(cerpen ini ditulis untuk mengenang keponakan tercinta, Amora Delistha
Varalakhsmi)
Aku lahir pada Sabtu, 15
Februari beberapa puluh tahun silam. Secara otomatis 15 Februari selanjutnya
adalah hari ulang tahunku. Sebuah hari yang identik dengan perayaan, kue tart, tiup lilin, makan-makan, undangan,
kado, dan sebagainya. Selama hidupku aku telah melewati berpuluh-puluh kali tanggal
15 Februari, namun dari yang kuingat, hanya sekali hari kelahiranku tersebut
dirayakan. Kalau tidak salah saat itu aku berumur 7 tahun. Selebihnya tidak ada
yang istimewa dari tanggal 15 Februari. Di keluargaku memang tidak ada tradisi
merayakan hari ulang tahun. Tidak ada kue tart,
tidak ada kado, tidak ada ucapan selamat, tidak ada makan-makan, dan
seterusnya. Kedua orang tuaku, jangankan merayakan hari ulang tahun, mereka bahkan tidak ingat tanggal kapan mereka
dilahirkan.
Sejak aku menikah tiga
tahun yang lalu, banyak hal yang berubah. Hadirnya seorang istri mengubah kebiasaanku
menjalani hidup. Salah satu yang berubah adalah dirayakannya hari kelahiranku,
hari pertama kali aku menghirup udara di dunia. Istriku membawa kebiasaan
merayakan ulang tahun di keluarganya pada kehidupanku. Ternyata merayakan ulang
tahun sangat menyenangkan, meskipun kadang cuma dirayakan bertiga, bersama
istri dan seorang anak laki-lakiku yang baru berusia setahun sembilan bulan,
dan sepotong kue tart kecil. Aku
mulai terbiasa meniup lilin, mendapat kado, mendapat ucapan selamat dari
kerabat dan sahabat, lewat sms maupun facebook.
Tanggal 15 Februari tahun
ini, di tahun kuda kayu ini, semua yang kuceritakan tadi tidak pernah terjadi.
Tidak ada perayaan, tidak ada kue tart,
tidak ada kado, dan yang paling ironis, tidak ada suka cita. Yang ada justru
kesedihan, perasaan teriris, derai air mata, ketakutan akan kehilangan, dan
kebencian terhadap takdir. Bagaimana tidak, aku dan kerabat yang lain sedang
berharap-harap cemas di depan ruang Paediatric
Intensif Care Unit rumah sakit Sanglah mendoakan kesembuhan untuk Amara,
keponakanku tersayang. Amara sedang berada pada masa kritisnya. Virus-virus
jahanam telah menggerogoti batang otak dari bayi yang masih polos itu.
Virus-virus itu, yang entah datang dari mana, mencoba mengambil Amara dari
kami.
Amara adalah seorang bayi
perempuan yang cantik, pintar, sehat dan lucu. Dia adalah anak pertama dari
iparku, kakak istriku. Tanggal 29 Februari tahun ini seharusnya ia berusia
setahun tiga bulan, enam bulan lebih muda dari anakku. Kehadirannya sudah sangat
diharapkan oleh Ajung dan Dera, orang tuanya yang telah menikah selama 5 tahun.
Hal itu membuat Amara sangat disayangi. Semua yang terbaik buat Amara. Bagiku
dan istriku, Amara sudah seperti anak sendiri.
Amara masuk rumah sakit
sejak seminggu yang lalu. Keluhan awalnya hanya demam, batuk, dan pilek. Saat
aku dan istriku menjenguk, Amara masih baik-baik saja, tawanya masih riang dan
menggemaskan. Kamipun tidak terlalu khawatir. Namun pada hari ketiga rawat
inap, tiba-tiba Amara hilang kesadaran. Ia langsung masuk ICU. Sejak saat itu Amara
tidak pernah membuka mata lagi. Tidak pernah bersuara lagi. Kami semua tercengang.
Dokter anak yang merawat Amara
mengatakan Amara terjangkit Pnemonia, harapannya
untuk sembuh sangat kecil. Virus telah menyebar hingga ke otak. Kalau pun
sembuh, Amara tidak bisa normal seperti dulu. Sang dokter tidak ingin memberi
harapan terlalu tinggi kepada kami. Bagai disambar petir, kami kaget bukan
kepalang. Kami tidak percaya, rasanya seperti mimpi di siang bolong. Terlebih Ajung
dan Dera. Mereka menanggung cobaan yang tak ringan. Aku bisa merasakan betapa
hancurnya hati mereka mendengar buah hati mereka semata wayang akan
meninggalkan mereka secepat itu. Aku mengerti betapa remuk redam perasaan
mereka karena aku juga orangtua yang memiliki anak yang amat kucintai. Hatiku turut
teriris ketika melihat sang ibu terkulai tanpa gairah menangis meratapi nasib
anaknya yang malang. Air matanya berurai-urai menghanyutkan kasih sayang yang
belum lunas ia berikan.
Sang ayah mencoba tegar.
Ia tidak ingin menangis. Ia ingin agar putrinya tahu bahwa ayahnya kuat,
sehingga putrinya pun bisa kuat melawan penyakitnya. Lalu diputarnya Mantram Gayatri sepanjang waktu. Ia
yakin putrinya pasti sembuh, sehat seperti sediakala. Namun betapapun ia
mencoba, ia tetap tidak mampu menyembunyikan kesedihan. “Amara, cepat sembuh ya
Nak.” suaranya bergetar, “Ayah sangat menyayangi Amara, semua sayang Amara.
Semua menunggu Amara di luar, semua berdoa agar Amara cepat sembuh, supaya bisa
bermain lagi. Amara harus kuat ya, cepat bangun ya.” Matanya mulai
berkaca-kaca, perlahan-lahan air mata mengalir menelusuri masa-masa indah dahulu
yang mungkin tidak akan terulang lagi. Lalu ia menggenggam tangan putrinya, “Siang
malam ayah bekerja untuk Amara, supaya bisa membeli mainan untuk Amara, supaya Amara
senang. Kalau Amara terus seperti ini untuk siapa ayah bekerja?” Sang ayah
menelungkupkan kepalanya di sebelah tubuh anakknya lalu menangis terisak-isak.
Hatiku terenyuh mendengar
rayuan sang ayah kepada anakknya. Buah hati yang sangat diidam-idamkan sekarang
akan pergi. Tak terasa air mataku ikut tumpah tanpa aku perintahkan. Aku
menangis dalam diam. Aku merasa begitu bodoh, mengetahui ada keluarga yang akan
pergi tapi tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya. Aku benci takdir
ini. Lalu aku sadar hanya Tuhanlah yang mampu membantu. Dalam hati aku berdoa.
“Tuhan, selama hidupku,
aku merasa sebagai manusia terberuntung di bumi. Tak pernah kutemui kesulitan
dalam hidupku. Walau Engkau tidak memberiku harta yang melimpah, itu tidak
mengurangi kebahagiaanku selama ini. Kalau boleh memohon sekali lagi, aku mohon
Tuhan, berikan saja semua keberuntungan yang kumiliki pada Amara. Tunjukkan
keajaibanmu sehingga Amara mampu melawan maut yang ingin menjemputnya.”
“Dan lagi Tuhan, tidakkah
Kau tahu hari ini aku berulang tahun? Tidakkah Kau ingin memberikan kado untuk
hambaMu yang miskin ini? Aku ingin sebuah kado, berikanlah kesembuhan untuk Amara.
Di hari ulang tahunku ini aku banyak mendapat doa panjang umur. Aku tidak akan
mengambilnya, aku berikan semua doa itu untuk Amara. Biarlah Amara yang panjang
umur. Biarkan Amara merasakan lagi hangatnya kasih sayang kedua orangtuanya.”
Aku terkulai lemas. Aku
tidak tega melihat selang-selang melintang di tubuh mungil Amara yang terbujur
kaku dan mulai dingin. Wajah dan bibirnya pucat. Lengannya biru-biru ditusuk
jarum-jarum suntik. Botol-botol infus menggantung di atasnya. Nafasnya dibantu ventilator. Di kiri-kanannya berdiri
alat-alat dengan lampu merah kecil berkedip-kedip dan mengeluarkan suara tit-tit yang menggertak. Juga ada
monitor-monitor dengan gambar garis-garis yang selalu berubah-ubah.
Tiba-tiba turun hujan,
dinginnya menambah dingin hati kami yang sudah kelu. Seorang perawat keluar
dari ruang PICU dan meminta orangtua Amara masuk. Istriku yang juga paramedis
ikut masuk. Ternyata Amara telah di ujung waktu. Denyut nadinya sudah tak
teraba. Pupilnya membesar. Namun monitor tidak menunjukkan tanda Amara sudah
pergi, karena itu dokter dan perawat masih berusaha menyelamatkan Amara. Ajung
dan Dera diminta berdoa dan memberi semangat agar Amara kuat. Satu jam bergulat
melawan ajal, Amara tidak membaik. Garis-garis pada monitor sesekali flat, lalu bergelombang lagi, lalu flat lagi, lalu bergelombang lagi. Amara
mungkin tidak ingin pergi. Ia mungkin masih ingin tinggal dan membahagiakan
orangtuanya. Tapi Tuhan tidak mengijinkannya untuk tinggal. Tuhan telah
memanggil dan Amara harus pulang.
“Amara, ini mama Nak.”
Sang ibu membelai dahi anaknya dan menciumnya. Matanya sembab namun ia sudah
tidak menangis lagi. “Mama sangat sayang Amara, mama kangen Amara. Kalau Amara
masih sayang mama, masih ingin tinggal, maka Amara harus kuat. Lawan
penyakitnya dan kembali pada mama. Tapi kalau Amara sudah tidak kuat menahan
sakit ini, kalau Amara memang sudah dipanggil oleh Tuhan, pergilah Amara dengan
tenang. Mama dan Ayah sudah ikhlas. Dan satu hal yang harus Amara tahu, mama
dan ayah akan tetap sayang Amara sampai kapanpun.” Aku melihat ketegaran dan
ketabahan seorang ibu yang hatinya telah hancur berkeping-keping menerima
kenyataan yang pahit. Seakan didengar, sesaat setelahnya garis pada monitor
berubah flat, tidak bergelombang
lagi, terus saja flat diiringi suara tiiitt panjang yang berarti duka,
terdengar sangat memilukan, menyayat-nyayat hati semua kerabat dan sahabat.
Semua menangisi kepergian Amara lalu berangkulan membagi kesedihan yang teramat
sangat, yang tak kan mampu ditanggung sendiri.
Aku sendiri tersungkur di
lantai. Tuhan tidak mengabulkan doaku. Air mata tak mau berhenti keluar dari
mataku. Belum pernah aku merasakan sedih sesedih ini. Amara dikeluarkan dari
ruang PICU, terbaring di dalam sebuah boks bayi menuju ruang jenazah. Kusingkap
kelambu yang menutupinya. Raut wajahnya sedih. Mungkin sebenarnya ia juga tak
sampai hati meninggalkan orang tuanya. Semua mendekat dan menciumi Amara untuk
terakhir kalinya.
Sampai di ruang jenazah
kami masih berkumpul menunggu mobil yang akan membawa jenazah Amara pulang ke
rumah. Sang ibu mengambil tubuh anaknya. Ia tidak ingin anaknya kedinginan. Didekapnya
erat-erat tubuh mungil itu lalu digoyang-goyang pelan sambil bersenandung kecil
seperti yang biasa ia lakukan ketika menidurkan anaknya. Pantatnya ditepuk-tepuk
lembut penuh rasa rindu, poninya dielus-elus agar rapi. Siapapun tak akan tega
melihat pemandangan yang mengharu biru itu.
Hari ini, Kamis 20
Februari. Pada sore yang kelabu ini aku berdiri di pinggir sungai bersama istri
dan anakku serta kerabat dan warga banjar
lainnya. Prosesi nganyud sebagai
rangkaian terakhir dari upacara ngelungah
baru saja usai. Sampai detik ini aku masih tidak percaya dengan kenyataan
yang terjadi. Aku masih memandang lekat ujung sungai yang mengantarkan Amara
kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Ia sudah tidak sakit lagi dan sekarang sudah
mendapat tempat yang baik bersama-Nya. Kado ulang tahun ini tak akan bisa
kulupakan. Amor ring acintya Amara.