Minggu, 14 Oktober 2018

Banyu Pinaruh Kita Kali Ini


Uyee...!
Pantai!
Aku menyambangimu lagi
Mungkin 30 tahun terlalui
Tanpa kulihat romantismu
Kini aku sungguh rindu
Menyibak anginmu
Meremas pasirmu
Dan ingin tahu
Apakah segala tabiatmu
masih seperti dulu?
Lesap prahara
Hanyut perkara
Siramkan lega
Pada tubuh yang lelah diperkosa
Sementara di sana...
Seorang gadis manis menggoda
Dengan tato di buah dada
Dan celana di atas paha

Pantai Karang, 14 Oktober 2018

Kamis, 30 Agustus 2018

Lempuyang

Bintang berselimut, bulan berkabut
Gerimis tipis mengiris
Dingin menghujam alam
di kaki Lempuyang
Rasa memuncak setapak demi setapak
Lelah tak berucap
Lintah menjilat tak bersahabat
Wahai primata pribumi penghuni Lempuyang,
tunjukkan jalan menuju Penciptamu!
1700 anak tangga kami langkahi
dalam hutan gelap sunyi
adakah Dia di langit ke tujuh?
Mendekatlah semua makhluk di dunia
kepadaNya pencipta alam nan mulia
lalu serukan
Nyaring suara genta dan semerbak wangi dupa iringi mantra-mantra
Menggema hingga langit ketujuh menuju nirwana

Selasa, 19 Juni 2018

Penyakit Orang Kalah

Cerpen Denpost Minggu, 20 Mei 2018

MASIH ingat Made Merta? Tokoh yang sebelumnya kuceritakan berhasil meraih cita-citanya menjadi guru?—yang pada hari pertamanya di sekolah mengalami kejadian menegangkan: bertemu dengan sesosok siswi misterius.
Kini dia masih mengajar di sana dan mulai memupuk ambisi-ambisi baru. Entah apa ambisi-ambisinya itu, yang jelas, itu membuatnya selalu bergairah menjalani hari-hari di sekolah. Ada semangat baru bertunas dalam sanubarinya.
Terlebih belakangan dia sudah dipercaya menjadi pembina, didapuk menjadi kreator juara, aih, bukan main gagah kedengarannya. Dada Made Merta selalu mengembang mendengar kata pembina. Sebutan yang membuatnya merasa menjadi seorang yang ahli, mahir, jago, master, atau dalam bahasa Inggris: expert. Padahal, bukan karena itu dia dipilih melainkan karena tidak ada orang lain yang mau repot. Made Merta tidak sadar akan hal itu. Ya, sayang sekali, Made Merta tidak tahu itu.
Seperti siang ini, ketika rekan-rekannya yang lain sudah melenggang menuju rumah masing-masing, Made Merta masih berkutat di sekolah. Kali ini dia akan membina murid yang akan berlaga dalam lomba yang sarat emosi: lomba membaca puisi. Nah! Tahu apa Made Merta tentang puisi? Dia bahkan tidak pernah membaca satu bait puisi pun seumur hidupnya.
“Agar bisa membacakan puisi dengan baik, hal pertama yang harus dilakukan adalah pahami puisi itu, cari tahu apa yang ingin disampaikan si pengarang dalam puisi itu,” begitulah Made Merta selalu membual pada anak didiknya.
Meskipun pengetahuannya tentang puisi amat menyedihkan dan mafhum betapa dia tidak memiliki murid yang berbakat, Made Merta tak keder. Setiap tantangan harus dijawab dengan optimis, begitu falsafah hidupnya.
Sampai akhirnya hari perlombaan tiba. Sang murid tampil membacakan puisi heroik karya Chairil Anwar yang melegenda. Made Merta mendampingi di sana, tekun menyimak lomba dari awal hingga akhir. Terkagum-kagum dia menyaksikan penampilan peserta lain yang begitu luar biasa.
Lalu pada akhir acara, saat para pemenang diumumkan, dirasakannya dadanya akan meledak. Muridnya terpilih sebagai pemenang. Juara pertama pula! Sungguh Made Merta tak menduga. Benar-benar menakjubkan! Dia melonjak, tawanya lebar, dipeluknya si murid dengan kebanggaan penuh. Pelukan yang begitu dahsyat sampai-sampai si murid kesulitan bernafas. Made Merta dihantam kegembiraan yang tak terkatakan. Hampir saja dia tidak bisa menguasai diri. Salah satu ambisinya, yaitu mencetak juara, baru saja terwujud.
Senyum Made Merta belum pudar sampai keesokkan harinya. Dia berangkat ke sekolah sambil bersiul-siul. Langkahnya ringan; Kemenangan memang selalu berasa manis. Dia sudah bersiap-siap menerima ucapan selamat dan pujian dari rekan-rekannya dan membayangkan reputasinya meroket, naik daun. Namun yang terjadi, sampai pulang sekolah, tak seorang pun menghampirinya. Jangankan memberi selamat, sekadar bertanya basa-basi pun tak ada. Made Merta merasa aneh bin ajaib.
Dua hari, tiga hari, empat hari kemudian pun sama, tak ada yang menyinggung-nyinggung perihal lomba dan juara. Seminggu kemudian, setelah tak kuasa menahan hasrat bercerita, akhirnya Made Merta mendekati seorang rekannya.
“Hai, sudah tahu? Minggu lalu murid kita dapat juara satu lomba membaca puisi,” bisik Made Merta. Rekannya yang tengah giat memeriksa ulangan menoleh datar dan bertanya, “Terus?”
“Dia baru pertama kali ikut lomba, saingannya banyak, tapi astungkara bisa bawa pulang piala. Juara satu pula. Saya yang membina,” Made Merta pamer.
Sang rekan tak berkata apa-apa. Dia sibuk saja dengan buku-buku di hadapannya. Hanya mulutnya tersungging sedikit, memperlihatkan senyum tipis, seolah-olah baru saja mendengar sesuatu yang menggelitik.
“Kenapa senyum-senyum? Nggak mau ngasi selamat, gitu?” Made Merta keheranan.
“Oh, ya, Made,” sang rekan menghentikan pekerjaannya, “selamat kalau begitu.”
“Makasi,”
“Tetapi jangan senang dulu. Saya memberi selamat bukan berarti saya mengakui kamu hebat. Saya sudah lama tidak percaya dengan lomba. Zaman sekarang, pemenang tidak selalu mereka yang tampil sempurna, mereka yang berotak encer, ataupun mereka yang kuat. Seringkali mereka yang lemah, yang penampilannya kacau, yang tidak pintar pun bisa jadi pemenang, bisa jadi juara. Jadi, menang-kalah itu biasa, jangan terlalu dibawa perasaan.”
“Saya kurang paham.”
“Jangan naif. Lomba sekarang sudah tidak murni lomba, tidak semata-mata mencari yang orang yang unggul untuk dipilih menjadi juara. Sekarang ini lomba penuh kecurangan, rekayasa, kongkalikong. Lomba sudah menjadi bagian dari bisnis, terkadang juga politik, sarat kepentingan. Lomba sekarang sudah tercemar. Apalagi lomba membaca puisi, subjektivitasnya kentara, tergantung selera, suka-sukanya juri. Acapkali yang menurut kita bagus, eh, oleh juri malah dicaci-maki, atau sebaliknya. Beda dengan main catur, misalnya, yang sudah jelas-jelas menang-kalahnya. Kalau rajanya sudah kena skak mat, ya sudah pasti kalah.”
Made Merta diam tertegun. Tampak betul dia kesulitan mencerna kata-kata rekannya itu.
“Apakah kamu memperhatikan penampilan peserta lain?”
Made Merta mengangguk.
“Menurutmu mereka jelek?”
“Tidak.”
“Ya itu. Kalau peserta lain juga tampil bagus, kenapa bukan mereka yang jadi juara? Apalagi murid yang dikirim baru pertama kali ikut lomba, belum punya jam terbang, masa langsung dapat juara satu? Menjadi juara itu tidak bisa instan, harus bertahap, mulai dari bawah dulu. Bisa jadi muridmu dimenangkan bukan karena dia lebih baik dari yang lain, tetapi karena ada agenda tertentu di baliknya.”
Mendengar ucapan yang terakhir Made Merta langsung ngeloyor tanpa kata. Mukanya merah padam. Panas hatinya. Tampak betul dia tidak terima. Dia dan murid binaannya sudah bekerja keras dan pantas menjadi juara. Masa dibilang ada kongkalikong. Sampai mengatakan juri tidak objektif. Dasar sinting! Keterlaluan. Itu adalah ocehan orang iri, yang tidak senang melihat kegemilangan orang di sebelahnya. Seharusnya kan ikut senang. Saling mendukung. Benar-benar tidak menghargai. Sangat merendahkan nilai-nilai sportivitas. Penyakit orang kalah.
Bagi Made Merta, lomba adalah sesuatu yang suci, yang tidak memiliki tujuan lain selain memilih yang terbaik dari yang terbaik dengan cara-cara yang jujur, bersih, dan tidak ditunggangi kepentingan apapun. Tak terkecuali lomba yang diikuti muridnya.
Kali berikutnya ada undangan lomba membaca puisi lagi. Made Merta sumringah sebab meskipun beda penyelenggara dan beda juri, puisi yang wajib dibawakan lagi-lagi puisi heroik karya Chairil Anwar yang melegenda. Belum apa-apa Made Merta sudah optimis bakalan juara. Bukankah dia sudah punya bibit?—Made Merta kini punya istilah baru untuk menyebut murid yang akan dikirimnya lomba.
Tak buang masa, segera dipanggil bibitnya itu dan, meskipun masih belum belajar banyak tentang puisi, dia tetap lantang berkata, “Agar bisa membacakan puisi dengan baik, hal pertama yang harus dilakukan adalah pahami puisi itu, cari tahu apa yang ingin disampaikan si pengarang dalam puisi itu.”
Melihat performa murid binaannya, Made Merta puas. Rasanya piala sudah di tangan. Tak sabar dia menunggu hari H tiba. Lomba kali ini tak ubahnya ajang pembuktian dan penegasan bahwa kemenangannya tempo hari adalah murni hasil jerih payahnya, bukan berkat pertolongan ataupun hadiah dari orang lain; Bahwa kemudian kemenangan itu layak untuk dirayakan, dibanggakan, dan diapresiasi. Dia ingin rekannya itu menelan kembali kata-kata yang dimuntahkannya dulu.
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Made Merta, seperti sebelumnya, ikut mendampingi jagoannya di sana. Dia memerhatikan para peserta dan merasa damai. Rupanya sebagian besar adalah peserta yang sama dengan lomba terdahulu; Orang-orang yang pernah dipecundangi muridnya. Amboi, kemenangan sudah di depan mata!
Beberapa jam kemudian, setelah semua peserta tampil, tibalah saat yang ditunggu-tunggu, momen yang mendebarkan. Dewan juri mengumumkan pemenang lomba. Mulailah nomor-nomor peserta yang menang disebutkan satu per satu diikuti riuh sorak-sorai dan tepuk tangan. Lalu, di kursi sana, Made Merta melongo, agaknya kebingungan. Di antara nomor yang disebutkan juri, tak ada nomor muridnya. Duh, kasihan Made Merta. Kali ini murid juara satunya gagal juara. Dia melempar handuk; kecewa.
“Lomba zaman sekarang payah. Juri-juri tidak becus. Masa jelek gitu jadi juara? Tidak sportif. Tidak murni. Pasti ada kongkalikong! Huh!” Made Merta menyumpah-nyumpah. Tak dinyana, rupanya Made Merta juga mengidap penyakit orang kalah.***



Selasa, 17 April 2018

PARADOKS dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

Hai, jumpa lagi! Kali ini, saya ingin menulis komentar nih pemirsa. Tetapi bukan komentar mengenai suhu politik negeri yang mulai menghangat. Bukan pula komentar perihal banyaknya nyawa melayang akibat miras oplosan. Saya ingin menulis komentar terkait bidang yang saya geluti, yakni Bahasa Indonesia.

Kemarin kan hari terakhir pelaksanaan USBN. Nah, saya ngawas anak-anak ujian. Lantaran duduk melulu tanpa melakukan apa-apa, saya jadi ngantuk. Biar nggak ngantuk, iseng-iseng saya baca tuh sisa soal ujiannya (sebenarnya pengawas nggak boleh baca soal, tapi daripada saya ketiduran, apa boleh buat).

Benar saja, membaca soal membuat ngantuk saya seketika lenyap. Namun setelahnya, pikiran saya justru terganggu. Pasalnya, pertama, banyak soal yang ternyata nggak bisa saya jawab padahal pelajaran anak SMP lho (betapa bodohnya saya). Kedua, banyak sekali kekacauan bahasa yang saya temukan pada naskah soal itu.

Baik, mari kita lupakan masalah saya yang pertama. Tidak saya pungkiri, pengetahuan agama saya memang menyedihkan. Hmm…

Lanjut, mari bicarakan masalah yang kedua. Pada naskah soal tersebut, banyak sekali kesalahan berbahasa ragam tulis yang saya dapati. Kesalahan seperti apa sih? Contohnya ya, banyak menuliskan kata tidak baku. Lalu, tidak menggunakan tanda baca dengan tepat. Ada kata yang seharusnya diawali huruf kapital, ditulis dengan huruf kecil, dan sebaliknya. Penulis soal juga sepertinya tidak paham perbedaan penulisan di- sebagai awalan dan di sebagai kata depan. Banyak sekali, dari awal hingga akhir. Kalau saya sebutkan semua, nanti tulisan ini jadi panjang macam novel. Intinya, naskah soal tersebut menabrak kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar.

Kalau kesalahan-kesalahan tadi ada di tulisan-tulisan pribadi, saya tidak tertarik menanggapi. Tapi ini naskah soal USBN, dokumen resmi, dibaca oleh ribuan siswa sehingga berpeluang dijadikan teladan oleh siswa. Dan lebih miris, ini terjadi di wilayah pendidikan, ruang intelektual, lingkungan yang sepatutnya mengedukasi dan memberi contoh-contoh yang benar berdasarkan ilmu pengetahuan.

Sebagai pengajar bahasa, saya jadi merasa tersia-sia. Saya menyebutnya paradoks dalam pembelajaran bahasa. Saya selalu berbusa memberi pemahaman tentang kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar kepada siswa, dan di saat yang sama mereka disodorkan/dibiasakan dengan bentuk-bentuk yang salah.

Hal ini berarti apa? Hal ini berarti semua pihak hendaknya memahami kaidah berbahasa yang baik dan benar. Tidak hanya ragam ujar, namun juga ragam tulis, terlebih bagi penulis, baik penulis soal, penulis cerpen, penulis buku, penulis berita, maupun penulis lainnya. Selain itu, sebelum disebarluaskan pada khalayak, tulisan, apalagi tulisan resmi, hendaknya diperiksa dan disunting. Jika tidak yakin dengan suntingan sendiri, mintalah orang yang berkompeten untuk menyuntingnya.

Nah pemirsa, itulah kurang lebih komentar yang ingin saya sampaikan dan terakhir saya ingin berpesan, mari gunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar agar bahasa negara kita tersebut tetap ajeg, tak kehilangan wibawa, dan tak kalah dengan bahasa-bahasa asing.

Selasa, 10 April 2018

Rossi Marah Besar dan Satu Pertanyaan Muncul di Kepala Saya



PEBALAP atau PEMBALAP?
Ketika menjemput anak di rumah neneknya, saya selalu menyempatkan diri membaca surat kabar; surat kabar murah yang setiap hari dibeli bapak saya seharga 2.000 rupiah. Maklum, bapak saya sekarang sudah tidak berpenghasilan. Kendati murah, isinya lumayan meriah. Beritanya menarik, rubriknya asik, independen, dan yang spesial, koran tersebut menyediakan dua halaman khusus untuk memberitakan sepak terjang tim sepak bola kebanggaan: Bali United. Oke, tentang korannya segitu dulu ya, saya tidak mau berpanjang lebar. Nanti disangka promosi.

Hal pokok yang ingin saya ceritakan sebenarnya adalah tadi siang (Selasa, 10/04/2018) saya membaca berita menarik di halaman depan surat kabar tersebut. Judulnya “Rossi Marah Besar”. Dari judulnya saja sudah membuat penasaran. Juga ada foto Valentino Rossi, sepupu jauh saya yang jadi pembalap Yamaha, terjatuh bersama motornya yang bernomor 46. Di depannya sedikit, Marc Marques, pembalap Honda, menoleh sembari melambaikan tangan (konon sebagai tanda maaf). Karena ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi, langsung saja saya baca beritanya hingga tuntas.

Rupanya kemarahan besar Rossi seperti yang disebut dalam judul disebabkan Marc Marques menyeruduknya dari belakang sehingga dia terjungkal. Kelakuan Marques tersebut dianggapnya bisa membahayakan pembalap lain yang berada di lintasan. Dari tulisan di koran, ternyata Marques yang menunggang motor bernomor 93 dari awal sudah mencuri perhatian. Ketika start, motornya mati. Dia pun tercecer di belakang. Kemudian, mungkin lantaran hilang konsentrasi dan terlalu bernafsu ingin memperkecil jarak, dia hampir menabrak pembalap-pembalap lain sebelum akhirnya menjatuhkan Rossi. Kontan The Doctor marah besar dan tidak menerima permintaan maaf Marques.

Seusai membaca, saya tidak tenang. Pasalnya, ada sebuah pertanyaan terbit dalam kepala saya. Manakah yang benar, pebalap atau pembalap?

Dalam berita tersebut, penulis menggunakan kata pebalap, alih-alih pembalap. Awalnya saya kira salah ketik alias tipo, namun setelah saya baca hingga habis, kata yang digunakan memang semuanya pebalap.

Saya sendiri cenderung memilih pembalap sebagai bentuk yang benar. Biar yakin, saya buru-buru membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua cetakan kesepuluh tahun 1999 (lawas kan?) punya seorang kawan yang tak kunjung saya kembalikan sampai sekarang. Akhirnya saya temukan di sana tertera: pembalap, adalah nomina, dan artinya adalah orang yang turut dalam lomba adu cepat. Sedangkan pebalap tidak ada. Tuh kan, saya benar.

Mungkin si penulis ingin mengikuti bentuk-bentuk seperti pesepeda, pecatur, pegulat, petenis, pebulu tangkis, dan lain-lain. Semua bentuk itu memang betul. Artinya bentuk pebalap betul juga, dong? Eitts, tunggu dulu.

Dari yang pernah saya baca, kata pembalap bukan diturunkan langsung dari kata balap, melainkan membalap. Sama halnya dengan kata pemberi, pembeli, pembaca, dan pembuat yang diturunkan dari kata-kata memberi, membeli, membaca, dan membuat, bukan dari kata-kata beri, beli, baca, dan buat. Jadi tidak ada kata-kata peberi, pebeli, pebaca, ataupun pebuat.

Sedangkan bentuk-bentuk seperti pesepeda, pecatur, pegulat, petenis, dan pebulu tangkis memang diturunkan langsung dari kata sepeda, catur, gulat, tenis, dan bulu tangkis. Kan tidak lazim kita dengar bentuk menyepeda, menyatur, menggulat, menenis, maupun membulu tangkis. Jika bentuk tersebut memang ada, maka pelakunya akan menjadi penyepeda, penyatur, penggulat, penenis, dan pembulu tangkis.

Jadi, pebalap atau pembalap? Ya, pembalap-lah hehe..

Nah, itu menurut dari apa yang pernah saya pelajari, maaf bila ternyata saya keliru. Atau mungkin ada yang bisa memberi pendapat lain? Boleh tentang balapannya, boleh tentang pembahasan: manakah yang benar, pebalap atau pembalap?


Minggu, 08 April 2018

JADI SALAH SIAPA DONG?



BELOK KANAN - Tampak dua pengendara motor tetap berbelok ke kanan meski sudah ada tanda larangan berbelok ke kanan.

     GAMBAR tersebut saya ambil tadi pagi. Lokasinya di ujung Jalan Tukad Gangga (pertemuan Jalan Tukad Gangga dengan Jalan Tukad Yeh Aya, Renon, Denpasar).

     Saya sedang dalam perjalanan menuju SMK Negeri 2 Denpasar untuk mendampingi siswa mengikuti lomba baca puisi. Saya berhenti sejenak dan menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir, atau lebih tepatnya MUAK dengan bangsa saya sendiri. Apa sebab?


     Coba perhatikan. Pengendara motor dengan seenak perutnya menikung ke kanan padahal jelas-jelas sudah ada larangannya! Plang 'belok kanan dicoret' bahkan bukan cuma satu, tapi dua!!!

     Saya percaya pemerintah sudah dengan sungguh-sungguh, penuh perhitungan, dan kajian meletakkan larangan belok kanan di sana, semuanya demi kenyamanan pengguna jalan, dan para pemotor itu terang-terangan mengkhianatinya. Saya yakin SIM mereka semua PALSU!!!

     Akan tetapi, ketika saya lebih mendekat, saya mendapati ternyata ada satu plang tersembunyi. Agak sulit membaca tulisannya lantaran tertutup rerimbunan daun pohon jambu. Meski demikian, akhirnya saya berhasil juga mengeja huruf-hurufnya. Plang itu berbunyi "KECUALI SEPEDA MOTOR". Nah, lho?
TERSEMBUNYI - Plang bertuliskan "KECUALI SEPEDA MOTOR" tersembunyi di balik rerimbunan daun pohon jambu.
      Duh, ternyata saya yang keliru. Saya sudah menuduh dan mengumpat (di dalam hati) para pemotor yang sejatinya tak bersalah tadi. Mereka tak lain adalah warga yang tertib. Maaf ya, Pak, Bu... hehe

     Pertanyaan yang tersisa sekarang, jika para pemotor tersebut tidak bersalah, siapa dong yang bersalah? Apakah salah mata saya karena tidak melihat tulisan "KECUALI SEPEDA MOTOR"? Apakah salah plang itu karena bersembunyi malu-malu kucing?? Atau salah pohon jambu itu kenapa tumbuh di situ???

Minggu, 01 April 2018

Menjaga Kebersamaan dan Kekeluargaan dengan Magibung

SABAN Saniscara Kliwon wuku Landep atau lebih dikenal dengan sebutan Tumpek Landep, warga Dadya Selingket tumpah ruah memenuhi Pura Dadya Selingket di Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Karangasem. Piodalan pura yang terletak di kaki Gunung Agung tersebut memang jatuh setiap Tumpek Landep. Warga berdatangan dari berbagai daerah, seperti Denpasar, Klungkung, Gianyar, Buleleng untuk melakukan persembahyangan. Nah, ada sebuah tradisi menarik yang masih dipertahankan oleh krama di pura ini, yakni magibung. Yang berasal dari Karangasem pasti sudah tidak asing dengan tradisi yang satu ini.

JAGA TRADISI - Magibung adalah salah satu tradisi di Karangasem yang masih dipertahankan hingga kini.


Magibung dapat diartikan makan bersama-sama dalam satu wadah makanan. Di pura ini, seusai muspa, warga tidak langsung pulang melainkan disilakan magibung di jaba pura. Biasanya, 5 hingga 6 orang membuat kelompok, kemudian duduk menyantap makanan dalam porsi jumbo yang disajikan di atas klakat (bambu yang dianyam, berfungsi serupa nampan). Laki-laki berkelompok dengan laki-laki, perempuan berkelompok dengan perempuan. Menunya, tentu saja makanan tradisional masyarakat Bali: sate dan lawar.

Di Karangasem, magibung tidak hanya digelar pada saat upacara keagamaan di pura. Magibung juga digelar pada kegiatan-kegiatan adat, misalnya nelu bulanin (tiga bulanan), mapandes (potong gigi),  dan pawiwahan (pernikahan).


Tujuan dari magibung adalah untuk memupuk kebersamaan dan kekeluargaan. Selain itu, makan beramai-ramai akan membuat makanan terasa lebih nikmat. Setuju nggak?

KEBERSAMAAN - Magibung untuk menjaga kekeluargaan dan kebersamaan. Tampak beberapa orang magibung usai persembahyangan di Pura Dadya Selingket di Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Karangasem, Sabtu (31/03/2018).

Tapi perlu diketahui, ada aturan tak tertulis
lho ketika magibung di Desa Pidpid. Meskipun sudah kenyang dan selesai makan, jika kelompok lain belum berdiri, kita pun tidak boleh berdiri. Kita harus tetap duduk menunggu yang lain selesai. Dengan kata lain, mulainya barengan, selesainya pun harus barengan. Setelah kelar magibung, barulah warga mepamit alias pulang ke rumah masing-masing.



Sekian tulisan mengenai magibung. Harapannya, semoga tradisi ini tetap lestari. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya ya...
Tonton videonya driki nggih semeton

Minggu, 25 Maret 2018

Mobil Baru Made Merta

BILA ada lomba suami teladan, pasti Made Merta juaranya. Semua unsur-unsur suami yang dapat diandalkan ada pada dirinya.

Sejak perkawinannya sah, seusai dipuput pendeta, Made Merta memang sudah bertekad akan menjadi suami nomor satu, menjadi suami yang selalu menyejukkan hati sang istri.

Tekadnya itu bukanlah omong kosong. Demi meringankan beban sang istri misalnya, Made Merta tak ragu menggarap pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang umumnya dikerjakan kaum hawa. Dari mencuci baju hingga mengurus anak, semua diembannya dengan penuh tanggung jawab.
Made Merta memang suami yang perhatian. Dia ingin sang istri juga punya waktu untuk menyenangkan diri. Toh, sang istri juga bekerja.

Made Merta pun selalu berusaha memenuhi segala keinginan sang istri. Meskipun kantongnya tak tebal, asal bisa bilang, segala kemauan sang istri pasti dituruti.

Untungnya, sang istri juga sosok yang pengertian. Dia tidak pernah meminta hal-hal yang dia tahu suaminya tidak akan mampu memenuhi.

Namun, pada suatu malam menjelang tidur, sang istri berbisik. Katanya, sudah lama dia mengidamkan sebuah mobil. Made Merta terperangah. Dapat uang darimana untuk membeli mobil? Dia berpikir keras dan tidak bisa tidur memikirkan hal itu.

Selama ini Made Merta hidup sederhana. Memiliki mobil tidak termasuk dalam cita-citanya.

Namun setelah direnungkan, masuk akal juga. Belakangan ini mereka sering pulang kampung. Si anak sudah kian besar, tak muat lagi dibonceng naik sepeda motor. Apalagi menempuh perjalanan jauh. Maka mobil memang suatu hal yang harus diupayakan.

Oleh sebab itu, hari-hari berikutnya Made Merta dengan tertib menyisihkan pendapatannya untuk bisa membeli mobil. Seperti kukatakan tadi, Made Merta adalah lelaki yang dapat diandalkan. Mengecewakan istri bukanlah kebiasaannya.

Waktu berjalan, akhirnya Desember, bulan kelahiran sang istri. Uang terkumpul. Diam-diam, Made Merta berangkat ke showroom mobil dan membawa pulang satu sebagai kado ulang tahun. Manis sekali bukan?

“Bu, coba lihat ke sini!” Made Merta sumringah memanggil sang istri, lalu tersenyum puas menunjukkan sebuah mobil gres di depan rumah.

Sang istri terkesiap dan langsung menutup mulutnya yang ternganga. Ekspresinya jelas menunjukkan perasaan antara gembira dan tak percaya. Sang anak juga muncul lalu bersorak-sorak riang. Mereka berangkulan penuh sukacita. Sungguh keluarga kecil yang bahagia.

“Tapi, kita taruh dimana mobil kita, Bu?” Made Merta tiba-tiba ingat bahwa mereka tidak punya garasi.

“Taruh di depan rumah saja. Toh, jalannya cukup besar.”

“Tapi di sana kan tempat mobil Pak Dewa biasa parkir?”

“Ya, di depan itu kan masih lingkungan kita. Lagipula Pak Dewa punya garasi kok.”

Keesokan harinya menjadi debut yang sangat istimewa. Sang istri akan berangkat kerja dan, bak gayung bersambut, di luar hujan turun dengan derasnya. Made Merta dan istrinya tidak mengeluh seperti yang sudah-sudah. Mereka justru bersyukur. Keputusan membeli mobil terasa tepat.

Di tengah kebahagiaan itu, beberapa hari kemudian, terjadilah malapetaka yang membuat Made Merta geram. Matanya melotot, perutnya mendidih. Dia ingin marah, tapi tidak tahu pada siapa. Sebaris baret panjang terpampang di bodi mobil sebelah kanan!

Made Merta kontan emosi. Mobil itu kini sudah menjadi benda paling prestisius--kalau tidak ingin mengatakan sudah seperti anggota keluarga--dan kini seseorang menggoresnya tanpa perasaan.

Dalam kalap, pikirannya sontak tertuju pada anak-anak yang biasa bermain sepeda di depan rumah. Tetapi ada begitu banyak anak-anak, siapa kira-kira yang sudah berani kurang ajar? Apakah Panjul? Alit? Bojes? Atau Lipur?

Panjul, agaknya bukan dia pelakunya. Dia sudah SD kelas 6. Anak seusianya pasti sudah paham bahwa mobil bukanlah barang sembarangan. Dia tidak akan bersepeda di dekat mobil dengan ceroboh dan ugal-ugalan.

Alit, sudah TK besar, juga bukan dia. Dia pemalu dan biasanya duduk di pinggir saja ketika yang lain asyik bermain.

Bojes, anaknya sendiri, lima tahun umurnya. Made Merta sudah menginterogasinya berkali-kali dan dia bersikukuh bilang tidak pernah menyentuh mobil. Barangkali memang bukan dia.

Anak terakhir, Lipur, seusia dengan anaknya. Nah, dia yang paling mungkin. Dialah yang badannya paling bau, jarang mandi, dan tidak pernah memakai sandal!

Pasti dia! Tidak bisa tidak, Lipur pelakunya! Made Merta dilanda keyakinan yang mantap. Dia sudah ingin segera menendang anak itu, namun urung dilakukannya. Atas dasar apa dia menuduh anak itu?

Beberapa hari berikutnya, astaga! Lagi-lagi Made Merta menemukan baret pada bagian mobil yang lain!

Made Merta kian gusar. Pada detik itu ingin sekali dia mengunyah orang dan orang bernasib buruk itu adalah Lipur!

Tetapi tak ada bukti, pun tak ada saksi. Made Merta benci lantaran tak berdaya. Semua kejengkelan itu pun hanya bisa disimpannya dalam-dalam. Bak menyimpan api dalam sekam.

Semenjak kejadian itu Made Merta selalu berprasangka buruk terhadap Lipur. Ketika pot tanaman pecah, atau ketika ada corat-coret di tembok luar rumah, atau ketika tempat sampah terguling sehingga isinya terserak tumpah, Made Merta langsung menuding Lipur biang keladinya.

Apakah karena kumal berarti dia seorang kriminal? Kemarahan yang tak terlampiaskan membuat Made Merta dendam. Dendam membuat Made Merta kehilangan akal sehat.

Tapi tak lama berselang, Made Merta menemukan alasan melampiaskan semua kekesalannya. Ketika itu Lipur bermain dengan sang anak di dalam rumah. Made Merta mendelik. Ingin sekali dia mengusir anak itu, tetapi tidak dilakukannya. Kemudian entah bagaimana ceritanya, Lipur menyenggol gelas di atas meja dan praang…! Gelas itu pecah, persis di depan hidung Made Merta.

Emosi Made Merta meluap. Tanpa panjang kata dia menggampar anak itu dan menjewernya tanpa ampun.

“Makanya pakai mata kalau main!” Ternyata ada sisi kejam tersembunyi dalam diri Made Merta.

Lipur menangis meraung-raung. Besoknya dia tak keluar rumah. Konon, badannya demam, bahkan nyaris kejang. Kasihan benar.

Lantaran tidak enak hati dengan orang tua Lipur, sang istri ingin Made Merta meminta maaf. Tak seharusnya Made Merta keras begitu pada anak-anak. Alih-alih setuju, Made Merta justru menghardik sang istri.

“Tidak usah sok menasihati aku! Bocah tengik itu memang patut diberi pelajaran! Jangan dibela. Ibu tidak tahu apa yang telah dia perbuat pada mobil kita! Bila perlu ku gampar dia lagi tiga kali!”

Sang istri terkejut. Benarkah lelaki di depannya itu Made Merta?

Made Merta yang dikenalnya adalah lelaki terpuji, suri teladan, juga ramah anak macam Kak Seto Mulyadi. Semenjak punya mobil Made Merta berubah. Ternyata sebuah benda bisa begitu cepat mengubah watak manusia. Sang istri miris.

Iya, Made Merta pun merasa dirinya tak lagi sama. Sejak punya mobil, pikirannya selalu cemas, was-was. Sebentar-sebentar dia melompat keluar mengintip mobilnya. Dia takut mobilnya kotor, lecet, atau hilang dicuri orang. Made Merta memang kadang-kadang suka berlebihan.

Lambat laun Made Merta menyadari, ternyata begini rasanya punya mobil: hidup jadi tidak tenteram.

Tetapi mengapa dia yang lebih was-was? Bukankah yang awalnya menginginkan mobil adalah sang istri? Lihat, istrinya tenang-tenang saja. Jangan-jangan, tanpa disadari, dialah yang sebenarnya lebih menginginkan punya mobil ketimbang sang istri.

Hingga akhirnya suatu malam, tak lama setelah kejadian itu, Made Merta pulang dari kondangan. Saking lelahnya, dia tidak langsung masuk rumah dan ketiduran di dalam mobil.

Tak sadar sudah berapa lama dia tertidur, tiba-tiba terdengar suara misterius dari belakang mobil, suara seperti sesuatu digoreskan dengan kasar.

Made Merta membuka mata. Samar-samar dia melihat sesosok manusia!

“Ha… Rasakan lagi! Siapa suruh nyerobot tempat parkirku!” Sosok itu menggumam. Duh, apakah selama ini orang itu pelakunya?

“Hei!” pekik Made Merta kemudian.

Sadar aksinya ketahuan, sosok itu langsung minggat secepat kilat. Made Merta meloncat keluar dari mobil, tapi tidak berusaha mengejar. Dia hanya melongo lantaran takjub. Kendati suasana remang, Made Merta mengenali sosok itu. Orang yang sama sekali tak pernah terpikir olehnya.

“Pak Dewa?” ucapnya setengah tak percaya.

Made Merta tiba-tiba teringat Lipur. Ingin sekali dia memeluk anak lugu lagi polos itu.