Senin, 30 November 2015

DORRR!!! (cerpen)


Hasil gambar untuk police line“Baik Pak Made, pemeriksaan hari ini saya rasa sudah cukup, sekarang Anda bisa pulang, namun jika keterangan Anda saya butuhkan sewaktu-waktu saya harap Anda bisa datang lagi. Terima kasih atas kerjasama Anda.” Seorang petugas kepolisian menjabat tanganku kemudian mengantarku keluar dari sebuah ruangan di Polsek Denpasar Barat. Hari telah sore. Ternyata lama juga aku berada di kantor itu. Setengah berlari aku menuju sepeda motor tuaku di parkiran. Aku ingin cepat-cepat enyah dari tempat itu. Tempat yang berbau kejahatan. Entah kenapa aku merasa tidak nyaman berada di kantor itu, padahal aku hanya menjadi saksi, bukan penjahat seperti lelaki tinggi besar dengan badan penuh tato yang aku lihat tadi. Belakangan aku ketahui ternyata dia ditangkap lantaran ketahuan mencuri satu slop rokok di sebuah mini market. Ya, aku dipanggil oleh pihak kepolisian untuk menjadi saksi. Aku diminta keterangan terkait peristiwa penembakan satpam oleh oknum brimob yang terjadi di depan mata kepalaku beberapa hari yang lalu.
Adalah Briptu Jabrik, penembak satpam yang bertugas menjaga komplek pertokoan di sekitar jalan Teuku Umar. Sebenarnya aku tidak terlalu akrab dengannya tapi aku sering melihatnya melintas di depan tempatku berjualan. Dia, bisa dibilang, adalah orang yang dibayar untuk menjaga keamanan di wilayah komplek. Mungkin itu pekerjaan sampingannya selain menjadi anggota brimob. Sesekali memang dia pernah makan di warungku.  Dari pertemuan yang sesekali itu aku sudah bisa membaca tabiatnya. Dia arogan dan sok berkuasa. Gaya berdirinya berkacak pinggang. Suaranya keras dan kasar. Sorot matanya selalu penuh amarah, seakan-akan hendak memakan orang. Aku yakin orang yang berpapasan dengannya pasti takut menatap matanya. Dia pemabuk kelas berat. Saat malam minggu, hari raya, atau hari libur, dia selalu berkumpul bersama temannya sesama peminum menenggak miras alias minuman keras di sekitar komplek. Saking seringnya mabuk, keringatnya jadi bau alkohol. Jika dia dan teman-temannya sudah mabuk, aku buru-buru menutup warungku. Aku tidak ingin warungku diobrak-abrik dengan alasan ini-itu padahal sebenarnya mereka hanya ingin makan gratis.
Tentang rumah tangganya aku juga tidak terlalu tahu. Dari orang-orang kudengar dia sudah beristri dan anaknya dua, tapi aku tak pernah melihat Briptu Jabrik datang ke komplek bersama istri dan anaknya. Justru dia sering kulihat membonceng wanita-wanita yang selalu berbeda, dengan dandanan seksi seperti penyanyi dangdut. Wanita-wanita itu akan menemani Briptu Jabrik minum hingga teler, setelah teler mereka pergi entah kemana. Dari orang-orang juga kudengar bahwa Briptu Jabrik tidak disukai di lingkungan tempat tinggalnya. Dia suka ngebut di gang rumahnya yang banyak anak-anak. Anak-anak pasti berlari tunggang langgang jika melihatnya. Dia juga suka mengacung-acungkan pistol dengan gaya seperti preman sehingga sering membuat warga resah.
Sedangkan Ronny, satpam yang ditembak Briptu Jabrik adalah orang Flores. Aku sangat mengenalnya. Hampir tiap hari dia makan di warungku. Dia suka menu masakan Bali yang kujual. Dia kos dekat warungku juga sehingga dia suka nongkrong di warungku saat tidak sedang bekerja. Dia masih muda, umurnya 25 tahun. Dia baru dua bulan bekerja di komplek. Seperti orang Flores kebanyakan, Ronny bertubuh agak gelap, tidak terlalu besar namun keras berotot, rambutnya keriting, dan logat bicaranya jelas sekali mencirikan daerahnya. Meski badannya tidak besar, tapi Ronny punya nyali yang besar. Satpam tidak mungkin tidak bernyali. Beberapa hari sebelum ditembak mati oleh Briptu Jabrik, ia sempat meringkus dua pemuda berandal yang hendak mencuri helm di parkiran komplek tempat ia berjaga.
Sebelum bekerja di Bali, Ronny bekerja di Batam, di pabrik ban. Dua tahun dia bekerja di sana. Ketika pabrik ban tersebut bangkrut banyak yang di PHK. Ronny termasuk karyawan yang di PHK. Akhirnya dia memutuskan pulang dulu ke kampung halamannya bertemu dengan istri dan seorang anak laki-lakinya yang baru berumur dua tahun. Sula namanya. Dia sering bercerita tentang anaknya. Terkadang jika istrinya mengirim foto di handphonenya, dia langsung memperlihatkannya padaku. Dia sangat menyayangi anaknya. Suatu ketika dia pernah bercerita bahwa dia ingin membelikan sebuah mainan untuk anaknya, tapi sampai saat ini belum bisa dia lakukan karena uang gajinya kurang. Sedih aku mendengarnya.
Saat hari naas itu terjadi, 3 hari yang lalu, setauku Ronny sedang piket sore. Tapi aku tidak melihatnya. Saat itu tanggal merah karena hari raya jadi kebanyakan kantor tutup. Daganganku sepi. Aku duduk ngopi dan merokok di depan warung. Briptu Jabrik dari tengah hari sudah kulihat minum bersama teman-temannya. Beberapa wanita juga kulihat di sana. Seperti biasa, dandanannya mencirikan mereka pasti bukan wanita baik-baik. Daganganku masih banyak jadi aku tidak ingin buru-buru tutup. Menjelang malam mereka bubar. Suara motor-motorpun menderu memekakkan telinga. Botol-botol ditinggalkan berserakan. Dalam sekejap mereka lenyap entah kemana. Cuma Briptu Jabrik yang lewat di depan warungku. Di pos yang dijaga Ronny dia berhenti.  Tampaknya pos kosong. Kemana gerangan Ronny? Briptu Jabrik berkacak pinggang dan tampak marah. Wajahnya merah, mungkin karena mabuk. Dia menghisap rokok di mulutnya dalam-dalam sampai habis. Apinya membara dan asapnya mengepul tebal seakan-akan menggambarkan hawa kemurkaan yang melanda. Ditendangnya kursi plastik yang ada di depan pos sampai patah jadi tiga. Tak lama kemudian Ronny muncul.
“Anjing!! Kemana Kamu tadi? Kenapa pos dibiarkan kosong?!!” bentak Briptu Jabrik. Matanya mendelik, tangannya mengepal seperti hendak meninju.
“Saya ke toilet Pak. Dari kemarin mencret, jadi bolak-balik ke toilet Pak.” Jawab Ronny polos. Kalau orang lain pasti menunduk tidak berani menatap. Tapi Ronny tidak. Dia menatap Briptu Jabrik dengan tenang. Mungkin merasa ditantang, Briptu Jabrik semakin beringas.
“Kamu menantang saya?!! Jangan sok jagoan Kamu ya!!!” Briptu Jabrik berteriak sambil menunjuk hidung Ronny.
“Tidak Pak, saya bukan jagoan.” Ronny mulai kelihatan agak gentar.
Push up Kamu!!! 100 kali, sekarang!! Cepaatt!!” Briptu Jabrik mulai hilang kesabaran. Aku berdiri kurang lebih 20 meter dari mereka, ragu antara ingin melerai atau kabur. Ternyata beberapa teman Ronny juga ada yang melihat namun takut melerai. Aku lambaikan tangan ke arah Ronny. Aku beri kode dengan maksud agar Ronny tidak melawan. Si briptu sialan itu sangat nekat. Apapun bisa dia lakukan apalagi otaknya dalam pengaruh alkohol. Tapi sayang sekali Ronny tidak melihatku.
“Atas dasar apa Bapak menghukum saya?”
“DORRR!!!” Terdengar suara ledakan.
Moncong pistol Briptu Jabrik berasap. Ternyata pelatuk pistol sudah ditarik. Ronny tersungkur sambil memegang dadanya yang bersimbah darah. Kemudian dia tidak bergerak. Kasihan Ronny. Dia orang baru, dia belum mengenal Briptu Jabrik. Aku terkesima. Orang-orang kaget. Briptu Jabrik mengambil motornya dan pergi secepat kilat. Orang-orang mulai mendekat.

Akhirnya aku tiba di rumah. Aku ceritakan tentang pemeriksaan di polsek tadi kepada istriku. Sejak kejadian itu aku belum membuka warungku. Istriku melarangku. Dia takut statusku yang menjadi saksi membahayakan diriku. Aku tonton di televisi, Briptu Jabrik sudah diamankan. Dia menyerahkan diri di markas brimob tempat dia bertugas. Semua masyarakat berkomentar agar Briptu Jabrik dihukum mati saja karena tingkahnya yang seperti binatang. Atau paling tidak dihukum seumur hiduplah. Ronny yang tewas di tempat saat kejadian, jenasahnya sudah dikirim ke keluarganya di Flores. Kasihan istrinya. Kasihan Sula, dia baru berumur 2 tahun dan harus menjadi yatim.

Minggu, 22 November 2015

Perjalanan ke Pura Luhur Lempuyang (cerpen)



            Denpasar, pukul 17.45 Wita.
Seperti biasa, Mang Ayu datang terlambat. Aku, Menung, Ulum, dan adiknya-Herlin-mulai gelisah menunggu. Sudah 45 menit lewat dari waktu yang disepakati. Gerimis mulai meramaikan Denpasar di sore hari. Sudah dua bulan kami merencanakan perjalanan ini, aku sudah saking semangatnya hingga tak betah lagi menunggu.
Sesaat kemudian muncul sebuah kendaraan di depan kami. Seiring suara klakson, kulihat samar-samar tiga orang di dalamnya. Mereka adalah Mang Ayu, Gus De, dan Mia. Setelah melontarkan sedikit umpatan, kami berebut masuk ke mobil. Dan, seperti biasa lagi, Mang Ayu hanya terkekeh tanpa rasa bersalah.
Tujuan kami jelas: Pura Lempuyang. Mobil mulai merambat menyusuri kota Denpasar yang mulai gelap. Di mobil ini akan ada delapan orang. Di depan ada Mang Ayu, teman sekerjaku, dan Gus De, pacar Mang Ayu sekaligus sopir pada perjalanan ini. Di bagian tengah ada Mia, Ulum, dan Herlin. Sama seperti Mang Ayu, Ulum adalah teman sekerjaku. Herlin adalah adik Ulum dan baru saja menamatkan sekolah menengahnya. Sedangkan Mia adalah tetangga Mang Ayu.
Aku sendiri duduk di bagian belakang bersama Menung. Dulu dia teman sekerjaku, namun sekarang mencoba mencari penghasilan di tempat lain. Belakangan aku tahu ternyata Menung dan Mia satu tempat kerja. Pun Mang Ayu, Ulum, Mia, dan Menung dulunya satu sekolah. Itulah yang membuat kami langsung akrab meski baru sekali berkumpul bersama.
Di utara Pura Jagatnatha, kami berhenti untuk menjemput orang ke delapan. Dia adalah atasanku, yang tentu juga atasannya Ulum, dan Mang ayu. Kami memanggilnya Pak Gede. Seorang bujang yang betah melajang hingga umurnya 34 tahun. Badannya kekar dan perutnya besar. Hobinya adalah makan dan jalan-jalan. Tanyakan padanya tentang kuliner dan obyek wisata, tiga hari tiga malam dia akan meladenimu. Setelah genap semuanya, kembali mobil dipacu menuju Pura Lempuyang.
Kaki Gunung Lempuyang, pukul 20.45 Wita.
Setelah hampir tiga jam perjalanan kami pun sampai di kaki Gunung Lempuyang. Hujan gerimis ternyata mengikuti sampai di sini. Rasa dingin serta merta menjilati tubuhku yang kurus. Seorang bapak berusia 30 tahunan berlari ke arah kami. Alih-alih pecalang ternyata bapak itu adalah tukang suun yang menawarkan jasa membawakan barang atau banten  sampai ke puncak. Berhubung bawaan kami sedikit, kami pun menolaknya. Bapak itu beringsut pergi begitu saja. Langkahnya canggung dan raut mukanya ganjil. Aku merasa agak takut.
Mobil hanya boleh sampai di sini, maka untuk selanjutnya kami harus meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Pura pertama adalah Pura Penataran. Gerimis masih setia menemani membuat Pak Gede mengeluarkan payungnya saat kami menapaki satu persatu anak tangga menuju pura di kaki Gunung Lempuyang ini. Seusai berdoa, gerimis berubah menjadi hujan deras. Sesuatu yang tidak kami bayangkan. Konflik mulai terjadi di antara kami. Mang Ayu yang merasa tidak nyaman pada perutnya ingin agar perjalanan dilanjutkan keesokan harinya. Malam ini makemit  di wantilan saja. Sedangkan aku dan Pak Gede ingin perjalanan ini dilanjutkan. Karena jika dilakukan besok maka rahinan sudah lewat. Selain itu tidak ada yang bisa menjamin bahwa esok tidak akan hujan.
Akhirnya Mang Ayu mengalah. Diambil jalan tengah. Untuk menuju pura berikutnya, Pura Telaga Mas, yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari Pura Penataran, dia dan Gusde akan menumpang ojek.
Aku dan lima orang lainnya berjalan lambat-lambat membelah jalan menanjak beraspal yang gelap. Gerimis turun silih berganti membasahi tubuh. Angin dingin menampar-nampar wajahku hingga ke tulang-tulangku. Tanganku gemetar menahan senter yang kuarahkan menerobos kabut yang pelan-pelan menguasai jalan, menghalau pandangan.
Mia berkali-kali kehilangan sandal licinnya. Dia tidak menyangka akan menempuh perjalanan seperti ini sebab ini adalah kali pertamanya dia ke Lempuyang.
Di tengah suara angin yang bersiut-siut aku mendengar ringisan. Ringisan dari seorang gadis yang ternyata adalah Herlin. Gadis itu membekap tangannya di dada dan langkahnya berat. Berkali-kali aku melihatnya hampir roboh. Kepada kakaknya dia mengeluh tidak mau lanjut. Dia ingin pulang.
Ulum serta merta emosi. Dia sudah mewanti-wanti adiknya untuk tidak ikut karena perjalanan ini tidak akan mudah. Namun Herlin tetap memaksa ikut. Karena itulah Ulum tidak mau menaruh kasihan pada adiknya. Untuk mencairkan suasana, aku, Menung, dan Pak Gede kompak menyemangati Herlin agar bertahan.
Empat puluh menit kemudian kami tiba di Pura Telaga Mas. Terdengar gemericik air karena di sebelahnya adalah beji. Di sebuah warung yang kosong ditinggal pemiliknya kulihat Mang Ayu dan Gus De sudah menunggu. Seusai sembahyang di Pura Telaga Mas kami tidak langsung meneruskan perjalanan. Di sebuah balai tak jauh dari situ kami membongkar perbekalan. Makanan yang kami bawa sebenarnya biasa saja: ketupat, ayam goreng, telur, sate, tempe goreng manis, dan serundeng. Tapi semua terasa nikmat saat dimakan bersama. Perut kenyang, perjalanan kami lanjutkan. Obor dinyalakan karena jalan akan lebih gelap dan dua senter tidak akan cukup.
Gerimis sudah tak terasa lagi namun kabut semakin pekat. Suara angin dan suara binatang malam menemani langkah kami. Sekali-kali aku melihat titik-titik cahaya di antara pepohonan, redup-terang mengintai. Rupanya itu kunang-kunang.
Sebenarnya kami boleh saja memilih jalur aman dan cepat untuk sampai ke puncak. Tapi jika itu dipilih maka kami akan melewatkan tiga pura. Kami tidak ingin kehilangan satu bagian pun, karena itu kami memilih jalur ke kanan di sebuah persimpangan. Jalur ini akan membawa kami ke Pura Telaga Sawangan, Pura Lempuyang Madya, dan Pura Pucak Bisbis. Jalannya sangat tidak bersahabat. Tidak ada anak tangga untuk dipijak. Yang ada adalah jalan setapak yang becek, licin, dan gelap penuh lumpur. Di kiri-kanannya, pohon-pohon berkerosok liar dan mendirikan bulu sekujur tubuh, membayangkan seakan-akan sesuatu akan melompat keluar dan mencabikmu tanpa mampu melawan. Mahkluk itu ada di sekitar kami, mendesis-desis memamerkan taring tajamnya karena terganggu istirahatnya. Mereka adalah primata penghuni Gunung Lempuyang: kera abu-abu.
Lepas dari kepungan kera abu-abu, jangan senang dulu Kawan! Di antara guguran daun yang mulai membusuk terdapat kehidupan. Makhluk kecil, sebiji beras, kenyal, dan menjijikkan, siap menghisap darah di sela-sela jari kakimu, di betismu, bahkan di lehermu! Jangan berdiri terlalu lama di satu tempat atau memegang pohon sembarangan, karena ratusan pacet akan dengan senang hati menempelkan diri, meraba-raba mencari pembuluh darah untuk kemudian disedot hingga tubuhnya kembung sebiji rambutan. Dan sialnya itu menimpa diriku. Dua kali pacet-pacet kenyal itu hinggap di punggung kakiku, memaksaku mendonorkan darah. Aaiiiihhhh!!! Ini bukan soal kehilangan darah. Sejak dulu, entah kenapa, aku sangat takut atau lebih tepatnya jijik dengan hewan-hewan melata yang kecil, merayap, kenyal, dan gelap. Hal serupa dialami Mia dan Gus De. Seekor pacet masing-masing menempel di tangan mereka. Kontan Mia berteriak sembari mengibas-ngibaskan tangannya membabi buta dengan harapan pacet itu terlempar dari tangannya. Namun sia-sia. Laksana Spiderman, pacet itu erat melekat tak bergeming. Mia baru berhenti berteriak setelah Gus De dengan tenang melepas pacet tersebut dengan kayu.
Di tengah kegelisahan kami akan pacet dan kera abu-abu, terjadi hal menggelikan. Ulum yang sejak tadi tampak serius tiba-tiba terpeleset jatuh mencium tanah. Meledaklah tawa di antara kami. Begitu pula Mang Ayu. Ia terjungkal ketika kakinya tidak menemukan pijakan yang pas. Tangannya penuh lumpur. Kainnya tercabik. Kotak yang berisi bekal makanan yang ditenteng Mang Ayu, terlempar. Tumpah ruahlah seluruh isinya. Sendok-sendok berhamburan, dan sepotong besar daging ayam menggelinding entah kemana. Alih-alih menolongnya kami kembali tertawa terbahak-bahak. Mang Ayu hanya bisa tersenyum kecut sembari memunguti benda-benda yang berhamburan.
Akhirnya kami sampai di jalan yang landai yang bermuara di tangga utama. Ini berarti puncak sudah semakin dekat. Mengetahui hal itu, aku makin semangat. Benar saja, beberapa menit berjalan kami sampai di Pura Pasar Agung, pura terakhir sebelum Pura Luhur Lempuyang. Pura dengan nama yang sama juga aku temui di Pura Andakasa dekat Padang Bai sana.
Pura ini dikelilingi warung-warung kosong. Kuat dugaanku warung-warung ini hanya buka saat odalan. Tempat sembahyangnya tidak begitu luas, hanya sepetak tanah yang paling menampung 10-15 orang, mungkin 25 orang kalau dipepet-pepetkan.
Setelah selesai di Pura Pasar Agung, perjalanan dilanjutkan ke pemberhentian terakhir: Pura Luhur Lempuyang. Tak terasa sudah pukul dua pagi. Mataku mulai lelah. Punggungku nyeri dibebani tas yang lumayan berat. Kepalaku pening karena disiram gerimis dari tadi. Langkahku gontai. Aku terhuyung-huyung. Berkali-kali aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Uap tebal menyembur dari mulut dan hidungku layaknya orang merokok.
Mendekati puncak suasana menjadi gaduh. Suara angin bersiut-siut keras menerabas pohon-pohon besar yang tidak aku ketahui namanya. Ranting-rantingnya bergoyang cepat, bergesekan menimbulkan suara gemerosok. Kabut-kabut muncul-tenggelam dihempas angin. Aku menengadah menatap langit. Tidak tampak bintang-bintang. Bulan yang seharusnya bersinar penuh pun enggan muncul. Aku bergidik menahan dingin. Lalu dari balik lebatnya pepohonan aku melihat sinar mencurigakan. Seberkas sinar kuning dari lampu di ketinggian. Aku tak ingin salah lihat. Aku harap ini nyata. Maka aku percepat langkahku menyalip Gus De, Mang Ayu, Ulum, Herlin, Mia, dan Pak Gede yang ada di depanku. Senyumku mengembang menjadi tawa. Aku angkat kedua tanganku tinggi-tinggi laksana peserta balap lari mencapai garis finish. “ Kita sampai!!!!!!!”
Tuntas sudah perjalanan ini. Herlin tampak terharu mendapati dirinya mampu mencapai puncak. Kami puas dan lega meski badan kami remuk redam akibat kelelahan.
Di puncak ini ternyata kami tidak sendiri. Puluhan orang yang tiba lebih dahulu dari kami terlihat menyesaki sebuah bangunan teduh di jaba pura. Beberapa di antaranya tampak masih ngobrol, beberapa yang lain tampak sudah tidur. Untuk menangkal dingin, mereka yang tidur membungkus tubuh mereka dengan kain dari ujung kaki hingga ujung rambut. Persis mayat selesai dimandikan.
Gerimis mulai turun lagi, aku bergegas menyusul yang lain mendaki tangga menuju jeroan Pura Luhur Lempuyang. Beberapa orang yang juga tiba lebih dulu terlihat bersila menghadapi pelinggih suci maha agung ini. Pak Gede, Mia, dan Mang Ayu langsung mempersiapkan banten untuk dipersembahkan ke hadapan Sang Hyang Widhi Sang Pencipta Alam nan mulia.
Akhirnya kami berdelapan mengambil tempat menekuri canang dan dupa masing-masing. Kami memusatkan pikiran meresapi keagungan Tuhan. Kepala kami tertunduk menyadari betapa kecilnya kami di hadapan Beliau.
Lelah, gerimis, hawa dingin, pacet, semua terlepas dari pikiran kami. Yang tersisa hanyalah keinginan melepas semua hal keduniawian dan menyatu dengan Brahman. Nyaring suara genta dan semerbak wangi dupa mengiringi mantra-mantra Puja Tri Sandhya dan Panca Sembah yang seakan menggema hingga ke langit ke tujuh menuju nirwana.


Minggu, 15 November 2015

Malam Pertanda (cerpen)

Malam menjelang tahun baru selalu terasa lebih dingin dibandingkan dengan malam-malam yang lain. Seperti malam ini, dua hari menjelang pergantian tahun, sengatan dingin bagaikan jarum runcing yang menghujam tubuh hingga ke tulang. Angin menghembuskan aroma basah dan lembab. Langit gulita sebab bulan bersekutu dengan gemintang, menyembunyikan diri di balik awan mendung yang setia merintikkan gerimis sejak pagi. Sesekali terdengar gemuruh, menggema seperti dengkur raksasa dalam goa. Selebihnya sunyi, katak pun tak berbunyi. Dunia seakan-akan bungkam, merahasiakan suatu bencana yang kelam.
    Malam itu Rasmin sendirian di rumahnya yang hanya diterangi cahaya lilin. Dua hari sebelumnya petir menghancurkan pembangkit tenaga listrik. Rumah Rasmin terkena pemadaman bergilir. Rasmin menarik selimut sampai ke leher, berusaha menghalau dingin yang meradang. Matanya terpejam dalam kamarnya yang temaram, akan tetapi entah kenapa pikirannya gelisah. Berkali-kali ibu tua itu menggosokkan minyak penghangat pada kakinya yang keriput, mengendus-endus aromanya, yang ia anggap mampu menenteramkan hati. Namun gagal. Gelisah tak kunjung hilang, lelap tak juga datang. Ada apa gerangan, batinnya.
    “Tok, tok, tok.” tiba-tiba terdengar suara ketukan di sela-sela suara rintik hujan, pelan dan ragu. Rasmin terkesiap dan membuka mata. Masih berbaring, ia menajamkan pendengaran, meyakinkan diri bahwa benar ada yang mengetuk pintu rumahnya. Kepalanya diam, hanya bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan.
    “Tok, tok, tok.” suara itu muncul lagi, terdengar sama, pelan dan ragu. Rasmin langsung terduduk, kali ini ia yakin seseorang mengetuk pintu rumahnya. Tapi siapa yang datang pada malam gerimis, gelap, dingin, dan sepi seperti ini? Tak mungkin Mang De. Ia kerja shift malam dan baru akan pulang besok pagi. Setelah mengikat rambutnya yang penuh uban, ia keluar kamar.
    “Siapa?”
    Hening, tak ada yang menyahut.
    “Siapa di luar?” Rasmin mengulang bertanya. Seakan bertanya pada malam,  tak ada balasan. Kemudian ia mengintip dari celah pintu. Keningnya berkerut. Jantungnya berdebar. Ketakutan menjalar di pikirannya. Dalam keremangan ia melihat bayangan sesosok wanita dengan kepala tertunduk berdiri di sana. Rasmin merasa mengenalnya. Pintu dibuka.
    “Ketut?” Rasmin memandang tak percaya pada wanita yang sekarang ada di depannya. Wanita yang tak lain adalah anaknya. “Ketut, kamukah itu? Mengapa datang malam-malam seperti ini? Kau sendirian? Ayo masuk, Nak.” Rasmin menarik lengan wanita itu dan mengundangnya masuk. Keadaannya sangat berantakan. Wanita itu berjalan tertatih-tatih. Rasmin menuntunnya hingga ke ruang makan. Begitu ringan seolah-olah menuntun angin. Mereka berdua kemudian duduk di kursi kayu dibatasi sebuah meja yang juga terbuat dari kayu dengan penerangan lilin di atasnya.
    “Tut, ibu terkejut kamu datang. Kamu dari mana? Kenapa datang tanpa berkabar sebelumnya? Badanmu basah kuyup, kau kehujanan? Kau celaka?” Ketut tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan ibunya. Ia hanya menunduk. Rambutnya penuh pasir, acak-acakkan, dan lepek karena basah. Pakaian kerjanya juga basah. Wajahnya memancarkan suatu keanehan ketika diterpa cahaya lilin. Raut wajah yang menyiratkan sakit, takut, dan sedih. Begitu pucat. Seolah-olah ingin menangis. Badannya menyemburkan aroma asin dan amis. Keadaannya terlihat seakan-akan ia baru saja tercebur ke laut. Tangannya mendekap dada tanda teramat dingin yang dirasakan. Rasmin memperhatikan anaknya dengan bingung. Rasmin mengira Ketut pasti mengalami kecelakaan, akan tetapi tidak ada segores pun luka di tubuhnya. Sungguh misterius.
    “Nak, ada apa denganmu? Tidak seperti biasanya kamu datang tanpa memberi kabar. Dimana suamimu? Apakah kamu ada masalah di tempat kerja? Katakanlah.” Rasmin merasa bingung, heran, sekaligus khawatir melihat keadaan Ketut yang berantakan.
    “Dingin… Dingin, Bu. Dingin sekali....” Ketut akhirnya bicara. Setengah berbisik. Ia menunduk, tangannya bergetar mendekap dada. Suaranya begitu pelan, lemah, dan menggigil.
    “Oh ya Nak, pakaianmu basah, gantilah dulu di kamar. Ibu akan membuatkanmu teh hangat.” Ketut tidak menghiraukan perkataan ibunya. Ia diam membisu. Menunduk dengan tatapan lemah seakan tanpa nafas.
    Rasmin bergegas ke dapur, menjerang air, kemudian menyeduh segelas besar teh hangat. Dalam hatinya berkecamuk banyak pertanyaan. Rasa penasaran menyundul-nyundul hatinya. Ketut tidak mungkin mengambil cuti dan pulang ke Bali menjelang tahun baru karena jadwal kerjanya pasti padat. Kalau pun memang libur, tidak mungkin ia datang pada malam seperti ini, sendirian pula.
    “Minumlah teh ini selagi hangat.” Rasmin menyodorkan teh yang baru ia buat untuk Ketut. Ia melihat Ketut tidak mengganti pakaian. Dengan bimbang ia pergi ke kamar untuk mengambil selimut. Kemudian ia menyelimuti tubuh anaknya. “Tut, kau tidak apa-apa kan? Mengapa kau diam saja, katakanlah sesuatu.” Rasmin menatap wajah Ketut penuh selidik. Ketut tidak menjawab. Rasmin menghela nafas. Ia berdoa semoga anaknya baik-baik saja. “Kalau begitu minum tehmu.” Setelah itu sepi dan diam. Hanya api lilin yang bergoyang-goyang digoda angin yang menyelinap ke dalam rumah. Menari-nari dalam sunyi. Rasmin tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi sementara Ketut diam seribu bahasa. Ia pun diam dan menunggu.
    Ketut adalah anak keempat Rasmin dan ia anak perempuan satu-satunya. Jiwa merantau mengalir dalam darahnya. Setelah tamat SMA, ia pergi ke Jogja untuk melanjutkan kuliah. Setelah lulus kuliah, ia bekerja di Surabaya. Profesi yang ia geluti membuatnya selalu berurusan dengan pilot. Hingga akhirnya ia pun bersuamikan seorang pilot. Meski tinggal di Surabaya, Ketut sering pulang ke Bali, ke tanah leluhurnya, bersama suami dan kedua anaknya. Namun kali ini sangat berbeda. Ketut datang tiba-tiba, seorang diri, pada malam dingin dan bergerimis, dalam keadaan berantakan.
    Waktu terus berjalan, rasa kantuk mulai menghinggapi Rasmin. Menggantung di kelopak mata sehingga terasa berat. Rasmin menyerah, ia mengajak Ketut beristirahat. “Ketut, mungkin kau lelah. Tak mengapa jika kau tidak mau bicara. Ibu juga sudah mengantuk. Sekarang tidurlah dulu. Besok kau harus menceritakan pada ibumu ini apa yang sesungguhnya terjadi. Ayo nak, tidurlah bersama ibu.” Ketut tetap membisu, tidak berkata-kata, mematung tidak bergerak. Wajahnya begitu sendu. Ada tangis yang tertahan, ada cerita yang terpendam, dan misteri yang tersembunyi.
    Rasmin yang tua, Rasmin yang keriput, Rasmin yang khawatir, Rasmin yang penasaran, Rasmin yang malang, ia tertidur di kursi kayu menunggui anaknya. Malam semakin larut dan gelap pekat, lilin meleleh semakin pendek, gerimis belum juga berhenti. Awan-awan mendung bertabrakan mengeluarkan suara gemerudug yang menggema di langit, memainkan tabuh kematian.
    “Krriiiiingg…. Krrriiiinng….!” telepon rumah Rasmin berdering. Lama tak henti-henti. Rasmin terkesiap membuka mata. Jam dinding menunjukkan pukul 7 pagi.
    “Ketut? Ketut mana?” Rasmin bertanya dalam hati. Ia menebarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ketut tidak ada. Hanya ada selimut basah di tempat Ketut duduk semalam dan lilin yang sudah padam tak berbentuk serta segelas besar teh yang sudah dingin di atas meja. Masih penuh, tak berkurang sedikit pun.
    “Krriiiingg… Krriiingg…!” bunyi telepon melengking memanggil-manggil. Rasmin segera mengangkatnya.
    “Halo?” sapa Rasmin dengan suara serak.
    “Bu! Ketut, Bu!” seorang lelaki berteriak dan menangis histeris di telepon seberang.
    “Ini Mang De? Ada apa dengan Ketut, Mang? Kenapa kamu menangis?” Rasmin bertanya dengan gusar. Perasaannya langsung tidak enak. Jantungnya berdegup kencang. Matanya kesana-kemari mencari Ketut. Ia ada di sini tadi malam.
    “Pesawatnya Ketut jatuh ke laut, Bu. Ketut mati, semuanya mati” Mang De menangis meraung-raung.
    Rasmin tidak percaya akan tetapi air mata mulai mengalir dari kedua matanya. “Tidak mungkin, Mang. Tidak mungkin Ketut mati. Dia di sini tadi malam bersama ibu.”
    “Ketut mati, Bu.” Suara tangis Mang De sangat memilukan. Suara tangis kehilangan. Rasmin tidak bertanya lagi. Badannya bergetar. Nafasnya pendek-pendek, dadanya kembang kempis. Tangisnya pun meledak dan air matanya tumpah. Ia jatuh terduduk. Terkulai lemas. Gagang telepon terlepas dari genggamannya.
    “Ketuuut... Tidak mungkin… Tidak mungkin…” Rasmin menangis tersedu sedan meratapi kepergian anaknya yang tiba-tiba, antara sedih dan tak percaya. Lalu siapa yang datang tadi malam? Benar-benar kenyataan yang mengenaskan.
    Seandainya listrik tidak mati tadi malam, Rasmin bisa tahu lebih awal berita buruk itu dari televisi. Sebuah pesawat jatuh di perairan Karimata tadi malam. Cuaca yang buruk diduga sebagai penyebabnya. Semua penumpang dan awak pesawat dinyatakan hilang. Kemungkinan tidak ada yang selamat. Ketut adalah seorang pramugari dan ia ada di dalam pesawat naas itu.

Minggu, 08 November 2015

Rahasia Tuhan (cerpen)

Lestari duduk di atas kursi plastik putih di depan art shopnya. Hampir sepanjang hari ia di situ. Wajahnya ibarat bulan kesiangan, pucat pias tanpa gairah. Ia tidak melakukan apa-apa. Ia hanya melamun bermuram durja. Membiarkan pikirannya yang kosong terombang-ambing dalam beribu pertanyaan yang ditujukan entah kepada siapa. Pertanyaan-pertanyaan yang walaupun sudah terjawab, tetap tidak dapat ia terima. “Mengapa hal ini menimpaku? Mengapa Bli Atmaja begitu tega? Bukankah Bli Atmaja sendiri yang yakin kebahagiaan itu akan datang? Mengapa Tuhan bersikap tidak adil terhadapku?” Mengapa demi mengapa itu terus meluncur menyesakkan dadanya, melelehkan air mata, dan menggali lebih dalam kesedihan di hati.
Senja di Kuta telah sampai pada ujungnya. Nuansa jingga memenuhi langit di ufuk barat. Sebentar lagi gelap menyapa. Namun bukan Kuta namanya jika menyerah pada gulita. Di sana, selalu ada cahaya untuk mereka yang terjaga.
Lestari masih tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Senja yang menawan sama sekali tidak menggoda pikirannya. Ia tidak menyapa ramah para tamu yang datang melihat-lihat seperti biasa. Ia tidak mengelap debu tebal yang tak pernah jera menghinggapi benda-benda yang dipajang. Namun begitu ia belum hendak menutup art shopnya. Pikirannya menerawang entah kemana. Pandangannya sayu menatap tembok gang di depannya. Bagi Lestari tembok tersebut adalah cermin ajaib yang bisa memberi jawaban sesuai dengan yang ia harapkan. Terkadang tembok itu berubah menjadi layar yang bisa menampilkan kenangan-kenangan manis hidupnya bersama Atmaja. Masa-masa indah yang harus ternoda. Noda yang sangat menyakitkan. Lalu air matanya kembali mengalir. Apa yang disangka Lestari hanyalah gurauan ternyata sungguh terjadi.
“Ya, boleh saja Bli, kalau memang ada yang mau sama Bli. Bli kan jelek.” jawab Lestari sambil tertawa nakal kala itu, ketika sang suami dianggapnya hanya bergurau.
***
Lestari adalah seorang wanita yang kalem juga pintar. Ia lemah lembut dan penuh semangat. Ia sudah seperti itu sejak dulu, sejak masih kecil. Orang-orang melihat ia mewarisi sifat ibunya. Ditambah dengan parasnya yang cantik dan alami, ia menjadi begitu sempurna. Lestari menjadi idaman setiap kaum lelaki.
Dari sekian banyak lelaki yang mendekati, hanya Atmaja yang mampu membuat Lestari terpikat. Atmaja memiliki semua kriteria yang diinginkan wanita: baik, lembut, perhatian, juga penyabar dan mapan. Setelah sekian lama berpacaran, Atmaja mengajak Lestari untuk menikah. Pada sore yang indah, saat sunset di pantai Kuta, Lestari mengiyakannya. Mereka pun menjadi pasangan suami istri.
Pada awal masa pernikahan, Lestari masih tekun menjalani pekerjaannya sebagai pemandu wisata di sebuah travel. Namun ketika hingga dua tahun ia belum juga hamil, Atmaja memintanya untuk berhenti bekerja. Atmaja menerka kelelahanlah yang menghambat istrinya untuk bisa hamil. Sebagai istri yang baik, Lestari tentu tidak ingin mengecewakan suaminya. Ia setuju berhenti bekerja. Namun supaya tidak bosan seharian berada di rumah, Lestari ikut membantu ibu mertuanya menjaga art shop. Toh perkerjaan itu tidak terlalu menguras tenaga.
Bulan demi bulan telah lewat, tahun demi tahun pun berlalu, rahim Lestari tidak kunjung mengandung janin. Lestari tidak mampu menjawab kerinduan suaminya terhadap buah hati. Untuk pertama kalinya Lestari mulai merasa gelisah. Ia mulai mengurai dirinya, apa ada yang salah? Kepercayaan dirinya runtuh. Memang tak ada gading yang tak retak. Hidup Lestari ternyata tidak benar-benar sempurna. Pernikahan tanpa anak memang menakutkan. Bagai istana tak berpenghuni. Ibarat sepiring nasi tanpa lauk. Sepi dan hambar.
“Bagaimana jika besok kita periksa ke dokter kandungan?” demikian ajak Atmaja pada suatu ketika.
Maka berangkatlah mereka ke rumah sakit untuk periksa ke dokter kandungan keesokan harinya. Setelah melakukan semua rangkaian pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa kesuburan Lestari bermasalah. Kegusaran kian bertambah di hati Lestari. Ia takut dan merasa tidak enak hati pada suaminya karena terancam tidak bisa memberi keturunan. Dokter lalu menyarankan Lestari melakukan terapi untuk memperbaiki kesuburannya.
“Iya tidak apa-apa.” Atmaja berkata lembut ketika melihat raut rasa bersalah di wajah Lestari. Atmaja begitu sabar meski ia sudah sangat ingin memiliki anak. “Aku yakin kebahagiaan itu pasti akan datang. Kamu pasti hamil dan kita akan memiliki anak laki-laki yang gagah. Sekarang kita ikuti dulu saran dokter.”
Semua terapi yang dianjurkan oleh dokter pun diikuti. Biaya yang dikeluarkan untuk itu tidak sedikit. Namun keinginan dan harapan yang besar membuat uang bukan menjadi masalah. Berapapun itu yang penting Lestari bisa hamil dan melahirkan anak-anak yang kelak akan merawat ia dan suaminya  saat tua.
Namun, seolah memang sudah ditakdirkan, semua usaha itu gagal. Semua obat yang telah masuk ke tubuh Lestari tidak membuat perubahan. Lestari panik. Pengobatan alternatif pun menjadi pilihan. Tak terbilang tabib dan dukun dikunjungi, tak terhitung macam jamu dan ramuan dicoba. Semua pantangan, hal-hal yang konon membuatnya susah hamil, dihindari sepenuh hati. Tetapi tetap saja tidak berhasil. Lestari tidak juga hamil. Ia pun menyesali diri dan kian terpukul menghadapi kenyataan itu. Buatnya, bisa memiliki anak hanyalah mimpi.
“Janganlah memikirkan hal itu terlalu berlebihan. Aku tidak menyalahkanmu. Kamu sudah berusaha semampumu. Mungkin Tuhan menilai kita belum siap memiliki anak. Aku tetap yakin kebahagian itu akan datang. Sambil menunggu saat itu tiba, kita tetap berdoa dan berusaha.”
Kata-kata lembut dan bijaksana yang keluar dari bibir Atmaja sedikit menenangkan hati Lestari. Ia senang lantaran Atmaja mau menerima ia dengan segala kekurangannya. Namun jauh di lubuk hati, Lestari tetap gelisah. Ia melalui hari-harinya penuh tekanan. Terutama saat berhadapan dengan sang mertua.
Sang mertua sering bergumam, “Bu Desak tetangga sebelah sudah punya tiga cucu, tapi Ibu belum punya satupun. Kapan ya Ibu bisa menimang cucu seperti dia?” Walau tidak dengan terang-terangan, tapi Lestari sadar bahwa retorika itu adalah sebuah tuntutan.
Di tengah kegundahannya, Lestari sering menuduh Tuhan tidak adil. Begitu sering ia melihat berita bayi yang dibuang atau bahkan dibunuh lantaran tidak diinginkan oleh orangtuanya. “Mengapa mereka yang tidak ingin anak, begitu mudah punya anak? Sedangkan aku yang sangat menginginkan anak, tak kunjung diberi?”
Begitulah seterusnya hingga tak terasa sepuluh tahun sudah Lestari menjalani rumah tangga tanpa kehadiran buah hati. Semua menjadi biasa.
Namun, semua yang biasa itu menjadi tak biasa setelah perbincangan pada suatu malam yang hangat, sesaat sebelum Lestari dan Atmaja beranjak beristirahat menghilangkan penat. Mereka bercanda, bercerita tentang hal-hal lucu dan konyol yang pernah mereka alami. Di tengah candaan itu Atmaja bertanya pada Lestari, “Tari, bagaimana jika aku menikah lagi?”
“Ya, boleh saja Bli, kalau memang ada yang mau sama Bli. Bli kan jelek.” jawab Lestari sambil tertawa nakal.
Tak ada dalam pikiran Lestari bahwa apa yang ditanyakan Atmaja adalah pertanyaan yang serius. Semua itu dianggapnya gurauan dan tak perlu dihiraukan. Hingga keesokkan harinya, Atmaja benar-benar membawa pulang seorang wanita, masih muda namun tidak lebih cantik dari dirinya. Atmaja memperkenalkan wanita itu bernama Dewi dan ia berniat menikahinya. Alangkah terkejutnya Lestari demi mendengar hal itu. Jantungnya berdetak cepat. Ia tidak mengerti. “Ini tidak mungkin, ini pasti lelucon!” sangkalnya.
“Tari, maafkan aku, aku harus menikahinya. Ia mengandung benihku.” ucap Atmaja pelan bergetar. Meski pelan namun bergemuruh di dada Lestari. Ia tidak kuat. Kakinya lemas, sejurus kemudian ia tersungkur pingsan. Kasihan Lestari. Ia tidak bisa mencegah suaminya menikah lagi. Dewi hamil enam bulan dan keluarganya menuntut Atmaja bertanggungjawab. Lestari hanya bisa meratapi nasib.
Setelah hari itu, kehidupan Lestari bertambah kelabu. Ia menghabiskan waktu di art shop dengan melamun dan bersedih. Ia sangat kecewa dan sakit hati karena merasa dibohongi dan dikhianati. Sakit hatinya bertambah ketika melihat sang mertua mau menerima kehadiran Dewi. Lestari merasa kalah. Ia mandul sehingga tidak bisa memberi anak buat suaminya, tidak bisa menghadirkan cucu buat mertuanya, sedangkan Dewi bisa.
Lestari sempat berpikir jernih, mencoba menerima kehadiran Dewi. Apa yang telah terjadi tak bisa dielakkan. Ia mencoba mencari hikmah. Namun tidak bisa, hati kecilnya tetap menolak.
Lestari menjadi sakit-sakitan karena stress dan depresi. Ia kehilangan selera makan. Ia menjadi sering mual dan muntah-muntah. Seolah-olah Dewi yang hamil namun Lestari yang ngidam. Beberapa kali ia merasa badannya kurang sehat. Ia bahkan tidak datang bulan akibat stress. Hidupnya benar-benar berantakan.
Ajakan suaminya untuk periksa ke dokter selalu ditolak. “Dokter tidak bisa mengobati sakit hatiku!” Lestari selalu menjawab begitu. Mendengar jawaban yang bernada menyindir itu Atmaja hanya bisa terdiam.
Beberapa bulan berikutnya, tiba saatnya Dewi melahirkan. Semua mengantarnya ke rumah sakit kecuali Lestari. Lestari berbaring di kamar tidurnya. Ia lemas dan menahan mual yang parah. Ia menangis. Sebentar lagi tidak akan ada yang memedulikannya karena semua perhatian akan tercurah pada Dewi dan bayinya. Bayi yang telah lama diidam-idamkan oleh suami dan mertuanya.
Melalui persalinan normal, bayi yang telah dikandung Dewi sembilan bulan berhasil dikeluarkan. Semua menyambut dengan gembira meski agak kecewa karena bayinya perempuan. Mereka lebih berharap yang lahir adalah bayi laki-laki yang kelak menjadi penerus keluarga.
Pada saat yang hampir bersamaan, Atmaja menerima telepon dari Lestari. Alih-alih memberi selamat, Lestari justru merintih kesakitan. “Bawa aku ke rumah sakit.” ringisnya dari seberang.
Atmaja segera pulang menjemput Lestari. Didapatinya Lestari terkulai lemas di kamarnya. Ia segera diboyong ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit Lestari segera mendapat perawatan. Melihat gejala yang dialami, dokter melakukan USG atau pemindaian menggunakan gelombang pada perut Lestari.
Beberapa saat kemudian sang dokter datang membawa hasil pemeriksaan. Atmaja tercengang begitu mengetahuinya. Seluruh tubuhnya bergetar. Keyakinannya selama ini benar. Kebahagiaan itu memang benar datang, meski terlambat.
“Istri Bapak hamil. Kurang lebih 12 minggu.” kata sang dokter. Lestari yang turut mendengar perkataan dokter juga terperangah. “Aku hamil?”
Lalu keduanya menangis berdekapan. Atmaja merasa bersyukur, terharu, sedih, sekaligus menyesal. Seandainya ia mau sedikit bersabar, tentu tidak ada yang harus tersakiti.
Enam bulan setelah hari itu, Lestari melahirkan bayi laki-laki yang gagah. Bayi yang membawa kebahagiaan dan menghapus segala kesedihan di hatinya. Bayi yang menjawab semua pertanyaan yang memojokkannya. Bayi yang membalas semua kekalahannya. Bayi yang membuatnya sempurna menjadi wanita. Bayi yang akan menjadi penerusnya. Meskipun terlambat semua terasa begitu indah, seindah sunset di pantai Kuta. Begitulah rahasia Tuhan. Tak pernah ada yang tahu akan seperti apa.