekitar jalan Teuku Umar. Sebenarnya aku tidak terlalu akrab dengannya tapi aku sering melihatnya melintas di depan tempatku berjualan. Dia, bisa dibilang, adalah orang yang dibayar untuk menjaga keamanan di wilayah komplek. Mungkin itu pekerjaan sampingannya selain menjadi anggota brimob. Sesekali memang dia pernah makan di warungku.  Dari pertemuan yang sesekali itu aku sudah bisa membaca tabiatnya. Dia arogan dan sok berkuasa. Gaya berdirinya berkacak pinggang. Suaranya keras dan kasar. Sorot matanya selalu penuh amarah, seakan-akan hendak memakan orang. Aku yakin orang yang berpapasan dengannya pasti takut menatap matanya. Dia pemabuk kelas berat. Saat malam minggu, hari raya, atau hari libur, dia selalu berkumpul bersama temannya sesama peminum menenggak miras alias minuman keras di sekitar komplek. Saking seringnya mabuk, keringatnya jadi bau alkohol. Jika dia dan teman-temannya sudah mabuk, aku buru-buru menutup warungku. Aku tidak ingin warungku diobrak-abrik dengan alasan ini-itu padahal sebenarnya mereka hanya ingin makan gratis.
Tentang rumah tangganya aku juga tidak terlalu tahu. Dari orang-orang kudengar dia sudah beristri dan anaknya dua, tapi aku tak pernah melihat Briptu Jabrik datang ke komplek bersama istri dan anaknya. Justru dia sering kulihat membonceng wanita-wanita yang selalu berbeda, dengan dandanan seksi seperti penyanyi dangdut. Wanita-wanita itu akan menemani Briptu Jabrik minum hingga teler, setelah teler mereka pergi entah kemana. Dari orang-orang juga kudengar bahwa Briptu Jabrik tidak disukai di lingkungan tempat tinggalnya. Dia suka ngebut di gang rumahnya yang banyak anak-anak. Anak-anak pasti berlari tunggang langgang jika melihatnya. Dia juga suka mengacung-acungkan pistol dengan gaya seperti preman sehingga sering membuat warga resah.
Sedangkan Ronny, satpam yang ditembak Briptu Jabrik adalah orang Flores. Aku sangat mengenalnya. Hampir tiap hari dia makan di warungku. Dia suka menu masakan Bali yang kujual. Dia kos dekat warungku juga sehingga dia suka nongkrong di warungku saat tidak sedang bekerja. Dia masih muda, umurnya 25 tahun. Dia baru dua bulan bekerja di komplek. Seperti orang Flores kebanyakan, Ronny bertubuh agak gelap, tidak terlalu besar namun keras berotot, rambutnya keriting, dan logat bicaranya jelas sekali mencirikan daerahnya. Meski badannya tidak besar, tapi Ronny punya nyali yang besar. Satpam tidak mungkin tidak bernyali. Beberapa hari sebelum ditembak mati oleh Briptu Jabrik, ia sempat meringkus dua pemuda berandal yang hendak mencuri helm di parkiran komplek tempat ia berjaga.
Sebelum bekerja di Bali, Ronny bekerja di Batam, di pabrik ban. Dua tahun dia bekerja di sana. Ketika pabrik ban tersebut bangkrut banyak yang di PHK. Ronny termasuk karyawan yang di PHK. Akhirnya dia memutuskan pulang dulu ke kampung halamannya bertemu dengan istri dan seorang anak laki-lakinya yang baru berumur dua tahun. Sula namanya. Dia sering bercerita tentang anaknya. Terkadang jika istrinya mengirim foto di handphonenya, dia langsung memperlihatkannya padaku. Dia sangat menyayangi anaknya. Suatu ketika dia pernah bercerita bahwa dia ingin membelikan sebuah mainan untuk anaknya, tapi sampai saat ini belum bisa dia lakukan karena uang gajinya kurang. Sedih aku mendengarnya.
Saat hari naas itu terjadi, 3 hari yang lalu, setauku Ronny sedang piket sore. Tapi aku tidak melihatnya. Saat itu tanggal merah karena hari raya jadi kebanyakan kantor tutup. Daganganku sepi. Aku duduk ngopi dan merokok di depan warung. Briptu Jabrik dari tengah hari sudah kulihat minum bersama teman-temannya. Beberapa wanita juga kulihat di sana. Seperti biasa, dandanannya mencirikan mereka pasti bukan wanita baik-baik. Daganganku masih banyak jadi aku tidak ingin buru-buru tutup. Menjelang malam mereka bubar. Suara motor-motorpun menderu memekakkan telinga. Botol-botol ditinggalkan berserakan. Dalam sekejap mereka lenyap entah kemana. Cuma Briptu Jabrik yang lewat di depan warungku. Di pos yang dijaga Ronny dia berhenti.  Tampaknya pos kosong. Kemana gerangan Ronny? Briptu Jabrik berkacak pinggang dan tampak marah. Wajahnya merah, mungkin karena mabuk. Dia menghisap rokok di mulutnya dalam-dalam sampai habis. Apinya membara dan asapnya mengepul tebal seakan-akan menggambarkan hawa kemurkaan yang melanda. Ditendangnya kursi plastik yang ada di depan pos sampai patah jadi tiga. Tak lama kemudian Ronny muncul.
“Anjing!! Kemana Kamu tadi? Kenapa pos dibiarkan kosong?!!” bentak Briptu Jabrik. Matanya mendelik, tangannya mengepal seperti hendak meninju.
“Saya ke toilet Pak. Dari kemarin mencret, jadi bolak-balik ke toilet Pak.” Jawab Ronny polos. Kalau orang lain pasti menunduk tidak berani menatap. Tapi Ronny tidak. Dia menatap Briptu Jabrik dengan tenang. Mungkin merasa ditantang, Briptu Jabrik semakin beringas.
“Kamu menantang saya?!! Jangan sok jagoan Kamu ya!!!” Briptu Jabrik berteriak sambil menunjuk hidung Ronny.
“Tidak Pak, saya bukan jagoan.” Ronny mulai kelihatan agak gentar.
Push up Kamu!!! 100 kali, sekarang!! Cepaatt!!” Briptu Jabrik mulai hilang kesabaran. Aku berdiri kurang lebih 20 meter dari mereka, ragu antara ingin melerai atau kabur. Ternyata beberapa teman Ronny juga ada yang melihat namun takut melerai. Aku lambaikan tangan ke arah Ronny. Aku beri kode dengan maksud agar Ronny tidak melawan. Si briptu sialan itu sangat nekat. Apapun bisa dia lakukan apalagi otaknya dalam pengaruh alkohol. Tapi sayang sekali Ronny tidak melihatku.
“Atas dasar apa Bapak menghukum saya?”
“DORRR!!!” Terdengar suara ledakan.
Moncong pistol Briptu Jabrik berasap. Ternyata pelatuk pistol sudah ditarik. Ronny tersungkur sambil memegang dadanya yang bersimbah darah. Kemudian dia tidak bergerak. Kasihan Ronny. Dia orang baru, dia belum mengenal Briptu Jabrik. Aku terkesima. Orang-orang kaget. Briptu Jabrik mengambil motornya dan pergi secepat kilat. Orang-orang mulai mendekat.

Akhirnya aku tiba di rumah. Aku ceritakan tentang pemeriksaan di polsek tadi kepada istriku. Sejak kejadian itu aku belum membuka warungku. Istriku melarangku. Dia takut statusku yang menjadi saksi membahayakan diriku. Aku tonton di televisi, Briptu Jabrik sudah diamankan. Dia menyerahkan diri di markas brimob tempat dia bertugas. Semua masyarakat berkomentar agar Briptu Jabrik dihukum mati saja karena tingkahnya yang seperti binatang. Atau paling tidak dihukum seumur hiduplah. Ronny yang tewas di tempat saat kejadian, jenasahnya sudah dikirim ke keluarganya di Flores. Kasihan istrinya. Kasihan Sula, dia baru berumur 2 tahun dan harus menjadi yatim.

Minggu, 22 November 2015

Perjalanan ke Pura Luhur Lempuyang (cerpen)



            Denpasar, pukul 17.45 Wita.
Seperti biasa, Mang Ayu datang terlambat. Aku, Menung, Ulum, dan adiknya-Herlin-mulai gelisah menunggu. Sudah 45 menit lewat dari waktu yang disepakati. Gerimis mulai meramaikan Denpasar di sore hari. Sudah dua bulan kami merencanakan perjalanan ini, aku sudah saking semangatnya hingga tak betah lagi menunggu.
Sesaat kemudian muncul sebuah kendaraan di depan kami. Seiring suara klakson, kulihat samar-samar tiga orang di dalamnya. Mereka adalah Mang Ayu, Gus De, dan Mia. Setelah melontarkan sedikit umpatan, kami berebut masuk ke mobil. Dan, seperti biasa lagi, Mang Ayu hanya terkekeh tanpa rasa bersalah.
Tujuan kami jelas: Pura Lempuyang. Mobil mulai merambat menyusuri kota Denpasar yang mulai gelap. Di mobil ini akan ada delapan orang. Di depan ada Mang Ayu, teman sekerjaku, dan Gus De, pacar Mang Ayu sekaligus sopir pada perjalanan ini. Di bagian tengah ada Mia, Ulum, dan Herlin. Sama seperti Mang Ayu, Ulum adalah teman sekerjaku. Herlin adalah adik Ulum dan baru saja menamatkan sekolah menengahnya. Sedangkan Mia adalah tetangga Mang Ayu.
Aku sendiri duduk di bagian belakang bersama Menung. Dulu dia teman sekerjaku, namun sekarang mencoba mencari penghasilan di tempat lain. Belakangan aku tahu ternyata Menung dan Mia satu tempat kerja. Pun Mang Ayu, Ulum, Mia, dan Menung dulunya satu sekolah. Itulah yang membuat kami langsung akrab meski baru sekali berkumpul bersama.
Di utara Pura Jagatnatha, kami berhenti untuk menjemput orang ke delapan. Dia adalah atasanku, yang tentu juga atasannya Ulum, dan Mang ayu. Kami memanggilnya Pak Gede. Seorang bujang yang betah melajang hingga umurnya 34 tahun. Badannya kekar dan perutnya besar. Hobinya adalah makan dan jalan-jalan. Tanyakan padanya tentang kuliner dan obyek wisata, tiga hari tiga malam dia akan meladenimu. Setelah genap semuanya, kembali mobil dipacu menuju Pura Lempuyang.
Kaki Gunung Lempuyang, pukul 20.45 Wita.
Setelah hampir tiga jam perjalanan kami pun sampai di kaki Gunung Lempuyang. Hujan gerimis ternyata mengikuti sampai di sini. Rasa dingin serta merta menjilati tubuhku yang kurus. Seorang bapak berusia 30 tahunan berlari ke arah kami. Alih-alih pecalang ternyata bapak itu adalah tukang suun yang menawarkan jasa membawakan barang atau banten  sampai ke puncak. Berhubung bawaan kami sedikit, kami pun menolaknya. Bapak itu beringsut pergi begitu saja. Langkahnya canggung dan raut mukanya ganjil. Aku merasa agak takut.
Mobil hanya boleh sampai di sini, maka untuk selanjutnya kami harus meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Pura pertama adalah Pura Penataran. Gerimis masih setia menemani membuat Pak Gede mengeluarkan payungnya saat kami menapaki satu persatu anak tangga menuju pura di kaki Gunung Lempuyang ini. Seusai berdoa, gerimis berubah menjadi hujan deras. Sesuatu yang tidak kami bayangkan. Konflik mulai terjadi di antara kami. Mang Ayu yang merasa tidak nyaman pada perutnya ingin agar perjalanan dilanjutkan keesokan harinya. Malam ini makemit  di wantilan saja. Sedangkan aku dan Pak Gede ingin perjalanan ini dilanjutkan. Karena jika dilakukan besok maka rahinan sudah lewat. Selain itu tidak ada yang bisa menjamin bahwa esok tidak akan hujan.
Akhirnya Mang Ayu mengalah. Diambil jalan tengah. Untuk menuju pura berikutnya, Pura Telaga Mas, yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari Pura Penataran, dia dan Gusde akan menumpang ojek.
Aku dan lima orang lainnya berjalan lambat-lambat membelah jalan menanjak beraspal yang gelap. Gerimis turun silih berganti membasahi tubuh. Angin dingin menampar-nampar wajahku hingga ke tulang-tulangku. Tanganku gemetar menahan senter yang kuarahkan menerobos kabut yang pelan-pelan menguasai jalan, menghalau pandangan.
Mia berkali-kali kehilangan sandal licinnya. Dia tidak menyangka akan menempuh perjalanan seperti ini sebab ini adalah kali pertamanya dia ke Lempuyang.
Di tengah suara angin yang bersiut-siut aku mendengar ringisan. Ringisan dari seorang gadis yang ternyata adalah Herlin. Gadis itu membekap tangannya di dada dan langkahnya berat. Berkali-kali aku melihatnya hampir roboh. Kepada kakaknya dia mengeluh tidak mau lanjut. Dia ingin pulang.
Ulum serta merta emosi. Dia sudah mewanti-wanti adiknya untuk tidak ikut karena perjalanan ini tidak akan mudah. Namun Herlin tetap memaksa ikut. Karena itulah Ulum tidak mau menaruh kasihan pada adiknya. Untuk mencairkan suasana, aku, Menung, dan Pak Gede kompak menyemangati Herlin agar bertahan.
Empat puluh menit kemudian kami tiba di Pura Telaga Mas. Terdengar gemericik air karena di sebelahnya adalah beji. Di sebuah warung yang kosong ditinggal pemiliknya kulihat Mang Ayu dan Gus De sudah menunggu. Seusai sembahyang di Pura Telaga Mas kami tidak langsung meneruskan perjalanan. Di sebuah balai tak jauh dari situ kami membongkar perbekalan. Makanan yang kami bawa sebenarnya biasa saja: ketupat, ayam goreng, telur, sate, tempe goreng manis, dan serundeng. Tapi semua terasa nikmat saat dimakan bersama. Perut kenyang, perjalanan kami lanjutkan. Obor dinyalakan karena jalan akan lebih gelap dan dua senter tidak akan cukup.
Gerimis sudah tak terasa lagi namun kabut semakin pekat. Suara angin dan suara binatang malam menemani langkah kami. Sekali-kali aku melihat titik-titik cahaya di antara pepohonan, redup-terang mengintai. Rupanya itu kunang-kunang.
Sebenarnya kami boleh saja memilih jalur aman dan cepat untuk sampai ke puncak. Tapi jika itu dipilih maka kami akan melewatkan tiga pura. Kami tidak ingin kehilangan satu bagian pun, karena itu kami memilih jalur ke kanan di sebuah persimpangan. Jalur ini akan membawa kami ke Pura Telaga Sawangan, Pura Lempuyang Madya, dan Pura Pucak Bisbis. Jalannya sangat tidak bersahabat. Tidak ada anak tangga untuk dipijak. Yang ada adalah jalan setapak yang becek, licin, dan gelap penuh lumpur. Di kiri-kanannya, pohon-pohon berkerosok liar dan mendirikan bulu sekujur tubuh, membayangkan seakan-akan sesuatu akan melompat keluar dan mencabikmu tanpa mampu melawan. Mahkluk itu ada di sekitar kami, mendesis-desis memamerkan taring tajamnya karena terganggu istirahatnya. Mereka adalah primata penghuni Gunung Lempuyang: kera abu-abu.
Lepas dari kepungan kera abu-abu, jangan senang dulu Kawan! Di antara guguran daun yang mulai membusuk terdapat kehidupan. Makhluk kecil, sebiji beras, kenyal, dan menjijikkan, siap menghisap darah di sela-sela jari kakimu, di betismu, bahkan di lehermu! Jangan berdiri terlalu lama di satu tempat atau memegang pohon sembarangan, karena ratusan pacet akan dengan senang hati menempelkan diri, meraba-raba mencari pembuluh darah untuk kemudian disedot hingga tubuhnya kembung sebiji rambutan. Dan sialnya itu menimpa diriku. Dua kali pacet-pacet kenyal itu hinggap di punggung kakiku, memaksaku mendonorkan darah. Aaiiiihhhh!!! Ini bukan soal kehilangan darah. Sejak dulu, entah kenapa, aku sangat takut atau lebih tepatnya jijik dengan hewan-hewan melata yang kecil, merayap, kenyal, dan gelap. Hal serupa dialami Mia dan Gus De. Seekor pacet masing-masing menempel di tangan mereka. Kontan Mia berteriak sembari mengibas-ngibaskan tangannya membabi buta dengan harapan pacet itu terlempar dari tangannya. Namun sia-sia. Laksana Spiderman, pacet itu erat melekat tak bergeming. Mia baru berhenti berteriak setelah Gus De dengan tenang melepas pacet tersebut dengan kayu.
Di tengah kegelisahan kami akan pacet dan kera abu-abu, terjadi hal menggelikan. Ulum yang sejak tadi tampak serius tiba-tiba terpeleset jatuh mencium tanah. Meledaklah tawa di antara kami. Begitu pula Mang Ayu. Ia terjungkal ketika kakinya tidak menemukan pijakan yang pas. Tangannya penuh lumpur. Kainnya tercabik. Kotak yang berisi bekal makanan yang ditenteng Mang Ayu, terlempar. Tumpah ruahlah seluruh isinya. Sendok-sendok berhamburan, dan sepotong besar daging ayam menggelinding entah kemana. Alih-alih menolongnya kami kembali tertawa terbahak-bahak. Mang Ayu hanya bisa tersenyum kecut sembari memunguti benda-benda yang berhamburan.
Akhirnya kami sampai di jalan yang landai yang bermuara di tangga utama. Ini berarti puncak sudah semakin dekat. Mengetahui hal itu, aku makin semangat. Benar saja, beberapa menit berjalan kami sampai di Pura Pasar Agung, pura terakhir sebelum Pura Luhur Lempuyang. Pura dengan nama yang sama juga aku temui di Pura Andakasa dekat Padang Bai sana.
Pura ini dikelilingi warung-warung kosong. Kuat dugaanku warung-warung ini hanya buka saat odalan. Tempat sembahyangnya tidak begitu luas, hanya sepetak tanah yang paling menampung 10-15 orang, mungkin 25 orang kalau dipepet-pepetkan.
Setelah selesai di Pura Pasar Agung, perjalanan dilanjutkan ke pemberhentian terakhir: Pura Luhur Lempuyang. Tak terasa sudah pukul dua pagi. Mataku mulai lelah. Punggungku nyeri dibebani tas yang lumayan berat. Kepalaku pening karena disiram gerimis dari tadi. Langkahku gontai. Aku terhuyung-huyung. Berkali-kali aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Uap tebal menyembur dari mulut dan hidungku layaknya orang merokok.
Mendekati puncak suasana menjadi gaduh. Suara angin bersiut-siut keras menerabas pohon-pohon besar yang tidak aku ketahui namanya. Ranting-rantingnya bergoyang cepat, bergesekan menimbulkan suara gemerosok. Kabut-kabut muncul-tenggelam dihempas angin. Aku menengadah menatap langit. Tidak tampak bintang-bintang. Bulan yang seharusnya bersinar penuh pun enggan muncul. Aku bergidik menahan dingin. Lalu dari balik lebatnya pepohonan aku melihat sinar mencurigakan. Seberkas sinar kuning dari lampu di ketinggian. Aku tak ingin salah lihat. Aku harap ini nyata. Maka aku percepat langkahku menyalip Gus De, Mang Ayu, Ulum, Herlin, Mia, dan Pak Gede yang ada di depanku. Senyumku mengembang menjadi tawa. Aku angkat kedua tanganku tinggi-tinggi laksana peserta balap lari mencapai garis finish. “ Kita sampai!!!!!!!”
Tuntas sudah perjalanan ini. Herlin tampak terharu mendapati dirinya mampu mencapai puncak. Kami puas dan lega meski badan kami remuk redam akibat kelelahan.
Di puncak ini ternyata kami tidak sendiri. Puluhan orang yang tiba lebih dahulu dari kami terlihat menyesaki sebuah bangunan teduh di jaba pura. Beberapa di antaranya tampak masih ngobrol, beberapa yang lain tampak sudah tidur. Untuk menangkal dingin, mereka yang tidur membungkus tubuh mereka dengan kain dari ujung kaki hingga ujung rambut. Persis mayat selesai dimandikan.
Gerimis mulai turun lagi, aku bergegas menyusul yang lain mendaki tangga menuju jeroan Pura Luhur Lempuyang. Beberapa orang yang juga tiba lebih dulu terlihat bersila menghadapi pelinggih suci maha agung ini. Pak Gede, Mia, dan Mang Ayu langsung mempersiapkan banten untuk dipersembahkan ke hadapan Sang Hyang Widhi Sang Pencipta Alam nan mulia.
Akhirnya kami berdelapan mengambil tempat menekuri canang dan dupa masing-masing. Kami memusatkan pikiran meresapi keagungan Tuhan. Kepala kami tertunduk menyadari betapa kecilnya kami di hadapan Beliau.
Lelah, gerimis, hawa dingin, pacet, semua terlepas dari pikiran kami. Yang tersisa hanyalah keinginan melepas semua hal keduniawian dan menyatu dengan Brahman. Nyaring suara genta dan semerbak wangi dupa mengiringi mantra-mantra Puja Tri Sandhya dan Panca Sembah yang seakan menggema hingga ke langit ke tujuh menuju nirwana.


Minggu, 15 November 2015

Malam Pertanda (cerpen)

Malam menjelang tahun baru selalu terasa lebih dingin dibandingkan dengan malam-malam yang lain. Seperti malam ini, dua hari menjelang pergantian tahun, sengatan dingin bagaikan jarum runcing yang menghujam tubuh hingga ke tulang. Angin menghembuskan aroma basah dan lembab. Langit gulita sebab bulan bersekutu dengan gemintang, menyembunyikan diri di balik awan mendung yang setia merintikkan gerimis sejak pagi. Sesekali terdengar gemuruh, menggema seperti dengkur raksasa dalam goa. Selebihnya sunyi, katak pun tak berbunyi. Dunia seakan-akan bungkam, merahasiakan suatu bencana yang kelam.
    Malam itu Rasmin sendirian di rumahnya yang hanya diterangi cahaya lilin. Dua hari sebelumnya petir menghancurkan pembangkit tenaga listrik. Rumah Rasmin terkena pemadaman bergilir. Rasmin menarik selimut sampai ke leher, berusaha menghalau dingin yang meradang. Matanya terpejam dalam kamarnya yang temaram, akan tetapi entah kenapa pikirannya gelisah. Berkali-kali ibu tua itu menggosokkan minyak penghangat pada kakinya yang keriput, mengendus-endus aromanya, yang ia anggap mampu menenteramkan hati. Namun gagal. Gelisah tak kunjung hilang, lelap tak juga datang. Ada apa gerangan, batinnya.
    “Tok, tok, tok.” tiba-tiba terdengar suara ketukan di sela-sela suara rintik hujan, pelan dan ragu. Rasmin terkesiap dan membuka mata. Masih berbaring, ia menajamkan pendengaran, meyakinkan diri bahwa benar ada yang mengetuk pintu rumahnya. Kepalanya diam, hanya bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan.
    “Tok, tok, tok.” suara itu muncul lagi, terdengar sama, pelan dan ragu. Rasmin langsung terduduk, kali ini ia yakin seseorang mengetuk pintu rumahnya. Tapi siapa yang datang pada malam gerimis, gelap, dingin, dan sepi seperti ini? Tak mungkin Mang De. Ia kerja shift malam dan baru akan pulang besok pagi. Setelah mengikat rambutnya yang penuh uban, ia keluar kamar.
    “Siapa?”
    Hening, tak ada yang menyahut.
    “Siapa di luar?” Rasmin mengulang bertanya. Seakan bertanya pada malam,  tak ada balasan. Kemudian ia mengintip dari celah pintu. Keningnya berkerut. Jantungnya berdebar. Ketakutan menjalar di pikirannya. Dalam keremangan ia melihat bayangan sesosok wanita dengan kepala tertunduk berdiri di sana. Rasmin merasa mengenalnya. Pintu dibuka.
    “Ketut?” Rasmin memandang tak percaya pada wanita yang sekarang ada di depannya. Wanita yang tak lain adalah anaknya. “Ketut, kamukah itu? Mengapa datang malam-malam seperti ini? Kau sendirian? Ayo masuk, Nak.” Rasmin menarik lengan wanita itu dan mengundangnya masuk. Keadaannya sangat berantakan. Wanita itu berjalan tertatih-tatih. Rasmin menuntunnya hingga ke ruang makan. Begitu ringan seolah-olah menuntun angin. Mereka berdua kemudian duduk di kursi kayu dibatasi sebuah meja yang juga terbuat dari kayu dengan penerangan lilin di atasnya.
    “Tut, ibu terkejut kamu datang. Kamu dari mana? Kenapa datang tanpa berkabar sebelumnya? Badanmu basah kuyup, kau kehujanan? Kau celaka?” Ketut tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan ibunya. Ia hanya menunduk. Rambutnya penuh pasir, acak-acakkan, dan lepek karena basah. Pakaian kerjanya juga basah. Wajahnya memancarkan suatu keanehan ketika diterpa cahaya lilin. Raut wajah yang menyiratkan sakit, takut, dan sedih. Begitu pucat. Seolah-olah ingin menangis. Badannya menyemburkan aroma asin dan amis. Keadaannya terlihat seakan-akan ia baru saja tercebur ke laut. Tangannya mendekap dada tanda teramat dingin yang dirasakan. Rasmin memperhatikan anaknya dengan bingung. Rasmin mengira Ketut pasti mengalami kecelakaan, akan tetapi tidak ada segores pun luka di tubuhnya. Sungguh misterius.
    “Nak, ada apa denganmu? Tidak seperti biasanya kamu datang tanpa memberi kabar. Dimana suamimu? Apakah kamu ada masalah di tempat kerja? Katakanlah.” Rasmin merasa bingung, heran, sekaligus khawatir melihat keadaan Ketut yang berantakan.
    “Dingin… Dingin, Bu. Dingin sekali....” Ketut akhirnya bicara. Setengah berbisik. Ia menunduk, tangannya bergetar mendekap dada. Suaranya begitu pelan, lemah, dan menggigil.
    “Oh ya Nak, pakaianmu basah, gantilah dulu di kamar. Ibu akan membuatkanmu teh hangat.” Ketut tidak menghiraukan perkataan ibunya. Ia diam membisu. Menunduk dengan tatapan lemah seakan tanpa nafas.
    Rasmin bergegas ke dapur, menjerang air, kemudian menyeduh segelas besar teh hangat. Dalam hatinya berkecamuk banyak pertanyaan. Rasa penasaran menyundul-nyundul hatinya. Ketut tidak mungkin mengambil cuti dan pulang ke Bali menjelang tahun baru karena jadwal kerjanya pasti padat. Kalau pun memang libur, tidak mungkin ia datang pada malam seperti ini, sendirian pula.
    “Minumlah teh ini selagi hangat.” Rasmin menyodorkan teh yang baru ia buat untuk Ketut. Ia melihat Ketut tidak mengganti pakaian. Dengan bimbang ia pergi ke kamar untuk mengambil selimut. Kemudian ia menyelimuti tubuh anaknya. “Tut, kau tidak apa-apa kan? Mengapa kau diam saja, katakanlah sesuatu.” Rasmin menatap wajah Ketut penuh selidik. Ketut tidak menjawab. Rasmin menghela nafas. Ia berdoa semoga anaknya baik-baik saja. “Kalau begitu minum tehmu.” Setelah itu sepi dan diam. Hanya api lilin yang bergoyang-goyang digoda angin yang menyelinap ke dalam rumah. Menari-nari dalam sunyi. Rasmin tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi sementara Ketut diam seribu bahasa. Ia pun diam dan menunggu.
    Ketut adalah anak keempat Rasmin dan ia anak perempuan satu-satunya. Jiwa merantau mengalir dalam darahnya. Setelah tamat SMA, ia pergi ke Jogja untuk melanjutkan kuliah. Setelah lulus kuliah, ia bekerja di Surabaya. Profesi yang ia geluti membuatnya selalu berurusan dengan pilot. Hingga akhirnya ia pun bersuamikan seorang pilot. Meski tinggal di Surabaya, Ketut sering pulang ke Bali, ke tanah leluhurnya, bersama suami dan kedua anaknya. Namun kali ini sangat berbeda. Ketut datang tiba-tiba, seorang diri, pada malam dingin dan bergerimis, dalam keadaan berantakan.
    Waktu terus berjalan, rasa kantuk mulai menghinggapi Rasmin. Menggantung di kelopak mata sehingga terasa berat. Rasmin menyerah, ia mengajak Ketut beristirahat. “Ketut, mungkin kau lelah. Tak mengapa jika kau tidak mau bicara. Ibu juga sudah mengantuk. Sekarang tidurlah dulu. Besok kau harus menceritakan pada ibumu ini apa yang sesungguhnya terjadi. Ayo nak, tidurlah bersama ibu.” Ketut tetap membisu, tidak berkata-kata, mematung tidak bergerak. Wajahnya begitu sendu. Ada tangis yang tertahan, ada cerita yang terpendam, dan misteri yang tersembunyi.
    Rasmin yang tua, Rasmin yang keriput, Rasmin yang khawatir, Rasmin yang penasaran, Rasmin yang malang, ia tertidur di kursi kayu menunggui anaknya. Malam semakin larut dan gelap pekat, lilin meleleh semakin pendek, gerimis belum juga berhenti. Awan-awan mendung bertabrakan mengeluarkan suara gemerudug yang menggema di langit, memainkan tabuh kematian.
    “Krriiiiingg…. Krrriiiinng….!” telepon rumah Rasmin berdering. Lama tak henti-henti. Rasmin terkesiap membuka mata. Jam dinding menunjukkan pukul 7 pagi.
    “Ketut? Ketut mana?” Rasmin bertanya dalam hati. Ia menebarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ketut tidak ada. Hanya ada selimut basah di tempat Ketut duduk semalam dan lilin yang sudah padam tak berbentuk serta segelas besar teh yang sudah dingin di atas meja. Masih penuh, tak berkurang sedikit pun.
    “Krriiiingg… Krriiingg…!” bunyi telepon melengking memanggil-manggil. Rasmin segera mengangkatnya.
    “Halo?” sapa Rasmin dengan suara serak.
    “Bu! Ketut, Bu!” seorang lelaki berteriak dan menangis histeris di telepon seberang.
    “Ini Mang De? Ada apa dengan Ketut, Mang? Kenapa kamu menangis?” Rasmin bertanya dengan gusar. Perasaannya langsung tidak enak. Jantungnya berdegup kencang. Matanya kesana-kemari mencari Ketut. Ia ada di sini tadi malam.
    “Pesawatnya Ketut jatuh ke laut, Bu. Ketut mati, semuanya mati” Mang De menangis meraung-raung.
    Rasmin tidak percaya akan tetapi air mata mulai mengalir dari kedua matanya. “Tidak mungkin, Mang. Tidak mungkin Ketut mati. Dia di sini tadi malam bersama ibu.”
    “Ketut mati, Bu.” Suara tangis Mang De sangat memilukan. Suara tangis kehilangan. Rasmin tidak bertanya lagi. Badannya bergetar. Nafasnya pendek-pendek, dadanya kembang kempis. Tangisnya pun meledak dan air matanya tumpah. Ia jatuh terduduk. Terkulai lemas. Gagang telepon terlepas dari genggamannya.
    “Ketuuut... Tidak mungkin… Tidak mungkin…” Rasmin menangis tersedu sedan meratapi kepergian anaknya yang tiba-tiba, antara sedih dan tak percaya. Lalu siapa yang datang tadi malam? Benar-benar kenyataan yang mengenaskan.
    Seandainya listrik tidak mati tadi malam, Rasmin bisa tahu lebih awal berita buruk itu dari televisi. Sebuah pesawat jatuh di perairan Karimata tadi malam. Cuaca yang buruk diduga sebagai penyebabnya. Semua penumpang dan awak pesawat dinyatakan hilang. Kemungkinan tidak ada yang selamat. Ketut adalah seorang pramugari dan ia ada di dalam pesawat naas itu.