Minggu, 24 Januari 2016

Pemuda Yang Menunggu Pesawat (cerpen)

Saat kegundahan melingkupi jiwa, di pantailah aku bermuara. Tatkala tak satu pun mampu mengurai kemelut kusut yang membalut, ke pantailah aku beringsut. Pantai adalah tempat yang kuanggap bisa menawar kesedihan yang kurasakan. Tempatku meredam emosi yang bergejolak. Pantai seakan memiliki kekuatan menghisap beban hidup yang tidak dapat kutanggung seorang diri, meski hanya sementara.
Aku menyukai pantai dengan segala pernak-perniknya: pasir, karang, ombak, angin, yuyu, perahu yang bergoyang, bahkan sampahnya. Aku selalu merindukan warna birunya, rindu belaian angin yang menghamburkan aroma laut—basah, lembab, dan asin. Entah kenapa segala hal itu mampu meneduhkan hatiku.
Begitu pun hari ini, ketika aku dihadapkan pada persoalan rumit yang sulit bagiku untuk menyelesaikannya, ketika sebuah dilema menghampiri tak terduga, aku pergi ke pantai. Ingin kutumpahkan segenap keluh kesah, agar enyah terhempas ke laut lepas, agar hatiku jernih dan dapat mengambil keputusan tanpa merampas kebahagiaan siapapun.
Tapi pantai ini bukan pantai yang biasa kudatangi. Pantai ini sama sekali baru. Sejak aku pindah tempat tinggal, pantai yang sering kudatangi menjadi begitu jauh. Dari seorang teman, kuketahui keberadaan pantai ini, lokasinya dekat dengan tempat tinggalku yang baru.
Aku belum tahu nama pantai ini. Situasinya tidak begitu ramai. Pasirnya putih dan ombaknya tenang. Tempat yang pas untukku melepas keresahan. Lalu ada tumpukan tinggi batu-batu putih melintang seolah-olah membelah pantai menjadi dua, utara dan selatan. Aku langsung berdiri di atas bebatuan itu. Di utara, aku melihat puluhan perahu ditambat, terombang-ambing gemulai mengikuti alunan ombak, menunggu sang nahkoda yang datang senja. Berpaling ke selatan, aku melihat runway atau landasan pesawat menjulur panjang hingga ke tengah laut. Rupanya di sana bagian dari bandara. Di landasan itu aku melihat pesawat take off dan landing silih berganti. Aku takjub lantaran belum pernah menyaksikan pesawat sedekat dan sebesar itu.
Aku merasa mulai menyukai pantai ini. Nuansanya yang benar-benar baru memantik keinginanku untuk menyusurinya dan berhasil membuatku lupa akan persoalan yang tengah menyandera. Segera aku menuruni bebatuan menuju ke selatan. Pesawat-pesawat itu menggodaku agar mendekat. Kakiku yang tak beralas melangkah cepat di atas pasir padat dan landai. Sesekali aku berhenti untuk memungut karang-karang kecil yang terdampar dimuntahkan ombak. Semakin ke selatan, aku dapat melihat burung-burung besi itu begitu besar, gagah, dan percaya diri. Diam-diam aku merasa kagum dengan salah satu teknologi tercanggih dalam sejarah peradaban manusia tersebut.
Aku terus saja berjalan ke selatan mendekati landasan. Ternyata aku tidak sendiri. Seorang pemuda bertubuh gemuk tengah duduk di atas batu karang menghadap ke selatan. Kedua tangannya sibuk dengan kamera. Ketika landasan pesawat berjarak kurang lebih 50 meter di depanku, tiba-tiba entah dari mana muncul seekor anjing menyalak galak. Lalu seorang petugas bandara keluar dari posnya di sisi landasan. Aku tidak mendengar ia berteriak apa—deru mesin pesawat menenggelamkan suaranya—akan tetapi dari gerakan tangannya aku paham ia menghalauku agar tidak mendekati landasan. Mungkin anjing itu adalah piaraan si petugas. Gonggongannya menjadi kode baginya jikalau ada orang yang mendekat.
“Tidak boleh ke sana. Cuma boleh sampai di sini saja.” Si pemuda bertubuh gemuk berseru. Ia menatap landasan sejenak, kemudian kembali sibuk dengan kameranya. Ia sama sekali tidak memandangku. “Oh, tidak boleh ya? Saya tidak tahu, saya baru sekali ini ke sini.” jawabku. Sekilas kuperhatikan pemuda itu. Sepertinya ia orang baik-baik, tanpa ragu aku mengambil posisi yang pas duduk di sekitarnya.
“Sering ke sini?” tanyaku. Pemuda itu menjawab dengan menganggukkan kepala. Sepertinya ia tidak suka banyak bicara, karena itu aku tidak berniat bertanya lagi.
Selama sekian menit kami berdua diam tanpa kata. Aku kembali terpesona melihat pesawat-pesawat yang melintas dengan anggun, terpana dengan deru mesinnya yang membahana saat akan tinggal landas, terpukau melihat roda-rodanya yang cantik berdecit mengepulkan asap tipis saat mendarat menyentuh Iandasan.
Pemuda itu masih sibuk dengan kameranya, bertindak seolah-olah tidak ada aku di sana. Ia tidak melihat ke arah lain selain melihat pesawat. Beberapa kali ia mengarahkan lensanya pada pesawat yang mendarat. Menjepret lalu melihat hasilnya. Begitu terus berulang-ulang. Ekspresinya datar saja. Kalau tidak ada pesawat, ia melamun. Umurnya mungkin tidak lebih dari 23 tahun, akan tetapi tak kulihat semangat darah muda di dirinya. Aku melihat sorot mata yang sedih dan menyiratkan keputusasaan, namun ada semacam kerinduan yang dalam di sana.
Sesaat kemudian, sebuah pesawat besar dan panjang terbang rendah hendak mendarat. Pemuda itu membidik pesawat itu beberapa kali. “Betapa besarnya pesawat itu!” seruku.
“Itu pesawat jenis Boeing 777 seri 300,” rupanya ia mendengar ungkapan kekagumanku tadi. “pesawat terbesar yang sering masuk bandara di sini, bisa menampung penumpang hingga 400an orang.” Aku manggut-manggut mendengarkan. “Sebenarnya ada yang lebih besar, Boeing 747, mesinnya empat, tapi jarang ke sini. Kalau yang lebih besar lagi Airbus A380 tapi tidak bisa masuk bandara di sini karena saking besarnya.”
“Begitu ya? Pesawat ternyata banyak jenisnya ya.”
“Banyak, selain Boeing dan Airbus juga ada ATR, Sukhoi, Fokker, Embraer.” Pemuda itu mulai bercerita. Sejak tadi, baru kali ini kulihat ia tersenyum. “Tadi itu pesawat Singapura, kode penerbangannya 9V. Kalau pesawat Indonesia kodenya PK.”
Melihatku antusias mendengarkan, pemuda itu tambah semangat bercerita. Ia bercerita tentang maskapai-maskapai penerbangan, juga tentang bandara-bandara di seluruh dunia. Ia bercerita banyak tentang dunia penerbangan, termasuk bagaimana kerja pilot, pramugari, engineer pesawat, hingga ATC. Ia bahkan punya aplikasi radar pesawat dan jadwal penerbangan lengkap di handphonenya.
“Saya cuma ngerti sedikit. Spotter-spotter yang lebih ‘gila’ dari saya banyak di luar sana.” pemuda itu merendah saat aku memuji hobinya yang tergolong tidak lumrah.
“Lalu bagaimana awalnya bisa menggeluti hobi ini?” mendengar pertanyaanku, senyum pemuda itu seketika lenyap. Menghilang bersama tenggelamnya mentari di ufuk barat.
Bayangan sesosok wanita mendekat ke arah kami. “Andri, ayo pulang sudah sore.”
“Aku sudah dijemput, sampai jumpa lagi, Bli.” pemuda itu beranjak dengan wajah murungnya seperti saat awal kulihat. Ia berlalu melewati ibunya. Wajah si ibu murung, semurung wajah anaknya. “Temannya Andri?” ia bertanya.
“Bukan, eh, iya. Tapi kami baru kenal tadi.” jawabku.
“Kasihan dia,” si ibu memandang sedih anaknya yang berjalan menjauh. “seharusnya 5 tahun yang lalu bapaknya pulang kerja dari kapal pesiar, tapi pesawat yang ditumpanginya tidak pernah sampai. Dia masih menanti hingga kini. Setiap ada jadwal penerbangan pesawat dari Qatar ke Bali ia selalu ke sini. Kadang ia menunggu di kedatangan internasional di dalam bandara, berharap bapaknya keluar melambaikan tangan, membawa oleh-oleh, dan memeluknya. Dia masih percaya bapaknya pasti kembali. Ia rindu bapaknya.” Si ibu menitikkan air mata kemudian pamit menyusul anaknya.
Lama aku memikirkan bagaimana pemuda itu masih tahan memelihara kerinduannya selama itu. Ternyata ia tidak punya bapak sama sepertiku. Tiba-tiba aku kembali teringat pada dilema yang membelitku. Ibuku, setelah menjanda tiga tahun, berkata ingin menikah lagi. Aku tidak masalah. Bagaimana pun kebahagiaan ibuku adalah kebahagiaanku juga. Akan tetapi, lelaki—berstatus duda—yang akan dinikahinya ternyata ayahnya Tarmini, gadis yang sudah setahun ini jadi kekasihku.***

Minggu, 17 Januari 2016

Pahlawan (cerpen)


Aku adalah guru tetapi bukan guru. Maksudku, latar belakang pendidikanku adalah guru namun aku tidak bekerja di sekolah menjadi guru. Pekerjaanku saat ini justru tidak berkenaan dengan dunia pendidikan.

Saat kecil, aku punya impian menjadi guru. Saat itu aku takjub bahwa guru adalah manusia luar biasa karena serba tahu. Guru memang sosok yang patut digugu dan ditiru.

Demi menggapai cita-cita menjadi guru, aku mengambil kuliah keguruan. Anehnya, setelah menjalani kuliah, cita-citaku yang awalnya bersinar terang mendadak redup. Semangatku yang berkobar kian padam. Ditambah setelah mengetahui kenyataan bahwa penghasilan sebagai guru tidaklah memadai untuk menghidupi keluarga, cita-citaku kian goyah kemudian runtuh.

Setelah lulus kuliah, aku bahkan tidak pernah melamar pekerjaan menjadi guru. Aku sudah mengubur cita-cita menjadi guru sebelum itu. Aku memandang profesi guru dengan sebelah mata. Aku tidak sudi menjadi guru.

Meski begitu, dalam jiwaku masih terpatri jiwa seorang guru. Masih tersisa sedikit naluri mengajar, mendidik, dan melatih sebagaimana tugas yang diemban guru. Setidaknya naluri itu masih kuamalkan untuk anakku. Oleh sebab itulah aku masih bersemangat memberikan penjelasan jika anakku bertanya tentang hal-hal yang tidak ia mengerti di sekolah.

Pernah suatu ketika anakku bertanya, “Ayah, apa itu pahlawan?” Rupanya ia memiliki pekerjaan rumah membuat karangan bertema hari Pahlawan.

“Pahlawan adalah orang-orang yang rela mengorbankan dirinya untuk hal-hal yang lebih besar, hal-hal luhur yang dicita-citakan oleh semua orang. Tidak hanya mengorbankan tenaga dan uang, bahkan nyawa pun siap mereka berikan. Pahlawan adalah mereka yang membuang kepentingan pribadinya agar dapat memikul kepentingan orang banyak. Karena itulah kita wajib menghormati pahlawan.” Kujawab pertanyaan itu dengan antusias.

Anakku yang masih SD itu manggut-manggut kemudian bertanya lagi, “Siapa saja contohnya, Ayah?”

“Contohnya ya banyak. Ada Gusti Ngurah Rai pahlawan dari Bali, Cut Nyak Dien pahlawan dari Aceh, Kapitan Pattimura dari Maluku, Bung Tomo dari Surabaya. Ada juga Bung Karno dan Bung Hatta, pahlawan proklamasi kita. Lalu ada Tuanku Imam Bonjol, Diponegoro, Kartini, Sisingamangaraja, Sudirman, Ahmad Yani, Ki Hajar Dewantara, dan masih banyak lagi. Mereka adalah orang-orang yang rela gugur demi kejayaan tanah air Indonesia. Apa yang telah mereka lakukan harus kita teladani.”

Anakku manggut-manggut lagi, namun kemudian keningnya berkerut. Aku sudah bersiap menyambut pertanyaan berikutnya sebab aku tahu ia masih belum puas dan pasti akan bertanya lagi.

“Mereka semua kan sudah mati…”

“Meninggal” aku menyela.

“Iya, mereka semua kan sudah meninggal, Yah. Apakah harus meninggal dulu baru jadi pahlawan?”

Semakin lama pertanyaan yang muncul tambah aneh. Tapi tak apalah, namanya juga anak-anak.

“Jadi pahlawan tidak harus meninggal dulu, Nak. Tidak harus gugur di medan perang dulu baru jadi pahlawan. Kebetulan saja contoh yang ayah sebutkan tadi memang sudah meninggal. Mereka gugur dalam perlawanan merebut kemerdekaan dulu. Karena pengorbanan dan pengabdian yang besar terhadap tanah air, kini  mereka diberi gelar Pahlawan Nasional.”

“Lalu contoh pahlawan yang masih hidup siapa, Yah?”

“Contoh pahlawan yang masih hidup ya banyak juga. Misalnya polisi. Mereka bisa dianggap pahlawan juga. Mereka mengatur lalu lintas agar semua berjalan lancar, tertib, teratur. Tak peduli panas terik atau hujan lebat mereka tetap bertugas. Semua demi kebaikan bersama. Selain itu, polisi juga memberi kita rasa aman. Coba bayangkan kalau tidak ada polisi. Penjahat, pencuri, pengedar narkoba, pembakar hutan, begal, koruptor siapa yang mengurus?”

“Para tentara juga begitu, mereka juga pahlawan yang masih hidup. Mereka menjaga kedaulatan negara kita. Merekalah yang menjaga keamanan negara kita baik di darat, di laut, maupun di udara. Mereka semua adalah orang-orang yang terlatih. Ketika musuh menyerang, merekalah yang berada di garis terdepan.”

“Lalu siapa lagi?”

“Lalu siapa lagi ya? Nah dokter! Dokter juga pahlawan. Pekerjaan mereka sangat mulia. Mereka membebaskan kita dari penyakit. Banyak dokter yang bertugas di daerah-daerah terpencil dan tidak digaji. Mereka tetap ikhlas demi mewujudkan rakyat Indonesia yang sehat.”

“Petugas kebersihan dan tukang sapu juga pahlawan.”

“Tukang sapu? Masa tukang sapu juga pahlawan?”

“Lho, jangan kamu lihat pekerjaannya, lihat apa yang sudah mereka perbuat untuk orang lain. Tukang sapu membuat lingkungan bersih dari sampah sehingga kita merasa nyaman berada di sana. Mereka tidak jijik meskipun harus berkutat dengan sampah yang bau dan kotor. Mereka tetap semangat bekerja dengan  imbalan yang tidak seberapa. Jadi menurut ayah, mereka patut disebut pahlawan lingkungan.”

“Oh ya, ayah hampir lupa, ada satu lagi pahlawan. Pahlawan wanita dan dia sangat dekat denganmu. Dia membawamu ke sana-ke mari selama sembilan bulan dalam perutnya, tak peduli berat dan lelah. Setelah kamu lahir, ia memberimu kasih sayang yang melimpah. Kamu diasuh dengan sangat telaten hingga sebesar sekarang. Ia merawatmu melebihi ia merawat dirinya sendiri. Dia adalah ibumu sekaligus pahlawanmu.”

“Kalau begitu, Ayah juga pahlawanku dong?”

“Boleh saja kalau kamu menganggapnya begitu. Tapi ayah belum merasa jadi pahlawan. Nanti kalau ayah berhasil mendidikmu menjadi orang yang berguna untuk keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, barulah ayah merasa menjadi pahlawan.”

“Jadi intinya, menjadi pahlawan itu tidak harus meninggal dulu, pahlawan yang hidup juga banyak. Asalkan melakukan pekerjaan mulia dengan ikhlas dan tanpa pamrih demi kebaikan bersama maka pantas disebut pahlawan.” Aku tersenyum puas karena berhasil menjawab semua pertanyaan.

“Kalau begitu aku juga ingin menjadi pahlawan. Aku ingin berguna untuk Indonesia.” Anakku tersenyum lebar. Matanya berbinar-binar memancarkan tekad yang kuat.

“Bagus itu. Maka dari sekarang kamu harus rajin-rajin belajar, makan yang banyak, dan rajin berdoa. Memangnya kamu mau jadi pahlawan apa?”

“Coba Ayah tebak.”

“Ayah tahu. Pasti mau jadi seperti Power Rangers kan, membasmi penjahat dan melindungi orang-orang yang lemah?” aku mencoba menggoda. Ia menggelengkan kepala.

“Kalau begitu pasti mau jadi seperti Ultraman, melindungi bumi dari serbuan monster-monster jelek?”

Anakku menggeleng lagi.

“Pasti mau jadi seperti Satria Baja Hitam? Batman mungkin? Atau Doraemon? Harry Potter? Naruto? Upin Ipin? Ashoka? Tukul Arwana?”

Anakku tetap menggelengkan kepala. Kemudian ia berkata dengan mantap, “Aku ingin jadi guru!”

Aku kaget dan tersedak. “Kamu bilang mau jadi apa, Nak?”

“Aku ingin jadi guru, Ayah. Guru kan pekerjaan mulia. Ayah pasti lupa, guru kan pahlawan juga. Guru membuat kami murid-murid menjadi pintar. Kalau tidak ada guru, siapa yang mengajari kami membaca, menulis, berhitung, menggambar, bernyanyi? Kalau tidak ada guru, kami tidak memiliki ilmu. Kalau tidak ada guru, tidak ada polisi, tentara, dan dokter yang pintar dan cekatan. Ibu pernah bilang, guru itu pahlawan, walaupun tanpa tanda jasa tetap tak jera menjadi pelita. Meskipun penghargaannya tak sebanding, tetap tak ragu membagi ilmu. Ibu juga pernah bilang ayah adalah guru, kok ayah tidak mengajar di sekolah? Ayah tidak mau jadi pahlawan?”

Wajahku langsung pucat. Kugaruk kepalaku meski tak gatal. Senyumku masam. Kali ini aku diam tidak bisa menjawab. ***

Minggu, 03 Januari 2016

Euforia (cerpen)

Ketika membaca berita di koran bahwa akan digelar turnamen sepak bola bertajuk Indonesian Championship Jenderal Sudirman Cup pada pertengahan November, dan Bali United turut di sana, Sutama langsung tersenyum sinis. Dibakarnya koran di warung nasi itu sampai tak bersisa. Bu Wati, pemilik warung nasi, langsung sewot melihat kelakuan Sutama yang seenaknya membakar koran miliknya dan, tentu saja, mengganggu kenyamanan pelanggan lain yang sedang makan.
“Lho Pak Sutama, mengapa koran saya dibakar? Nanti kalau apinya gede terus warung saya hangus, gimana?” semprot Bu Wati naik pitam.
“Nggak usah sewot, nanti saya ganti rugi kalau itu terjadi. Itu koran berapa harganya? Sekalian saya bayar sama nasi saya, plus kerupuk tadi satu.” jawab Sutama tak kalah emosinya.
“Emosi sih emosi, tapi jangan asal main bakar dong. Kan bahaya. Memangnya ada kabar apa sih, sampai Pak Sutama bakar koran segala?”
“Gini Bu Wati, maaf korannya saya bakar. Saya nggak bisa menutup-nutupi kemarahan saya. Saya muak dengan sepak bola Indonesia. Kemarin-kemarin turnamen, sekarang turnamen lagi, kapan liganya digulirkan? Turnamen yang baru selesai kemarin saja finalnya rusuh. Indonesia itu tidak butuh turnamen banyak-banyak. Turnamen itu sifatnya cuma sebentar dan jangka pendek. Indonesia butuh sebuah liga yang profesional, yang berkelanjutan, sebagai tempat pembibitan pemain-pemain timnas agar terasah, teruji, dan mumpuni. Agar sepak bola Indonesia kembali ke jalur yang benar dan diakui FIFA. Dulu sepak bola kita masih dianggap di mata dunia, setidaknya di level asia tenggara, sekarang apa? Kompetisi saja tidak punya. Begini nih kalau pengurus-pengurus sepak bola kita tidak becus. Gimana sepak bola Indonesia bisa maju kalau PSSI sama Menpora berkelahi? Ibarat gajah berkelahi sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.”
“Lho bukannya Pak Sutama fans berat Bali United? Seharusnya Pak Sutama senang sebab Bali United main, jadi tuan rumah pula, masa nggak setuju?” seorang teman di sebelah Sutama ikut nimbrung.
“Saya tetap nggak setuju. Saya bukan lagi pendukung Bali United. Biar kata jadi tuan rumah juga pasti bakal kalah. Pasti bakal lebih dulu tersingkir seperti yang sudah-sudah. Apa yang bisa diharapkan dari tim bau kencur. Bikin malu saja.” jawab Sutama pesimis.
“Menurut saya, permainan Bali United, seperti yang saya lihat di turnamen yang duluan, sudah bagus. Hanya saja musuhnya kebetulan lebih bagus lagi, lebih banyak jam terbangnya. Saya, walaupun Bali United kalah, tetap bangga. Ke depannya, saya yakin Bali United pasti jadi tim besar yang ditakuti tim-tim lain. Masa nggak bangga dengan tim sepak bola daerah sendiri?”
Bu Wati yang tidak mengerti sepak bola hanya geleng-geleng kepala lalu ngeloyor pergi. Sutama juga tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecut lalu pergi setelah membayar makanannya.
Sampai di rumah, emosi Sutama belum juga reda. Pintu gerbang ditendang. Sepatu dilempar sembarang. Istrinya terkejut lalu bertanya, “Kenapa Pak? Pulang-pulang kok marah-marah?”
“Nggak usah nanya, Bu. Nanti aku jadi tambah kesal. Bikinkan saja aku kopi.” jawab Sutama ketus lalu duduk di kursi depan sambil menunggu kopinya datang.
Sutama adalah salah satu dari sekian banyak orang yang kecewa terhadap sepak bola Indonesia. Dulu ia penggemar sejati sepak bola Indonesia. Tapi kini ia terlanjur sakit hati. Ia merasa dikhianati. Kecintaannya terhadap sepak bola tanah air dibalas dengan pembekuan liga. Sutama langsung mengambil sikap. Ia menghapus sepak bola dari kehidupannya. Ia berhenti jadi suporter. Ia juga tidak mau menyentuh si kulit bundar lagi, walaupun untuk sekedar mencari keringat. Ia ngambul dan gantung sepatu. Tidak hanya itu, ia juga bersumpah tidak lagi menonton pertandingan sepak bola nasional.
Tak lama, Putra Adnyana—anaknya—datang. Dengan menenteng sepatu bola dan menggendong tas, ia lewat santai di depan Sutama.
“Hei, darimana Kamu?” tanya Sutama tanpa senyum.
“Biasa, dari Renon latihan bola.”
“Dengar, mulai sekarang tidak ada sepak bola-sepak bolaan. Kamu pilih olahraga yang lain. Kamu main saja badminton. Murah dan cocok untuk badanmu yang tinggi. Atau basket juga boleh. Voli, renang, karate, panjat tebing, lempar lembing, kasti, catur, poco-poco apa saja boleh, asalkan jangan sepak bola.”
“Lho, memang kenapa Pak? Kok tiba-tiba Bapak melarangku main sepak bola? Bukannya Bapak yang dulu nyuruh aku ikut sekolah sepak bola?” Putra Adnyana berkelit.
“Itu dulu, sekarang sudah beda. Sekarang sepak bola sudah tidak sportif lagi. Sudah penuh skandal dan tidak halal. Sepak bola sudah dikorupsi, sudah berorientasi bisnis. Masa depanmu di sepak bola tidak bagus. Di rumah ini, sekarang, semua yang berbau sepak bola dilarang. Titik.”
“Kalau nonton?”
“Tidak boleh! Bapak nggak akan ngasi uang untuk nonton bola. Buat apa datang jauh-jauh jadi suporter? Sudah macet, capek, suara habis, ujung-ujungnya juga kalah. Masa beli tiket mahal-mahal untuk nonton orang kalah? Benar-benar payah dan nggak bisa dibanggakan.”
“Bapak gimana sih, menang-kalah kan biasa dalam pertandingan. Masa mau menang terus?”
“Sudah, Kamu jangan banyak omong. Sekarang turuti saja perintah Bapak. Buang semua alat-alat sepak bolamu. Buang juga punya bapak. Baju, bola, sepatu, kaos, majalah, bendera, buang semua. Buang! Buang semua jauh-jauh. Jangan sampai Bapak melihatnya lagi. Bila perlu bakar saja. Jersey Bali United buang juga. Bapak nggak butuh itu lagi. Poster-poster yang ada di tembok robek saja semua. Semuanya! Jangan sisakan satupun, ngerti kamu?”
“Termasuk poster Lionel Messi juga, Pak?”
“Eh, emm… yang itu jangan. Dia pemain favorit Bapak.”
Putra Adnyana tak berani membantah lagi. Ia masuk ke rumah dengan lesu sekaligus heran. Ia terancam tidak bisa menyaksikan pertandingan Bali United versus Persipura Sabtu depan. Di dalam, ia bertanya pada ibunya perihal kelakuan bapaknya yang aneh. Ibunya hanya mengangkat bahu. “Mungkin ambeyennya kumat.” bisik ibunya singkat.
Diam-diam Putra Adnyana tidak mengikuti perintah Sutama, bapaknya. Ia tidak membuang benda-benda seperti yang sudah diperintahkan. Semua disimpan dalam kardus dan ditaruh di belakang rumah. Jersey Bali United, topi, dan syal juga disimpannya dengan rapi di dalam kardus. Pun ia tetap pergi ke Stadion Dipta menyaksikan pertandingan Bali United kontra Persipura.
Pertandingan Bali United melawan tim asal Papua tersebut berjalan sengit. Kedua tim saling melancarkan serangan. Di pertengahan babak kedua, Lerby Eliandry berhasil mencetak gol membuat Bali United unggul lebih dulu. Namun dramatis, poin tiga yang sudah hampir masuk kantong terpaksa melayang lantaran Persipura berhasil menyamakan kedudukan melalui gol tendangan bebas Ian Kabes saat pertandingan sudah dalam hitungan detik. Hasil imbang membuat pertandingan dilanjutkan dengan adu penalti.
Putra Adnyana menyaksikan drama adu penalti di tribun timur dengan penuh ketegangan. Dan luar biasa, Bali United berhasil mempecundangi Persipura dengan skor 4-1. Dalam gemuruh kegembiraan yang meluap-luap, Putra Adnyana menulis status di BBM, “Serdadu Tridatu mengandaskan Mutiara Hitam. Forza Bali United!” Tak lupa ia mengganti display picture dengan foto dirinya berlatar lautan suporter berseragam merah.
Di rumah, Sutama melihat apa yang ditulis anaknya saat mengecek pembaruan. Matanya langsung melotot. Mukanya merah padam. Dadanya kembang-kempis. Jemari-jemari tangannya gemeretak karena dikepal kuat-kuat. Melihat gelagat tidak bagus, istrinya langsung meng-SMS sang anak, “Enggal mulih, perasaan Meme nggak enak.”
Putra Adnyana tiba di rumah sudah hampir tengah malam. Ia masuk ke rumah dengan berjingkat-jingkat berharap bapaknya tidak terbangun. Namun apa daya sial, Sutama masih belum tidur dan menghadangnya di depan pintu. Putra Adnyana langsung tertunduk memelas. Ia tidak berani memandang mata bapaknya yang merah membelalak. Ibunya khawatir dan cemas.
“Apa Bapak bilang? Dari awal Bapak sudah yakin Bali United pasti bakal menang. Keberanian coach Indra Sjafri menggunakan pemain-pemain muda sangat brilian. Kita memang harus memberi peluang pada generasi muda untuk unjuk gigi memamerkan kemampuan mereka. Asalkan pemain muda yang dipilih adalah mereka yang pekerja keras, mereka yang berjiwa puputan. Bukan banci, takut jatuh, takut kepanasan, bermental lembek, baru mendengar nama besar musuh langsung kendor. Pemain-pemain muda harus diberi banyak pengalaman agar kelak mereka menjadi pemain yang cemerlang, baik taktik maupun teknik.”
Putra Adnyana dan ibunya saling pandang. Mereka tidak paham dengan sikap Sutama yang sontak berubah 180 derajat. “Jadi Bapak bangga?”
“Jelas bangga dong, gimana sih. Kita orang Bali harus tetap mendukung Bali United, apapun kondisinya. Jangan hanya mendukung saat menang saja, lalu saat kalah dilupakan. Menang atau kalah Bali United adalah tim kebanggaan daerah kita. Dan ingat, kita jadi suporter jangan sampai terpecah belah. Jangan kayak partai politik, ada kubu-kubuan. Masa kalah sama suporter luar? Tribun timur dan tribun selatan harus bersatu kalau nggak mau mati kutu. Pokoknya Jumat depan Bapak mau ikut memerahkan Stadion Dipta. Bapak tidak mau ketinggalan euforia turnamen ini. Ibu juga harus ikut.”
“Bapak kan nggak suka macet.” Putra Adnyana nyeletuk.
“Tak masalah, ini macetnya berbeda. Kemacetan penuh antusiasme dan fanatisme. Semua yang berpakaian sama dengan kita serasa saudara. Tapi ngomong-ngomong, baju Bapak jadi dibuang?”***