Kamis, 14 November 2019

Pahlawan Tak Dikenal

Karya Toto Sudarto Bachtiar

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda

Jumat, 08 November 2019

NASKAH PIDATO: Generasi Milenial, Generasi Anti-Korupsi


Yang terhormat Bapak/Ibu dewan juri; Yang saya hormati Bapak/Ibu pembina ataupun pendamping yang turut hadir di sini; Begitu pula teman-teman dan hadirin semua yang saya cintai. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puja dan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya kita dapat berkumpul di tempat ini dengan sehat sentosa dan hati penuh bahagia.
Sebelum saya melanjutkan pidato ini, izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Erika Enzelia Novitasari. Saya siswa kelas IX SMP PGRI 2 Denpasar. Pada kesempatan kali ini saya akan menyampaikan sebuah pidato yang berjudul “Generasi Milenial, Generasi Anti-Korupsi”.
Tujuan saya berpidato pada pagi hari ini adalah untuk menyuarakan dan juga untuk mengimbau generasi muda penerus bangsa untuk menjadi generasi anti-korupsi. Seperti yang kita ketahui bersama korupsi adalah pelanggaran hak-hak azasi, hak-hak sosial, dan hak-hak ekonomi yang berdampak sangat buruk yang merugikan negara kita tercinta, Indonesia. Maka dari itu, korupsi tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan biasa, melainkan kejahatan luar biasa. Mengapa? Karena dampak dari korupsi bukan hanya menghambat pembangunan negara, tetapi juga merusak bibit-bibit generasi muda penerus bangsa.
Negara kita Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, kaya akan seni dan budaya, kaya akan segala aspek, tetapi mengapa masih banyak anak-anak yang putus sekolah karena tidak memiliki biaya? Mengapa masih banyak anak-anak yang mati kelaparan? Apa yang salah dengan bangsa kita ini? Masih banyak rakyat yang tidur beratapkan langit beralaskan tanah tidak memiliki tempat tinggal. Masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mengapa? Karena hak-hak mereka diambil oleh orang-orang serakah yang hanya berpikir bagaimana memperkaya diri mereka sendiri dan kelompoknya.
Para hadirin yang berbahagia,
Coba bayangkan, betapa ironisnya negara kita Indonesia yang merupakan negara berdasarkan Pancasila justru menjadi negara yang digolongkan sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia. Indonesia Corruption Watch menilai hingga tahun 2018, angka kasus korupsi di Indonesia masih terbilang cukup tinggi. Bahkan, menunjukkan tren meningkat dari tahun-tahun sebelumnya baik dari jumlah kasus maupun jumlah kerugian yang ditimbulkan. Padahal, di Indonesia telah dibuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
 Kita generasi milenial, pada tahun 2045 mendatang, tepat 100 tahun bangsa ini merayakan kemerdekaan kitalah generasi yang akan menentukan wajah Indonesia. Bagaimana cara kita menghentikan praktik korupsi di negeri ini? Korupsi harus diberantas dengan cara meningkatkan iman dan ketaqwaan kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta menciptakan sumber daya manusia yang bermoral dan bermartabat. Because the duty of youth is to challenge corruption with brave, honest, and powerful—Karena tugas kita sebagai generasi muda adalah menentang korupsi dengan berani, jujur, dan hebat. Maka dari itu, saya sebagai perwakilan generasi muda penerus bangsa, mengimbau seluruh generasi muda untuk mengatakan TIDAK pada korupsi. Kita sebagai generasi muda harus menghentikan paradigma “maju tak gentar membela yang bayar”.
Hadirin sekalian yang saya banggakan, demikianlah pidato yang dapat saya sampaikan. Terima kasih atas perhatian hadirin. Terima kasih juga saya ucapkan untuk Kejaksaan Negeri Kota Denpasar serta Disdikpora Kota Denpasar atas upayanya memberantas korupsi dengan mengadakan lomba pidato bertema Anti-Korupsi ini. Jika ada jarum yang patah, jangan disimpan di dalam peti, jika ada kata yang salah jangan disimpan di dalam hati. Klungkung-Semarapura, kirang langkung nunas geng sinampura. Selamat pagi, salam sejahtera.

NASKAH PIDATO: Memberantas Korupsi Melalui Lomba Pidato Anti-Korupsi


Yang terhormat Bapak/Ibu dewan juri; Yang saya hormati Bapak/Ibu pembina ataupun pendamping yang turut hadir di sini; Begitu pula teman-teman dan hadirin semua yang saya cintai. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puja dan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya kita dapat berkumpul di tempat ini dengan sehat sentosa dan hati penuh bahagia.
Perkenalkan, nama saya I Komang Juniantara Dalta Wiguna. Saya adalah siswa kelas IX SMP PGRI 2 Denpasar. Pada kesempatan kali ini saya akan menyampaikan sebuah pidato dengan judul “Memberantas Korupsi Melalui Lomba Pidato Anti-Korupsi”.
Kalau boleh jujur, sesungguhnya saya tidak ingin tampil di sini membawakan pidato. Saya terbilang anak yang nakal di sekolah. Saya sering bolos, suka tidur di kelas, dan yang paling parah: sering korupsi uang SPP! Sekarang saya malah disuruh ikut lomba pidato bertema anti-korupsi. Anak yang suka korupsi ikut lomba pidato bertema anti-korupsi, itu sama saja dengan menjilat ludah sendiri. Saya heran kenapa saya yang dipilih untuk ikut lomba ini.
Jujur saya akui, saya sering korupsi. Saya suka korupsi karena terinspirasi banyaknya anggota DPR yang korupsi. DPR korupsi, saya juga korupsi. Bedanya, DPR korupsi milyaran, saya korupsi sepuluh ribuan. DPR ketahuan korupsi: dipenjara, tapi dapat fasilitas lengkap. Saya ketahuan korupsi: dipecut pakai ikat pinggang, sampai babak belur. Di sana saya merasa tidak adil. DPR korupsi milyaran, hukumannya seharusnya lebih dari itu. Jika suatu saat saya jadi presiden lalu ada anggota DPR yang ketahuan korupsi, saya akan beri hukuman yang sama: dipecut pakai ikat pinggang, tapi… dipecutnya oleh seluruh rakyat Indonesia. Biar mereka tahu rasa. Biar sekujur badannya babak belur juga.
Tapi kalau itu benar-benar terjadi, anggota DPR yang korupsi itu dipecut oleh seluruh rakyat Indonesia, ada satu orang yang tidak ikut, yaitu saya, sebab saya tidak punya ikat pinggang. Jadi Bapak/Ibu juri, mohon kasih saya nilai bagus supaya menang. Nanti dapat hadiah uang, saya akan pakai untuk membeli ikat pinggang.

Hadirin sekalian yang berbahagia,
Setelah lomba pidato ini, saya memutuskan tidak bercita-cita menjadi koruptor lagi. Saya tidak akan korupsi uang SPP lagi. Untuk menyusun naskah pidato ini, saya membaca-baca banyak artikel tentang dampak korupsi. Di sana saya baru sadar ternyata korupsi itu adalah tindakan yang sangat busuk. Karena korupsi, jutaan anak-anak tidak bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Karena korupsi, jutaan rakyat tidak mendapat pelayanan kesehatan yang layak. Banyak daerah-daerah yang masih tertinggal lantaran dana pembangunan infrastrukturnya juga dikorupsi. Bayangkan, di zaman kemerdekaan sekarang, masih ada desa-desa yang tak tersentuh listrik dan kesulitan air bersih sementara para pejabatnya tidur nyenyak di rumah mewah dengan makanan dan minuman berlimpah.
Sedihnya, di negeri kita Indonesia, korupsi tumbuh subur di semua sektor, baik di pemerintahan, swasta, maupun ranah hukum. Bahkan, hakim pun jadi koruptor. Situasi ini seperti dalam sajak WS Rendra: “Kalau ada sumur di ladang, jangan diintip orang yang mandi, koruptor akalnya panjang, jaksa dan hakim diajak kompromi.” Parah!
Dan tidak hanya di Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi menyatakan bahwa lebih dari 68 persen negara di dunia ternyata memiliki masalah korupsi serius. Menyadari hal itu, melalui Resolusi 58/4 tanggal 31 Oktober 2003, PBB menetapkan 9 Desember sebagai Hari Anti-Korupsi Internasional untuk mengingatkan masyarakat dunia bahwa yang namanya korupsi harus diberantas sampai ke akar-akarnya.
Baiklah hadirin semua, terakhir saya ingin menyampaikan, melalui peringatan Hari Korupsi Sedunia besok, marilah kita bahu-membahu membasmi korupsi. Caranya adalah antara lain dengan selalu mengedepankan kejujuran, membangun pendidikan anti-korupsi, membangun pendidikan moral sejak dini, melakukan sosialisasi tentang korupsi dan dampak yang ditimbulkan, juga dengan mengajak orang-orang yang suka korupsi untuk ikut lomba pidato bertema “Anti-Korupsi” seperti sekarang ini. Saya yang dulunya suka korupsi jadi sadar dan tidak akan korupsi uang SPP lagi. Sekarang saya tahu, untuk alasan itulah saya dipilih untuk ikut lomba pidato ini.
Hadirin yang saya banggakan, sekian pidato singkat dari saya. Terima kasih atas perhatiannya. Terima kasih juga saya ucapkan untuk Kejaksaan Negeri Kota Denpasar serta Disdikpora Kota Denpasar atas upayanya memberantas korupsi dengan mengadakan lomba ini. Selamat Hari Anti-Korupsi Sedunia!

NASKAH PIDATO: Menjadi Pahlawan Lingkungan bagi Bali


Yang terhormat Bapak/Ibu dewan juri; Yang saya hormati Bapak/Ibu pembina ataupun pendamping yang turut hadir di sini; Begitu pula teman-teman dan hadirin semua yang saya cintai. Om swastiastu. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puja dan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya kita dapat berkumpul di tempat ini dengan sehat sentosa dan hati penuh bahagia.

Sebelum saya melanjutkan pidato ini, izinkan saya memperkenalkan diri. Karena seperti kata pepatah: tak kenal maka kenalanlah. Nama saya I Komang Ari Kencana. Saya adalah siswa kelas IX SMP PGRI 2 Denpasar. Pada pagi hari yang berbahagia ini saya akan menyampaikan sebuah pidato yang berjudul “Menjadi Pahlawan Lingkungan bagi Bali”.

Hadirin yang saya banggakan. Tujuan saya berpidato pada pagi hari ini adalah untuk mengajak dan juga untuk mengimbau masyarakat, khususnya generasi muda Bali, agar bisa meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh para pahlawan terdahulu, yang berjuang hingga mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa kita Indonesia. Saya ingin mengajak para generasi muda Bali untuk menjadi pahlawan yang berjuang menyelamatkan alam Bali.

Hadirin,
Saya akan mulai dari kata pahlawan. Apa itu pahlawan? Secara umum, pahlawan berarti orang yang berjasa bagi orang banyak, orang yang berkontribusi besar bagi orang lain. Dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan, pahlawan dapat diartikan sebagai orang yang berjuang demi membela kedaulatan bangsa dan negaranya. Ada juga yang mengatakan pahlawan berasal dari akar kata ‘pahala’ dan mendapat akhiran ‘wan’ sehingga menjadi ‘pahalawan’ yang berarti orang yang berhak mendapat pahala karena jasa-jasanya berjuang untuk orang banyak. Bagi saya, apapun pengertiannya, seorang pahlawan pastilah berjuang karena ia cinta kepada rakyat, negeri dan tanah tumpah darahnya. Pahlawan adalah sosok yang patut kita teladani.

Para hadirin yang berbahagia,
Berbicara tentang pahlawan saya menjadi teringat akan peristiwa yang terjadi pada 20 September 1906 silam, yaitu Perang Puputan Badung. Kala itu, Raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung bersama seluruh rakyat dengan teguh membela kedaulatan kerajaan, nindihin gumi lan swadharmaning negara, melawan penjajah Belanda. Meski hanya bersenjatakan tombak, keris, dan bambu runcing, mereka tidak gentar melakukan puputan alias perang habis-habisan hingga tetes darah penghabisan.

Selain I Gusti Ngurah Made Agung, kita juga punya pahlawan seorang jenderal gagah perwira bernama I Gusti Ngurah Rai. Perjuangan beliau melawan penjajah Belanda tidak usah diragukan lagi. Dalam keadaan sakit pun beliau masih terus berperang bersama pasukannya yang dikenal dengan nama Pasukan Ciung Wanara. Hingga terjadi peristiwa Puputan Margarana pada 20 November 1946. Meski akhirnya gugur di medan pertempuran, nama beliau masih terus dikenang hingga kini. 

Masih banyak pahlawan Bali yang patut kita teladani dan kita tiru. Ada I Gusti Jelantik dari Karangasem, juga Dewa Agung Istri Kania yang memimpin perlawanan rakyat Klungkung melawan penjajah Belanda di Desa Kusamba.

Pertanyaannya sekarang, sebagai generasi muda Bali, bisakah kita menjadi pahlawan? Apa yang bisa kita lakukan agar bisa menjadi seperti pahlawan-pahlawan tadi? Apa yang bisa kita perbuat untuk menunjukkan bahwa kita cinta terhadap negeri ini? Jawabannya: banyak! Ada banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai bukti kita cinta negeri ini. Salah satunya adalah menjadi pahlawan lingkungan yang berjuang menyelamatkan alam Bali.

Seperti yang kita ketahui bersama, Bali saat ini tidak lagi dijajah oleh Belanda, alam Bali kini justru dijajah oleh benda mati bernama plastik. Setiap hari, di setiap kegiatan, kita selalu menggunakan benda berbahan plastik, seperti botol air kemasan, pipet, ataupun kresek. Mirisnya, benda-benda tersebut hanya dipakai sekali lalu dibuang dan menjadi sampah. Kepraktisannya membuat kita lengah. Lalu tanpa kita sadari, plastik sudah mengepung alam kita. Sungai-sungai, taman, jalan, semua dipenuhi sampah plastik.

Di balik kepraktisannya, plastik ternyata menyimpan banyak bahaya. Baru-baru ini ada kabar menyedihkan seekor ikan paus sperma tewas di perairan Wakatobi dengan 5,9 kg plastik di perutnya. Ada juga berita tentang seekor kura-kura yang tidak bisa berenang karena tubuhnya terjerat plastik. Plastik membutuhkan waktu 2000 tahun bahkan lebih untuk dapat terurai. Plastik yang lama terurai dapat mengurangi kesuburan tanah dan memperburuk kualitas air. Membuang sampah plastik tidak pada tempatnya juga dapat menyumbat saluran air sehingga menyebabkan banjir. Apakah kita akan terus membiarkan alam kita rusak karena sampah plastik? Belum lagi sampah plastik yang berserakan di jalan-jalan. Kita tentu tidak ingin Bali dikenal oleh dunia sebagai pulau yang kumuh.

Selain sampah plastik, bahaya lain yang mengintai alam Bali adalah krisis air bersih. Menurut kajian Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana, pada tahun 2025 mendatang, Bali diperkirakan akan kehabisan air tawar akibat tidak adanya air tanah dan menyebabkan air laut menembus lapisan air tanah atau sering disebut intrusi. Ketiadaan air tanah disebabkan oleh kurangnya ruang terbuka hijau dan meningkatnya kebutuhan air karena pesatnya perkembangan pariwisata. Persoalan air bersih ini jika tidak ditangani akan menjadi bom di kemudian hari. Apa jadinya nasib petani di Bali jika tidak ada air?

Baiklah hadirin, setelah semua paparan tadi, saya ingin mengajak hadirin untuk bertindak sekarang juga. Marilah kita selamatkan alam Bali dengan menjadi pahlawan lingkungan. Jangan biarkan Bali menjadi surga yang terancam.

Untuk mengurangi timbulan sampah plastik, ada beberapa hal sederhana yang bisa kita lakukan, seperti membawa tas belanja sendiri, membawa tumbler atau botol minum sendiri, gunakan kotak bekal untuk membungkus makanan, berhenti menggunakan sedotan, sendok, dan garpu plastik sekali pakai, memafaatkan kembali sampah plastik atau melakukan daur ulang.

Sementara untuk menyelamatkan air, sebagai siswa, cara sederhana yang bisa kita lakukan adalah menanam pohon, tidak menebang pohon sembarang, menggunaan air dengan hemat dan efisien, serta membuat sumur resapan atau biopori di rumah. Dengan melakukan semua hal tersebut, kita sudah menjadi pahlawan karena kita sudah berjuang menyelamatkan lingkungan yang kita tempati bersama. Kita sudah berjuang melestarikan lingkungan sehingga dapat diwariskan dan dinikmati oleh anak cucu kita kelak nanti. Mulailah dari diri sendiri dulu. Setelah itu, baru tularkan ke orang di sekitar kita.

Hadirin sekalian yang saya banggakan, demikianlah pidato yang dapat saya sampaikan. Terima kasih atas perhatian hadirin. Terima kasih juga saya ucapkan untuk Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Denpasar atas upayanya menumbuhkan semangat kepahlawanan sekaligus menumbuhkan minat baca dengan mengadakan lomba pidato bertema kepahlawanan ini. Akhir kata, saya tutup pidato ini dengan pantun. Jika ada jarum yang patah, jangan disimpan di dalam peti, jika ada kata yang salah jangan disimpan di dalam hati. Klungkung-Semarapura, kirang langkung nunas geng sinampura. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om. Selamat pagi, salam sejahtera.

Aku Jatuh Cinta


Pada wanita pencipta sajak dan cerita;
wanita penyuka teman dan pertemuan;
wanita pemilik pipi dan senyum menawan
yang siang kemarin kujumpa
di taman berbunga

Pertemuan yang singkat namun menyita sangat
Sesal akan nama yang tiada tercatat
Tinggalkan rindu yang keras membatu

Padamu...
Duhai, bulan kedua belas

Jumat, 18 Oktober 2019

MADE MERTA DAN KISAHNYA MENABUNG


Mendengar kata 'menabung', Made Merta jadi teringat lagu lawas yang sangat populer ketika dia masih kanak-kanak dulu. Kalau dia tidak salah, begini liriknya:

"...Bing beng bang, yuk kita ke bank. Bang bing bung, yuk kita nabung. Tang ting tung, hey jangan dihitung. Tau-tau kita nanti dapat untung..."

Generasi milenial pasti tahu dong lagu itu. Ya, itu adalah lagu berjudul Menabung karya Titiek Puspa. Lagu itu diciptakan tahun 1996 dan dipopulerkan oleh penyanyi cilik saat itu: Geofanny dan Saskia. Mereka membawakannya dengan asyik dan ceria. Isinya tak lain dan tak bukan ajakan untuk menabung.

Selain teringat lagu, kata 'menabung' juga membuat Made Merta terkenang akan masa-masa dia SD dulu. Di SD-nya dulu ada  6 ruang kelas. Dinding-dindingnya memang kusam, namun sarat pesan. Di sana tertempel kertas-kertas manila penuh kata-kata bijak dan mulia, berbunyi "Mari Gemar Menabung", "Menabung Untuk Bekal Masa Depan", "Hemat Pangkal Kaya", dan sejenisnya; Menghiasi semua sisi, ditulis dengan penuh penghayatan dan penuh jiwa seni, sangat persuasi.

Kemudian saat SD juga, di akhir masa kelas VI, setelah Ebtanas, Made Merta ikut tamasya. Lokasinya di Kebun Raya Bedugul yang sejuk, nun di Tabanan sana. Sedih dia lantaran setelah ini harus berpisah dengan kawan-kawannya, melanjutkan ke SMP yang berbeda-beda, namun juga senang. Pasalnya, dia naik bus, tidak usah bayar. Tiket masuk tidak usah bayar. Makan dan minum juga tidak bayar. Rupanya segala ongkos sudah diambil dari tabungan, tak perlu lagi keluar uang. Ah, sungguh menyenangkan.

Di rumah pun, saat kecil dulu, Made Merta punya tabungan. Sisa uang saku Rp 100, Rp 500, atau Rp 1000 dia masukkan ke sebuah celengan. Celengan Made Merta terbuat dari tanah, berwarna cokelat dan gendut seperti ceret, hanya saja tidak ada moncongnya. Dia isi dengan tekun setiap hari. Sekeping demi sekeping, selembar demi selembar. Kian lama celengan Made Merta kian berisi dan berat.

“Ternyata benar kata pepatah, sedikit demi sedikit, dua-tiga pulau terlampaui!” serunya kala itu dengan penuh gairah, tak sadar dia pepatahnya salah.

Lalu pada Umanis Galungan, celengan itu dia pecahkan. Memecahkannya tidak sembarangan, tidak dengan cara dibanting hingga pecah berkeping-keping, melainkan dengan dipukul bagian bawahnya, pelan-pelan, menggunakan palu kecil. Dia pecahkan sedikit saja, membentuk lubang. Dengan begitu, celengan itu bisa dia gunakan lagi. Setelah isinya dikuras, tinggal tambal lubang tadi dengan kertas. Biasanya pakai kertas tebal bekas pembungkus Baygon bakar; Biar hemat.

Uang yang terkumpul, yang membuat kantong Made Merta melendung bak perut kucing bunting, dia gunakan untuk membeli baju baru. Belinya di Tiara Dewata, mall termegah di Denpasar kala itu. Memecahkan celengan adalah ritual spesial di hari raya yang selalu dia tunggu-tunggu. Baginya, hari raya belum berasa kalau belum beli baju baru.

Segala kenangan-kenangan itu menempel di otak Made Merta, membentuk persepsi bahwa menabung adalah sesuatu yang positif dan menyenangkan. Ketika mendengar kata 'menabung', di sanubarinya akan melintas perasaan gembira, asyik, ceria, indah, seru, untung, banyak uang. Dalam kamus Made Merta, menabung adalah menyisihkan sebagian uang untuk disimpan, yang suatu saat nanti akan digunakan untuk membeli impian. Setelah dewasa Made Merta mengerti, menabung ternyata masih bersaudara dengan kesederhanaan dan kesahajaan.

Namun demikian, meski Made Merta tahu menabung itu baik, kebiasaan menabung tidak serta-merta terbawa sampai ketika dia sudah berumah tangga. Setelah menikah dan punya anak, menabung dirasanya berubah menjadi sesuatu yang sulit. Lebih sulit daripada soal tes CPNS yang dia hadapi tempo hari di kantor BKN. Ya, menyisihkan sedikit uang dari penghasilannya yang sudah sedikit bukanlah perkara mudah. Jika kau ingin tahu, kini Made Merta tidak punya tabungan sepeser pun. Tragis memang.

Made Merta merasa kehidupan setelah berkeluarga tidak semudah masa kanak-kanak dulu. Pada masa itu kita masih bisa, orang Bali bilang, natakin lima alias meminta kepada orang tua; Biaya sekolah, tinggal minta. Ingin beli apa-apa, tinggal bilang. Kita belum mengenal kata 'tanggung jawab'. Orang tualah yang menanggung, kita hanya menjawab. Yang perlu kita lakukan hanya mengikuti perintah orang tua. Betapa menyenangkan menjadi kanak-kanak. Made Merta yakin itulah alasan mengapa lagu-lagu bertema menabung kebanyakan dinyanyikan oleh anak-anak; juga slogan-slogan ajakan menabung ditempel di sekolahan, bukan di kantoran. Mungkin maksudnya supaya kita menabung sejak kecil, sejak sebelum punya tanggung jawab keuangan.

Nah, setelah berkeluarga, semua jadi berbeda. Pengeluaran merajalela. Kebutuhan membengkak dan serba mendesak. Bayar kontrakan, bayar cicilan kendaraan, bayar arisan, bayar uang kebersihan, bayar listrik, bayar SPP, beli buku, susu, tisu, beras, gas, minyak, sayur, lauk-pauk, sabun, BBM, pulsa, kuota, dan lain sebagainya. Di ATM, uang gaji bak cairan alkohol: cepat menguap.

Terlebih Made Merta adalah orang Hindu-Bali dengan seabrek kegiatan adat dan agama, baik di keluarga, di banjar, maupun di desa. Semua kegiatan itu sudah barang tentu menimbulkan pengeluaran, seperti bayar piturunan, bayar pangepok, bayar dedosan, bikin banten setiap rahinan, menyama braya, potong babi, biaya ngaben, dan lain sebagainya. Semua jadi sulit dan rumit tatkala penghasilan sedikit. Kalau begitu ceritanya, jangankan menyisihkan sedikit uang untuk ditabung, bisa tidak berutang saja Made Merta sudah merasa tenteram.

“Sentosalah kalian yang belum menjadi orang tua,” desahnya pada suatu hari kepada murid-murid zaman now yang hedonis.

Di media online Made Merta sempat membaca sepotong artikel. Tertulis di sana, sebagian besar penabung sepakat bahwa minimum tabungan dan investasi adalah 10% dari penghasilan. Menarik, pikirnya.

Para pakar finansial punya pendapat lebih brilian. Menurut mereka, bagian penghasilan yang harus disisihkan untuk ditabung setiap bulan adalah 30%. Menurut mereka pula, kalau kita bisa menabung 30% dari penghasilan per bulan, peluang pensiun dengan tenang semakin mendekati kenyataan. Luar biasa! 

Made Merta merasa tulisan itu sangat renyah dan ringan macam kerupuk. Teori-teori dan tips-tips yang dihadirkan yahud. Ide-ide cemerlang dari para ahli keuangan itu sukses membuatnya termotivasi. Dia tercerahkan! Membacanya membuat Made Merta tiba-tiba merasa optimis dan penuh harapan. Langsung saja di kepalanya terbayang masa depan yang mapan, gilang-gemilang, jauh dari yang namanya kekurangan.

Amboi, pakar finansial sungguh merupakan profesi yang mengagumkan. Sebuah profesi cerdas yang bisa menuntun umat manusia menata masa depan yang lebih baik. Hanya orang-orang yang diberkati Tuhan dengan IQ tinggi yang bisa menjadi pakar finansial. Mereka adalah orang-orang kritis dan penuh analisa. Lulusan cumlaude fakultas ekonomi perguruan tinggi luar negeri pastinya.

Hanya saja, bayangan masa depan yang mapan dan gilang-gemilang itu dalam sekejap sirna, Made Merta menemukan satu kendala: dari mana mendapatkan 10% ataupun 30% untuk ditabung? Bukankah uang selalu habis, bahkan sudah habis sebelum dia terima? Oh, my god! Padahal hidupnya sudah sangat irit, jauh lebih irit daripada Ibu menteri keuangan republik ini. Made Merta jadi paham, berteori adalah satu hal dan bagaimana mempraktikkannya adalah hal lain.

Tetapi untunglah Made Merta punya anak sudah kelas 1 SD. Rajin betul anak lanangnya itu menabung di sekolah, padahal Made Merta tidak pernah mengajari. Mungkin di kelasnya juga ada slogan-slogan persuasif berisi ajakan untuk menabung seperti di kelas bapaknya saat SD dulu. Atau jangan-jangan dia terinspirasi lagu ‘Menabung’ karya Titiek Puspa yang dinyanyikan Saskia dan Geofanny? Entahlah. Apapun itu, Made Merta senang.

Setiap hari Made Merta memberi anaknya Rp 2000, Rp 5000, terkadang Rp 10000, untuk ditabung. Sampai buku tabungannya penuh dan harus diganti. Ketika sudah kelas 6 nanti, uang tabungan itu bisa dipotong oleh sekolahnya untuk ongkos bertamasya ria ke Bedugul, pikir Made Merta. 

Di rumah, sang anak juga punya celengan. Bukan dari tanah melainkan dari bahan kaleng, bergambar superhero. Tiap malam ketika tidur, celengan itu selalu dia peluk. Betapa Made Merta bangga dengan anaknya yang semata wayang. Diam-diam, Made Merta ingin sekali kelak dia bisa menjadi seorang pakar finansial, yang cerdas, terkenal, dan pandai berteori. Jangan seperti bapaknya yang hanya seorang guru. Sudah miskin, honorer pula!

Kamis, 21 Februari 2019

Buku Kawan Aku

Buku... kau kawan aku
tanpamu, siapalah aku
miskin wawasan, kurang ilmu
bak keledai dalam lobang termangu

Buku... kupanggil kitab pustaka
bagi ilmu indah nan memesona
bak bulir-bulir cahaya
terangi buta akan makna
Berlembar halaman tak ubahnya sayap angsa
terbangkanku jelajah semesta penuh tanya

Buku, kau sahabatku sejak aku masih mentah, ingatkah?
kucuri kau dari sekolah pemerintah
aku tak rasa bersalah
sebab pemerintah
pun sering curi uang rakyat dengan pongah

Wahai, buku... kau teman bijaksana
jika ada yang enggan berkawan
usah kecil hati
sebab mereka akan pikul sendiri
semua kebodohan di kemudian hari